Tinta Media: Kapitalisme
Tampilkan postingan dengan label Kapitalisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kapitalisme. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 November 2024

Akuntabilitas Keuangan, Mungkinkah Ada dalam Sistem Kapitalisme?



Tinta Media - Pembangunan desa saat ini sedang jor-joran dilakukan pemerintah dengan anggaran fantastis yang telah digelontorkan, yakni Rp609 triliun. Harapannya, akan terwujud kesejahteraan masyarakat desa. Namun faktanya, masyarakat desa belum sepenuhnya merasakan manfaat dari anggaran yang besar itu.

Hal inilah yang menjadi topik pembahasan dalam kegiatan Workshop Evaluasi Pengelolaan Keuangan dan Pembangunan Desa Tahun 2024. Dicky Achmad Sidik sebagai Pejabat sementara (Pjs) Bupati Bandung mengatakan bahwa pengelolaan keuangan yang akuntabel di desa-desa menjadi prasyarat utama untuk mencapai pembangunan yang efektif dan berdampak. Kabupaten Bandung memiliki 270 desa yang tersebar di 31 kecamatan. Setiap desa memegang peranan vital dalam mendukung pembangunan daerah.

Workshop tersebut mengambil tema 'Pengelolaan Keuangan Desa yang Akuntabel Dalam Rangka Percepatan Transformasi Keuangan yang Inklusif dan Berkelanjutan'. Acara yang dihadiri oleh jajaran organisasi perangkat daerah, para camat, dan kepala desa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung ini memberikan pembekalan kepada para kades terkait tata kelola keuangan yang baik serta praktik-praktik terbaik dalam melaksanakan pembangunan desa.

Desa adalah tombak pembangunan nasional. Oleh karena itu, pemerintah menggelontorkan anggaran yang tak sedikit. Sejak periode 2015-2024, total anggaran sudah mencapai Rp609 triliun. Sayangnya, angka yang besar tak banyak mengubah kondisi pembangunan di desa. 

Faktanya, masih banyak jalan dan jembatan yang rusak, bangunan sekolah yang jauh dari kata layak, rutilahu pun masih banyak, minim fasilitas kesehatan, banyak kasus gizi buruk, kemiskinan, dan minimnya fasilitas publik lainnya. Tercatat dalam PDTT pada tahun 2023, jumlah desa tertinggal masih 7.154 dan desa sangat tertinggal sebanyak 4.850. Lantas, ke mana anggaran sebesar itu?

Bagaimana mungkin target percepatan pembangunan desa bisa terwujud jika anggarannya tak sepenuhnya digunakan untuk kemaslahatan rakyat? Jangan-jangan, anggaran tersebut masuk ke kantong-kantong pribadi demi memakmurkan diri dan kelompoknya? 
Faktanya, banyak kasus korupsi yang terjadi pada anggaran dana desa, di antaranya:

(1) Mantan Kades di Sukabumi melakukan korupsi dana desa ratusan juta rupiah.
(2) Mantan Kades di Tanggerang diduga melakukan korupsi dana desa untuk hiburan malam.
(3) Kades Tambakrejo Tulungagung Selatan, korupsi Rp721 juta.
(4) Mantan Kades di Tapsel buron dua tahun karena melakukan korupsi dana desa Rp595 juta.
(5) Dll.

Menurut ICW (Indonesian Corruption Wacth), pada tahun 2022 setidaknya ada 155 kasus korupsi di tingkat desa dengan tersangka sebanyak 252 orang. 

Banyaknya kasus korupsi membuktikan betapa sulitnya merealisasikan pengelolaan keuangan yang akuntabel. Harus kita ketahui bahwa penyebab dari persoalan ini adalah imbas dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini berorientasi pada keuntungan dan manfaat duniawi saja dan tidak melibatkan agama untuk mengatur kehidupan dan bernegara. Maka, segala cara akan dilakukan untuk mendapatkan kebahagian dalam bentuk materi. Halal dan haram tidak jadi soal, bahkan tidak peduli banyak orang yang terzalimi karena penerapan sistem ini.

Selain korupsi, tata kelola pembangunan desa patut dievaluasi ulang. Saat ini, pembangunan di desa maupun di kota tak mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Penyebabnya adalah pembangunan ala kapitalisme. Buktinya, pembangunan hanya bertumpu pada investasi, bukan pada kemaslahatan masyarakat di desa. Pembangunan hanya melanggengkan kepentingan kapitalis. 

Salah satu contohnya adalah pembangunan tempat wisata yang seharusnya menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Faktanya, yang meraup keuntungan adalah para pemilik modal yang berinvestasi. Mereka membangun restoran dan resort mewah. Akhirnya, usaha kecil masyarakat setempat tak mampu bersaing dan hanya mendapat sedikit keuntungan saja.

Penyebab lainnya adalah negara abai dalam memberikan fasilitas publik. Penguasa malah menyerahkan urusan fasilitas publik kepada pihak swasta. Akhirnya, pembangunan hanya difokuskan di area-area yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sedangkan fasilitas di desa seperti jalan, dan  jembatan dibiarkan rusak. 

Sistem yang memberikan kebebasan dalam berekonomi ini adalah sistemnya para oligarki, lebih berpihak pada konglomerat dan menindas rakyat bawah. Oleh karena itu, sampai kapan pun dan apa pun upaya yang dilakukan penguasa untuk memakmurkan rakyat, tidak akan pernah berhasil. 

Sebenarnya yang dimakmurkan adalah rakyat kalangan atas, bukan kalangan bawah. Ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin jelas menjadi ciri khas penerapan sistem ekonomi kapitalisme. 

Kalau sudah seperti itu, masihkan kita berharap pada sistem kapitalisme untuk mengelola keuangan secara akuntabel? Sungguh mustahil!

Berbeda halnya saat sistem Islam diterapkan oleh negara khilafah dalam mewujudkan kesejahteraan umat. Khilafah bertanggung jawab penuh atas segala kebutuhan rakyat. Pembangunan pun akan dilakukan secara adil dan sesuai kebutuhan daerah tersebut. Begitu pun kebutuhan sandang, pangan, papan, juga kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Syariat Islam diterapkan sebagai landasan dalam mengatur seluruh aspek kehidupan dan bernegara. Negara fokus pada kemaslahatan rakyat bukan kepentingan korporasi. Seluruh kebijakan dilaksanakan dengan ketentuan syariat, termasuk dalam hal mengelola keuangan.

Prinsip keadilan, kejujuran, transparansi, dan akuntabel adalah pilar berekonomi dalam Islam. Kehidupan ekonomi yang berkeadilan, dan akuntabel menjauhkan manusia dari kepemilikan harta secara zalim.

Pemerintah khilafah bersifat sentralisasi atau terpusat. Setiap kebijakan termasuk pembiayaan pembangunan di daerah harus diketahui dan mendapat persetujuan dari khalifah. Pembiayaan pembangunan desa maupun kota dilakukan secara mandiri, tanpa ada intervensi dari pihak luar, seperti skema investasi ataupun utang luar negeri.

Sistem ekonomi Islam menjadikan negara mampu membiayai seluruh kebutuhan rakyat. Kekuatan baitul mal akan meniscayakan hal tersebut. Khilafah tidak akan berlepas tangan dan berupaya keras agar seluruh rakyat mampu mengakses fasilitas publik dengan mudah dan gratis.

Maka, hanya negara khilafah yang menerapkan sistem Islam, yang bisa mewujudkan pengelolaan keuangan yang akuntabel demi kemaslahatan seluruh rakyat. Wallahu'alam bishawab.



Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media 

Senin, 11 November 2024

Kriminalisasi Guru, Buah Pahit Kapitalisme Demokrasi


Tinta Media - Guru adalah sosok mulia yang wajib untuk dihormati dan dimuliakan, baik oleh murid maupun orang tua murid. Namun, akhir-akhir ini guru malah mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari orang tua murid disebabkan pengaduan anaknya, meskipun pengaduan itu terkadang tidak benar,  bahkan cenderung fitnah. 

Ibu Supriyani, S.Pd, guru SDN  Baito, Konawe Selatan ditahan polisi karena menegur siswa yang nakal. Orang tua siswa tersebut adalah anggota polisi. Pihak orang tua siswa meminta Bu Supriyani dikeluarkan dari sekolah dan juga dimintai uang sebesar 50 juta dengan dalih sebagai uang damai. Belakangan, kasusnya diselesaikan dengan damai kekeluargaan. Namun, persidangan akan tetap dilakukan pada Ibu Supriyani. 

Kasus kriminalisasi terhadap guru tidak hanya menimpa Ibu Supriyani saja. Kriminalisasi guru ibarat gunung es, yang tampak hanya sedikit, tetapi yang tak nampak lebih besar lagi. Sebelumnya, di Sidoarjo, Jawa Timur, seorang guru bernama Sambudi dilaporkan ke pihak berwajib oleh orang tua siswa karena menegur siswanya yang tidak mau salat. Realitasnya, masih banyak lagi kasus-kasus serupa. 

Akar Masalah

Kasus kriminalisasi guru menjadi duka mendalam bagi dunia pendidikan. Hal ini merupakan malapetaka peradaban. Artinya, adab kepada guru sudah hilang. Bagaimana ketika guru ingin menegakkan keadilan, bagaimana guru sedang menegakkan disiplin jika dia harus dibenturkan dengan aturan dalam perundang-undangan di negeri ini? Sungguh, dunia pendidikan dibuat tumpul tak berdaya. 

Anak-anak didik saat ini telah banyak terpengaruh oleh berbagai informasi negatif yang beredar di media sosial. Dari pornografi, video kekerasan,  pembulyan, dan berbagai tayangan-tayangan yang nir-adab semakin merusak mental dan karakter generasi. Adanya filter yang ketat seharusnya dilakukan oleh penguasa. Akan tetapi, penguasa seolah tak berdaya. 

Revolusi mental yang digadang-gadang bisa memperbaiki generasi malah semakin merusak. Hal ini membuktikan bahwa revolusi mental yang dibangun oleh rezim ini berlandaskan kapitalisme, hanya berpandangan soal untung dan rugi, bukan untuk tindakan atau menegakkan kedisplinan sebagaimana yang ibu guru tersebut lakukan terhadap anak didiknya. 

Ditambah lagi ketidakadilan yang tampak semakin nyata. Hukum bisa diutak-atik oleh yang berkuasa sesuai kepentingan mereka, seolah keadilan hanya bagi pemilik modal atau yang ber-uang saja. Rakyat kecil mudah dijadikan tersangka hanya dengan perkara yang belum terbukti nyata.

Jelaslah bahwa semua masalah tersebut bersifat sistematis. Pangkal persoalan ini adalah akibat sistem pendidikan yang menganut paham kapitalis-sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan). Orientasinya hanya untuk keuntungan/kepuasan  materi, bukan untuk menghasilkan anak didik yang bertakwa. 

Penerapan sistem kapitalisme sekuler menjadikan lembaga pendidikan hanya mengajarkan agama sebagai ilmu, bukan sebagai tsaqafah yang berpengaruh dalam kehidupan. Wajar jika jam pelajaran agama semakin terkikis, ditambah dengan arus moderasi beragama yang semakin membutakan generasi dari hakikat Islam yang merupakan sistem kehidupan. 

Kapitalisme telah menghilangkan rasa hormat dan takdzim kepada guru, padahal rasa takdzim kepada guru adalah bagian syariat yang harus dijalani di dunia yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Justru perasaan egoisme pribadi yang semakin menguat. 

Sistem kapitalisme juga membuat ketidakpercayaan antara orang tua dan guru. Adanya undang-undang perlindungan anak rentan dijadikan senjata untuk mengkriminalisasikan guru demi kepentingan pribadi. 

Solusi Teknis dan Sistemik

Kriminalisasi terhadap guru sekolah yang tengah marak belakangan ini membutuhkan solusi yang paripurna, baik teknis dan sistematis. Demi terciptanya perlindungan hukum untuk guru, maka sekolah perlu membuat peraturan yang disepakati oleh guru, siswa, dan orang tua siswa. Oleh karena itu, sekolah sepatutnya membuat peraturan sekolah, tata tertib, dan kode etik sekolah yang diketahui dan disepakati oleh guru, siswa, dan orang tua.

Di dalam peraturan tersebut, terdapat klasifikasi dalam bentuk tindakan pendisiplinan. Untuk mengurangi kriminalisasi terhadap guru, sebaiknya sekolah membuat komisi atau divisi yang menegakkan peraturan sekolah. Sehingga, jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh siswa, guru cukup melaporkan kepada divisi atau komisi yang bertugas menegakkan disiplin. Sehingga, bukan guru yang melakukan tindakan pendisiplinan, melainkan komisi atau divisi tersebut.

Untuk menghindari kriminalisasi terhadap divisi atau komisi pendisiplinan, maka perlu dibuat mekanisme. Tindakan apa yang akan dilakukan untuk pendisiplina, di mana tempatnya. Pendisiplinan itu harus disaksikan oleh minimal dua orang guru dan dua orang siswa. Untuk memperkuat alat bukti, sebaiknya dipasang CCTV. Perlu juga adanya saksi dan alat bukti ketika proses pendisiplinan tersebut berlangsung.

Selain itu, guru tidak dapat dipidana saat menjalankan profesinya, tidak terlepas dalam hal pendisiplinan. Karena pendisiplinan tidak termasuk kategori tindakan diskriminasi atau penganiayaan. Oleh karena itu, sangat penting bagi pihak sekolah untuk membuat ketentuan yang jelas, bersih, dan berlaku bagi seluruh siswa agar tidak dapat dikategorikan tindakan diskriminasi.

Ada dua pasal untuk memperkuat posisi guru sebagai tenaga pendidik di sekolah. Pasal tersebut yakni Pasal 39 Ayat (1) PP No.74 Tahun 2008 yang diubah menjadi PP No.19 Tahun 2017 dan Pasal 39 ayat (2) PP No.74 Tahun 2008 yang diubah menjadi PP No.19 Tahun 2017 tentang Guru. Pasal 39 Ayat 1 dan 2 mengatur tentang gurun untuk memiliki kebebasan dalam memberikan sanksi kepada peserta didik yang melanggar. Sanksi tersebut dapat berupa teguran atau peringatan, baik lisan maupun tulisan.

Selain itu, yang tak kalah penting adalah mengganti sistem kapitalisme sekuler demokrasi dengan sistem yang sahih yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Sistem pendidikan Islam akan membentuk pemahaman agama yang menjadikan mental dan iman yang kuat, baik guru, orang tua maupun murid. 

Strategi pendidikan harus dirancang untuk mewujudkan identitas keislaman yang kuat. Metode pengajarannya harus talaqqiyan fikriyan. Sehingga hubungan antara guru dengan murid, guru dengan orang tua akan memiliki kesadaran yang saling menghargai. Terdapat ajaran yang menekankan pentingnya adab (etika) dalam berinteraksi dengan guru. Murid diharapkan untuk menghormati, mendengarkan dengan baik, dan belajar dengan tekun dari guru mereka.

Sistem informasi dan komunikasi juga harus difilter dengan ketat agar semua tayangan yang beredar adalah tayangan yang memberikan edukasi dan dakwah ilal Islam. Penguasa harus benar-serius saat melakukan ini tanpa memihak kepada kepentingan -kepentingan sekelompok orang maupun pemodal. Tak boleh berlaku asas manfaat dalam hal ini.

Sistem sanksi juga akan diberlakukan dengan tegas agar kasus tidak berulang. Keadilan akan benar-benar ditegakkan supaya tidak ada yang terzalimi dan menzalimi. Semua itu membutuhkan sebuah institusi negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, yaitu khilafah ala minhajin nubuwwah. Tanpa khilafah, mustahil keadilan akan terwujud.


Oleh: Sri Syahidah 
(Aktivis Muslimah) 

Jumat, 01 November 2024

Sertifikasi Halal di Sistem Kapitalis?


Tinta Media - Belakangan ini masyarakat dikejutkan dengan adanya temuan Majelis Ulama Indonesia mengenai beredarnya produk pangan dengan nama-nama yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam, sementara produk-produk tersebut mendapatkan sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.

Mengenai hal ini, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Mamat Salamet Burhanuddin menjelaskan bahwa yang menjadi permasalahan adalah terletak pada pemberian nama produk, bukan pada kehalalan fisik produknya. Jadi, menurutnya produk  bersertifikasi halal sudah melalui proses mekanisme yang berlaku.

Selain itu, penamaan produk pangan halal sudah diatur dalam ketentuan penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak bisa mendapatkan sertifikat halal. Peraturan ini tertuang dalam fatwa MUI nomor 44 tahun 2020, juga melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal.

Namun demikian, tetap saja masih ada produk-produk pangan dengan nama-nama yang tidak patut, seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapatkan sertifikasi halal, baik dari Komisi Fatwa MUI ataupun dari Komite Fatwa Produk Halal.

Menurutnya, hal itu dikarenakan adanya perbedaan pendapat terkait penamaan produk pangan halal sebagaimana yang disampaikan dalam pernyataan tertulisnya pada Kumparan, Kamis 3/10/2024. Di sana, dikatakan bahwa perbedaan itu sebatas tentang diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama untuk produk pangan, bukan pada kehalalan zat maupun proses produksinya.

Sertifikasi halal terhadap produk dengan nama-nama benda yang diharamkan dalam syariat Islam memang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat saat ini. Mirisnya, hal tersebut dianggap aman dan bukan masalah karena zatnya halal, ditambah lagi dengan adanya self declare atau pernyataan sepihak terkait kehalalan produk yang dikeluarkan oleh pembuat produk itu sendiri. Tentu saja kehalalannya menjadi sangat diragukan. 

Beginilah wajah sertifikasi halal dalam sistem sekuler kapitalisme. Penamaan produk tidak dilandaskan pada hukum halal dan haram dalam syariat Islam, meskipun nama-nama yang digunakan merupakan nama-nama dari produk tidak halal yang masih beredar di masyarakat. Tentu saja hal ini menjadi masalah bagi umat Islam. Dalam Islam, status halal dan haram suatu benda ataupun perbuatan merupakan persoalan prinsip.

Kondisi ini merupakan keniscayaan dalam sebuah negara yang berdiri di atas sistem sekuler, yaitu negara tidak memberikan perlindungan terhadap akidah rakyat, terutama umat Islam.

Masalah yang dihadapi bukan hanya pada pemberian nama produk halal dengan nama benda yang diharamkan saja, tetapi lebih dari itu. Benda-benda yang diharamkan itu sendiri bebas beredar di masyarakat. Negara hanya memberikan fasilitas sertifikasi halal berbayar untuk produk yang dianggap tidak terkategori haram melalui proses mekanisme yang berlaku. Ini untuk membantu masyarakat membedakan mana produk halal dan mana produk haram.

Tanggung jawab sertifikasi halal dilimpahkan pada produsen yang sanggup membayar biaya sertifikasi. Namun, untuk para produsen yang belum mampu membayar biaya sertifikasi, meskipun produknya halal, sampai kapan pun tidak akan mendapatkan sertifikat halal.

Dari segi konsumsi, negara benar-benar membebaskan konsumen muslim untuk mengonsumsi produk halal ataupun haram. Di sini nyata benar bahwa negara bersistem kapitalis sekuler tidak memberikan perlindungan atas akidah umat Islam.

Lebih dari itu, negara malah memanfaatkan sertifikasi halal ini sebagai ajang bisnis, karena timbulnya permintaan yang besar dari umat Islam atas sertifikasi halal dari suatu produk. 

Kita masih ingat, kewenangan penerbitan sertifikat halal dari MUI diambil alih oleh pemerintah. Tdak bisa dimungkiri bahwa urusan sertifikat halal ini menghasilkan uang yang tidak sedikit, mengingat prosesnya harus dilakukan secara berkala, tidak hanya di awalnya saja.

Dari sini bisa dilihat bahwa pemerintah menyelenggarakan sertifikasi halal ini tidak berlandaskan pada ketakwaan melainkan atas dasar bisnis dan keuntungan. Oleh karena itu, kehadiran pemerintah yang  sekuler menghasilkan aturan dan kebijakan yang sekuler pula. Ini jelas sangat merugikan umat Islam.

Berbeda dengan negara yang berlandaskan akidah Islam. Negara Islam menyandarkan seluruh aturan dan kebijakannya pada Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karenanya, peran negara hadir sebagai penyelenggara syariah Islam. Dengan demikian, peran negara sangat penting untuk melindungi rakyat dari segala hal yang diharamkan. Ini karena dalam Islam telah ditentukan dengan rinci tentang apa saja yang diharamkan atau dihalalkan. Penentuan halal dan haram ini didasarkan pada dalil-dalil syariat, bukan pada akal manusia, hawa nafsu, kemanfaatan, ataupun ekonomi materialistik.

Dalam Islam, negaralah yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia itu halal. Jadi, layanan kehalalan produk itu merupakan tanggung jawab negara, bukan produsen. Layanan ini diberikan oleh negara dengan biaya murah atau bahkan gratis.

Kehalalan dan ketoyyiban makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat dijamin oleh negara melalui penugasan para qodhi hisbah untuk melakukan pengawasan rutin ke pasar-pasar dan tempat-tempat produksi maupun distribusi produk pangan maupun barang konsumsi lainnya, tempat pemotongan hewan, ataupun gudang-gudang makanan.

Mereka bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan tidak ada kecurangan dan manipulasi produk.

Bila terjadi peredaran barang haram di pasaran, baik pelakunya muslim atau nonmuslim, maka negara akan menjatuhkan sanksi ta'zir pada mereka.

Bagi ahli zimmah (kafir zimmi), negara membebaskan mereka mengonsumsi makanan atau minuman menurut agama mereka. Namun, produk-produk tersebut hanya boleh diperjualbelikan di antara mereka saja, bukan di toko ataupun di pasar-pasar umum.

Penerapan syariat oleh negara yang menjalankan sistem hidup Islam benar-benar memberikan kepastian perlindungan dan keamanan, serta rasa tenang dan tentram dalam jiwa seluruh rakyat negara bersistem Islam. Ini karena seluruh umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam kaffah oleh negara.
Wallahu 'alam bisshawab.




Oleh: Siti Rini Susanti
Sahabat Tinta Media

Kapitalisme-Demokrasi Mengerdilkan Potensi Remaja Islam, Khilafah Solusi Terdepan




Tinta Media - Belakangan ini sedang viral boneka Labubu yang banyak diserbu oleh Gen-Z secara menggebu-gebu, walaupun harganya mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Boneka ini menjadi viral sejak idol K-Pop, Lisa Blackpink memamerkannya di akun media sosial miliknya. Sejak saat itulah, para Gen-Z tak mau ketinggalan untuk mendapatkan boneka Labubu agar menjadi bagian dari tren global yang telah dipopulerkan oleh sosok yang sangat diidolakan.

Terkait ”demam” Labubu yang menyerbu masyarakat, sosiolog Universitas Airlangga Nur Syamsiyah SSosio MSc mengatakan bahwa daya tarik produk populer sering kali terletak pada nilai eksklusivitas, keterbatasan produksi, dan keterkaitannya dengan budaya pop yang memiliki basis penggemar. Hal itu menciptakan persepsi bahwa memiliki Labubu berarti turut menjadi bagian dari tren global yang dipopulerkan sosok yang sangat diidolakan. (Jawa Pos, 13/10/2024)

Gen-Z dan FOMO

Inilah yang disebut dengan fenomena FOMO (Fear of Missing Out) alias takut ketinggalan dari tren yang sedang populer. Sikap FOMO seperti ini mayoritas ada dalam diri para Gen-Z. Saat ini mereka memasuki usia remaja yang labil, mudah terbawa arus. 

Apalagi sistem yang sedang diterapkan saat ini adalah kapitalisme-liberal yang memiliki asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sudah barang tentu, ini akan memunculkan gaya hidup negatif pada remaja, seperti hedonistik, materialistik, konsumeristik, gaul bebas, dan sebagainya.

Maka tak heran jika 'demam' Labubu dengan mudah menjangkiti kaum muda. Walaupun untuk mendapatkan sebuah benda kecil tersebut harus antre berdesakan serta merogoh kocek ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tetapi mereka rela melakukannya karena memang kesenangan dunia telah mendominasi hidup dan menjadikannya sebagai prioritas utama.

Pemuda adalah Agen Perubahan

Di balik sikapnya yang labil, remaja juga merupakan usia yang produktif. Potensi, semangat, dan energi mereka sedang berada dalam puncaknya. Kelebihan tersebut jika diarahkan dengan benar, akan menghasilkan produktivitas yang luar biasa pada diri remaja. 

Slogan "Pemuda adalah agent of change (agen perubahan)" bukanlah sesuatu yang utopis. Ingatkah dulu Ir Soekarno pernah berkata, "Berikan aku 10 pemuda, maka akan kuubah dunia!"

Kalimat tersebut muncul karena faktanya usia remaja memang se-produktif itu. Lihat saja Reformasi '98, siapa yang mencetuskan? Mahasiswa, pemuda! 

Apalagi jika kita berkaca pada masa lalu. Muhammad Al-Fatih, pemuda saleh berusia 21 tahun yang menjadi pemimpin pasukan Islam yang berhasil menghancurkan dan menembus benteng Konstantinopel yang selama berabad-abad lamanya gagal ditaklukan. Namun, ia dan pasukannya mampu menaklukannya.

Sistem Sekuler Mengebiri Potensi Pemuda

Memang, 'pengebirian' potensi pemuda pasti akan terjadi dalam sistem berasaskan sekularisme. Potensi remaja yang luar biasa tersebut bisa terkerdilkan hanya dengan adanya sikap FOMO. Mengapa ini bisa terjadi? Karena sistem Islam tidak diterapkan dalam kehidupan, sehingga ajaran Islam tidak menyentuh kaum muda. Ini mengakibatkan kaum muda tidak mengetahui apa sebenarnya tujuan hidup mereka.

Namun, nampaknya penguasa kita saat ini enggan mengarahkan potensi pemuda untuk kemajuan bangsa. Penguasa malah membiarkan pemuda kita terjerumus pada lingkaran materialistik yang tak bertepi. 

Di sisi lain, pemuda yang berprestasi selalu luput dari perhatian penguasa, apalagi pemuda yang berprestasi di bidang agama, seolah tak ada harganya. Namun, para pemuda gaul yang terbawa arus FOMO selalu saja menjadi topik yang asik untuk diperbincangkan. Penguasa pun diam seolah perbuatan tersebut dibenarkan. Miris!

Khilafah PR bagi Kaum Muslimin

Ketiadaan peran penguasa untuk melejitkan potensi Gen-Z sebagai agent of change menjadikan PR berat bagi kita sebagai kaum muslimin untuk memperjuangkan tegaknya sistem Islam (Khilafah Islamiyyah) yang menerapkan syari'at Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan. Dengan Khilafah, kehidupan menjadi berkah, dan para pemuda terselamatkan dari sekularisme-liberalisme yang menjerumuskannya dalam kefanaan dunia. 

Khilafah, sebagaimana dulu pernah ditegakkan selama 13 abad lamanya, memiliki sistem terbaik untuk melejitkan potensi pemuda, mengarahkan hidupnya sesuai tujuan penciptaan, dan mempersembahkan karya terbaik untuk umat dan Islam. Potensi inilah yang dibutuhkan untuk memperkokoh peradaban gemilang, sebagaimana yang pernah dicapai para pemuda pada masa kekhilafahan, khususnya pada masa Khilafah Abbasiyah. Insyaallah akan kembali terwujud di masa kekhilafahan selanjutnya, insyaallah. Allaahu a'lam bi ash-shawab.




Oleh: Annisa Amalia Farouq
(Aktivis Muslimah) 


Kamis, 31 Oktober 2024

Berhasilnya Kapitalisme Menjerat Muda Mudi Hidup Materialistik

Tinta Media - Saat ini fenomena gaya hidup telah menjadi suatu hal yang dijadikan tujuan dalam aktivitas kehidupan. Terkhusus pada kaum muda-mudi dari berbagai generasi yang tidak luput dalam jebakan arus gaya hidup materialistik.

Gaya hidup sudah menjadi hal yang wajib untuk di-upgrade pada setiap perubahan dan perkembangan masa saat ini. Maka hal ini menjadikan segelintir kaum muda-mudi berlomba-lomba dalam meng-upgrade gaya hidupnya sesuai dengan perubahan yang kian signifikan.

Dilansir dari KOMPAS.com, FOMO atau fear of missing out adalah gejala sosial yang timbul ketika seseorang tidak ingin ketinggalan dan tidak mau sendirian. Seseorang dapat bersikap FOMO karena pengaruh dari internet dan media sosial. Membuatnya ingin mendapatkan pengalaman yang dimiliki orang lain.

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) ini telah menjadi salah satu tren signifikan di kalangan generasi Z. Dengan kehadiran teknologi digital, terutama media sosial, kecenderungan untuk merasa tertinggal atau tidak terlibat dalam kegiatan yang dianggap penting menjadi semakin nyata. Dari perspektif komunikasi, FOMO mencerminkan dampak yang besar dari interaksi berbasis teknologi terhadap psikologi dan perilaku komunikasi individu, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.

Bukan tidak baik mengikuti perubahan zaman. Justru hal ini bisa menjadi perhatian penting. Namun perlu diketahui ada batasan yang harus diperhatikan untuk mengikuti semua perkembangan yang terjadi saat ini. Bagi kalangan ekonomi menengah ke atas bahwa hal menuruti gaya hidup terlihat mampu untuk dipenuhi. Tetapi tuntunan gaya hidup saat ini menimbulkan tekanan bagi semua kalangan bahkan tidak pandang bulu. Semua kalangan tergiur untuk memenuhi gaya hidup hedonisme ini.

Banyak kalangan yang masih tidak paham akan sisi gelap hedonisme. Sehingga hedonisme dianggap bersifat wajar bahkan menimbulkan kebahagiaan bagi yang mampu memenuhinya. Terkadang sampai rela dan nekad melakukan appaun demi memenuhi arus gaya hidup yang sesuai tren itu tadi. 

Satu hal yang mesti kita perhatikan adalah penyebab timbulnya gaya hidup hedonisme karena perkembangan zaman yang kian menuntut harus terpenuhi. Mungkin pada setiap orang akan berbeda dalam menghadapi situasi. Namun bukankah pada sebagian lain tidak dapat mengontrol kondisi yang ada sehingga menuntut untuk memenuhi gaya hidup.

Pada faktanya, tekanan gaya hidup saat ini berhasil membuat kalangan kaum muda rela melakukan hal apapun demi memenuhi gaya hidup. Pertanyaannya, lantas apakah kita merasa kebahagiaan hakiki berhasil didapatkan seusai gaya hidup terpenuhi ? Bukankah menuruti gaya hidup akan tidak ada habisnya untuk menuntut agar terpenuhi ?

Sebagai kaum muda, hendaknya kita harus membuka mindset yang lurus benar berkepanjangan. Untuk memikirkan bahwa tidak semua gaya hidup harus segera dipenuhi. Perlu untuk dilihat dan teliti apakah ada manfaat positif yang didapatkan.  Apakah itu justru memberikan dampak negatif yang menimbulkan timbulnya ambisi berlebihan hingga menambah tingkat stres atau bahkan overthinking dan merasa insecure bila tak segera memenuhi arus gaya hidup tersebut.  

Terkadang, gaya hidup muncul akibat arus budaya luar negeri yang terbiasa hidup have fun dan bebas, kini masuk ke lini dalam negeri yang awalnya tidak mengenal budaya have fun dan bebas. Alih-alih katanya perubahan buat jadi yang lebih baik. Tetapi gaya hidup membuat segelintir kalangan bisa tersesat dalam menjalani kehidupannya.

Bahkan tak jarang kebanyakan kalangan muslim saja terlupa akan ke mana seharusnya harta dibelanjakan. Melupakan perihal wajib untuk dipenuhi demi hawa nafsu duniawi.

Tampak nyata bahwa keberhasilan sistem kapitalisme yang menyesatkan umat dalam menjalani kehidupan dengan gaya hidup ala Baratnya. Tapi kita tidak sadar akan bahaya persepsi gaya hidup lebih penting untuk dipenuhi, padahal ini adalah suatu kerusakan yang menimpa kehidupan kita. Menjadikan kita sebagai umat tidak fokus akan tujuan-tujuan hidup kita serta tujuan penciptaan kita di dunia. Pada akhirnya kita tersibukkan untuk meraih hal-hal fana yang membuat kita makin jauh dari keberkahan rezeki Allah.

Berbeda halnya dengan gaya hidup sesuai aturan Islam yang tidak berlebihan seperti hedonisme. Dalam kehidupan aturan Islam semua benar-benar teratur sesuai pada koridornya. Setiap orang tidak akan tergila-gila pada kesenangan sesaat. Sebab tolak ukur setiap perbuatannya ialah terikat pada hukum syara. Dan syara itu datang nya dari Allah. Jika ditemukan suatu tren terkini tidak bermanfaat serta mendatangkan mudharat, maka Islam dengan tegas melarangnya. Dengan adanya ketaatan serta kesadaran iman dalam di umat, ia tak akan melakukannya. Apalagi syariat melarangnya.

Sistem kehidupan Islam adalah suatu aturan yang sempurna dan paripurna bagi seluruh alam tanpa terkecuali. Namun saat sekarang tidak banyak yang tahu bahwa ada suatu sistem yang akan berhasil membuat rakyatnya sejahtera sebab semakin terasa efek dari sekularisme ( pemisahan agama dari kehidupan) di tengah-tengah umat. Maka ini lah waktunya bagi kita untuk mendakwahkan Islam Kaffah agar umat terselamatkan dari ngerinya arus pemikiran sesat ala kapitalisme dan kufur.

Wallahu a'lam bisshhowwab.

Oleh : Marsya Hafidzah Z., Mahasiswi Kebidanan

Fenomena FOMO Gen Z dalam Sistem Kapitalisme

Tinta Media - Gen Z kembali dipenuhi dengan fenomena baru, yakni Fear of Missing Out (FOMO). Fenomena ini mengharuskan Gen  Z bersifat materialistik. Jika tidak ikut tren, maka dianggap tidak keren. Tak heran, banyak Gen Z yang sengaja menjerumuskan dirinya ke dalam hal tersebut.

Dikutip dari kompas.com, Public & Government Relation Manager 360Kredi, Habriyanto Rosyidi S mengatakan bahwa  dominasi anak muda yang kini memuncaki populasi membawa dampak positif bagi dunia kerja. Namun di sisi lain, gaya hidup anak muda yang cenderung merasa takut tertinggal atau fear of missing out (FOMO) menjadi tantangan tersendiri, khususnya bagi kesehatan finansial.

Harbiyanto juga menerangkan bahwa gaya hidup FOMO, YOLO (you only live once) dan FOPO (fear of other people’s opinion) menjadi salah satu faktor bagi permasalahan finansial anak muda saat ini jika tidak dapat dikelola dengan baik dan bijak. Sebab, hal tersebut menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan ketergantungan terhadap utang yang tidak produktif. (Jumat, 11/10/2024).

Dari berita di atas telas jelas bahwa FOMO telah menjadi salah satu tren signifikan di kalangan generasi Z. FOMO mencerminkan dampak besar atas interaksi berbasis teknologi, yaitu dampak terhadap psikologi individu dan perilaku komunikasi, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.

Satu satunya alasan yang menyebabkan generasi Z bermental materialistik adalah karena diterapkannya sistem sekuler kapitalis. Sistem ini mengajarkan bahwa hakikat kebahagiaan adalah dengan memiliki materi dan kekuasaan sebanyak-banyaknya. Sistem ini juga memberikan kebebasan pada setiap individu manusia. Maka, terlahirlah individu yang bersifat hedonisme dan konsumerisme.

Di sisi lain, Indonesia menjadikan sistem kapitalisme sebagai kiblat peradaban. Hal ini menjadikan Indonesia harus menciptakan regulasi yang menyesuaikan eksistensi sistem tersebut. Salah satunya adalah dengan menjerumuskan Gen Z pada lingkaran materialistik melalu sosial media. Alhasil, terciptalah gaya hidup generasi yang FOMO. 

Karena faktor-faktor inilah, terjadi pengabaian potensi Gen Z untuk berprestasi dan berkarya lebih baik. Selain itu, potensi mereka sebagai agen perubahan menuju kebaikan juga terhalagi. Dengan kata lain, Gen Z memiliki pengaruh yang kuat dalam merancang masa depan yang cemerlang.

Sebagaimana dalam Islam, pemuda dipandang memiliki potensi luar biasa. Pemuda juga dianggap memiliki kekuatan yang dibutuhkan umat. Terlebih dalam ranah perubahan, Gen Z dipercaya sebagai agen perubahan menuju kebangkitan Islam.

Dengan potensi yang dimiliki Gen Z, Islam akan mengasah dan melejitkan potensi tersebut dengan sistem terbaik, yakni dengan sistem pendidikan Islam, yang mengarahkan hidup seseorang sesuai dengan tujuan penciptaan, serta mempersembahkan karya terbaik untuk umat dan Islam. 

Di sisi lai,n tak hanya melejitkan potensi, Islam juga menanamkan syaksiyah islamiyah (kepribadian Islam) pada setiap individu generasi. Islam juga memahamkan kepada mereka hakikat kehidupan di dunia, yaitu meraih rida Allah semata. Sehingga, tidak mungkin ada individu yang FOMO seperti generasi saat ini.

Maka, potensi pemuda seperti inilah yang dibutuhkan untuk membangun kembali peradaban gemilang yang pernah dicapai umat Islam pada masa lalu dalam naungan Khilafah Islamiah. Wallahutaalaa'lamubisshawwab.



Oleh: Shofiyah Hilyah
Sahabat Tinta Media

Kamis, 24 Oktober 2024

Polemik Sertifikasi Halal dalam Kapitalisme


Tinta Media - Baru baru ini ramai perbincangan di kalangan masyarakat terkait sebuah video yang menyebut bahwa produk yang diberi nama 'tuyul', 'tuak', 'beer', dan 'wine' memperoleh sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementrian Agama.

Kendati demikian, BPJPH Kemenag juga menjelaskan bahwa sertifikasi halal tersebut diberikan bukan berkaitan dengan kehalalan produknya, melainkan penamaan produk. Ia juga mengimbau supaya masyarakat tidak perlu ragu terhadap jaminan kehalalan produk. BPJPH Kemenag juga menegaskan bahwa penamaan produk halal telah diatur oleh regulasi melalui SNI 99004:2021 terkait persyaratan umum pangan halal. Begitu juga dengan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020. 

Aturan tersebut menyatakan bahwa pendaftaran sertifikasi halal tidak dapat diajukan pada produk dengan nama yang bertentangan dengan syariat Islam. Namun kenyataannya, produk-produk tersebut masih bisa lulus sertifikasi halal. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama terkait 'boleh dan tidaknya' penamaan produk saja, tidak berkenaan dengan aspek kehalalan zat yang sudah dipastikan kehalalannya.

Begitulah model sertifikasi halal hari ini dalam sistem kapitalisme.  Asalkan zatnya halal, maka nama produk tidak perlu dipersoalkan. Padahal, hal tersebut berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan. Sebab, perkaranya adalah halal haramnya suatu benda yang dalam Islam hal ini merupakan persoalan prinsip. 

Dalam sistem hari ini, para pelaku usaha berupaya mendapat sertifikat halal bukan lagi karena takut kepada Allah dengan menjual dagangan tidak halal, melainkan untuk menarik publik, terutama konsumen muslim supaya tidak ragu membeli dagangannya. Ini terlepas apakah produk tersebut halal 100% atau halal dan haram telah bercampur sedemikian rupa.

Sertifikasi halal pun saat ini menjadi ladang bisnis. Dalam sistem kapitalisme, segala hal serba dikomersilisasi. Pelayanan kepada masyarakat pun selalu mengutamakan keuntungan sebesar-besarnya. Hal tersebut berkaitan erat dengan peran negara yang selalu hanya sebagai regulator atau fasilitator, apalagi sertifikasi halal ini berbatas waktu.

Sementara, di dalam Islam, negara mempunyai peran besar dalam mengurusi berbagai keperluan warganegaranya, terutama dalam hal menjaga akidah umat. Memberi jaminan kehalalan produk adalah sebuah hal yang fundamental karena berkaitan dengan kondisi manusia, baik di dunia juga di akhirat. Negara akan memberikan layanan tersebut dengan harga ringan, bahkan gratis, kemudian dilanjutkan dengan pengawasan secara berkala. Kalaupun ada syarat dan ketentuan yang berbayar, negara akan memberi kemudahan administrasi.

Dalam Islam,  produk yang beredar di pasaran sangat dijaga dan dijamin kehalalannya. Negara akan menugaskan Qodli Hisbah untuk senantiasa memeriksa dan memastikan tidak ada barang haram beredar, baik di pasar-pasar, di gudang pangan, pabrik, bahkan juga tempat pemotongan hewan.

Dengan ketelitian dan kerincian seperti ini, maka masyarakat dalam negara Islam tidak ragu dan merasa terjamin dalam mengonsumsi produk tanpa harus selalu mengecek label halal di setiap produk.

Selain itu, negara Islam juga akan memberikan edukasi kepada para pedagang dan setiap individu rakyat supaya sadar akan 'halal' dan mewujudkannya dalam kancah kehidupan dengan penuh kesadaran. Kesadaran tersebut didorong oleh keimanan.

Negara tidak akan membiarkan masyarakat memperoleh manfaat atau laba dari sesuatu yang tidak halal. Partisipasi masyarakat juga dibutuhkan untuk mengawasi halalnya berbagai macam produk yang beredar di tengah masyarakat. 

Untuk mempertegas aturan, negara akan memberikan sanksi kepada kalangan industri yang kedapatan memakai cara atau zat haram serta memproduksi barang haram. Negara juga memberikan sanksi kepada para pedagang yang masih memperjualbelikan barang haram kepada kaum muslimin. Bagi kaum muslimin yang mengonsumsi barang haram, mereka juga akan dikenai sanksi sesuai nas syariat.

Demikianlah gambaran kehidupan islami dari secuil penerapan hukum Islam. Bisa dibayangkan, bagaimana aman, sejahtera, dan tentramnya umat manusia ketika negara mengambil peran dan benar-benar mengayomi seluruh persoalan kehidupan. Maka, hari ini penting bagi kita untuk memahamkan umat sehingga kerinduan kita satu, yaitu hidup dalam naungan sistem Islam. Wallahu a'lam Bishawab.




Oleh: Nabilah Ummu Yazeed
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 19 Oktober 2024

Persoalan Sertifikasi Halal dalam Sistem Kapitalisme

Tinta Media - Belakangan ini masyarakat dikejutkan dengan adanya temuan Majelis Ulama Indonesia mengenai beredarnya produk pangan dengan nama-nama yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam, sementara produk-produk tersebut mendapatkan sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.

Mengenai hal ini, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Mamat Slamet Burhanuddin menjelaskan bahwa yang menjadi permasalahan adalah terletak pada pemberian nama produk bukan pada kehalalan fisik produknya. Jadi menurutnya produk  bersertifikasi halal sudah melalui proses mekanisme yang berlaku.

Selain itu berkenaan dengan penamaan produk pangan halal sudah diatur dalam ketentuan penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak bisa mendapatkan sertifikat halal. Peraturan ini tertuang dalam fatwa MUI nomor 44 tahun 2020, juga melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal.

Namun demikian tetap saja masih ada produk-produk pangan dengan nama-nama yang tidak patut seperti, tuyul, tuak, beer, dan wine, tetapi tetap mendapatkan sertifikasi halal baik dari Komisi Fatwa MUI ataupun dari Komite Fatwa Produk Halal.

Menurutnya hal itu dikarenakan adanya perbedaan pendapat terkait penamaan produk pangan halal sebagaimana yang disampaikan dalam pernyataan tertulisnya pada Kumparan, Kamis 3/10/2024. Disana dikatakan bahwa perbedaan itu sebatas tentang diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama untuk produk pangan, bukan pada kehalalan dzatnya maupun proses produksinya.

Sertifikasi halal terhadap produk dengan nama-nama benda yang diharamkan dalam syariat Islam memang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat saat ini. Mirisnya lagi, hal tersebut dianggap aman dan bukan masalah karena dzatnya halal, ditambah lagi dengan adanya self declare atau pernyataan sepihak terkait kehalalan produk yang dikeluarkan oleh pembuat produk itu sendiri. Tentu saja kehalalannya menjadi sangat diragukan.

Beginilah wajah sertifikasi halal dalam sistem sekuler kapitalisme. Penamaan produk tidak dilandaskan pada hukum halal dan haram dalam syariat Islam, meskipun nama-nama yang digunakan merupakan nama-nama dari produk tidak halal yang masih beredar di masyarakat. Tentu saja hal ini menjadi masalah bagi umat muslim, status halal dan haram suatu benda ataupun perbuatan merupakan persoalan prinsip dalam Islam.

Kondisi ini merupakan keniscayaan dalam sebuah negara yang berdiri di atas sistem sekuler, negara tidak memberikan perlindungan terhadap akidah rakyatnya, terutama umat Islam.

Masalah yang dihadapi bukan hanya pada pemberian nama produk halal dengan nama benda yang diharamkan saja, tetapi lebih dari itu benda-benda yang diharamkannya itu sendiri bebas beredar di masyarakat. Negara hanya memberikan fasilitas sertifikasi halal berbayar untuk produk yang dianggap tidak terkategori haram melalui proses mekanisme yang berlaku. Ini untuk membantu masyarakat membedakan mana produk halal dan mana produk haram.

Tanggung jawab sertifikasi halal dilimpahkan pada produsen yang sanggup membayar biaya sertifikasi. Namun untuk para produsen yang belum mampu membayar biaya sertifikasi, maka meskipun produknya halal maka sampai kapan pun tidak akan mendapatkan sertifikat halal.

Dari segi konsumsi, negara benar-benar membebaskan konsumen muslim apakah mereka mengonsumsi produk halal ataupun haram. Di sini nyata benar bahwa negara bersistem kapitalis sekuler tidak memberikan perlindungan atas aqidah umat muslim.

Lebih dari itu, negara malah memanfaatkan sertifikasi halal ini sebagai ajang bisnis, karena timbulnya permintaan yang besar dari umat muslim atas sertifikasi halal dari suatu produk.

Kita masih ingat, kewenangan penerbitan sertifikat halal dari MUI diambil alih oleh Pemerintah, karena tidak bisa dipungkiri urusan sertifikat halal ini menghasilkan uang yang tidak sedikit, mengingat prosesnya harus dilakukan secara berkala, tidak hanya di awalnya saja.

Dari sini bisa dilihat bahwa pemerintah menyelenggarakan sertifikasi halal ini tidak berlandaskan atas dasar ketakwaan melainkan atas dasar bisnis dan keuntungan. Oleh karena itu, kehadiran pemerintah yang  sekuler menghasilkan aturan dan kebijakan yang sekuler pula,  yang mana ini jelas sangat merugikan umat muslim.

Berbeda dengan negara yang berlandaskan aqidah Islam. Negara Islam menyandarkan seluruh aturan dan kebijakannya pada Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karenanya peran negara hadir sebagai penyelenggara syariah Islam. Dengan demikian peran negara sangat penting untuk melindungi rakyat dari segala hal yang diharamkan. Karena dalam Islam telah ditentukan dengan rinci tentang apa saja yang diharamkan atau dihalalkan. Penentuan halal dan haram ini didasarkan pada dalil-dalil syariat bukan pada akal manusia, hawa nafsu, kemanfaatan, ataupun ekonomi materialistik.

Dalam Islam, negaralah yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia itu halal. Jadi layanan kehalalan produk itu merupakan tanggung jawab negara bukan produsen. Layanan ini diberikan oleh negara dengan biaya murah atau bahkan gratis.

Kehalalan dan ketoyyiban makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat dijamin oleh negara melalui penugasan para qodhi hisbah untuk melakukan pengawasan rutin ke pasar-pasar dan tempat-tempat produksi maupun distribusi produk pangan maupun barang konsumsi lainnya, tempat pemotongan hewan, ataupun gudang-gudang makanan.

Mereka bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan tidak ada kecurangan dan manipulasi produk.

Bila terjadi peredaran barang haram di pasaran baik pelakunya muslim atau non muslim maka negara akan menjatuhkan sanksi ta'zir pada mereka.

Bagi ahli dzimmah (kafir dzimmi) negara membebaskan mereka mengonsumsi makanan atau minuman menurut agama mereka, tetapi produk-produk tersebut hanya boleh diperjualbelikan diantara mereka saja, bukan di toko ataupun di pasar-pasar umum.

Penerapan syariat oleh negara yang menjalankan sistem hidup Islam, benar-benar memberikan kepastian perlindungan dan keamanan serta rasa tenang dan tenteram dalam jiwa seluruh rakyat negara bersistem Islam. Karena seluruh umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam kaffah oleh negara.

Wallahu 'alam bisshowab.

Oleh: Siti Rini Susanti, Sahabat Tinta Media 

Rabu, 09 Oktober 2024

UMKM Was-Was, Middle Income Terdegradasi Imbas Sistem Kapitalisme



Tinta Media - UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) merupakan kegiatan usaha rumah tangga yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, kontribusi UMKM terhadap PDB Nasional sebesar 60,5 persen. Artinya, UMKM di Indonesia  sangat potensial untuk dikembangkan lebih besar lagi. Namun sayangnya, kini pelaku UMKM tengah was-was menghadapi fenomena penurunan daya beli masyarakat.

Menurut Sekda Kabupaten Bandung Cakra Amiyana, pelaku dan industri kecil menengah (IKM) harus berhati-hati menyikapi perkembangan yang terjadi di sektor ekonomi. Saat ini kelompok middle income (berpendapatan menengah atas) yang berpenghasilan 5000 US Dollar per tahun jumlahnya cukup besar, yakni 60,43 % dan sebagian sudah terdegradasi. Dampaknya adalah daya beli masyarakat mengalami penurunan.

Persoalan di sektor perekonomian ini bukanlah hal yang baru terjadi. Kegigihan masyarakat untuk bangkit dari kesulitan ekonomi dengan membuka usaha rumahan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat lainnya, nyatanya tak sepenuhnya mendapat dukungan dari penguasa. Salah satunya pelaku UMKM yang sejatinya mengurangi jumlah pengagguran di negeri ini. Di tengah situasi menurunnya daya beli masyarakat middle income, pelaku UMKM dianjurkan untuk meningkatkan mutu agar bersaing dengan produk-produk perusahaan besar. 

Negara harusnya hadir memberikan solusi pasti untuk mengatasi permasalahan ini. Sayangnya, negara hanya menjadi regulator saja, tidak memberikan jaminan penuh pada pelaku usaha kecil untuk bertahan, kecuali pelaku usaha tersebut kuat dalam permodalan. 

Solusi tambal sulam yang disuguhkan penguasa dalam sistem kapitalisme bukan hal baru. Penguasa lebih berpihak pada para kapitalis dan senantiasa memfasilitasi konsumen high income  (berpenghasilan besar).

Sedangkan masyarakat middle income yang sebagian telah terdegradasi, mereka  melakukan aksi menunda konsumsi atau menunda pembelian sambil menunggu keadaan ekonomi stabil. Akhirnya, masyarakat middle income ini melakukan 'wait and see'. Dampaknya adalah daya beli menurun. Penurunan daya beli ini tidak hanya mengancam pelaku UMKM saja, namun juga masyarakat secara umum.

Jika persoalan ini tidak segera diatasi oleh negara, maka masyarakat middle income (berpenghasilan menengah) ini akan berstatus menjadi masyarakat low income (berpenghasilan rendah). Pastinya persoalan ini akan menambah angka kemiskinan,  pengangguran. Badai PHK-pun akan terjadi. 

Sementara itu, di saat rakyat terpuruk, kekayaan penguasa dari tahun ke tahun malah semakin menggemuk. Hal ini semakin membuktikan gagalnya penguasa mewujudkan kesejahteraan rakyat. 

Penerapan sistem ekonomi kapitalisme adalah sumber masalah dari persoalan menurunnya daya beli masyarakat middle income. Sistem ini telah merusak dan memiliki daya rusak yang luar biasa terhadap sendi-sendi kehidupan bangsa dan juga sendi-sendi ekonomi negeri ini. Selama sistem ini masih diterapkan, maka selama itu pula perekonomian masyarakat tidak akan pernah mencapai kata sejahtera.

Berbeda halnya ketika sistem ekonomi Islam diterapkan dalam mengatur perekonomian negara. Sistem yang berbasis akidah Islam ini mengedepankan filosofi ekonomi berkeadilan dan tolong-menolong. Selain itu, penerapan syariah Islam menjadikan penguasa yang bertakwa, senantiasa menjadikan kemakmuran rakyat menjadi prioritas utama, jauh dari mencari keuntungan pribadi ataupun kelompok.

Kemudian sistem Islam akan menerapkan tiga prinsip ekonomi, yaitu pengaturan kepemilikan, pengelolaan, dan pendistribusian harta. Jika ketiga prinsip ini diterapkan, maka ketimpangan sosial dan ekonomi bisa dihindari. Seluruh masyarakat bisa merasakan keberkahan dan keadilan. 

Negara dalam sistem Islam memosisikan diri sebagai junnah (perisai) bagi umat. Upaya yang keras akan dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Negara akan mengelola harta kepemilikan umum secara mandiri tanpa melibatkan pihak asing ataupun swasta, dan mendistribusikan hasilnya kepada rakyat dalam bentuk pemberian subsidi dan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok publik.

Dalam sistem Islam, jaminan kepada pelaku usaha akan benar-benar diberikan secara optimal. Urgensi penerapan sistem Islam dalam naungan khilafah adalah menjaga hak hidup umat manusia dari keterpurukan. Salah satunya adalah ekonomi. Hanya Islam dengan sistemnya yang sahih, termasuk di dalamnya sistem ekonomi, mampu melindungi dan menjaga stabilitas ekonomi masyarakat hingga mencapai kata sejahtera. Wallahu'alam bishawab.





Oleh:  Neng Mae
Sahabat Tinta Media 



Rabu, 25 September 2024

Banjir Awal Musim Hujan, Bukti Lemahnya Mitigasi di Sistem Kapitalisme



Tinta Media - Hujan lebat pertama di awal musim ini menimbulkan bencana banjir di sejumlah kecamatan di Kabupaten Bandung. Banjir di beberapa titik di Kabupaten Bandung disebabkan karena hujan yang turun sejak Selasa sore, terus-menerus sampai malam (10-9-2024).

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung merilis kurang lebih 7 titik bencana banjir di Kabupaten Bandung dengan daerah terparah di Kecamatan Dayeuhkolot, Kecamatan Katapang dan Bojongsoang. 

Bencana banjir ini disebabkan karena Sungai Citarum tak lepas dari krisis Daerah Aliran Sungai (DAS). Citarum dan anak-anak sungainya mengalami penyempitan badan sungai, sedimentasi oleh lumpur dan sampah. 

Selain itu, banjir juga disebabkan karena alih fungsi lahan. Kawasan yang semestinya menjadi tangkapan air, kini justru terdesak oleh hutan beton. Maka, air hujan tersebut tak terserap dan mengalir ke dataran lebih rendah, yaitu Bandung Selatan, seperti kawasan Dayeuhkolot dan sekitarnya.

Bencana banjir sudah berulang kali terjadi, bahkan sebelum memasuki musim hujan. Padahal, berbagai antisipasi sudah dilakukan oleh pemerintah untuk menghadapi musim hujan, tetapi tidak membuahkan hasil, bahkan terkesan tidak serius. 

Hal ini terjadi karena sistem yang diadopsi penguasa adalah sistem kapitalisme, dalam sistem ini kepemimpinannya berbasis untung rugi, bukan mengurus rakyat.

Di sisi lain, sentralisasi pembangunan di kota membuat fenomena urbanisasi. Akibatnya, tata kelola pemukiman menjadi tidak beraturan. Padahal, kondisi ini membuat sistem drainase menjadi buruk sehingga terjadi banjir.

Prinsip kebebasan kepemilikan kapitalisme membuat para kapitalis bebas menguasai kekayaan alam. Akibatnya, mereka leluasa melakukan alih fungsi lahan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan.

Ini sungguh jauh berbeda dengan sistem Islam ketika menangani masalah banjir. Dalam sistem Islam, negara adalah periayah (pengatur urusan). Negara akan mengurus rakyat dengan kebijakan yang canggih, efisien, tepat, dan cepat. Untuk mengatasi masalah banjir, sistem Islam akan menetapkan upaya preventif dan kuratif.

Upaya preventif dilakukan sebelum terjadi bencana, di antara kebijakannya ialah:

Pertama, memetakan daerah-daerah rendah dan rawan terkena genangan air akibat rob atau kapasitas serapan tanah yang minim. Selanjutnya, sistem Islam akan melarang masyarakat membuat pemukiman di daerah tersebut. Jika sudah terlanjur terdapat pemukiman, maka akan direlokasi ke tempat yang lebih aman, nyaman, dan tetap mudah dalam menjangkau akses kebutuhan hajat mereka.

Kedua, memetakan hutan sebagai daerah buffer dan tidak akan melakukan alih fungsi lahan secara berlebihan hingga bisa merusak lingkungan. Selain itu, akan dibuat serapan air di daerah-daerah, seperti membangun bendungan, kanal, dan sejenisnya untuk menampung air hujan.

Ketiga, membuat kebijakan tentang master plan pembangunan maupun pembukaan pemukiman bahwa bangunan tersebut harus menyertakan variable-variable drainase, penyediaan daerah serapan, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya.

Keempat, melakukan pemeliharaan sungai dengan cara mengeruk lumpur-lumpur di sungai atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan.

Kelima, melakukan edukasi bencana kepada warga negara agar tanggap dan sigap ketika terjadi bencana.

Setelah upaya preventif optimal dilakukan dan kemudian qadha Allah tetap terjadi banjir, maka sistem Islam akan melakukan upaya kuratif, yakni : 

Pertama, sistem Islam akan segera melakukan evakuasi para korban dan memindahkan mereka ke tempat yang aman dan nyaman. Biro at Thawari dari Departemen Kemaslahatan Umat akan terjun dengan cepat untuk menyelamatkan para korban. Biro ini pun telah dibekali dengan kemampuan rescue terbaik dan peralatan canggih untuk evakuasi para korban.

Kedua, sistem Islam meminta para ulama untuk membina warga terdampak agar dikuatkan nafsyiah (mental) mereka, sehingga para korban tetap sabar dan ikhlas menghadapi bencana.

Demikianlah upaya mitigasi dan pembangunan fasilitas dari sistem Islam untuk memberikan keselamatan dan kenyamanan kepada rakyat dari bahaya banjir. Wallahualam bissawab.


Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Senin, 16 September 2024

Kapitalisme Menggerus Kepentingan Masyarakat

Tinta Media - Dewasa ini, pembelian air bersih atau air minum dalam kemasan (AMDK) sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan masyarakat Indonesia dengan harga bervariasi. Padahal, jika merujuk pada Undang undang 1945. Air adalah kekayaan alam yang harus dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, sehingga seharusnya dapat diakses dan dinikmati secara gratis oleh semua warga negara.

Saat ini perusahaan air bersih atau AMDK di Indonesia, dominan dipegang oleh perusahaan asing dan perusahaan lokal yang besar milik para konglomerat. Mereka mendapat Izin pemerintah untuk mengelola sumber air dan menawarkan produk mereka kepada masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, artinya perusahaan tersebut hanya memproses air dan menerima keuntungan yang besar, sementara masyarakat Indonesia hanya menjadi konsumen akhir. Tentu saja ini sangat merugikan bagi masyarakat Indonesia.

Menurut mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, kebiasaan membeli air kemasan, seperti galon, menggerus pendapatan secara tidak sadar karena mengandalkan segala sesuatunya pada air galon dan air dalam kemasan lainnya. Hal ini tidak terjadi di beberapa negara maju, warga kelas menengah terbiasa mengonsumsi air minum yang disediakan pemerintah di tempat umum, sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan uang.

(https://moneytalk.id/2024/09/01)

Di Indonesia, kecenderungan membeli air bersih dalam kemasan, terutama galon, sudah menjadi budaya sulit diubah, meskipun banyak sumber daya alam seperti mata air dan gunung yang bisa menghasilkan air bersih yang sangat baik untuk kesehatan. Sayangnya, masih banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki akses yang memadai terhadap sumber air bersih. Menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia, hanya sekitar 60% populasi Indonesia yang memiliki akses ke air bersih yang layak, sisanya harus bergantung pada sumber air yang berpotensi mengandung kuman atau bahan kimia berbahaya untuk dikonsumsi.

Kerusakan semacam ini tidak terjadi secara alamiah, melainkan terkait dengan sistem ekonomi politik yang hanya fokus pada keuntungan individu, yaitu kapitalisme. Sebuah sistem ekonomi kapitalisme didasarkan pada kepemilikan individu atau perusahaan atas sumber daya dan produksi. Dalam sistem ini, tujuan utama adalah memaksimalkan keuntungan. Meski dengan cara mengeksploitasi alam dan merusak keseimbangan ekologisnya.

Kapitalisme juga secara terang-terangan menghilangkan paradigma air sebagai hak dasar atau kebutuhan primer bagi masyarakat. Di Indonesia, misalnya, masyarakat harus membeli air layak konsumsi yang dikelola oleh perusahaan swasta atau pelat merah. Sementara Masifnya pembangunan, deforestasi, dan buruknya budaya masyarakat juga telah berdampak pada kerusakan kualitas air.

Namun pemerintah saat ini malah menyerahkan tanggung jawab pengelolaan air kepada korporasi dengan menawarkan proyek investasi di sektor air, yang dipastikan berorientasi keuntungan dan bukan pelayanan yang sejatinya menjadi tugas kepemimpinan. Investasi yang hanya menguntungkan para pemilik modal, bahkan membuka jalan penjajahan, adalah hasil dari paradigma kapitalisme liberal yang diterapkan saat ini.

Dengan demikian masalah yang timbul saat ini tidak bisa dipisahkan dari kebijakan pemerintah yang masih terus menjadikan  kapitalisme sebagai asas bernegara. Sementara dalam sistem tersebut, peran negara sangatlah lemah, karena tidak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan ekonomi, hanya sebatas memberikan kerangka hukum dan peraturan yang diperlukan dalam menunjang kepentingan kapitalisme. Padahal, pengelolaan air seharusnya menjadi tanggung jawab negara, termasuk membangun  infrastruktur, fasilitas dan sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi seluruh populasi masyarakat secara cuma-cuma

Jika kita menilik pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.

Hal tersebut senada dengan cara pandang Islam mengenai sumber daya air, yang termasuk dalam kepemilikan umum. Dan tidak boleh diperdagangkan atau dikomersialisasi. Dalam salah satu hadits, Rasulullah Saw menyampaikan bahwa umat muslim bersatu dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.

Pada era Islam, pengelolaan air menjadi sangat penting dan menjadi fokus utama, terlebih karena wilayah-wilayah yang didominasi Islam pada saat itu berada di daerah yang kering dan sangat membutuhkan akses air. Oleh karena itu, peningkatan sistem pengelolaan air menjadi salah satu kunci kemajuan peradaban pada masa tersebut.

Beberapa sistem pengelolaan air yang dikembangkan pada masa Islam seperti sistem qanat, bawah tanah tunnel yang digunakan untuk mengalirkan air, juga iwans, bangunan terbuka yang digunakan untuk menampung dan menyaring air hujan. Di samping itu, sistem irigasi juga menjadi sangat penting dalam pengelolaan air pada masa tersebut, yang memungkinkan lahan-lahan pertanian ditanami dan dikelola dengan baik.

Teknik pengelolaan air seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Islam bisa dibilang sebagai cikal bakal teknologi modern pengelolaan air untuk saat ini. Meskipun telah berabad-abad lamanya, namun peninggalan-peninggalan tersebut masih berdiri dengan kokoh dan dapat digunakan sampai saat ini. Hal ini menunjukkan keahlian bangsa Muslim pada masa lalu dalam pengelolaan air yang sangat baik. Sehingga mampu membawa bangsanya pada peradaban yang maju dan menyejahterakan rakyatnya

Namun, akibat sistem ekonomi kapitalisme yang dipegang teguh oleh Indonesia menjadi penghalang dalam mencapai tujuan tersebut.

Maka solusi penyelesaiannya adalah meninggalkan sistem kapitalisme dan beralih ke sistem Islam, karena hanya dalam Islam aturan kepemilikan terbagi dengan jelas, di tambah lagi Islam juga telah terbukti, ketika memimpin dunia pada masa kejayaannya, memiliki  sistem pengelolaan air yang canggih dan berhasil menyediakan akses air terjamin untuk semua dan tidak dikomersialisasikan sebagai barang dagangan.

Wallahu alam.

Oleh: Indri Wulan Pertiwi, Aktivis Muslimah Semarang

Minggu, 08 September 2024

Viral, Tren ' Family is Scary', Buah Penerapan Sistem Kapitalisme.



Tinta Media - Dunia maya seakan tidak pernah sepi dari berbagai tren yang terus berganti. Setelah Marrie is Scary (Menikah itu Menakutkan), ternyata ada yang lebih mengerikan yaitu Family is Scary (Keluarga itu Menakutkan). Hal ini dibuktikan dari berbagai fakta yang terjadi dalam setiap harinya.

Dilansir Dari Prokal.co (24/8/2024), Teganya seorang anak kandung (AR) membunuh ibu (Hj RK) hingga meninggal dunia dengan melakukan penebasan pada leher menggunakan parang. Berbeda dengan di Pontianak, di hari yang sama pula, ibu tiri IF (24) melakukan pembunuhan terhadap anaknya NAA (6). Mirisnya, sebelum dibunuh, sang anak dimasukkan ke dalam karung untuk disiksa. Apalagi, NAA (6) sudah dikabarkan hilang 1 pekan yang lalu. Hal keji ini dilakukan dengan motif cemburu terhadap suaminya karena tidak perhatian kepada pelaku ketika hamil.

Berlanjut masih di hari yang sama, dilansir dari Metrotvnews (24/8/2024), warga Desa Kasugengan Kidul Kecamatan Depok Kabupaten Cirebon K (22), tega menghabisi nyawa ayah kandungnya, yaitu J (52) dan melukai adik perempuannya.
Mulanya, K melakukan penganiayaan terhadap adiknya belum diketahui. Alasannya, sang adik melaporkan hal tersebut kepada orang tuanya, yaitu J (52). Sang ayah mencoba menengahi masalah keduannya. Namun, K tidak bisa menerima masukan sang ayah, malah menusuk  dengan pisau dapur pada bagian kiri sebanyak tiga tusukan hingga membuat nyawa J tidak tertolong, sedangkan adiknya harus mendapat penanganan medis.

Sungguh miris, di dalam keluarga yang seharusnya terdapat kehangatan, kenyamanan, keamanan, hari ini tidak dapat dirasakan.

Sungguh, family is scary adalah fenomena yang krusial untuk segera diatasi mengingat hari ini banyak keluarga menjadi sangat menakutkan bagi keamanan diri sendiri. Tidak ada yang bisa menjamin kapan keluarga yang harmonis bisa berubah menjadi sangat menakutkan. Terlebih, tiga pelaku di atas adalah dari generasi pemuda yang harusnya membawa energi baru, masa depan baru, perubahan keluarga yang lebih cerah. Namun, ini malah menjadi salah satu oknum yang menghancurkan keluargannya sendiri di tengah proyek pemerintah menuju generasi emas 2045 yang nyatanya semakin hari semakin mengerikan perubahannya. 

Bukankah keluarga adalah sekolah pertama bagi manusia?
Memang, keluarga amatlah penting dalam hidup kita karena di sanalah kehidupan baru bermula, mulai dari harapan, keyakinan, pendidikan, hingga cita-cita. 

Apalagi, keluarga merupakan hal yang selalu kita perlukan, terutama dalam keadaan kepayahan. Merekalah yang merawat ketika kita dalam kondisi sakit, yang mendengarkan segala cerita random kita, yang menyemangati ketika berada dalam kondisi terpuruk, yang memberikan dorongan agar kita berhasil meraih cita-cita keinginan.

Namun, semua itu terenggut dan sirna karena penerapan sekulerisme kapitalisme hari ini yang keberadaannya telah membuat hubungan keluarga kalah dengan materi. Bahkan, saking capek mengejarnya, mereka merasakan dunia sangat pahit dan pelit, emosi menjadi meledak-ledak hingga lupa masih punya hubungan dengan keluarga. Tak jarang mereka memukul, menyiksa, bahkan membunuh sosok-sosok penting dalam hidup karena dipandang tidak bermanfaat, tidak bisa menghasilkan uang, apalagi penghargaan dan pujian. Keluarga hanya dianggap menambah beban kehidupan.

Alhasil, dalam sistem kapitalisme yang memisahkan antara agama dengan kehidupan, perbuatan-perbuatan tersebut amatlah wajar terjadi. Yang tercetak dalam sistem ini adalah manusia yang bersumbu pendek, menghalalakan beragam cara, dan sering ceroboh dalam mengambil keputusan masa depannya.

Namun, adanya fenomena family is scary ini sebenarnya juga tidak terlepas dari peran negara yeng telah memberlakukan sistem kapitalisme ini dalam semua lini kehidupan. Inilah sebab utama keluarga hari ini sangat rentan akan bunuh-membunuh. 

Negara sangat berperan dalam menghilangkan ataupun merusak hubungan antar anggota keluarga, karena sumber daya manusia dapat terlihat dari kualitas sistem pendidikan dari sebuah negara, baik kegagalan maupun keberhasilannya. Begitu juga kegagalan sistem ekonomi dan politiknya.

Apakah mungkin mengganti kembali dari tren 'family is scary' menjadi 'family is happy' lagi?
Akan sangat mungkin jika sistem kehidupan ini diganti dengan Islam. Hal ini dikarenakan Islam adalah rahmatan lil alamin. Tujuannya hanya satu, yaitu menghantarkan diri semakin dekat dengan-Nya. Pada akhirnya, negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh (kaffah) akan betul-betul menjadi raa'in (pelindung) bagi rakyat dan menjaga fungsi atau peran keluarga yang harmonis.

Pengaturan politik negara di semua lini kehidupan dengan sistem Islam inilah yang akan melahirkan beragam kebijakan, aturan yang mengikat bagi setiap individu yang hidup di dalamnya, baik sistem pendidikan berkualitas, berasas akidah, sehingga menjaga hubungan keluarga tetap harmonis. Ini karena Islam mengajarkan banyak hal, mulai dari menjaga lisan karena lidah adalah pedang, tutur kata memengaruhi kejiwaan secara individu maupun sosial.

Oleh karenanya, bahasa memiliki peran kuat dalam mempentuk pribadi seseorang.
Jauh sebelum ditemukan teori general semantik, Nabi Ibrahim telah mencontohkan kepada keturunannya untuk bertutur kata dengan baik. Sebagaimana doanya kepada Allah Swt. dalam terjemahan surat Asy Syuara ayat 84:

"Jadikanlah aku sebagai buah tutur yang baik di kalangan orang-orang (yang datang) kemudian."

Ketika marah, maka pendidikan Islam mengajari bagaimana meredamnya dari mulai diam, ganti posisi duduk, berwudhu, salat, bahkan nasihat.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya:

"Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga." (HR Ath-Thabrani). 

Tak hanya itu, sistem ekonomi dengan pengaturannya yang membagi harta dalam 3 pos kepemilikan membuat manusia yang hidup di dalamnya tersuasanakan untuk terus taat di setiap tempat. Mereka tidak khawatir setiap saat untuk mencari materi karena dapat dicover oleh negara bersama melimpahnya lapangan pekerjaan yang tersedia, sehingga pengaturan sosial akan mudah terkoordinir karena pribadi-pribadinya tenang dan menggunakan akalnya untuk melakukan keputusan yang tepat untuk masa depan.

Karena itu, memang negara bersistem Islam kaffahlah yang bisa memenangkan hati masyarakat untuk menuju kesejahteraan yang sebenarnya.
Wallahualam Bisawab.




Oleh : Wilda Nusva Lilasari S. M.
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab