Kapitalisasi Sarana Umum Menyengsarakan Rakyat
Tinta Media - Siapa pun yang melakukan perjalanan pasti menginginkan perjalanannya lancar, selamat sampai tujuan. Apa jadinya kalau perjalanannya terhambat berjam-jam, sementara ada kepentingan yang sudah terjadwal, atau membawa barang yang harus segera sampai kepada tuannya?
Diberitakan CNBC Indonesia, kejadian yang memprihatinkan terjadi pada Selasa, 28 Februari hingga Rabu pagi, 1 Maret di jalan Nasional Tembesi, Batanghari, Jambi. Sebuah kemacetan panjang terjadi yang lamanya hingga 22 jam. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana menderitanya mereka yang terjebak kemacetan sepanjang 15 km tersebut, terutama para sopir truk yang membawa barang komoditas buah-buahan dan sayur-sayuran.
Menurut sumber yang sama, kemacetan itu mengakibatkan buah-buahan dan sayur- sayuran membusuk. Ketua umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aprindo) Gemilang Tarigan menyatakan bahwa kerugian yang terjadi ditaksir mencapai belasan miliar. Kemacetan disinyalir akibat ribuan truk pengangkut batu bara yang melintas di jalan tersebut.
Ketika dikonfirmasi mengenai kejadian tersebut, para pejabat negara terkesan saling melempar tanggung jawab. Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Irjen pol. Hendro Sugiatno menyatakan bahwa izin mengunakan jalan bagi truk pengangkut batu bara bukan wewenangnya, tetapi wewenang Dinas Pekerjaaan Umum & Penataan Ruang (PUPR) atau di Kementerian ESDM & gubernur. Sementara itu, staf khusus ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif menyatakan truk telah mengantongi izin melintas di jalan nasional dengan mekanisme, mulai beroperasi pada pukul 18.00 WIB hingga 06.00 WIB.
Pemerintah daerah (Gubernur) Jambi, Al-Haris seketika menutup jalan selama beberapa waktu. Beliau juga berharap agar kementerian ESDM mempunyai kebijakan dalam mengatur jalur pengangkutan batu bara, yaitu dengan membuat jalur sendiri, misalnya atau melalui jalur laut.
Lantas masalah ini sebenarnya tanggung jawab siapa?
Kapitalisasi Sarana Umum Menyengsarakan Rakyat
Keruwetan penanganan jalan sebenarnya tidak akan terjadi jika penguasa memahami bahwa urusan jalan adalah tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya.
Dalam sistem Kapitalisme, peran negara diminimalisir, hanya sebatas regulator saja. Ini termasuk dalam kepengurusan sarana umum seperti jalan raya. Pembangunan jalan sering dilakukan oleh perusahaan yang memenangkan tender. Sudah jamak diketahui budaya korupsi yang menggurita menyebabkan pembangunan jalan pun tanpa mempertimbangkan kualitas. Dalam kamus kapitalis, apa yg dikeluarkan harus diminimalkan dan apa yang dihasilkan harus dimaksimalkan.
Sebagaimana jalan tol yang dibangun di berbagai daerah, dibangun oleh perusahaan swasta arau asing. Rakyat akhirnya harus merogoh uang yang cukup banyak untuk bisa melintas dan menikmati sarana umum tersebut. Terkait kasus di Jambi, komisi III DPRD Provinsi Kaltim telah menganggarkan RP1.8triliun untuk pembangunan jalan. Namun, menurut ketua komisi III DPRD Kaltim Veridiana Huraq Wang anggaran itu kalah jauh dengan anggaran pembangunan jalan di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang mencapai Rp8,7triliun. (PikiranRakyat.Com)
Jelas ada pengabaian pemerintah terhadap penyediaan sarana umum yang nyaman untuk rakyat. Jalan yang harusnya gratis dilalui rakyat harus berbayar. Ini karena pembangunan sarana tersebut dilakukan oleh swasta atau pihak asing. Begitu pula jalan di daerah penambangan, seharusnya dibuat jalur sendiri, sehingga tidak mengganggu pengguna lain untuk memanfaatkan sarana umum tersebut.
Pengaturan Sarana Umum dalam Islam
Dalam Islam, sarana umum dibangun dari dana Baitul Mal dari pos kepemilikan negara, seperti jizyah, kharaj, khumus dsb. Jalan dibangun dengan tujuan untuk melancarkan perjalanan, sehingga kualitasnya dijaga. Siapa pun rakyat bisa melewati dan memanfaatkan fasilitas umum tersebut. Pembangunan dan perawatannya adalah tanggung jawab khalifah melalui jawatan/ departemen yang mengurusi kemaslahatan umat. Pemimpin departemen (Direktur) bertanggung jawab kepada unit di atasnya dari sisi pelaksanaan tugas. Dari sisi keterikatan dengan hukum syara' dan undang-undang, mereka bertanggung jawab kepada wali (gubernur) atau amil (bupati).
Sebagaimana zaman Amirul Mukminin Umar bin Khaththab saat memerintah, beliau sangat tegas memelihara kenyamanan sarana umum itu hingga tidak ingin ada pengguna jalan terkena musibah karena kondisi jalan yang rusak. Bahkan, beliau tidak ingin ada seekor kuda pun terperosok gara-gara jalan yang berlubang.
Terkait eksplorasi tambang, maka khilafah akan mempertimbangkan segala dampak yang dihasilkan. Semisal pembuangan limbah yang harus jauh dari pemukiman penduduk. Pengangkutan dari mulut tambang ke tempat pengolahan dibangun jalur khusus yang tidak mengganggu lalu lintas umum. Pengolahan tambang pun harus dipegang negara, tidak boleh diberikan swasta atau asing.
Jelas, seorang khalifah bertindak sebagai pengatur (raa'in) sebagaimana yang dititahkan Rasulullah Saw:
"Imam/ khalifah adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusan rakyatnya." (HR.Bukhari)
Dalam sistem khilafah, tidak akan ada saling melempar tanggung jawab atau mengabaikan amanah. Khalifah sadar, sesungguhnya ia tidak hanya bertanggung jawab kepada rakyat, tapi sekaligus bertanggung jawab langsung kepada Allah Swt., dan hari ini hal itu sangat sulit ditemui.
Wallahu 'alam bisshawwab.
Oleh: Dyah Rini
Sahabat Tinta Media