Jumat, 15 November 2024
Senin, 11 November 2024
Kriminalisasi Guru, Buah Pahit Kapitalisme Demokrasi
Jumat, 01 November 2024
Sertifikasi Halal di Sistem Kapitalis?
Kapitalisme-Demokrasi Mengerdilkan Potensi Remaja Islam, Khilafah Solusi Terdepan
Kamis, 31 Oktober 2024
Berhasilnya Kapitalisme Menjerat Muda Mudi Hidup Materialistik
Tinta Media - Saat ini fenomena gaya hidup telah menjadi suatu hal yang dijadikan tujuan dalam aktivitas kehidupan. Terkhusus pada kaum muda-mudi dari berbagai generasi yang tidak luput dalam jebakan arus gaya hidup materialistik.
Gaya hidup sudah menjadi hal yang wajib untuk di-upgrade pada setiap perubahan dan perkembangan masa saat ini. Maka hal ini menjadikan segelintir kaum muda-mudi berlomba-lomba dalam meng-upgrade gaya hidupnya sesuai dengan perubahan yang kian signifikan.
Dilansir dari KOMPAS.com, FOMO atau fear of missing out adalah gejala sosial yang timbul ketika seseorang tidak ingin ketinggalan dan tidak mau sendirian. Seseorang dapat bersikap FOMO karena pengaruh dari internet dan media sosial. Membuatnya ingin mendapatkan pengalaman yang dimiliki orang lain.
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) ini telah menjadi salah satu tren signifikan di kalangan generasi Z. Dengan kehadiran teknologi digital, terutama media sosial, kecenderungan untuk merasa tertinggal atau tidak terlibat dalam kegiatan yang dianggap penting menjadi semakin nyata. Dari perspektif komunikasi, FOMO mencerminkan dampak yang besar dari interaksi berbasis teknologi terhadap psikologi dan perilaku komunikasi individu, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.
Bukan tidak baik mengikuti perubahan zaman. Justru hal ini bisa menjadi perhatian penting. Namun perlu diketahui ada batasan yang harus diperhatikan untuk mengikuti semua perkembangan yang terjadi saat ini. Bagi kalangan ekonomi menengah ke atas bahwa hal menuruti gaya hidup terlihat mampu untuk dipenuhi. Tetapi tuntunan gaya hidup saat ini menimbulkan tekanan bagi semua kalangan bahkan tidak pandang bulu. Semua kalangan tergiur untuk memenuhi gaya hidup hedonisme ini.
Banyak kalangan yang masih tidak paham akan sisi gelap hedonisme. Sehingga hedonisme dianggap bersifat wajar bahkan menimbulkan kebahagiaan bagi yang mampu memenuhinya. Terkadang sampai rela dan nekad melakukan appaun demi memenuhi arus gaya hidup yang sesuai tren itu tadi.
Satu hal yang mesti kita perhatikan adalah penyebab timbulnya gaya hidup hedonisme karena perkembangan zaman yang kian menuntut harus terpenuhi. Mungkin pada setiap orang akan berbeda dalam menghadapi situasi. Namun bukankah pada sebagian lain tidak dapat mengontrol kondisi yang ada sehingga menuntut untuk memenuhi gaya hidup.
Pada faktanya, tekanan gaya hidup saat ini berhasil membuat kalangan kaum muda rela melakukan hal apapun demi memenuhi gaya hidup. Pertanyaannya, lantas apakah kita merasa kebahagiaan hakiki berhasil didapatkan seusai gaya hidup terpenuhi ? Bukankah menuruti gaya hidup akan tidak ada habisnya untuk menuntut agar terpenuhi ?
Sebagai kaum muda, hendaknya kita harus membuka mindset yang lurus benar berkepanjangan. Untuk memikirkan bahwa tidak semua gaya hidup harus segera dipenuhi. Perlu untuk dilihat dan teliti apakah ada manfaat positif yang didapatkan. Apakah itu justru memberikan dampak negatif yang menimbulkan timbulnya ambisi berlebihan hingga menambah tingkat stres atau bahkan overthinking dan merasa insecure bila tak segera memenuhi arus gaya hidup tersebut.
Terkadang, gaya hidup muncul akibat arus budaya luar negeri yang terbiasa hidup have fun dan bebas, kini masuk ke lini dalam negeri yang awalnya tidak mengenal budaya have fun dan bebas. Alih-alih katanya perubahan buat jadi yang lebih baik. Tetapi gaya hidup membuat segelintir kalangan bisa tersesat dalam menjalani kehidupannya.
Bahkan tak jarang kebanyakan kalangan muslim saja terlupa akan ke mana seharusnya harta dibelanjakan. Melupakan perihal wajib untuk dipenuhi demi hawa nafsu duniawi.
Tampak nyata bahwa keberhasilan sistem kapitalisme yang menyesatkan umat dalam menjalani kehidupan dengan gaya hidup ala Baratnya. Tapi kita tidak sadar akan bahaya persepsi gaya hidup lebih penting untuk dipenuhi, padahal ini adalah suatu kerusakan yang menimpa kehidupan kita. Menjadikan kita sebagai umat tidak fokus akan tujuan-tujuan hidup kita serta tujuan penciptaan kita di dunia. Pada akhirnya kita tersibukkan untuk meraih hal-hal fana yang membuat kita makin jauh dari keberkahan rezeki Allah.
Berbeda halnya dengan gaya hidup sesuai aturan Islam yang tidak berlebihan seperti hedonisme. Dalam kehidupan aturan Islam semua benar-benar teratur sesuai pada koridornya. Setiap orang tidak akan tergila-gila pada kesenangan sesaat. Sebab tolak ukur setiap perbuatannya ialah terikat pada hukum syara. Dan syara itu datang nya dari Allah. Jika ditemukan suatu tren terkini tidak bermanfaat serta mendatangkan mudharat, maka Islam dengan tegas melarangnya. Dengan adanya ketaatan serta kesadaran iman dalam di umat, ia tak akan melakukannya. Apalagi syariat melarangnya.
Sistem kehidupan Islam adalah suatu aturan yang sempurna dan paripurna bagi seluruh alam tanpa terkecuali. Namun saat sekarang tidak banyak yang tahu bahwa ada suatu sistem yang akan berhasil membuat rakyatnya sejahtera sebab semakin terasa efek dari sekularisme ( pemisahan agama dari kehidupan) di tengah-tengah umat. Maka ini lah waktunya bagi kita untuk mendakwahkan Islam Kaffah agar umat terselamatkan dari ngerinya arus pemikiran sesat ala kapitalisme dan kufur.
Wallahu a'lam bisshhowwab.
Oleh : Marsya Hafidzah Z., Mahasiswi Kebidanan
Fenomena FOMO Gen Z dalam Sistem Kapitalisme
Kamis, 24 Oktober 2024
Polemik Sertifikasi Halal dalam Kapitalisme
Sabtu, 19 Oktober 2024
Persoalan Sertifikasi Halal dalam Sistem Kapitalisme
Tinta Media - Belakangan ini masyarakat dikejutkan dengan adanya temuan Majelis Ulama Indonesia mengenai beredarnya produk pangan dengan nama-nama yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam, sementara produk-produk tersebut mendapatkan sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.
Mengenai hal ini, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Mamat Slamet Burhanuddin menjelaskan bahwa yang menjadi permasalahan adalah terletak pada pemberian nama produk bukan pada kehalalan fisik produknya. Jadi menurutnya produk bersertifikasi halal sudah melalui proses mekanisme yang berlaku.
Selain itu berkenaan dengan penamaan produk pangan halal sudah diatur dalam ketentuan penggunaan nama, bentuk, dan kemasan produk yang tidak bisa mendapatkan sertifikat halal. Peraturan ini tertuang dalam fatwa MUI nomor 44 tahun 2020, juga melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal.
Namun demikian tetap saja masih ada produk-produk pangan dengan nama-nama yang tidak patut seperti, tuyul, tuak, beer, dan wine, tetapi tetap mendapatkan sertifikasi halal baik dari Komisi Fatwa MUI ataupun dari Komite Fatwa Produk Halal.
Menurutnya hal itu dikarenakan adanya perbedaan pendapat terkait penamaan produk pangan halal sebagaimana yang disampaikan dalam pernyataan tertulisnya pada Kumparan, Kamis 3/10/2024. Disana dikatakan bahwa perbedaan itu sebatas tentang diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama untuk produk pangan, bukan pada kehalalan dzatnya maupun proses produksinya.
Sertifikasi halal terhadap produk dengan nama-nama benda yang diharamkan dalam syariat Islam memang menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat saat ini. Mirisnya lagi, hal tersebut dianggap aman dan bukan masalah karena dzatnya halal, ditambah lagi dengan adanya self declare atau pernyataan sepihak terkait kehalalan produk yang dikeluarkan oleh pembuat produk itu sendiri. Tentu saja kehalalannya menjadi sangat diragukan.
Beginilah wajah sertifikasi halal dalam sistem sekuler kapitalisme. Penamaan produk tidak dilandaskan pada hukum halal dan haram dalam syariat Islam, meskipun nama-nama yang digunakan merupakan nama-nama dari produk tidak halal yang masih beredar di masyarakat. Tentu saja hal ini menjadi masalah bagi umat muslim, status halal dan haram suatu benda ataupun perbuatan merupakan persoalan prinsip dalam Islam.
Kondisi ini merupakan keniscayaan dalam sebuah negara yang berdiri di atas sistem sekuler, negara tidak memberikan perlindungan terhadap akidah rakyatnya, terutama umat Islam.
Masalah yang dihadapi bukan hanya pada pemberian nama produk halal dengan nama benda yang diharamkan saja, tetapi lebih dari itu benda-benda yang diharamkannya itu sendiri bebas beredar di masyarakat. Negara hanya memberikan fasilitas sertifikasi halal berbayar untuk produk yang dianggap tidak terkategori haram melalui proses mekanisme yang berlaku. Ini untuk membantu masyarakat membedakan mana produk halal dan mana produk haram.
Tanggung jawab sertifikasi halal dilimpahkan pada produsen yang sanggup membayar biaya sertifikasi. Namun untuk para produsen yang belum mampu membayar biaya sertifikasi, maka meskipun produknya halal maka sampai kapan pun tidak akan mendapatkan sertifikat halal.
Dari segi konsumsi, negara benar-benar membebaskan konsumen muslim apakah mereka mengonsumsi produk halal ataupun haram. Di sini nyata benar bahwa negara bersistem kapitalis sekuler tidak memberikan perlindungan atas aqidah umat muslim.
Lebih dari itu, negara malah memanfaatkan sertifikasi halal ini sebagai ajang bisnis, karena timbulnya permintaan yang besar dari umat muslim atas sertifikasi halal dari suatu produk.
Kita masih ingat, kewenangan penerbitan sertifikat halal dari MUI diambil alih oleh Pemerintah, karena tidak bisa dipungkiri urusan sertifikat halal ini menghasilkan uang yang tidak sedikit, mengingat prosesnya harus dilakukan secara berkala, tidak hanya di awalnya saja.
Dari sini bisa dilihat bahwa pemerintah menyelenggarakan sertifikasi halal ini tidak berlandaskan atas dasar ketakwaan melainkan atas dasar bisnis dan keuntungan. Oleh karena itu, kehadiran pemerintah yang sekuler menghasilkan aturan dan kebijakan yang sekuler pula, yang mana ini jelas sangat merugikan umat muslim.
Berbeda dengan negara yang berlandaskan aqidah Islam. Negara Islam menyandarkan seluruh aturan dan kebijakannya pada Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karenanya peran negara hadir sebagai penyelenggara syariah Islam. Dengan demikian peran negara sangat penting untuk melindungi rakyat dari segala hal yang diharamkan. Karena dalam Islam telah ditentukan dengan rinci tentang apa saja yang diharamkan atau dihalalkan. Penentuan halal dan haram ini didasarkan pada dalil-dalil syariat bukan pada akal manusia, hawa nafsu, kemanfaatan, ataupun ekonomi materialistik.
Dalam Islam, negaralah yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia itu halal. Jadi layanan kehalalan produk itu merupakan tanggung jawab negara bukan produsen. Layanan ini diberikan oleh negara dengan biaya murah atau bahkan gratis.
Kehalalan dan ketoyyiban makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat dijamin oleh negara melalui penugasan para qodhi hisbah untuk melakukan pengawasan rutin ke pasar-pasar dan tempat-tempat produksi maupun distribusi produk pangan maupun barang konsumsi lainnya, tempat pemotongan hewan, ataupun gudang-gudang makanan.
Mereka bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan tidak ada kecurangan dan manipulasi produk.
Bila terjadi peredaran barang haram di pasaran baik pelakunya muslim atau non muslim maka negara akan menjatuhkan sanksi ta'zir pada mereka.
Bagi ahli dzimmah (kafir dzimmi) negara membebaskan mereka mengonsumsi makanan atau minuman menurut agama mereka, tetapi produk-produk tersebut hanya boleh diperjualbelikan diantara mereka saja, bukan di toko ataupun di pasar-pasar umum.
Penerapan syariat oleh negara yang menjalankan sistem hidup Islam, benar-benar memberikan kepastian perlindungan dan keamanan serta rasa tenang dan tenteram dalam jiwa seluruh rakyat negara bersistem Islam. Karena seluruh umat Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam kaffah oleh negara.
Wallahu 'alam bisshowab.
Oleh: Siti Rini Susanti, Sahabat Tinta Media
Rabu, 09 Oktober 2024
UMKM Was-Was, Middle Income Terdegradasi Imbas Sistem Kapitalisme
Rabu, 25 September 2024
Banjir Awal Musim Hujan, Bukti Lemahnya Mitigasi di Sistem Kapitalisme
Senin, 16 September 2024
Kapitalisme Menggerus Kepentingan Masyarakat
Tinta Media - Dewasa ini, pembelian air bersih atau air minum dalam kemasan (AMDK) sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan masyarakat Indonesia dengan harga bervariasi. Padahal, jika merujuk pada Undang undang 1945. Air adalah kekayaan alam yang harus dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, sehingga seharusnya dapat diakses dan dinikmati secara gratis oleh semua warga negara.
Saat ini perusahaan air bersih atau AMDK di Indonesia, dominan dipegang oleh perusahaan asing dan perusahaan lokal yang besar milik para konglomerat. Mereka mendapat Izin pemerintah untuk mengelola sumber air dan menawarkan produk mereka kepada masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, artinya perusahaan tersebut hanya memproses air dan menerima keuntungan yang besar, sementara masyarakat Indonesia hanya menjadi konsumen akhir. Tentu saja ini sangat merugikan bagi masyarakat Indonesia.
Menurut mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, kebiasaan membeli air kemasan, seperti galon, menggerus pendapatan secara tidak sadar karena mengandalkan segala sesuatunya pada air galon dan air dalam kemasan lainnya. Hal ini tidak terjadi di beberapa negara maju, warga kelas menengah terbiasa mengonsumsi air minum yang disediakan pemerintah di tempat umum, sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan uang.
(https://moneytalk.id/2024/09/01)
Di Indonesia, kecenderungan membeli air bersih dalam kemasan, terutama galon, sudah menjadi budaya sulit diubah, meskipun banyak sumber daya alam seperti mata air dan gunung yang bisa menghasilkan air bersih yang sangat baik untuk kesehatan. Sayangnya, masih banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki akses yang memadai terhadap sumber air bersih. Menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia, hanya sekitar 60% populasi Indonesia yang memiliki akses ke air bersih yang layak, sisanya harus bergantung pada sumber air yang berpotensi mengandung kuman atau bahan kimia berbahaya untuk dikonsumsi.
Kerusakan semacam ini tidak terjadi secara alamiah, melainkan terkait dengan sistem ekonomi politik yang hanya fokus pada keuntungan individu, yaitu kapitalisme. Sebuah sistem ekonomi kapitalisme didasarkan pada kepemilikan individu atau perusahaan atas sumber daya dan produksi. Dalam sistem ini, tujuan utama adalah memaksimalkan keuntungan. Meski dengan cara mengeksploitasi alam dan merusak keseimbangan ekologisnya.
Kapitalisme juga secara terang-terangan menghilangkan paradigma air sebagai hak dasar atau kebutuhan primer bagi masyarakat. Di Indonesia, misalnya, masyarakat harus membeli air layak konsumsi yang dikelola oleh perusahaan swasta atau pelat merah. Sementara Masifnya pembangunan, deforestasi, dan buruknya budaya masyarakat juga telah berdampak pada kerusakan kualitas air.
Namun pemerintah saat ini malah menyerahkan tanggung jawab pengelolaan air kepada korporasi dengan menawarkan proyek investasi di sektor air, yang dipastikan berorientasi keuntungan dan bukan pelayanan yang sejatinya menjadi tugas kepemimpinan. Investasi yang hanya menguntungkan para pemilik modal, bahkan membuka jalan penjajahan, adalah hasil dari paradigma kapitalisme liberal yang diterapkan saat ini.
Dengan demikian masalah yang timbul saat ini tidak bisa dipisahkan dari kebijakan pemerintah yang masih terus menjadikan kapitalisme sebagai asas bernegara. Sementara dalam sistem tersebut, peran negara sangatlah lemah, karena tidak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan ekonomi, hanya sebatas memberikan kerangka hukum dan peraturan yang diperlukan dalam menunjang kepentingan kapitalisme. Padahal, pengelolaan air seharusnya menjadi tanggung jawab negara, termasuk membangun infrastruktur, fasilitas dan sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi seluruh populasi masyarakat secara cuma-cuma
Jika kita menilik pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
Hal tersebut senada dengan cara pandang Islam mengenai sumber daya air, yang termasuk dalam kepemilikan umum. Dan tidak boleh diperdagangkan atau dikomersialisasi. Dalam salah satu hadits, Rasulullah Saw menyampaikan bahwa umat muslim bersatu dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.
Pada era Islam, pengelolaan air menjadi sangat penting dan menjadi fokus utama, terlebih karena wilayah-wilayah yang didominasi Islam pada saat itu berada di daerah yang kering dan sangat membutuhkan akses air. Oleh karena itu, peningkatan sistem pengelolaan air menjadi salah satu kunci kemajuan peradaban pada masa tersebut.
Beberapa sistem pengelolaan air yang dikembangkan pada masa Islam seperti sistem qanat, bawah tanah tunnel yang digunakan untuk mengalirkan air, juga iwans, bangunan terbuka yang digunakan untuk menampung dan menyaring air hujan. Di samping itu, sistem irigasi juga menjadi sangat penting dalam pengelolaan air pada masa tersebut, yang memungkinkan lahan-lahan pertanian ditanami dan dikelola dengan baik.
Teknik pengelolaan air seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Islam bisa dibilang sebagai cikal bakal teknologi modern pengelolaan air untuk saat ini. Meskipun telah berabad-abad lamanya, namun peninggalan-peninggalan tersebut masih berdiri dengan kokoh dan dapat digunakan sampai saat ini. Hal ini menunjukkan keahlian bangsa Muslim pada masa lalu dalam pengelolaan air yang sangat baik. Sehingga mampu membawa bangsanya pada peradaban yang maju dan menyejahterakan rakyatnya
Namun, akibat sistem ekonomi kapitalisme yang dipegang teguh oleh Indonesia menjadi penghalang dalam mencapai tujuan tersebut.
Maka solusi penyelesaiannya adalah meninggalkan sistem kapitalisme dan beralih ke sistem Islam, karena hanya dalam Islam aturan kepemilikan terbagi dengan jelas, di tambah lagi Islam juga telah terbukti, ketika memimpin dunia pada masa kejayaannya, memiliki sistem pengelolaan air yang canggih dan berhasil menyediakan akses air terjamin untuk semua dan tidak dikomersialisasikan sebagai barang dagangan.
Wallahu alam.
Oleh: Indri Wulan Pertiwi, Aktivis Muslimah Semarang