Tinta Media: Kapitalisasi
Tampilkan postingan dengan label Kapitalisasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kapitalisasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 Mei 2024

Pendidikan Tersier: Bukti Nyata Kapitalisasi Pendidikan


Tinta Media - Bulan Mei yang identik dengan adanya peringatan hari pendidikan nasional (Hardiknas) di tahun ini bulan ini banyak sekali muncul gelombang protes terhadap dunia pendidikan terkhusus Perguruan Tinggi. Protes ini terkait dengan masalah semakin mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ditengah memanasnya mahasiswa dengan kebijakan ini muncul pernyataan dari pihak pemerintah yang disampaikan oleh Sekretaris Direktoral jendral Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie.

Tjitjik menyebut kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu. Tjitjik menyebutkan pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti negara lain. sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional. Terkait banyaknya protes soal UKT, Tjitjik menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni SD, SMP hingga SMA. (CNNIndonesia.com, 16/5/2024)

Namun, pernyataan itu seperti kontraproduktif dengan statement Presiden Joko Widodo sebelumnya. Presiden pada Januari 2024 lalu justru mengaku kaget ketika mengetahui rasio penduduk di Indonesia masih sangat rendah yakni di angka 0.45 persen. Bahkan Indonesia tercatat masih kalah dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia. Sedangkan di negara-negara maju sendiri angka rasionya sudah mencapai 9.8 persen. Data yang lebih mengenaskan ada di tingkat perguruan tinggi. Berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah mendapatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. (RepublikaNews.com, 17/5/2024)

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengapa hal tersebut terjadi karena biaya yang mahal. Apalagi ditambah dengan pemerintah menganggap Pendidikan Tinggi sebagai kebutuhan tersier. Hal ini menurutnya telah melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. Menurut, ubai meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar. (MediaIndonesia.com, 17/5/2024)

Kapitalisasi Pendidikan

Sulitnya menggratiskan biaya pendidikan tinggi saat ini dikarenakan oleh paradigma kapitalis liberal yang diterapkan ditengah-tengah masyarakat saat ini. Tak terkecuali dengan dunia pendidikan. Paradigma yang lahir atas dasar pemisahan agama dari kehidupan dan memiliki standar materi (keuntungan) dalam kehidupan sehingga apa pun dinilai dari manfaat dan untung-rugi. Wajar dalam lini kehidupan apa pun akan dijadikan ladang bisnis oleh paradigma kapitalis-liberal.

Hal ini pun diterapkan dalam dunia pendidikan sehingga kebijakan pendidikan adalah kebijakan yang pro pada kepentingan pasar industri. Pendidikan menjadi produk pasar yang dapat ditransaksikan dan untuk hal demikian negara tidak akan mungkin mau rugi. Rakyat di sini diposisikan sebagai konsumen yang harus membayar dengan harga tertentu jika ingin mengakses pendidikan tersebut. Pendidikan menjadi komoditi bisnis sehingga wajar biaya pendidikan makin hari makin menjulang tinggi dan wajar pemerintah menyampaikan bahwa pendidikan adalah kebutuhan tersier. Bagi yang mampu silakan untuk lanjut pendidikan hingga jenjang Pendidikan Tinggi jika tidak maka tidak usah dipaksakan (pilihan).

Pendidikan Tinggi Islam

Islam memberikan perhatian yang besar dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Islam memandang bahwa pendidikan adalah kebutuhan primer. Pendidikan Tinggi adalah institusi pencetak calon pemimpin penerus estafet kepemimpinan bangsa serta mencetak para intelektual yang ahli dalam bidangnya yang akan bertanggung jawab atas kemaslahatan umat dari hasil keintelektualannya. Sehingga penting memastikan setiap warga untuk mendapatkan pendidikan hingga perguruan tinggi.

Sistem Islam memiliki seperangkat mekanisme agar kebutuhan akan pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh rakyat. Salah satunya adalah dengan kemandirian dalam bidang ekonomi. Sistem Islam memiliki sistem politik ekonomi yang akan mewujudkan kemaslahatan umat sehingga pendidikan pun bisa digratiskan. Salah satunya adalah dengan mengelola sumber daya alam yang melimpah sesuai dengan syariat Islam. Sumber daya alam tidak boleh dimiliki oleh individu dan tidak boleh diserahkan kepada swasta. Hal ini harus dikelola sepenuhnya oleh negara dan hasilnya akan dikembalikan dalam berbagai bentuk termasuk dalam pembiayaan pendidikan.

Tidak hanya pembiayaan pendidikan. Pendanaan ini juga akan digunakan Daulah Khilafah untuk menyediakan sarana prasarana yang memadai seperti kelas, observatorium, perpustakaan, laboratorium, asrama, kamar mandi bahkan gaji para pengajar/dosen pun diberikan yang terbaik sehingga pengajar/dosen hidup sejahtera di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Sejarah telah membuktikan bahwa peradaban Islam merupakan role model dalam penyelenggaraan sistem pendidikan bagi dunia selama belasan abad. Kuliah di univesitas-universitas Daulah Khilafah menjadi impian para pelajar dunia. Bahkan telah ditemukan dokumen surat dari George II, Raja Inggris, Swedia dan Norwegia yang dikirimkan kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia yang mana memohon untuk pangeran dan putri mereka bisa mendapatkan pendidikan di Khilafah.  

Oleh : Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H., Sahabat Tinta Media 

Selasa, 30 Januari 2024

Kapitalisasi Vaksin, Buah Pahit Kapitalisme



Tinta Media - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) telah menetapkan bahwa vaksin Covid-19 mulai berbayar per 1 Januari 2024. Hal itu tertulis dalam Surat Edaran (SE) Kementerian Kesehatan Nomor HK.01.01/MENKES/2193/2023 Tentang Pemberian Imunisasi Covid-19 Program. Di mana Imunisasi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) masuk menjadi program imunisasi rutin efektif mulai 1 Januari 2024 di seluruh Indonesia.

Menurut Menkes Gunadi Sadikin, tarif vaksin berbayar bisa mencapai ratusan ribu, bergantung pada pemberi layanan vaksin yang menentukan tarif vaksin Covid-19. Padahal berdasarkan data Kementerian Kesehatan, rata-rata kasus harian meningkat 35-40 kasus dengan angka yang dirawat di rumah sakit antara 60-131 orang per 6 Desember 2023. Dengan subvarian Omicron XBB 1.5 menjadi penyumbang paling banyak kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia.

Akibat Kapitalisme 

Sejatinya kebijakan vaksin berbayar pada saat kasus Covid-19 tengah meningkat merupakan kebijakan yang zalim, meski masih menyediakan vaksin gratis untuk yang belum pernah mendapatkan vaksin dan kelompok rentan. Namun, kebijakan ini ambigu dan cenderung tebang pilih, dan bisa menjadi alat peredam bagi masyarakat yang dianggap tidak rentan untuk mendapatkan vaksin secara gratis. 

Inilah akibat dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan di negeri ini, sehingga pemerintah bersifat sebagai tujar (pedagang) dalam interaksinya dengan rakyat. Karena adanya vaksin berbayar ini menjadikan rakyat harus membiayai sendiri kebutuhan asasi mereka di tengah melonjaknya kebutuhan dasar yang lain. Selain itu, kebijakan ini juga membuka peluang bagi swasta untuk mendapatkan keuntungan atas penjualan vaksin kepada rakyat, bukti bahwa penguasa hari ini hanya sebagai pedagang bukan pelayan terhadap rakyatnya.

Sebuah keniscayaan dari sistem kapitalisme sekuler, di mana penguasa lebih mementingkan bisnis pengusaha yang mendukung mereka saat mau menjadi pejabat negara, yakni dalam kontestasi pemilu yang berbiaya besar. Jadilah perkawinan antara penguasa dan pengusaha menjadi hal yang lumrah dalam sistem kapitalisme sekuler. Efek dominonya adalah munculnya kekuasaan oligarki. 

Islam Melindungi Masyarakat

Berbeda dengan Islam yang menetapkan negara sebagai rain (pelayan) dan junnah (pelindung) termasuk dalam membentengi masyarakat menghadapi serangan penyakit menular. Kesehatan termasuk dalam kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara. Negara akan menjamin kesehatan secara gratis kepada seluruh warga negaranya tanpa memandang status sosial.

Rasulullah bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya, aman jiwa, jalan dan rumahnya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya.” (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi). 

Vaksinasi merupakan upaya pencegahan, yang pastinya akan diberikan secara cuma-cuma kepada semua warga negara baik rentan maupun tidak rentan. Keuangan negara memiliki pemasukan tetap dari sumber kepemilikan umum, negara maupun individu yang tidak memiliki ahli waris. Pos pemasukan keuangan negara berupa pengelolaan sumber daya alam oleh negara, harta fa'i, kharaj, jizyah, khumuz dan lain sebagainya. Sedangkan harta zakat tetap akan masuk dalam kas negara (baitulmal) tetapi dengan peruntukan bagi 8 asnaf sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Pajak apalagi utang bukanlah pemasukan utama keuangan negara Islam. 

Dengan demikian bisa dipastikan keuangan negara akan mencukupi untuk menjamin pembiayaan kesehatan secara gratis bagi seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Sistem inilah yang disebut dengan Khilafah. Di era keemasan Khilafah, vaksinasi sudah pernah ada dan dijalankan sebagai pencegahan terhadap bahaya penyakit menular. Selain itu, pada era Rasulullah juga pernah terjadi wabah tha’un, yakni wabah yang menular, maka Rasulullah memerintahkan untuk melakukan isolasi bagi wilayah yang terkena wabah. Rasulullah melarang orang yang tinggal di wilayah wabah untuk keluar, begitu pula wilayah yang tidak terkena wabah maka dilarang untuk masuk ke wilayah yang tengah terjadi wabah. Inilah yang kemudian hari ini kita kenal dengan istilah karantina. 

Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau berkata, “Jika kalian mendengar adanya tha’un di suatu daerah, maka jangan memasuki daerah tersebut; dan ketika kalian berada di dalamnya (daerah yang terkena tha’un), maka jangan keluar dari daerah tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sayangnya, karena mementingkan alasan ekonomi, negeri kita tidak serius melakukan karantina pada awal terjadinya wabah Covid-19. Sehingga virus Covid-19 hari ini bisa muncul dengan berbagai varian karena berhasil mengembangkan diri akibat ketiadaan upaya karantina secara optimal. 

Khilafah juga akan memfasilitasi para ilmuwan untuk mengembangkan teknologi sendiri sehingga mampu mencukupi kebutuhan vaksin secara gratis, tidak bergantung pada swasta apalagi negara asing, yang bisa saja memanfaatkan situasi untuk kepentingan bisnis mereka. Tentu kita masih ingat kasus kontroversi Namru-2, saat wabah flu burung yang menyebar di negeri kita, kemudian negara adidaya yakni Amerika Serikat atas dasar pengembangan teknologi mengambil sampel darah dari penderita flu burung yang kemudian digunakan untuk bahan dasar vaksin, yang pada akhirnya dijual ke negara kita dengan harga yang mahal. 

Khatimah

Tentu itu tidak akan pernah terjadi dalam Khilafah. Dengan mekanisme karantina, penjaminan pengobatan dan vaksinasi secara gratis bagi seluruh rakyat, penjaminan kebutuhan sandang, pangan, dan papan bagi wilayah yang terkena wabah, dan bagi daerah yang tidak terkena wabah tetap bisa menjalankan aktivitas ekonomi seperti biasa, dengan kebijakan demikian maka wabah akan segera dapat dihentikan. Karena itu kebijakan vaksin berbayar bagi kelompok rentan merupakan kebijakan zalim dan menyengsarakan rakyat, harus segera dihentikan dengan mengganti sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan oleh negeri ini dengan sistem Khilafah yang akan melibas tuntas wabah Covid-19. Wallahualam bissawab.

Oleh: Ummu Syakira 
(Muslimah Peduli Negeri)

Senin, 29 Januari 2024

Tarif Tol Naik Lagi, Bukti Nyata Kapitalisasi Transportasi


Tinta Media - Pembangunan jalan tol sejatinya menjadi solusi dari kemacetan yang selalu melanda negeri ini, kemacetan di ibukota dan pusat kota lainnya di Indonesia memang tak bisa dipungkiri, maka pemerintah menggandeng pengusaha swasta membangun jalan tol sebagai solusi atas kemacetan tersebut. 

Jalan tol yang di bangun tak main - main, hampir di setiap wilayah kota dan provinsi di bangun jalan tol yang menghubungkan dari pusat kota yang satu, ke kota yang lain. 
Namun sayang, seiring banyaknya jalan tol yang di bangun tidak lantas di sambut bahagia oleh masyarakat, sebab tol yang di bangun tersebut memiliki tarif yang cukup mahal, bahkan ada wacana kenaikan lagi dari tarif lama ke tarif baru yang cukup memberatkan bagi rakyat, khususnya pengemudi transportasi umum seperti BUS dan angkutan lainnya. 

Sebanyak 13 ruas jalan tol akan mengalami kenaikan tarif, pada kuartal 1 -2024 . Itu termasuk ruas - ruas tol yang jadwal penyesuaian tarifnya pada tahun 2023, namun masih dalam proses, sehingga tetap akan di sesuaikan pada tahun 2024. Menurut kepala BPJT Miftahul Munir, menyebutkan ke 13 ruas tol yang akan mengalami penyesuaian tarif pada kuartal 1-2024 . Berikut daftarnya. Sebagaimana di kutip dari Kontan. (Co. id pada senin 15/01/24 ) 

Jalan tol Surabaya - Gresik, jalan tol Kertosono - Mojokerto, jalan tol Bali - Mandara, jalan tol Serpong- Cinere, jalan tol Ciawi Sukabumi, jalan tol Pasuruan- Probolinggo, jalan tol Makassar seksi 4, jalan tol Dalam kota Jakarta (cawang-tomang - Pluit, dan Cawang - Tanjung Priok  Ancol Timur - jembatan tiga / Pluit) 
Dan masih banyak lagi. 

Adanya kenaikan tarif jalan tol menunjukkan adanya komersialisasi jalan tol, pemerintah selama ini membangun fasilitas publik untuk siapa? 

Apakah benar untuk rakyat? Yang menjadi pertanyaan yang sangat menggelitik di benak kita, fasilitas jalan tol yang di bangun bukan dengan dana sedikit dan menggunakan uang rakyat seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk menyulitkan rakyat, karena mau tidak mau rakyat harus membayar tarif yang tidak sedikit ketika menggunakan fasilitas jalan tol. 

Dan hubungan ini adalah potret buruknya sistem kapitalisme sekuler yang menjadi landasan kehidupan, segala sesuatu berlandaskan asas manfaat, tak peduli apakah itu merugikan rakyat atau tidak, karena sistem ini tidak berpihak pada rakyat, namun berpihak pada pengusaha, sebagai pemilik modal yang menginginkan sebesar-besarnya keuntungan, dan pemerintah sendiri hanya menjadi regulator saja, untuk memuluskan sarana dan prasarana yang dibutuhkan pengusaha. 

Itulah bukti rusaknya sistem ini, rakyat hanya di jadikan sebagai konsumen yang di paksa untuk berjual beli oleh penguasanya, rakyat yang seharusnya di berikan fasilitas publik yang nyaman, murah dan efisien, karena itu merupakan tanggung jawab negara terhadap rakyat nya. 

Berbeda dengan sistem Islam, Islam memandang jalan raya adalah bagian dari pelayanan negara dalam memenuhi kebutuhan pokok dan penting, rakyat sangat butuh akses jalan sebagai penghubung antara satu wilayah dengan wilayah lain yang nyaman tanpa kemacetan. 


Jalan merupakan milik umum, dan negara di larang untuk mengomersialisasi kebutuhan rakyat. Karena rakyat merupakan tanggung jawab negara dalam pemenuhan seluruh kebutuhannya. 

Lain halnya dengan sistem Islam, negara di dalam Islam , akan menjamin setiap rakyat termasuk dalam bidang transportasi, fasilitas tersebut akan di buat sesuai dengan kebutuhan rakyat, sebagai sarana untuk memudahkan akses bekerja,  berniaga, sekolah, ataupun dakwah, karena itu negara akan memelihara dan menyediakan  dengan sebaik-baiknya, karena negara di dalam adalah raa'in (pemelihara) yang bertanggung jawab terhadap rakyat dan memberikan sarana maupun prasarana yang memungkinkan Ummat dapat beraktivitas dengan nyaman dan aman. 

Dan semua itu hanya bisa terwujud jika sistem Islam di terapkan dalam sebuah negara yaitu khilafah 'alaa minhajjin nubuwwah. 

Wallahualam


Oleh : Ummu Ghifa 
Aktivis Muslimah 

Sabtu, 26 Agustus 2023

Kapitalisasi di Balik Desa Wisata

Tinta Media - Pasca pandemi Covid-19, masyarakat gemar melakukan "healing" dengan berwisata alam. Pemerintah menanggapi kecenderungan ini dengan mengeluarkan Program Desa Wisata (DW). Menurut Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparenkraf), tahun 2023 ini telah ada 4.674 desa wisata di seluruh Indonesia, bertambah 36.7 % dari tahun sebelumnya.  Salah satunya adalah desa Alamendah yang baru-baru ini diresmikan dan mendapat bantuan dari Menparenkraf Sandiaga Uno.

Desa Wisata (DW) adalah sebuah program unggulan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang menjadikan desa sebagai destinasi wisata dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan keindahan alam dan usaha produktif sesuai potensi desa yang bersangkutan. Selain itu, DW juga diharapkan dapat mengurangi arus urbanisasi dari desa ke kota,  membantu UMKM masyarakat, dan meningkatkan pembangunan infrastruktur desa. 

Pelaksanaan DW dilakukan dengan cara mengenalkan semua aspek pedesaan pada wisatawan, sehingga di sana terlibat masalah sosial, ekonomi, dan budaya.  Pengelolaan DW tidak hanya dilaksanakan oleh masyarakat desa, melainkan dilibatkan juga unsur Pemerintah Daerah,  pelaku bisnis pariwisata/ pengusaha, komunitas/masyarakat, akademisi, dan media. Kerja sama kelima unsur ini dikenal dengan nama Kolaborasi Pentahelix. 

Kriteria suatu desa menjadi DW antara lain memiliki potensi alam atau buatan yang unik, jarak tempuh tidak terlalu jauh dari pusat kota, memiliki akses yang mudah ke lokasi dan masyarakat mendukung dengan menyediakan rumahnya sebagai "homestay" bagi wisatawan yang menginap. Masyarakat dan wisatawan dapat saling berinteraksi. Selain itu, harus tersedia fasilitas air bersih,  listrik, telepon dan rumah makan. 

DW memang menjanjikan kemajuan bagi desa, tetapi bila ditelisik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti:

Pertama, membangun infrastruktur  dan fasilitas yang melibatkan banyak pihak memberikan peluang untuk terjadi bocornya dana (korupsi) di beberapa tempat, misalnya dalam perizinan,  pembangunan infrastruktur, penyediaan fasilitas umum dan lain-lain. Terbukti dengan ditemukannya kasus dugaan korupsi seperti di Kab.  Sleman dan Aceh yang dilakukan oleh pejabat daerah.

Kedua, membangunan DW hanya untuk desa yang dekat kota, lalu bagaimana dengan desa-desa yang jauh dari kota, bahkan di pedalaman? Apakah mereka tidak mendapat perhatian? 

Banyak desa yang kondisinya memprihatinkan, tetapi belum tersentuh pembangunan dan tidak terperhatikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Jalanan rusak berkilo-kilo meter,  jembatan ambruk tidak kunjung diperbaiki, sekolah hampir ambruk, sarana kesehatan jauh, dll. 

Infrastruktur jalan dan fasilitas umum seperti itu tidak mungkin dibangun oleh warga desa sendiri, tetapi harus oleh pemerintah. Ini menunjukan bahwa pemerintah mengadakan pembangunan kalau pasti menghasilkan pemasukan. Orientasi ekonomi sangat kental dalam program DW ini. 

Ketiga, yang penting adalah adanya arus budaya asing yang masuk ke desa. Masyarakat desa di Indonesia umumnya beragama Islam dan perilakunya santun. Sementara, budaya asing yang berpaham liberalisme membawa kebiasaan berpakaian terbuka, pergaulan bebas seperti L68T, narkoba, minuman keras atau makanan haram, sangat bertentangan dengan Islam, tentu berbahaya bagi akidah masyarakat. Bergaul dengan wisatawan asing, bisa meruntuhkan akidah dan perilaku santun kaum muslim pedesaan.

Demikianlah negara dengan sistem kapitalisme mengembangkan pariwisata, memakai segala potensi negeri, termasuk desa untuk kepentingan ekonomi semata.  Negara menjadikan pajak pariwisata sebagai penggerak ekonomi tanpa mempertimbangkan kerusakan yang ditimbulkan. 

Berbeda dengan Khilafah, dalam mengembangkan pariwisata didasari oleh penerapan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah akan menetapkan objek dan pelayanan wisata hanya yang makruf dan mencegah kemungkaran.  

Alam  dan peninggalan budaya Islam dikelola dengan tujuan untuk menanamkan pemahaman Islam kepada para wisatawan.   Peninggalan budaya non-Islam yang tidak digunakan untuk ibadah oleh pemeluknya akan dihancurkan demi menjaga akidah kaum muslimin. Makanan minuman hanya disediakan yang halal dan thayib. 

Daerah wisata oleh Khilafah hanya dijadikan sarana dakwah,  tidak dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi karena Khilafah mempunyai sumber tetap perekonomian negara, yaitu pertanian, perdagangan,  industri, dan jasa.  Sumber keuangan Khilafah juga didapat dari zakat, jizyah, kharaj, fa'i, ghanimah, dan dharibah. 

Wallahu a'lam bish shawwab.

Oleh: Wiwin, Sahabat Tinta Media

Sabtu, 10 Juni 2023

Kapitalisasi Perguruan Tinggi Tidak Terwujud dalam Sistem Islam


Tinta Media - Perguruan tinggi yang berkualitas tentu menjadi cerminan bagi para lulusannya di tengah masyarakat karena melahirkan generasi yang cemerlang pemikirannya. Terlihat dari beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta yang mendapat predikat baik di tengah masyarakat diakui kualitas pendidikannya, sehingga mereka (para lulusan perguruan tinggi) ini mampu menunjukkan kemampuan dalam mengimplementasikan ilmu yang diperoleh selama kuliah. 

Sayangnya, belum lama ini tersiar kabar adanya beberapa perguruan tinggi swasta yang harus ditutup karena berbagai persoalan yang berkaitan dengan penyelewengan kekuasaan di dalamnya. Maka, berkembangnya perguruan tinggi swasta di negeri ini ternyata tidak mampu menjadi jaminan perkembangan mutu pendidikan.

Dikutip dari pemberitaan media TribunTangerang.com, Sabtu (27/5/2023) bahwa sebanyak 23 perguruan tinggi dicabut izinnya. Sanksi pencabutan izin operasional ini berdasarkan pengaduan masyarakat dan pemeriksaan tim evaluasi kinerja, yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). 

Menurut Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) Kemendikbud Ristek, Lukman, pencabutan izin operasional dijatuhkan pada perguruan tinggi yang sudah tidak memenuhi ketentuan standar pendidikan tinggi. Dipastikan perguruan tinggi yang dihentikan adalah perguruan tinggi swasta (PTS). Proses pencabutan izin ini dilakukan secara bertahap berdasarkan bukti berupa fakta dan data yang ditemukan di lapangan.

Pencabutan izin operasional perguruan tinggi ini selain karena tidak memenuhi standar pendidikan tinggi, juga melaksanakan praktik terlarang, seperti pembelajaran fiktif, jual beli ijazah, dan penyimpangan beasiswa KIP kuliah. 

Sungguh miris. Penyimpangan-penyimpangan itu justru telah mencederai tujuan pendidikan itu sendiri. Bagaimana bisa menghasilkan generasi berkualitas secara intelektual dan aplikatif di tengah masyarakat jika tujuan pendidikan itu sendiri tidak tercapai? Maka, generasi yang dididik dengan jalan yang melenceng dari tujuan pendidikan akan menghasilkan generasi yang serba instan serta memiliki daya juang rendah.

Merebaknya berbagai praktik terlarang tidak dapat dipisahkan dari penerapan sekularisme di negeri ini. Setiap perbuatan saat ini terlepas dari tanggung jawabnya dari aturan agama dan norma masyarakat yang berlaku. Semua perbuatan hanya berdasarkan pendapat manusia itu sendiri sehingga berbagai ketimpangan akhlak yang berkembang menjadi bentuk kewajaran. Tidak ada rasa malu dan efek jera. Maka, tidak heran praktik-praktik terlarang selalu saja terjadi.

Tidak dimungkiri kebutuhan akan perguruan tinggi di negeri ini masih tinggi. Sehingga, sudah menjadi kewajiban negara menyediakan perguruan tinggi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Keberadaan perguruan tinggi swasta dewasa ini yang banyak bermunculan justru menjadi ajang kapitalisasi di dunia pendidikan. 

Kapitalisasi ini menyebabkan perguruan tinggi tidak mengutamakan tujuan untuk menciptakan generasi yang berkualitas. Sandaran kapital adalah manfaat berupa keuntungan dalam materi. Maka, tidak heran ditemukan praktik-praktik terlarang seperti yang terjadi sekarang.

Jelas negara harus segera memperbaiki regulasi bagi izin operasional perguruan tinggi swasta agar tidak terulang kembali hal demikian. Tugas negara adalah memberikan pendidikan yang layak dan terjangkau bagi masyarakat yang membutuhkan ilmu lanjutan ke tingkat perguruan tinggi. Lahirnya generasi-generasi yang hebat dapat terwujud dari periayahan atau pengatur negara terhadap masyarakatnya.

Islam Wujudkan Pendidikan Tinggi Berkualitas

Dalam sistem Islam, dunia pendidikan tingkat perguruan tinggi harus memenuhi standar yang ditetapkan. Program pengajaran formal di perguruan tinggi diarahkan pada tujuan utama pendidikan islami, yakni: 
Satu, penguasaan syakhsiyyah islamiyah (kepribadian Islam), tsaqofah Islam, dan ilmu kehidupan (iptek dan keahlian).

Dua, melahirkan generasi yang mampu melayani kepentingan utama umat dan membuat rencana jangka pendek dan panjang untuk mewujudkannya.
Negara wajib memenuhi kebutuhan pendidikan ini yang merupakan salah satu kebutuhan pokok umat. 

Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang Artinya:

“Seorang imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus). Ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya,” (HR. Bukhari).
Kedua tujuan tersebut akan mewujudkan generasi yang cemerlang karena memiliki akhlak yang sesuai dengan Islam dan mampu menghasilkan umat yang dapat bermanfaat sesuai dengan keilmuan yang diperolehnya di perguruan tinggi. Hal ini karena negara bertanggung jawab dalam pembentukan generasi Islam dengan jalan memfasilitasi perguruan tinggi dengan baik. 

Tidak ada kapitalisasi di dalamnya. Semua regulasi yang ditetapkan negara bagi perguruan tinggi ada dalam pengawasannya. Pembiayaan pendidikan pun diberikan secara gratis sehingga fokus untuk belajar dan menghasilkan manfaat dari ilmu yang dipelajari dapat dijalankan dengan baik oleh mahasiswa di dalamnya.
Terbukti di dalam sejarah Islam, kejayaan pendidikan Islam terjadi pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah. Pada masa ini, berkembang pesat lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal, yang mendominasi dalam dunia Islam sehingga memengaruhi pola hidup dan budaya umat Islam. 

Wilayah kekuasaan Islam menjadi pusat-pusat pendidikan yang diminati, bukan saja oleh kalangan umat Islam, tetapi juga oleh kalangan non-Islam. Di bawah kepemimpinan Harun Al-Rasyid adalah puncak kejayaan pendidikan Islam. Saat itu, dukungan sarana dan prasarana pembangunan mendapat perhatian penuh sehingga dunia Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Tidak dimungkiri, pendidikan Islam akan membentuk generasi yang berkualitas akhlaknya dan cemerlang pemikirannya. Semua ini hanya dapat terwujud pada negara yang menerapkan Islam secara kafah. Wallahu’alam bi shawab.

Oleh: Ageng Kartika
Pemerhati Sosial

Sabtu, 06 Mei 2023

Bencana Kekeringan Bukan Hanya karena El Nino, Namun...

Tinta Media - Muslimah Media Center menegaskan memang benar bahwa bencana kekeringan yang terjadi saat ini bukan hanya disebabkan oleh el Nino, tapi semakin diperparah dengan liberalisasi dan kapitalisasi sumber daya alam yang menyebabkan perubahan iklim.

"Memang benar bahwa bencana kekeringan bisa terjadi karena faktor alam seperti El Nino. Namun, bencana kekeringan ini semakin diperparah dengan liberalisasi dan kapitalisasi sumber daya alam yang menyebabkan perubahan iklim," tutur narator Muslimah Media Center dalam program Serba-Serbi MMC: Cuaca Panas Ekstrem Berujung Kekeringan, Akibat Tata Kelola Kapitalistik, Senin (1/5/2023) di Kanal YouTube Muslimah Media Center (MMC)

Menurutnya, kekeringan adalah salah satu masalah cabang yang diciptakan oleh penerapan ideologi kapitalisme di negeri ini. "Sebab dalam paradigma kapitalisme sumber daya alam boleh dikelola atau diprivatisasi oleh pihak swasta demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Termasuk sumber daya air dan hutan. Alhasil terjadilah pembabatan hutan dan penguasaan sumber mata air oleh swasta dengan cara masif atas legalisasi penguasa dan atas nama investasi,” ungkapnya.

Narator menilai, hutan memiliki peranan penting dalam mengatur kondisi iklim di bumi melalui siklus karbon. Hutan yang ada di bumi mampu menyerap sebanyak 2,4 miliar ton karbondioksida per tahun. Nilai ini sebanyak 30% dikontribusikan dari hasil pembakaran bahan bakar fosil.

“Namun kini habitat hutan di Indonesia makin berkurang. Meski laju deforestasi berhasil ditekan, namun berdasarkan penelitian terbaru laju deforestasi masih lebih cepat dari pertumbuhan hutan di Kalimantan," ujarnya. 

Oleh karena itu, ia menilai  suhu ekstrem hingga kekeringan akan terus melanda masyarakat di dunia ini selama sistem kapitalisme liberal masih diberlakukan di dunia.[] Sofyan Zulkarnaen 

Minggu, 22 Januari 2023

Menelaah Bahaya Kapitalisasi Sertifikat Halal

Tinta Media - Kehalalan makanan adalah satu hal yang amat diperhatikan oleh masyarakat Indonesia sebab mayoritas penduduknya adalah muslim. Sertifikat halal pastinya mempengaruhi daya tarik konsumen terhadap sebuah produk. Fakta ini tampaknya dilihat oleh kapitalis sebagai sesuatu yang bisa diambil keuntungannya. Begitulah, negara bersistem kapitalisme tidak segan berbisnis dengan rakyatnya sendiri.

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menegaskan bakal memberikan sanksi kepada para pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikat halal untuk produk-produknya pada 2024.

"Oleh karena itu, sebelum kewajiban sertifikasi halal tersebut diterapkan, kami mengimbau seluruh pelaku usaha untuk segera mengurus sertifikat halal produknya," ujar Kepala BPJPH Kemenag Aqil Irham di Jakarta, Sabtu (07/01/2023). Aqil mengatakan masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir pada 17 Oktober 2024. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 beserta turunannya, ada tiga kelompok produk yang harus bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama tersebut. Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan (beritasatu.com, 07/01/2023).

Sebenarnya, memastikan kehalalan produk adalah aturan yang baik dan memang harusnya demikian demi menjaga kemaslahatan umat. Namun, kebijakan ini menjadi salah kaprah ketika label halal bisa didapatkan dengan biaya tertentu. Komersialisasi sertifikat halal justru akan menimbulkan kekhawatiran dan masalah baru ditengah masyarakat.

BPJPH telah menetapkan tarif untuk layanan Sertifikat Halal untuk Barang dan Jasa. Bagi permohonan Sertifikat Halal (reguler), Usaha Mikro dan Kecil sebesar Rp300.000,00, Usaha Menengah Rp5.000.000,00, dan Usaha Besar dan/atau berasal dari luar negeri sebesar Rp12.500.000,00. Sedangkan untuk permohonan perpanjangan Sertifikat Halal Usaha Mikro dan Kecil biayanya sebesar Rp200.000,00, Usaha Menengah Rp2.400.000,00, Usaha Besar dan/atau berasal dari luar negeri sebesar Rp5.000.000,00, dan Registrasi Sertifikasi Halal Luar Negeri sebesar Rp800.000. Permohonan Sertifikat Halal tanpa biaya hanya berlaku bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) atau Self Declare.

Penetapan tarif yang ternyata tidak murah ini sebenarnya kebijakan yang kurang layak untuk dilakukan. Pertama, hal yang perlu kita cermati dan luruskan adalah pemerintah seharusnya menjadi instansi yang bertanggung jawab menjaga kehalalan ataupun menyatakan halal atau haramnya sebuah produk. Menetapkan tarif sertifikat halal artinya pemerintah malah membebankan tanggung jawab ini kepada rakyat. Sertifikasi halal harusnya adalah sebuah bentuk layanan wajib dari pemerintah untuk rakyat. 

Biaya sertifikasi halal pastinya akan membebani para pelaku usaha, terutama pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini jelas memakan waktu dan biaya yang tak sedikit sehingga menambah anggaran operasional yang harus dikeluarkan industri. Pemerintah seharusnya menjadi pihak yang mendorong kemajuan industri demi mendongkrak ekonomi bangsa dan negara. Bukan malah menjadi pihak yang menghambat laju ekonomi dengan beban pajak dan sertifikasi halal berbayar.

Kemudian yang tak kalah membebani adalah dari segi waktu atau periode sertifikasi. Berdasarkan aturan yang saat ini berlaku, pemerintah bersikeras bahwa pemeriksaan produk halal harus diperbarui setiap dua tahun sekali. Artinya, setiap dua tahun sekali produsen harus membayar biaya perpanjangan Sertifikat Halal. 

Hal yang paling dikhawatirkan oleh masyarakat adalah berkurangnya objektivitas pemeriksaan kehalalan produk. Tak bisa ditampik, regulasi semacam ini menimbulkan celah bagi setiap pihak untuk melakukan kecurangan. Asalkan membayar lunas biaya pemeriksaan, label halal bisa langsung didapatkan tanpa memperhatikan dengan benar apakah produk tersebut benar-benar halal atau tidak. Berbeda jika label halal didapat dengan gratis dari pemerintah, pertimbangan kelulusan sertifikasi halal semata-mata atas dasar syarat kehalalan dalam syariat Islam.

Negara bersistem kapitalis memang hanya memperhitungkan untung rugi dalam berbagai kebijakan. Parahnya lagi, rakyat sering kali menjadi sasaran berbagai pungutan. Berbagai cara dilakukan untuk bisa menggalang dana dari rakyat. Mulai dari pajak, biaya administrasi birokrasi, jaminan kesehatan berbayar dan lain sebagainya. Inilah yang menyebabkan kaum kapital semakin kaya sedangkan rakyat miskin semakin miskin.

Kondisi semacam ini tidak akan terjadi apabila diterapkan sistem Islam ditengah-tengah kita. Negara bersistem Islam benar-benar mengayomi rakyat dengan tujuan kebaikan seluruh umat dan meraih ridha Allah SWT. Berbisnis dengan rakyat adalah hal yang mustahil ada dalam sistem Islam. 

Dalam sistem Islam, tak perlu ada birokrasi berbelit-belit dan mahal jika itu menyangkut kepentingan umat. Negara bersistem Islam sangat memperhatikan distribusi barang dari pasar kepada para penjual/produsen. Dipilih orang yang memiliki kapabilitas guna mengawasi dan mengontrol proses distribusi yang terjadi di pasar, yang disebut dengan Qadhi hisbah. Negara memastikan tidak terjadi penyelundupan barang haram, kecurangan jual beli atau transaksi yang dilarang. Dengan demikian otomatis bahan pangan yang beredar merupakan bahan yang terjamin halal. 

Untuk peredaran barang haram, negara akan melabelinya dengan sertifikat haram, dan memastikan barang tersebut hanya beredar di kalangan non-muslim. Qadhi hisbah yang berwenang langsung turun tangan memantau lokasi pasar. Mekanisme semacam ini lebih praktis dan komprehensif. Jaminan halal bagi barang yang dikonsumsi rakyat, khususnya kaum muslimin, bukanlah hal yang main-main. Berkaitan erat dengan keimanan dan akidah islamiyah yang menjadi landasan hidup umat Islam. Menyerahkan urusan ini pada regulasi sertifikasi berbayar, bisa dikatakan meremehkan kepentingan umat muslim.

Islam selalu memiliki solusi bagi persoalan manusia. Ia bukan hanya sekedar agama ritual belaka, namun merupakan ideologi yang memancarkan aturan yang lengkap dan sempurna. Apabila kita ingin keluar dari segala persoalan dan keterpurukan hidup saat ini, maka kembali pada sistem Islam adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Wallahu a'lam bisshawab.

Oleh: Dinda Kusuma Wardani T
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 12 Januari 2023

Kapitalisasi Sertifikat Halal

Tinta Media - Sertifikat halal merupakan salah satu syarat wajib yang mutlak ada pada suatu produk. Namun, berbagai kendala ditemui saat produsen hendak melabeli halal produknya. Beberapa produk yang wajib ada label halal antara lain produk pangan (makanan dan minuman), bahan baku pangan (bahan tambahan pangan serta bahan penolong produksi pangan), produk sembelihan hewan dan jasa penyembelihan hewan. Masa penahapan pertama sertifikat halal akan berakhir pada 17 Oktober 2024 (detiknews.com, 8/1/2023). 

Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJH), Kementrian Agama, Muhammad Aqil Irham, menegaskan, nantinya akan ada sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar aturan tersebut. Sanksi dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran (beritasatu.com, 8/1/2023). Sanksi ini sesuai dengan aturan yang telah ada yaitu PP No. 39 Tahun 2021. Aqil pun melanjutkan, berkenaan dengan kewajiban sertifikasi halal, maka diimbau bagi seluruh pelaku usaha untuk segera mengurus segala proses sertifikasi halal produknya. 

Pemerintah menyediakan pelayanan sertifikat halal gratis bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Namun, ada juga yang bertarif, sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH No. 141 Tahun 2021, tentang Penetapan Tarif Layanan BLU BPJPH dan Peraturan BPJPH No.1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pembayaran Tarif Layanan BLU BPJPH. 

Besaran pembayaran komponen biaya layanan self declare (pernyataan pelaku usaha) yang disetorkan oleh pemberi fasilitasi biaya layanan sebesar Rp300.000,00. Ini tergantung keadaan keuangan negara. Sementara, biaya permohonan sertifikat halal barang dan jasa milik Usaha Menengah dan Kecil (UMK) adalah Rp300.000,00 ditambah biaya pemeriksaan kehalalan produk UMK oleh LPH (Lembaga Penjamin Halal) maksimal sebesar Rp350.000,00. Sehingga, total biayanya adalah Rp650.000,00. Sedangkan untuk usaha menengah produk makanan dengan proses/material sederhana, total biayanya Rp8.000.000,00, terdiri atas biaya permohonan sertifikat Rp5.000.000,00 dan biaya pemeriksaan LPH maksimal Rp3.000.000,00 (kemenag.go.id, Maret 2022). 

Sertifikasi halal semestinya merupakan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraannya. Ini demi menjaga kehalalan suatu produk sesuai perintah syariat Islam. Namun, hal ini menjadi sulit mengingat sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalisme yang sekuleristik, yaitu sistem yang berlandaskan pada keuntungan materi semata, tanpa mempedulikan akibat yang ditimbulkan. 

Hal ini diperparah dengan sifatnya yang sekuleristik, tak mempedulikan keberadaan aturan agama dalam penerapannya. Sehingga wajar saja, saat kebutuhan sertifikasi halal suatu produk pun dijadikan objek pemalakan terhadap masyarakat secara umum. Negara menganggap bahwa setiap proses sertifikasi berpotensi menghasilkan keuntungan yang menggiurkan. Sertifikasi halal menjadi komoditas yang dikapitalisasi negara dengan besaran yang telah ditentukan, sungguh memprihatinkan. 

Sistem Islam memberikan kemudahan dalam sertifikasi kehalalan produk. Hal ini karena tujuan utama sistem Islam saat mengurusi setiap urusan umat adalah untuk meraih rida Allah Swt. Karena itu, negara wajib menjaga kehalalan produk umat. 
Ada dorongan kuat dari dalam tubuh negara untuk menjaga setiap darah umatnya, yaitu iman dan takwa. 

Berbeda dengan sistem yang ada sekarang, pengadaan sertifikasi halal dilakukan karena adanya kepentingan materialistik, yaitu keuntungan ekonomi semata. Inilah keburukan sistem kapitalisme dalam mengurusi kebutuhan umat. Setiap prosesnya selalu berujung pada proses pemerasan terhadap masyarakat, tanpa pikir panjang, tentang segala akibat yang bakal terjadi. 

Sistem Islam menjamin kehalalan produk yang beredar di pasaran. Hal ini karena dalam Islam, negara berperan sebagai junnah (perisai) bagi seluruh umat, bukan malah menjadi pelaku bisnis atas segala kebutuhan masyarakat. Segala kehalalan produk yang dikonsumsi rakyat adalah tanggung jawab penuh bagi negara. Setiap jengkal pengurusan kebutuhan umat wajib diurusi berdasarkan akidah Islam. Hal ini merupakan perintah Allah Swt. yang senantiasa ditaati dengan sepasrah-pasrahnya ketaatan. 

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya: 

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(QS. An-Nisa' : 59)

Negara wajib menjaga seluruh kebutuhan umat, termasuk kehalalan bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari. Negara pun mutlak menjadi pengawas setiap makanan yang beredar di tengah masyarakat. Tak hanya jadi pengawas, negara pun harus memfasilitasi dan mendanai segala kebutuhan produsen terkait proses sertifikasi halal produk. Dengan proses tersebut, berarti negara menjamin keamanan dan kehalalan produk yang setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat. 

Islam menjamin kehalalan produk sejak awal proses produksi, mulai dari pemilihan bahan baku, proses pembuatan, distribusi, hingga berakhir pada tangan konsumen. Semua proses diawasi negara. Semua dikontrol oleh para ahli di bidangnya. Para ulama pun mengawasi segala proses demi keamanan dan kehalalannya. 

Keamanan dan kehalalan produk makanan akan mudah terselenggara dalam sistem Islam. Bahkan, negara senantiasa mengawasi bahan pangan secara periodik dan mengeliminir segala bahan haram dan berbahaya yang beredar di pasaran.

Lantas apa lagi yang diragukan dari sistem Islam yang begitu sempurna mengatur kehidupan?

Wallahu a'lam bisshawwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Minggu, 20 November 2022

KTT ASEAN ke-40, MMC: Pemuda Dijadikan Tumbal Ekonomi Kapitalis

Tinta Media - Kapitalisasi pemuda sebagai bonus demografi yang disampaikan Presiden Jokowi dalam KTT ASEAN ke-40 dinilai Narator MMC hanya dijadikan tumbal ekonomi.

"Dengan alasan penyelamatan ekonomi ditengah krisis yang melanda dunia, pemuda dijadikan tumbal hingga menghilangkan peran utamanya sebagai pembangun peradaban cemerlang," ungkap narator dalam Serba-serbi MMC: KTT ASEAN ke-40 Pemuda hanya untuk dikapitalisasi? Senin (14/11/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center.

Narator menuturkan, pemuda dengan segala potensinya merupakan modal bagi suatu bangsa. Kehidupan dimasa datang tentu tak lepas dari peran pemuda. Sayangnya, disadari atau tidak sistem pendidikan kapitalis sekuler menyusupkan pemikiran materialistik kepada para pemuda.

"Pengarusan pemuda dalam dunia bisnis sejatinya hanya akan mengantarkan pemuda pada kebahagiaan individu semata dan sama sekali tidak akan menyentuh akar masalah dari carut marutnya sistem kehidupan saat ini," tegasnya.

Program UMKM yang menggerakkan ekonomi riil akan menyelamatkan keterpurukan ekonomi yang diciptakan oleh sistem kapitalis. "Akan tetapi, apakah problem bangsa lainnya seperti kerusakan moral, mental illness, kekerasan dan kriminalisasi, pergaulan bebas, disintegrasi, Islam mofobia juga akan terselesaikan?" narator menanyakan.

Pemuda dengan segala potensinya harus memiliki pemahaman Ideologi Islam yang akan menuntun mereka untuk meneruskan perjuangan Islam dengan membangkitkan pemikiran masyarakat yang jumud dan cenderung apatis terhadap Islam saat ini. "Dengan kreativitasnya, para pemuda muslim akan berkontribusi besar dalam upaya membangkitkan kembali peradaban Islam. Kebangkitan Islam akan terealisasi dalam kehidupan ketika pemikiran - pemikiran Islam ideologi menjadi arah perjuangan pemuda," bebernya.

Narator memberikan empat langkah yang harus dilakukan pemuda dalam membangkitkan kehidupan Islam. 

Pertama, menanamkan keimanan Islam pada dirinya. "Islam adalah agama paripurna yang mengatur segala perkara dunia dan akhirat. Bukan sekedar spiritual," ungkapnya.

Kedua, para pemuda semestinya mengkaji Islam sebagai ideologi bukan sekedar ilmu pengetahuan. "Wajib bagi mereka terikat dengan syariat Islam. Pemuda muslim harus menilai baik buruk serta benar salah berdasarkan ajaran Islam," jelasnya. 

Ketiga, senantiasa memiliki sikap yang berpihak pada Islam, bukan netral apalagi oportunis, demi mendapatkan keuntungan duniawi. "Mereka harus teguh pada Islam sebagai ideologinya," ujarnya. 

Keempat, para pemuda harus terlibat dalam dakwah menegakkan syariah dan khilafah bersama kelompok atau partai yang memperjuangkannya. "Hanya pemuda ideologis yang mampu melakukan perubahan hakiki ditengah-tengah umat, dengan tegaknya kembali peradaban Islam," pungkasnya.[] Yupi UN
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab