Tinta Media: Karhutla
Tampilkan postingan dengan label Karhutla. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karhutla. Tampilkan semua postingan

Kamis, 14 Desember 2023

Karhutla Butuh Penyelesaian Bukan Pencitraan



Tinta Media - Pencitraan dapat diartikan sebagai usaha untuk menciptakan gambaran positif atau citra yang baik terhadap suatu individu, kelompok, atau negara. Dalam hal ini, negara biasa melakukan pencitraan di hadapan negara lain untuk meningkatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat internasional dengan harapan dapat membangun hubungan diplomatik yang baik, meningkatkan daya tarik investasi, meningkatkan nilai perekonomian, meningkatkan pariwisata, meningkatkan kerja sama internasional, dan banyak lagi.

Namun begitu, reputasi atau citra positif dari negara lain pada dasarnya akan datang dengan sendirinya, bila Indonesia khususnya yang notabene memiliki kekayaan alam yang berlimpah, mampu menyejahterakan rakyatnya, memiliki kedaulatan atas bangsanya, kuat pertahanan dan keamanan negara dan tidak bernegosiasi apalagi pasrah di bawah kaki penjajah. Sehingga menjadi negara yang tangguh dan disegani, serta meningkatkan kepercayaan dari masyarakat internasional.

Tapi hari ini , jangankan kesejahteraan atau rakyat diperhatikan, yang ada penderitaan demi penderitaan muncul silih berganti. Misalnya permasalahan Karhutla atau kebakaran hutan dan lahan, yang terus muncul di Indonesia setiap tahunnya, yang hingga kini belum juga ada solusi pasti dari pemerintah untuk mengatasi hal tersebut.

Kendati pada hari Kamis 30/11/2023 di Expo City, Dubai, Uni Emirat Arab Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Ad Interim Erick Thohir menegaskan bahwa pemerintah Indonesia serius dalam menjaga hutan dari berbagai ancaman seperti perubahan iklim, illegal logging, kebakaran hutan, dan deforestasi.

Erick Thohir juga bangga dengan beberapa program dan keberhasilan yang telah dicapai Indonesia dalam menjaga kelestarian hutan dan lingkungan. Beberapa di antaranya adalah berhasil mengurangi titik api secara signifikan hingga 82% dari 1,6 juta hektar pada tahun 2019 menjadi 296 ribu hektar pada tahun 2020. (cnnindonesia.com 01/12/2023)

Pernyataan tersebut memang tidak sepenuhnya salah, namun jika kita melihat lebih teliti pada tahun 2021, luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia sebanyak 358.867 hektare (ha). Dan jumlah tersebut meningkat 20,85% dibandingkan pada 2020 yang seluas 296.942 ha. Artinya, masalah karhutla pada dasarnya belum benar-benar terselesaikan.

Masalah karhutla juga telah terjadi selama bertahun-tahun, dan jelas membuat rakyat sangat menderita, bukan hanya pada wilayah titik terjadinya karhutla, tapi juga ke daerah sekitarnya, akibat asap yang terbawa angin. Dan hampir seluruh rakyat dari dewasa, anak-anak dan para balita, dipaksa menghirup udara kotor dampak dari karhutla, hingga menyebabkan berbagai penyakit seperti gangguan saluran paru-paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), kanker paru-paru, kardiovaskular, penyakit paru-paru obstruktif kronis, hingga kematian.

Penyebab utama masalah karhutla adalah adanya praktik deforestasi atau penebangan hutan yang tidak sesuai dengan aturan, terutama dalam rangka membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit, karet, dan industri lainnya. Hal ini seolah menegaskan bahwa kebakaran, pembabatan, dan penebangan hutan adalah perusakan hutan yang sistematis akibat sistem kapitalisme liberal.

Karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu, hingga melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas, dengan hanya memikirkan keuntungan materi. Melahirkan banyak penyelewengan dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan, misalnya penyimpangan aturan yang menjadi pemicu terjadinya karhutla.

Meski tidak dapat diabaikan, faktor cuaca seperti El Nino, angin kencang, dan curah hujan yang tinggi atau rendah juga mempengaruhi terjadinya karhutla. Namun masalah alam, dengan pola-pola familier yang kerap terjadi, bertahun-tahun, sepatutnya sudah dapat ditanggulangi dengan adanya badan mitigasi bencana yang melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanganan karhutla, sehingga masalah ini dapat diatasi dengan lebih efektif.

Ditambah dengan kelalaian atau kurangnya pengawasan dari pihak berwenang, dalam hal ini negara menjadikan pengawasan dan penegakan hukum sebagai instrumen yang digunakan sangat lemah dan tidak menimbulkan efek jera. Tidak adanya transparansi melahirkan dugaan akan adanya "permainan" antara perusahaan-perusahaan pelaku pembakaran dan oknum di pemerintahan yang juga menjadi faktor tidak pernah selesainya masalah ini.

Di dalam Islam, menjaga lingkungan dan melindungi alam dari bahaya dianggap sebagai tanggung jawab besar bagi umat manusia. Tindakan merusak atau membakar hutan dan lingkungan dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum, terlebih jika tindakan tersebut menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat, kehidupan makhluk hidup lainnya dan lingkungan secara umum. Itu jelas dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai Islam.

Eksploitasi hutan yang telah menimbulkan kerusakan hutan seharusnya dihentikan karena menurut ketetapan syariah, hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara. Maka pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing).

Dan kesalahan pembuat kebijakan sesungguhnya adalah kesalahan ideologi, sebab kebijakan yang terwujud dalam bentuk undang-undang dan peraturan itu tiada lain adalah ekspresi hidup dan nyata dari ideologi yang diyakini pembuat kebijakan.

Tegasnya, yang menjadi sumber utama kegagalan pengelolaan hutan serta akar masalah karhutla selama ini adalah ideologi kapitalisme.

Maka solusinya tidak lain adalah mencampakkan ideologi tersebut, dengan ideologi Islam, yang sumber hukumnya adalah Al-Quran dan hadits Rasulullah. Sehingga pengelolaan kekayaan alam yang sangat penting dan strategis dapat benar-benar dinikmati oleh masyarakat dan bukan menjadi beban penderitaan seperti saat ini. Dan sebab-sebab penderitaan rakyat seperti karhutla ini bisa benar- benar terselesaikan, bukan sekedar pencitraan. 
Wallahu'alam bissawab.

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang

Selasa, 24 Oktober 2023

Memadamkan Api Karhutla dengan Islam

Tinta Media - Keindahan negeri ini ditunjukkan salah satunya dengan masih banyaknya hutan dan lahan. Namun, kita patut prihatin dan bermuhasabah bersama, karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali melonjak. Pertanyaannya, mengapa karhutla selalu terjadi tiap tahun? Adakah yang salah dari tata kelola hutan dan lahan selama ini? Apakah penyebab karhutla hanya karena musim kemarau yang ekstrim atau adakah penyebab utama yang lainnya?

Sangat menarik menyimak pendapat Abdul Muhari dari BNPB berikut ini. Beliau berpendapat bahwa 90% peristiwa karhutla di Indonesia "disebabkan oleh ulah manusia", sedangkan kondisi panas yang dipengaruhi El Nino "hanya katalis yang mempercepat kebakaran".

Di sisi lain, Walhi justru mendeteksi 12.468 titik api pada tahun ini. Hal ini berbeda dengan data KLHK, yaitu hampir 50% di antaranya terjadi di wilayah konsesi perusahaan (bbc.com, 08/09/2023).

Terjadinya karhutla tentu sangat membahayakan masyarakat, di antaranya berdampak pada meningkatnya kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Bahkan, negeri tetangga seperti Malaysia dan Singapura juga akan terkena kiriman asap lintas batas dari Indonesia, hingga akhirnya pemerintah Malaysia mengirimkan surat kepada Indonesia, Rabu (04/092023) untuk menangani masalah kabut asap lintas batas yang berdampak pada negara tersebut.

Pengaturan Hutan dan Lahan dalam Islam

Sebagai sebuah sistem kehidupan yang sempurna, Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah ritual, seperti salat, haji dan puasa. Namun, Islam kaffah mempunyai seperangkat aturan untuk mengelola hutan dan lahan. Aturan-aturan tersebut di antaranya adalah:

Pertama, terkait fasilitas umum, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskan dalam sebuah hadis. Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda, "Kaum muslimin bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yaitu air, padang, dan api (HR. Abu Dawud)

Berdasarkan hadis di atas, maka hutan digolongkan sebagai padang dan terdapat larangan bagi individu, swasta, maupun asing untuk memilikinya. Dalam Islam, pengelolaan hutan akan dipergunakan untuk urusan dan kepentingan masyarakat. 

Kedua, terkait pengelolaan lahan, maka negara akan mengedukasi masyarakat agar setiap orang yang memiliki lahan bisa mengelolanya dengan optimal. Bahkan, jika ada penduduk yang membutuhkan biaya untuk mengelola lahan, maka negara akan memberikan modal yang diambilkan dari Baitul Mal. Akan tetapi, jika pemilik lahan mengabaikannya selama tiga tahun, maka lahan tersebut akan diambil dan diberikan pada yang lain.

Ketiga, sanksi tegas pada pemilik tanah yang dengan sengaja membakar lahannya sehingga berdampak buruk bagi masyarakat maupun kelestarian lingkungan.

Demikianlah, tiga solusi untuk mengatasi karhutla yang rutin terjadi dalam kehidupan sekuler yang jauh dari panduan Islam. Dengan panduan Islam kaffah, maka keberadaan hutan dan lahan akan benar-benar optimal dan memberi kebaikan untuk manusia. Wa ma tawfiqi illa billah wa ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi unib.

Oleh: Dahlia Kumalasari (Pendidik)

Kamis, 19 Oktober 2023

Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia Butuh Solusi Sistemik

Tinta Media - Musim kemarau dan El Nino menjadi pemicu kebakaran hutan dan lahan meningkat seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Di Kalimantan Barat, yaitu tempat area PT. MTI Unit 1 Jelai (1.151 Ha), PT. CG 267 Ha, PT. SUM 168,2 Ha, dan PT. FWL 121,24 Ha. Tim pengawas dan Polisi Hutan Balai Gakkum KLHK Kawasan Kalimantan, sudah melakukan penyegelan empat tempat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Semua itu dilakukan untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan.

Melalui data hotspot, Tim Gakkum KLHK terus mengawasi secara intensif tempat-tempat yang terindikasi adanya titik api. Rasio Ridho Sani Direktur Jendral Gakkum KLHK mengatakan, sudah memerintahkan semua kantor Balai Gakkum baik di Sumatera ataupun Kalimantan untuk terus mengawasi serta melakukan verifikasi lapangan dan penyelidikan atas terjadinya karhutla pada area  konsesi perusahaan ataupun tempat yang dikuasai oleh masyarakat.  


Oleh karena itu, menurut Rasio, instrumen penegak hukum yang menjadi kewenangan KLHK akan digunakan untuk menindak tegas kepada penanggung jawab usaha atau kegiatan atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan, baik berupa sanksi administrasi sampai pencabutan izin, gugatan perdata berupa ganti rugi pemulihan lingkungan hidup ataupun penegakan hukum pidana.

Selain melakukan penyegelan kepada 4 tempat konsesi perusahaan yang terjadi kebakaran, juga dilakukan pemasangan papan larangan kegiatan dan garis PPLH, satu perusahaan dilakukan proses penyelidikan/pulbaket, dan satu perusahaan sudah direkomendasikan agar diberikan sanksi administrasi paksaan pemerintah melalui kepala daerah. 

Karena itu, Rasio menegaskan bahwa penyegelan ini harus menjadikan perhatian bagi perusahaan. Selain itu, perusahaan tempat terjadinya kebakaran dapat dikenakan sanksi administratif, termasuk pembekuan dan pencabutan izin, serta gugatan perdata terkait ganti rugi lingkungan hidup dan penegakan hukum pidana. 

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sekarang ini menyebabkan beberapa kota di Indonesia diselimuti kabut asap. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dua negara tetangga Indonesia, Malaysia dan Singapura, juga merasa terganggu dan merasa dirugikan.

Dengan meluasnya karhutla, seharusnya pemerintah bisa melakukan evaluasi terhadap usaha penanganan yang ada. Apakah semua yang dilakukan pemerintah selama ini dalam mencegah dan mengatasi karhutla sudah efektif dan antisipatif? Pertanyaan itu muncul karena kejadian karhutla terus berulang. Hal itu menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganan karhutla masih minim dan belum berhasil.

Namun, semua permasalahan karhutla sebenarnya bukan hanya permasalahan teknis semata, tetapi sudah termasuk permasalahan sistemis. Karhutla merupakan salah satu dampak kapitalisasi hutan atas nama konsesi. 

Perusakan hutan besar-besaran dimulai sejak adanya UU 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok  Kehutanan. Semenjak UU ini berlaku, penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Izin konsesi hutan inilah yang menjadi faktor utama penyebab karhutla terus terjadi.

Demi kepentingan bisnis kaum kapitalis, pembukaan lahan gambut, termasuk deforestasi ini juga masih berlangsung. Sejak adanya UU yang berlaku, korporasi boleh membakar hutan dan lahan, meski dengan ketentuan dan syarat tertentu. Semua ini makin menegaskan bahwa peran negara tidak lebih sekadar regulator dan fasilitator  bagi kepentingan korporasi.

Dampak dari penerapan sistem kapitalisme yaitu pemberian izin konsesi hutan, alih fungsi lahan melalui pembukaan lahan gambut, sampai deforestasi. UU negara juga melegalisasi eksploitasi dan pemanfaatan hutan. Sungguh paket lengkap dalam upaya mendegradasi fungsi hutan menjadi ladang bisnis korporasi, padahal tugas negara adalah memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk menjaga rakyat dari bahaya kebakaran hutan dan dampaknya.

Karena itu, selama pengelolaan hutan masih menggunakan konsep kapitalisme dan kebebasan kepemilikan masih menjadi dasar menguasai aset-aset strategis tanpa batas, maka karhutla dan perusakan hutan jangan harap bisa dihentikan.

Karhutla dapat teratasi secara tuntas jika negara menerapkan sistem Islam secara kaffah. Maka dari itu, tidak ada masalah yang tidak memiliki solusi, begitu pun karhutla.

Pengelolaan hutan dan pemanfaatannya berprinsip tidak ada kebebasan secara mutlak dalam Islam. Para individu wajib berada dalam sistem Islam. Individu boleh mempunyai lahan dengan syarat yang dibenarkan syariat. Lahan-lahan yang dimiliki harus dikelola dengan produktif dan tidak ditelantarkan lebih dari 3 tahun.

Jika lahan tersebut ditelantarkan lebih dari tiga tahun, lahan tersebut berstatus menjadi tanah mati. Lalu negara akan memberikan kepada orang yang lebih dulu menggarap dan menghidupkan tanah oahan itu. Pengelolaannya tidak boleh membakar atau cara apa pun yang dapat menghilangkan unsur hara dan merusak ekosistem.

Islam memerintahkan bahwa kepemilikan umum hanya dikelola oleh negara, lalu hasilnya diberikan sebagai hak rakyat. Salah satunya, hutan tidak boleh dikelola oleh swasta, individu, bahkan asing. Hal ini karena hutan berkepemilikam umum dan harus dikelola oleh negara.

Negara boleh melakukan konservasi hutan yang berupaya untuk melindungi hak-hak ekologi, serta SDA yang asli. Negara juga dapat memproteksi hutan untuk kawasan konversi. Ini dilakukan saat eksplorasi hutan berpotensi membahayakan dan menimbulkan bencana ekologis bagi masyarakat.

Dengan penjelasan di atas, saat sistem Islam diterapkan, negara akan menjalankan fungsinya sebagaimana semestinya, yaitu sebagai raa'in (mengurusi seluruh urusan rakyat). Maka, tidak akan ada ekploitasi hutan secara ugal-ugalan. Wallahu a'lam bish shawab.

Oleh: Aning Juningsih (Aktivitas Muslimah)

Rabu, 11 Oktober 2023

Mitigasi Karhutla, Sejauh Mana Keseriusan Negara?

Tinta Media - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan intensitas titik api sedang hingga tinggi terus berlangsung di seluruh provinsi di Kalimantan, terkhusus wilayah Kalimantan Barat. Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Uli Artha Siagian mengatakan bahwa kasus Karhutla di Kalimantan yang notabene terus berulang menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).  

Uli menegaskan bahwa akar permasalahan berulangnya karhutla adalah karena negara “salah urus” dalam mengelola sumber-sumber kehidupan/ sumber daya alam. Kesalahan pengurusan negara tersebut mengakibatkan hilangnya perlindungan terhadap wilayah-wilayah yang penting dan rentan. Salah satunya yaitu wilayah seperti lahan gambut dan hutan. 

Tak hanya itu, Uli juga memaparkan bahwa lahan gambut dan hutan di Kalimantan banyak terbebani ragam perizinan, di antaranya perizinan monokultur sawit, pertambangan, dan perizinan dalam sektor kehutanan yang lainnya. Dalam catatan Walhi, setidaknya ada 900 perusahaan asing yang beroperasi di lahan gambut dan hutan. Akibatnya, lahan gambut dan hutan menjadi wilayah yang rentan dan tidak mendapat perlindungan khusus.  (nasional.tempo.co, Minggu 20/08/2023)

Dalam rangka menindaklanjuti karhutla yang terus meluas, Tim Pengawas dan Polisi Hutan Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan menyegel empat lokasi karhutla di Kalimantan Barat, di antaranya lokasi area PT. MTI Unit 1 Jelai (1.151 Ha), PT. CG (267 Ha), PT. SUM (168,2 Ha) dan PT.FWL (121,24 Ha). Melalui data hotspot, Tim Gakkum KLHK secara intensif melakukan monitor dan melakukan verifikasi lapangan terhadap lokasi terindikasi titik api. (Tirto, 04/09/2023)

Dampak Karhutla

Merujuk data KLHK periode Januari hingga Juli 2023, luas karhutla di Indonesia tercatat hingga 90.405 ha. Mirisnya, karhutla juga menyumbang emisi karbon dioksida lebih dari 5,9 juta ton ekuivalen karbon dioksida (CO2e).

Sejumlah kota di Indonesia tercemar kabut asap yang mengakibatkan meningkatnya kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Tak hanya di dalam negeri, negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia pun terganggu dan merasa dirugikan karena ikut terpapar kabut asap. 

Menyikapi dampak karhutla yang terus meluas hingga ke negeri seberang, seyogianya menjadikan pemerintah lebih “aware” dan segera melakukan evaluasi terhadap penanganan yang telah diupayakan. Mengingat kasus karhutla bukan pertama kalinya terjadi, seharusnya ini menjadi alarm bagi negara untuk mengevaluasi dan merevisi kembali upaya mitigasi agar maksimal dan mencapai keberhasilan. 

Menilik masalah karhutla, sejatinya pokok permasalahannya bukan terjadi di tataran teknis semata. Lebih jauh dari itu, karhutla berulang karena masalah sistemik. 

Karhutla adalah salah satu dampak yang muncul karena aktivitas kapitalisasi hutan. Eksploitasi hutan besar-besaran sejak terbitnya UU no 5 tahun1967 mengenai Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan menjadikan penguasa dan para oligarki memiliki kekuatan untuk mengelola dan mengeksploitasi hutan atas nama konsesi hutan.

Deforestasi, pembukaan lahan gambut, terus berlangsung demi keberlangsungan bisnis kaum kapitalis. UU yang disahkan melegalkan pembakaran hutan dan lahan dengan embel-embel syarat dan ketentuan tertentu. 

Kondisi ini menjadikan negara tak lebih hanya sebagai fasilitator dan regulator bagi korporasi. Negara kehilangan perannya sebagai periayah (pengatur) urusan rakyat dan pelindung rakyat dari kezaliman. 

Konsep kapitalisme yang menjunjung tinggi kebebasan, termasuk dalam kebebasan kepemilikan menjadi dasar dikuasainya aset-aset strategis dengan eksploitasi nirbatas hingga menimbulkan kerusakan alam dan bencana.

Islam Menyelesaikan Karhutla

Dalam Islam, kasus karhutla dapat terpecahkan secara tuntas oleh negara yang menerapkan aturan Islam secara komprehensif dan menyeluruh (kaffah). Seperti kita tahu, karhutla tidak bisa kita pisahkan dari buruknya pengelolaan lahan dan hutan.

Pengelolaan lahan dan hutan dalam Islam diatur menggunakan beberapa aturan. Dalam Islam, tidak terdapat kebebasan secara mutlak. Setiap orang wajib terikat dengan hukum syariat. Begitu pun dalam hal memperoleh kepemilikan lahan. Seseorang boleh memiliki lahan dengan cara yang dibolehkan syariat. 

Pemilik lahan diharuskan mengelola lahannya secara produktif dan tidak boleh menelantarkannya lebih dari tiga tahun. Apabila lahan tersebut dibiarkan lebih dari tiga tahun, maka kahan tersebut berubah status menjadi tanah mati. Kemudian negara akan memberikan lahan mati itu kepada siapa saja yang lebih dahulu dapat menggarap dan menghidupkan tanah tersebut. 

Lebih dari itu, pembukaan lahan dalam Islam tidak boleh menggunakan cara-cara yang dapat merusak ekosistem dan unsur hara tanah, seperti pembakaran hutan dan lain sebagainya. 

Negara berkewajiban untuk mengedukasi masyarakat bahwa menjaga kelangsungan ekosistem dan kelestarian alam merupakan kewajiban bagi setiap muslim.  Negara juga harus melakukan pengontrolan dan pengawasan terhadap setiap aktivitas eksplorasi atau pemanfaatan hutan, baik yang dilakukan individu, kelompok maupun instansi. Negara memberi sanksi tegas jika mereka melakukan perusakan alam dan lingkungan. 

Islam memandang hutan sebagai harta kepemilikan umum yang pengelolaannya haram diserahkan pada individu, swasta, bahkan asing. Harta kepemilikan umum dalam Islam hanya boleh dikelola langsung oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. 

Negara dalam Islam akan memproteksi sumber daya alam, termasuk hutan guna menjaga fungsi ekologis dari hutan tersebut untuk menjauhkan VB dari hal-hal yang bisa membahayakan masyarakat. 
Inilah upaya-upaya yang dilakukan negara Islam sebagai perwujudan fungsi negara yang hakiki, yaitu sebagai periayah urusan rakyat sekaligus pelindung mereka. Wallahu ‘alam bishawab.

Oleh: Selly Nuramalia
Aktivis muslimah

Sabtu, 23 September 2023

Karhutla meluas, Islam Sebagai Solusi Tuntas



Tinta Media - Selama musim kemarau berlangsung, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kabupaten Bandung mengalami lonjakan signifikan. Dari total 298 kejadian kebakaran, terdapat sebanyak 67 peristiwa kebakaran hutan dan lahan. 

Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kabupaten Bandung Hilman Kadar menjelaskan bahwa kasus kebakaran hutan dan lahan dari bulan Januari hingga Juni terhitung hanya empat kali. Namun, sejak Juli hingga Agustus, melonjak sebanyak 67 kasus. Tidak hanya itu, kebakaran pun melanda pemukiman mencapai 211 kasus sedangkan gudang 15 kasus dan pabrik 12 kasus. Dia menuturkan bahwa beberapa penyebab kebakaran di antaranya adalah faktor kelalaian manusia, musim kemarau, serta diperparah El Nino. (REJABAR, 01/09/2023)

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), selama periode Januari hingga Juli 2023, luas karhutla di Indonesia sudah mencapai 90.405 hektare (ha). Perluasan karhutla tidak hanya terjadi di satu provinsi di Jawa Barat saja, tetapi terjadi juga pada provinsi lainnya. 

Berikut beberapa provinsi dengan luas area karhutla terbesar, yaitu di Nusa Tenggara Timur mencapai 28.718 ha, Kalimantan Barat 12.537 ha, Nusa Tenggara Barat 9.662 ha, Kalimantan Selatan 7.483 ha, Jawa Timur 7.076 ha. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menuturkan juga bahwa karhutla tahun ini berpotensi meningkat karena adanya fenomena cuaca El Nino. (DATABOKS, 18/08/2023)

El Nino merupakan sebuah fenomena cuaca yang terjadi akibat peningkatan suhu permukaan air di Samudra Pasifik Tengah dan Timur yang menjadi lebih hangat dari biasanya. Dampak dari El Nino menyebabkan perubahan pola cuaca global, yang berdampak secara signifikan pada iklim di berbagai belahan di dunia, termasuk di Indonesia sehingga terjadi kondisi kering dan berkurangnya curah hujan yang meningkatkan potensi bencana kebakaran lahan dan hutan. 

Kejadian karhutla memang membawa dampak kerugian bagi kesehatan dan ekonomi masyarakat, bahkan hilangnya nyawa. Berbagai upaya yang telah dikerahkan pemerintah pun tidak menyentuh persoalan mendasar.

Manajer kajian kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Boy Even Sembiring pernah mengatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi bukan saja ulah manusia, tetapi juga negara sebagai pembuat kebijakan. Kebijakan ini mencakup pemberian izin yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah terkait pemanfaatan lahan pembukaan perkebunan dan berbagai kebijakan yang berimbas pada pembakaran hutan. 

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan Pasal 51 ayat 1 dan 2, Peraturan Presiden (PP) No. 104 Tahun 2015 melegalkan keterlajuran perkebunan di kawasan hutan, bahkan disfungsi hutan lindung dan konservasi. Karena itulah, karhutla sejatinya adalah problem yang sistemis, yakni akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem ini, hutan dan lahan dipandang sebagai milik negara, bukan milik rakyat.

Karena itu, negara dipandang berwenang menyerahkan kepemilikannya kepada pihak swasta atau korporasi dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan lahan yang ada. Tentu saja korporasi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengeluarkan modal yang besar. Sementara, aktivitas membakar hutan dalam pembukaan lahan merupakan cara termudah dan sesuai target bisnis para korporat.

Karena itu, akar persoalannya adalah penerapan sistem kapitalisme yang telah membiarkan kaum kapitalis mengeruk untung dari petak umpet karhutla. Sementara, negara hanya bertindak sebagai regulator yang memuluskan para penguasa lahan, yaitu para korporat melalui kebijakan negara. 

Bencana karhutla hanya akan diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam. Negara Indonesia sebagai negara tropis menjadi paru-paru dunia yang dibutuhkan oleh puluhan juta jiwa. Karenanya, pada hutan umumnya melekat karakter sebagai harta milik umum. 

Rasulullah saw. bersabda, 

"Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput (hutan), air, dan api." (HR. Abu Dawud)

Negara adalah pihak yang bertanggung jawab menjaga kelestarian fungsi hutan. Rasulullah saw. bersabda, 

"Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)." (HR. Muslim)

Jadi, apa pun alasannya, negara haram bertindak sebagai regulator bagi kepentingan korporasi dalam mengelola hutan. Sebaliknya, negara wajib bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan, termasuk pemulihan fungsi hutan yang sudah rusak, serta antisipasi dalam penanganan kebakaran. 

Selain itu, penyerahan pengelolaan hutan pada pihak korporasi hingga berujung pada aktivitas pembakaran dan kerusakan fungsi hutan akan menjadi sumber bencana bagi jutaan orang. Hal sangat diharamkan di dalam Islam. 

Rasulullah saw. bersabda, 

"Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Hak konsesi tidak dikenal dalam Islam, karena pemanfaatan secara istimewa (himmah) hanyalah pada negara dengan tujuan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. 

Rasulullah saw. bersabda, 

"Tidak ada himmah (hak pemanfaatan khusus) kecuali dengan Allah dan Rasul-Nya." (HR. Abu Dawud)

Jika kenyataannya masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka wajib segera ditangani oleh pemerintah. Hal ini karena pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyat dan memelihara kemaslahatannya. Tentu saja hal ini harus didukung oleh pendidikan untuk membangun kesadaran masyarakat serta mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya agar dapat terus dinikmati generasi demi generasi. 

Semua ini hanya akan terwujud jika ditetapkan syariah Islam secara menyeluruh, yakni melalui penerapan syariah Islam dalam sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Wallaahu a'lam bi ash-shawaab.

Oleh: Nia Umma Zhafran, 
Sahabat Tinta Media

Jumat, 25 Agustus 2023

Kapitalisme Penyebab Terjadinya Karhutla

Tinta Media - Terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan seolah menjadi  masalah rutin tiap tahunnya. Sama halnya dengan kekeringan dan banjir. Bahkan karhutla kian merajalela hingga menghancurkan kehidupan, rumah, harta benda sekaligus habitat hayati yang ada di dalamnya. Menurut Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Thomas Nifinluri, luasan bencana karhutla ini masih akan dapat meningkat, seiring dengan adanya pengaruh El-Nino.

Berbagai upaya telah dilakukan negara, dengan melakukan sosialisasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan, atau melakukan  patroli terpadu sebagai pencegahan karhutla, serta pelatihan dasar penanggulangan bencana karhutla. Namun solusi tersebut nyatanya tidak juga mampu menghentikan karhutla yang terjadi.

Bahkan negara melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menggugat beberapa korporasi ataupun perusahaan, yang dituduh menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sekaligus dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam perusakan lingkungan hidup sehingga menimbulkan kerugian hingga dituntut melakukan ganti rugi secara materiil.

Pertama, yang harus dipahami, hutan Kalimantan sendiri adalah
salah satu jenis tanah gambut yang 
merupakan ekosistem yang rapuh dan 
mudah terkena panas, sehingga besar 
kemungkinan, penebangan 
pohon di hutan gambut mengakibatkan 
daya serap permukaan tanah berkurang.

Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya banjir di musim penghujan. Sebaliknya pada musim kemarau, lahan gambut 
sangat rentan terbakar dan dikarenakan 
gambut mengandung bahan organik, 
memiliki sifat porous (gembur) yang 
menyebabkan kebakaran pada lahan 
gambut, hingga akibatnya menjadi sulit dipadamkan.

Kedua, hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar untuk 
kesejahteraan manusia. Dan rusaknya hutan adalah salah satu persoalan terbesar 
yang harus segera ditangani oleh Indonesia. Karena hutan merupakan paru-paru bumi dan 
tempat berlindung satwa, pohon, tumbuhan ,
sumber daya alam mineral yang 
tidak ternilai harganya bagi kehidupan 
manusia.

Oleh sebab itu, pemerintah dalam masalah ini, seharusnya mampu melakukan upaya maksimal dalam mencegah dan menjaga hutan, khususnya yang ada di Kalimantan dengan mencari akar masalahnya.

Akibat sistem kapitalisme yang berkuasa saat ini telah mengendalikan negara ke arah neo-liberalisme di berbagai sektor dan 
dengan keterbukaan bagi investasi asing yang tidak terbatas, telah mendorong serta menguatnya ancaman modal asing di 
sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti hutan.

Terlebih adanya permainan mata antar para kapital (pemilik modal domestik dan asing) dengan para pembuat kebijakan menjadikan para penjajah tersebut kian merajalela, mereka tidak peduli tentang bahaya dan dampak kerusakan yang ditimbulkan, selain daripada alasan yang berorientasi pada keuntungan. 

Sehingga terkadang kebakaran yang di sengaja pun dilakukan untuk membuka lahan baru penanaman kapital, yang sejatinya atas izin negara. Sebab negaralah yang telah mengeluarkan perizinan investasi tersebut.

Oleh karena itu berulang dan tak berkesudahannya masalah karhutla ini, adalah bukti abainya negara dalam mengurus sumber daya alam (SDA).

Terlebih dalam paradigma Islam, hutan terkategori dalam kepemilikan umum, maka keberadaan hutan seharusnya 
dipertahankan secara optimal. Sebab hutan adalah tanggung jawab penuh negara, 
yang wajib dikelola dengan baik sehingga dapat memberikan manfaat kepada masyarakatnya.

Kendati kepemilikan hakikat seluruhnya adalah milik Allah secara absolut. Sebab Allah-lah pemilik kepemilikan dan kekayaan. QS al-Maidah [5]: 17). Namun Allah SWT memberikan wewenang kepada manusia untuk menguasai hak milik tersebut dan memberikan izin kepemilikan pada orang tertentu, oleh karenanya Islam dengan jelas mendudukkan konsep yang tepat tentang kepemilikan (al-milkiyyah) yaitu kepemilikan pribadi, umum dan negara.

Dan kepemilikan umum adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah, bagi kaum muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama. Tugas negara adalah mengelolanya, agar rakyat dapat mengambil manfaat dari kekayaan tersebut. Namun terlarang memilikinya secara pribadi.

Terlepas dari kebiadaban yang nyata dan fakta bahwa karhutla menyebabkan perubahan iklim besar dan banyaknya kerugian secara materiil, yang sangat penting adalah dampaknya yang membahayakan bagi manusia, seperti yang terjadi di Kalimantan saat ini, jika ini terus di biarkan maka bagaimana nasib generasi mendatang?

Maka tak ada solusi lain untuk mengakhiri masalah karhutla ini, kecuali dengan mencabut sistem kapitalisme dari bumi pertiwi  dan menggantinya dengan sistem yang berasal dari wahyu Allah, sesuai Al-Qur'an dan Sunnah, sebab seluruh yang ada di bumi ini milik Allah maka akan lebih tepat , jika pengelolaannya pun sesuai dengan apa yang di perintahkan oleh Allah SWT. 

Wallahu'alam bissawab.

Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang 

Jumat, 07 Juli 2023

Mengapa Kebakaran Hutan Kembali Terulang?

Tinta Media - Sangat ironi, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di negeri ini seolah menjadi peristiwa tahunan yang belum ada solusi tuntas untuk menyelesaikannya. 

Negeri ini sungguh luar biasa kekayaan alamnya. Salah satunya adalah di sektor kehutanan, yaitu mencapai 128 juta ha. Dengan kekayaan hutan yang begitu besar, nyatanya belum mampu menjadikan sektor ini menjadi andalan sumber pemasukan negara, bahkan sebagian besar justru diprivatisasi oleh kapitalis dengan menjadikan perkebunan sawit yang tentu saja untuk menghasilkan cuan yang fantastis.

Dengan kekayaan hutan yang melimpah, nyatanya negeri ini harus dirundung masalah kebakaran hutan dan lahan di berbagai wilayah akibat pembukaan lahan yang makin meluas dan berpotensi mengancam kesehatan warga dan keselamatan penerbangan. 

Masalah yang terjadi hampir setiap tahun berulang ini nyatanya belum ada solusi hakiki untuk mengatasinya. Menurut Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) BPBD Kalimantan Selatan, luas total sementara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalsel mencapai 163,15 hektare. Tim BPBD menghimpun data bahwa sebagian wilayah pada satu kota dan enam kabupaten di Kalsel dilanda karhutla (kumparan.com/25 Juni 2023).

Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dan lahan ini disebabkan karena masalah klise, yaitu rendahnya kesadaran masyarakat. Aktivitas masyarakat mengolah lahan perkebunan dengan menggunakan metode tebas-bakar (slash and burn) juga menjadikan penyebab kebakaran hutan. 

Masyarakat memilih metode tersebut karena mempertimbangkan beberapa hal, seperti keterbatasan tenaga kerja, keterbatasan modal. Alhasil, pembakaran menjadi salah satu cara menyiapkan  lahan perkebunan yang paling mudah dan murah. 

Sayangnya, pembukaan lahan dengan cara membakar ini berisiko meluas sehingga menyebabkan kebakaran hutan. Maka dari itu, perlu metode penyiapan lahan tanpa bakar (zero burning) sebagai solusi yang harus diterapkan. Akan tetapi, diperlukan alat-alat mekanis yang mahal. Di sinilah peran pemerintah untuk menjadi pendukung agar pembukaan lahan tanpa pembakaran bisa terwujud. 

Gagalnya edukasi masyarakat juga menjadi pendukung problematika kebakaran hutan ini terus berlanjut. Di sisi lain, perilaku masyarakat bisa jadi karena dorongan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya yang tidak dijamin negara. Sementara, negara justru dengan mudah memberikan konsesi hutan pada perubahan besar, terlebih adanya kebutuhan untuk memperbanyak perkebunan sawit yang menjadi sumber biofuel. 

Solusi Tambal Sulam Tidak Menyelesaikan Masalah

Untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan, Pemerintah melalui Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) sudah mengerahkan ratusan pasukan dan semua peralatan yang ada untuk memadamkan api. Namun, upaya ini belum mampu mengatasi kebakaran hutan dan lahan secara tuntas, bahkan selalu berulang setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah perlu pengkajian ulang karena belum mampu mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan.

Solusi Islam dalam Menyelesaikan Persoalan Kebakaran Hutan dan Lahan

Islam memberikan tuntunan tentang kewajiban rakyat untuk menjaga keselamatan manusia dan juga alam, di antaranya menjaga kelestarian hutan dan lahan. Semuanya didasari keimanan bahwa menjaga kelestarian hutan adalah kewajiban, maka rakyat tidak akan dengan mudah melakukan pembakaran hutan dan lahan yang dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan warga dan terganggunya penerbangan.

Tentu saja hal ini akan sangat merugikan dan membahayakan. Kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan ini akan terwujud melalui sistem pendidikan yang membentuk kepribadian Islam. Dalam hal ini dengan penerapan Islam secara kaffah sebagai solusinya.

Islam mengharuskan negara untuk melakukan langkah antisipasi secara komprehensif dan totalitas sebagai bentuk tanggung jawab negara untuk mencegah kemadharatan bagi semua pihak dan menjamin kesejahteraan rakyat.

Dengan penerapan Islam kaffahlah persoalan kebakaran hutan dan lahan akan teratasi secara tuntas sampai ke akar-akarnya. Dengan sistem Islam, negara akan betul-betul  meriayah kelestarian hutan dan lahan ini dengan sebaik-baiknya, jangan sampai merugikan rakyat. Sudah saatnya umat sadar bahwa hanya dengan sistem Islamlah problematika kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi ini akan dapat terselesaikan.


Oleh: Mery Isneini, S.Pd.
Sahabat Tinta Media

Rabu, 05 Juli 2023

Karhutla Membara, Buah Penerapan Sistem Kapitalisme

Tinta Media - Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB) BPBD Kalimantan Selatan melaporkan, hingga Sabtu (24 Juni 2023), kembali terjadi kebakaran hutan di  Kalimantan. Luas kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalsel mencapai 163,15 hektar yang menimpa tujuh kabupaten, di antaranya Kota Banjar Baru, Tanah Laut, Banjar Tapin, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tebalong. (Kumparan, 25 Juni 2023).

Selain di wilayah Kalimantan, karhutla juga terjadi di Riau, melanda Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis sejak pertengahan Juni lalu. Habitat gajah Sumatera yang terbakar mencapai 10 hektar.

Ginman Hasibuan, Kepala Besar Konservasi SDA Riau mengatakan, Karhutla ini dipicu adanya aksi pembukaan lahan dengan cara membakar, untuk perkebunan kelapa sawit. Hingga saat ini, tim satgas masih berjibaku untuk memadamkan api.

Terjadinya karhutla di berbagai wilayah Indonesia tentu membawa kerugian bagi masyarakat yang terdampak. Kerugian yang ditimbulkan selain kesehatan dan ekonomi, juga dapat menyebabkan kematian. Sementara, tindakan yang dilakukan pemerintah tidak menyentuh akar persoalan.

Menurut Boy Even Sembiring, karhutla ini bukan ulah manusia saja, tetapi ada peran negara sebagai pembuat kebijakan. Kebijakan ini di antaranya mencakup pemberian izin yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah terkait pemanfaatan lahan, pembukaan perkebunan dan kebijakan lainnya, yang berimbas pada pembakaran hutan. 

Dalam pasal 51 ayat (1) dan ayat (2), Peraturan Presiden no 104 tahun 2015 malah melegalkan keterlanjuran perkebunan di kawasan hutan, bahkan fungsi lindung dan konservasi. Sejatinya, karhutla ini adalah problem sistemis akibat  penerapan sistem ekonomi kapitalisme.

Dalam sistem kapitalisme, hutan dan lahan dianggap sebagai milik negara, bukan milik rakyat. Karena itu, negara berwenang menyerahkan kepemilikan ini kepada pihak swasta atau korporasi untuk mengelola manfaat hutan yang ada. Tentu saja mindset korporasi mendapat keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengeluarkan modal yang besar. 

Membakar hutan merupakan cara mudah dan sesuai target bisnis para korporat. Karena itu, akar persoalannya adalah penerapan sistem kapitalisme, yang telah  membiarkan kaum kapital mengeruk untung dari petak umpet kebakaran hutan, sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang memuluskan penguasaan lahan oleh korporat melalui kebijakan negara.

Solusi

Bencana kebakaran hutan dan lahan bisa diakhiri secara tuntas manakala menerapkan sistem Islam. Hutan gambut tropis Indonesia yang terluas di dunia ini memiliki fungsi ekologis dan hidrologis, termasuk sebagai paru-paru dunia yang dibutuhkan oleh puluhan juta. Karenanya, hutan pada umumnya melekat karakter harta milik umum. 

Rasulullah saw. bersabda, "Kaum muslimin berserikat  dalam tiga perkara, yaitu padang rumput (hutan), air, dan api." (HR. Abu Daud).

Dalam hal ini negara adalah pihak yang bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian hutan. 

Rasulullah saw. bersabda, "Imam adalah ibarat pengembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab  terhadap gembalaannya (rakyatnya). (HR. Muslim)

Artinya, apa pun alasannya negara haram bertindak sebagai regulator bagi kepentingan korporasi dalam mengelola hutan. Sebaliknya, negara wajib bertanggung jawab  langsung dan sepenuhnya  dalam pengelolaan hutan, termasuk pemulihan fungsi hutan yang sudah rusak, serta antisipasi pemadaman bila terbakar. 

Selain itu, penyerahan pengelolaan hutan pada pihak korporasi hingga berujung pada pembakaran dan kerusakan hutan akan menjadi sumber bencana bagi jutaan orang yang diharamkan Islam. 

Rasulullah saw. bersabda, "Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). 

Sementara, hak kompensasi tidak dikenal dalam Islam, karena pemanfaatan secara istimewa atau himmah hanyalah pada negara dengan tujuan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. 

Rasulullah saw. bersabda, "Tidak ada himmah (hak pemanfaatan khusus kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya." (HR. Abu Daud).

Jika terjadi kembali kebakaran hutan dan lahan, maka pemerintah segera menyelesaikannya. Hal ini karena sudah menjadi  kewajiban pemerintah untuk memperhatikan urusan rakyatnya di samping memelihara kemaslahatan mereka. Hal ini tentu didukung oleh sistem pendidikan guna membangun kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya bagi generasi berikutnya. Hal ini hanya akan terwujud manakala diterapkan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian.
                          
Wallahualam bissawab.

Oleh: Astuti K
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab