Tinta Media: Kajian
Tampilkan postingan dengan label Kajian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 November 2022

Ustazah L. Nur Salamah Jelaskan Syarat-syarat Menuntut Ilmu

Tinta Media - Aktivis Muslimah Kota Batam sekaligus Penulis dan Reporter Tinta Media menjelaskan tentang syarat-syarat dalam menuntut ilmu pada Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim Thoriqotu Ta'alum. Hal ini disampaikan saat menjadi pembicara pada Kajian Mutiara Ummat, Selasa (8/11/2022). 

"Untuk mendapatkan manisnya dan keberkahan ilmu, tentu ada syarat-syarat dalam menuntut ilmu yang harus dipenuhi," tegasnya.

Syarat-syarat menuntut ilmu ada enam perkara. Ini dikutip dari syair Ali bin Abi Thalib dan nasihat dari Imam Syafi'i. 

"Dikutip dari syair Ali bin Abi Thalib dan nasihat Imam Syafi'i bahwa syarat-syarat menuntut ilmu ada enam perkara. Pertama kecerdasan. Kedua adalah semangat atau kemauan. Ketiga adalah kesabaran atau kesungguhan. Keempat adalah perbekalan/ biaya. Kelima adalah petunjuk guru atau bersahabatlah dengan guru. Keenam adalah waktu yang lama," terangnya.

Perkara yang pertama adalah kecerdasan. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda tentang kecerdasan. Kalau mengikuti Albert Einstein, cerdas adalah yang jago ilmu sains. Namun di dalam Islam berbeda. "Kecerdasan terbagi tiga. Pertama orang yang jenius, kedua orang yang cerdas dan ketiga orang yang idiot. Orang yang jenius memiliki daya pikir di atas rata-rata seperti Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Lalu orang yang cerdas adalah orang yang selalu berusaha menuntut ilmu dan senantiasa mengingat tentang kematian. Lalu sibuk mempersiapkan bekal amal untuk menghadap Allah SWT, dan yang ketiga adalah orang idiot yang sudah tergambar sebelumnya," terangnya. 

Perkara kedua adalah semangat atau kemauan. Meluangkan waktu untuk senantiasa belajar bukan menunggu waktu luang baru belajar. "Sebagai penuntut ilmu harus memiliki sifat tamak dalam artian positif. Tamak dan rakus terhadap ilmu itu bukan tamak dalam hal materi dan duniawi. Bukan pula tamak dalam urusan harta dan jabatan," tegasnya.

Dalam hal menuntut ilmu, karanya, terutama mengkaji Islam haruslah bersemangat. Meluangkan waktu untuk belajar dan bukan menunggu waktu luang. "Penuntut ilmu juga diharuskan bersikap tamak dan rakus dalam hal menambah ilmu. Misalnya merasa tidak cukup dengan hanya belajar Kitab Ta'limu Al-Muta'alim saja, ingin menambah pelajaran Bahasa Arab atau kitab-kitab lainnya," bebernya.

Perkara yang ketiga adalah kesabaran atau kesungguhan. "Dalam menuntut ilmu pastinya dibutuhkan kesabaran atau kesungguhan. Meluruskan niat belajar karena Allah tidak asal-asalan. Ilmu yang telah diperoleh dicatat, diamalkan dan disebarkan," tegasnya. 

Perkara yang keempat adalah perbekalan (biaya). Menuntut ilmu tentu memerlukan biaya. "Dalam menuntut ilmu harus ada perbekalan (biaya) yang dikeluarkan. Baik dalam memenuhi sarana dan prasarana belajar atau biaya akomodasi dan lainnya," tambahnya. 

Perkara yang kelima adalah petunjuk dari guru atau bersahabatlah dengan guru. "Dalam perkara menutut ilmu agama tidak bisa mengandalkan sosial media. Atau sekedar kata orang. Harus mengikuti petunjuk guru atau bersahabat dengan guru. Proses belajar juga harus adanya talqiyan fikriyan, yakni proses berpikir dan tanya jawab. Harus bertemu langsung antara guru dan murid," imbuhnya.

Syarat yang terakhir dalam menuntut ilmu adalah membutuhkan waktu yang lama dan panjang. 

"Secara fitrah, belajar itu memerlukan waktu yang lama dan panjang. Maka butuh ketekunan dan jangan terburu-buru dalam memahami sebuah ilmu," pungkasnya. [] Reni Adelina/Nai

Jumat, 22 Juli 2022

Guru Luthfi: Al-Qur'an Wajib Dibaca, Dipahami, dan Diamalkan

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur'an, Tapin, Guru H. Luthfi Hidayat mengajak umat Islam untuk meresapi Surat Al-Baqarah ayat 121 bahwa Al-Qur'an wajib dibaca dengan baik, dipahami dan diamalkan agar terhindar dari kerugian.

“Kita akan meresapi Surat Al-Baqarah ayat ke 121 dengan tema Al-Qur'an wajib dibaca dengan baik, dipahami, dan diamalkan agar kita terhindar dari manusia yang merugi,” tegasnya dalam Program Jumat Bersama Al-Qur'an: Al-Qur'an Wajib Dibaca dengan Baik, Dipahami, dan Diamalkan, Jumat (15/7/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur'an.

Firman Allah SWT:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُولئِكَ يُؤمِنُونَ بهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولئِكَ هُمُ اْلخَاسِرُونَ 
(١٢١)

Artinya: “Orang-orang yang telah diberi Alkitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman  kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang merugi,” (TQS. Al-Baqarah [2]: 121).

Ia menyatakan penjelasan dari Imam Al Qurthubi dalam Tafsirnya Aj Jaami’ li Ahkamil Qur'an dari kalimat: الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِت 
Orang-orang yang telah Kami beri Al-Kitab kepadanya. “Qatadah mengatakan yang dimaksud dengan mereka adalah para sahabat Nabi Saw., adapun yang dimaksud dengan Al-Kitab menurut penakwilan ini adalah Al-Qur'an,” tuturnya.

Ia melanjutkan pernyataan dari Ibnu Said yang mengatakan bahwa maksud mereka di sana adalah kaum Bani Isra’il. Sedangkan yang dimaksud dengan Alkitab menurut penakwilan ini adalah Taurat. Berbeda dengan penjelasan dari Imam Muhammad Ali Ash Shabuni. “Menurutnya, yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam,” ujarnya.

Maka ia menguraikan kesimpulan dari Imam Al Qurthubi  tentang Surat Al-Baqarah ayat ke 121. “Maksud dengan ayat ini mencakup keduanya, yakni para sahabat Nabi atau juga Ahlu Kitab yang masuk Islam,” urainya.

Dan ibrah atau pelajaran dari ayat ini berlaku bagi saat ini. Ia menyebutkan kaidah dalam Ilmu Tafsir, “Al ‘ibrah bi ‘umumi lafzhi, law bikhususi sabab". “Ibrah atau pengertian diambil dari umumnya lafaz bukan dari kekhususan ayat tersebut diturunkan,” ucapnya.

Dalam kalimat berikutnya dari ayat ini:  
يَتْلُونَ حَقَّ تِلاَوَتِهِ
Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya.

Ia menjelaskan maknanya dari Imam Muhammad Ali Ash Shabuni  bahwa mereka membacanya dengan bacaan yang benar sebagaimana yang diturunkan (kepada Muhammad Saw.). Sementara menurut Imam Al Qurthubi menyebutkan mereka mengikutinya dengan sebenarnya.

“Yaitu dengan mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya sehingga mereka menghalalkan apa yang dihalalkan di dalamnya dan mengharamkan apa yang diharamkan di dalamnya serta mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Ini pendapat dari Muffasir zaman Tabi’in Al Ikrimah,” bebernya.

Kembali ia melanjutkan pendapat dari Abu Aliyah dalam Tafsir Ibnu Katsir. “Ibnu Mas’ud seorang Muffasir zaman sahabat yang mengemukakan yang dimaksud dengan membaca dengan bacaan sebenarnya adalah menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya serta membacanya sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Ta'ala, tidak mengubah kalimat dari tempatnya, dan tidak menafsirkan satu kata pun dengan penafsiran yang tidak seharusnya,” jelasnya.

Pendapat lain dari Al-Hasab al-Bashri, ia mengatakan bahwa mereka mengamalkan ayat-ayat muhkam di dalam Al-Qur'an dan beriman dengan ayat-ayat mutasyabihat yang ada di dalamnya serta menyerahkan hak-hak yang sulit dipahami kepada Zat Yang Maha Mengetahuinya.

Kalimat selanjutnya pada ayat ini: 
أُولئِكَ يُؤمِنُونَ بهِ
Mereka beriman kepadanya.

Ia menuturkan pernyataan Imam Muhammad Ali Ash Shabuni yang menegaskan makna kalimat tersebut.“Mereka ada orang-orang yang beriman sebenarnya, tidak orang yang membangkang yang mengubah kalam Allah,” tuturnya.

Sementara Ia menerangkan pendapat Imam Ibnu Katsir bahwa kalimat ini merupakan khabar (penjelasan) dari Firmannya: 
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَ حَقَّ تِلاَوَتِهِ
Orang-orang yang telah Kami berikan Alkitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya.

“Artinya, barang siapa di antara Ahlul Kitab yang menegakkan kitab Allah yang diturunkan kepada para nabi terdahulu dengan sebenar-benarnya maka ia akan beriman kepada apa yang engkau (Muhammad) bawa,” terangnya.

Ia pun mengakhirinya dengan Firman Allah ini yang ditutup dengan kalimat:
وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولئِكَ هُمُ اْلخَاسِرُونَ
Dan barang siapa yang ingkar kepadanya maka mereka itulah orang-orang yang rugi.

“Artinya barang siapa yang mengingkari Al-Qur'an, maka ia akan merugi di dunia dan di akhirat,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 10 Juli 2022

Ustaz Furqon Ungkap Keutamaan Basmalah


Tinta Media - Pimpinan Pondok Pesantren Nibrosul Ulum Ustaz Muhammad Furqon Syalthout mengungkap keutamaan basmalah dalam kitab Lubabul Hadis. 

"Bab ketiga Kitab Lubabul Hadits ini menerangkan tentang keutamaan membaca Bismillahir Rohmanir Rohim," tuturnya dalam kajian kitab Lubabul Hadis bab tiga “Keutamaan Basmalah ”, karya Al Allamah Imam Jalaluddin Kamaluddin As Suyuthi, Sabtu (2/7/2022), di Pondok Pesantren Nibrosul Ulum Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo. 

Pertama, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidaklah seorang hamba mengucapkan Bismillahir Rohmanir Rohim, kecuali setan meleleh seperti melelehnya timah di atas api”. 

Kedua, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Tidaklah seorang hamba mengucapkan Bismillahir Rohmanir Rohim, kecuali Allah SWT memerintah malaikat Kiromal Katibin (Malaikat yang bertugas mencatat amal perbutan manusia) untuk mencatat 400 kebagusan di buku catatan amalnya”. 

Ketiga, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Barang siapa yang mengucapkan Bismillahir Rohmanir Rohim sekali, maka tidaklah tersisa dari dosa-dosanya sebesar dzarrah”. 

Selain membaca, kata Ustaz Furqon, di dalam kitab ini juga diterangkan keutamaan bagia siapa saja yang menuliskan kalimat Basmalah kemudian membaguskan tulisannya.

Keempat, Muhammad SAW bersabda:
“Barang siapa menulis Bismillah, kemudian dia membaguskan (tulisan itu) sebagai bentuk pengagungan kepada Allah, maka diampuni baginya dosa yang terdahulu (telah dilakukan) dan dosa yang akhir (akan dilakukan)”. 

"Bukan hanya puasa yang menghapus dosa yang telah lalu dan yang akan datang. Menulis bismillah pun juga sama," tuturnya. 

Kelima, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Jika salah satu di antara kamu sekalian menulis Bismillahir Rohmanir Rohim, maka hendaklah dia memanjangkan kalimat Ar-Rohman (Maha Pengasih)”. 

Keenam, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT, telah menghiasi langit dengan bintang-bintang, Dia menghiasi malaikat dengan Malaikat Jibril, Dia menghiasi surga dengan bidadari dan istana, Dia menghiasi para nabi dengan Nabi Muhammad SAW, dia menghiasi hari-hari dengan hari Jumat, Dia menghiasi malam-malam dengan malam lailatul qodar, Dia menghiasi bulan-bulan dengan Bulan Ramadhan, Dia menghiasi masjid-masjid dengan Ka’bah, Dia menghiasi kitab-kitab dengan Al-Qur’an, dan Dia menghiasi Al-Qur’an dengan Bismillahir Rohmanir Rohim”. 

Ketujuh, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Barang siapa mengucapkan, Bismillahir Rohmanir Rohim, maka namanya ditulis termasuk golongan al-abroor (orang-orang yang berbuat baik), dan dia terbebas dari orang kufur (sifat orang kafir) dan nifaq (sifat orang munafiq)”. 

Kedelapan, Muhammad SAW bersabda:
“Barang siapa mengucapkan, Bismillahir Rohmanir Rohim, maka Allah mengampuni baginya dosa yang terdahulu (akan dilakukan)”. 

Kesembilan, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Apabila kamu semua berdiri maka ucapkanlah, Bismillahir Rohmanir Rohim, dan Shollallahu ala Sayyidina Muhammad wa ala alihi washohbihi wasallam (Semoga Allah memberikan rohmat kepada Baginda Muhammad beserta keluarga dan sahabat beliau, dan juga kesejahteraan), maka sesungguhnya manusia yang akan ghibah (menggunjing) kamu semua, maka Sang Raja (Allah SWT) akan mencegah mereka dari hal itu (gunjingan mereka)”. 

Kesepuluh, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Apabila kamu semua duduk dalam sebuah majelis, maka ucapkanlah,  Bismillahir Rohmanir Rohim, dan Shollallahu ala Sayyidina Muhammad wa ala alihi washohbihi wasallam (Semoga Allah memberikan rohmat kepada Baginda Muhammad beserta keluarga dan sahabat beliau, dan juga kesejahteraan), karena sesungguhnya orang yang melakukannya maka Allah akan memasrahkan malaikat kepadanya yang mencegah mereka (orang-orang) dari ghibah (menggunjing) sehingga mereka tidak menggunjing kepadamu semua”. 

Kemudian Ustaz Furqon mengajak untuk mengamalkan ini, yaitu mengucapkan kalimat bismillahirrohmaanirrohiim (karena sangat mudah dan sederhana sekali) setiap akan melakukan sesuatu baik pada saat berdiri maupun duduk. "Supaya kita mendapatkan keutamaannya," tegasnya.

Ustaz Furqon juga mengajak untuk mengamalkan ini dengan istiqomah (salah satu amalan yang kita persembahkan kepada Allah) dengan tujuan untuk bertaqorrub kepada Allah. "Mendekatkan diri kita sedekat dekatnya kepada Allah SWT," pungkasnya.[] *Achmad Muit*

Senin, 27 Juni 2022

Renungan Al-Baqarah ayat 115, Guru Luthfi: Menghadap Kiblat Ketika Shalat


Tinta Media - Pengurus Majelis Baitul Qur'an, Tapin, Guru Luthfi Hidayat menjelaskan kandungan dari Qur'an Surat Al-Baqarah ayat ke 115 bahwa ketika shalat menghadap kiblat.

“Kita akan sama-sama merenungkan Firman Allah Surat Al-Baqarah ayat ke 115 bahwa ketika shalat menghadap kiblat,” tuturnya dalam program Kajian Jumat Bersama Al Qur'an: Menghadap Kiblat Ketika Shalat, Jumat (10/6/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur'an.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

وَاللهِ المَشْرِقُ وَالمَغْرِبُ فَأَينَما تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إنّ
اللهَ واسِعٌ عَلِيم

“Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kalian menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui,” (TQS. Al-Baqarah [2]: 115).

Ia mengatakan bahwa Imam Ibnu Katsir memberikan latar belakang akan ayat ini.
“Ayat ini -wallahu a’lam-, mengandung hiburan bagi Rasulullah Saw. dan para sahabatnya yang diusir dari Makkah dan dipisahkan dari masjid dan tempat salat mereka,” ucapnya.

Menurutnya, dulu Rasulullah SAW mengerjakan shalat di Makkah dengan menghadap ke Baitul Maqdis, sedang Ka'bah berada dihadapannya. Dan ketika hijrah ke Madinah, beliau dihadapkan langsung ke Baitul Maqdis selama 16 atau 17 bulan. “Dan setelah itu, Allah Ta'ala menyuruhnya menghadap Kabah,” katanya.

Imam Al Qurthubi  di dalam tafsir beliau Al Jami li Ahkamil Qur'an memberikan penjelasan dari Firman Allah Swt.: المَشْرِقُ وَالمَغْرِبُ
“Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat.”
Ia memaparkan penjelasannya bahwa Al Masyriq adalah tempat terbitnya matahari (timur) sedangkan Al Maghrib adalah tempat terbenamnya matahari (barat).

“Maksudnya tempat terbit dan tempat terbenamnya matahari itu adalah milik Allah Swt., juga apa yang ada diantara keduanya, yaitu arah dan makhluk dengan penciptaan dan pembentukan,” paparnya.

Ia menuturkan, selain penghormatan, juga karena sebab musabab ayat ini menuntut agar Timur dan Barat disebutkan.
“Timur dan Barat disebutkan secara khusus dan disandarkan kepada lafadz Allah sebagai tanda penghormatan. Seperti pada kalimat Bait’ullah, naaqatallah (onta Allah),” tuturnya.

Kemudian, ia menjelaskan bahwa Imam Ibnu Katsir dalam kitab An Naasikh wa Mansukh menyebutkan Abu Zubair, Qasim bin Salam meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat Al Qur'an yang pertama kali dinasakh  dan yang telah diceritakan kepada mereka -wallahu a'lam- adalah masalah kiblat.

“Maka Rasulullah Saw. pun menghadap dan mengerjakan salat ke arag Baitul Maqdis dan menibggalkan Baitul’atiq (Ka'bah). Setelah itu Allah Ta'alla memerintahkannya untuk menghadap ke Baitul’atiq atau Ka'bah,” jelasnya.

Dan Allah pun menasakh  perintah-nya dari menghadap ke Baitul Maqdis. Allah berfirman: “Dan dari mana saja engkau keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kalian berada maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah, [2]: 150).

Kembali ia menerangkan penjelasan dari Imam Al Qurthubi  bahwa ada dua perbedaan para ulama atas pemahaman ayat:
فَأَينَما تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ

Pertama, berkata Abdullah bin Amir bin Rabi'ah bahwa ayat ini diturunkan tentang orang-orang yang menghadap kiblat pada malam yang gelap gulita. 

“Mayoritas ahli ilmu berpendapat bahwa ayat ini turun dikarenakan orang-orang yang salat dalam sebuah perjalanan di malam hari, tidak tahu di mana kiblat sehingga mereka salat sesuai dengan arahnya. Dan keesokan harinya, mereka menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW, sehingga turunlah ayat ini, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abdullah bin Amir bin Rabi'ah,” bebernya.

Dan Imam Al Qurthubi mengatakan, pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah dan Malik. Hanya saja Imam Malik berkata, “Orang yang salah tanpa menghadap kiblat itu disunahkan mengulangi salatnya pada waktunya.”

Ia menuturkan pendapat Imam Al Qurthubi.
“Namun hal itu bukanlah suatu kewajiban baginya sebab dia telah melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya,” tuturnya.

“Namun Mughirah dan Asy-syar’i berkata ‘Shalat itu tidak cukup (tidak sah) baginya. Sebab menghadap kiblat merupakan salah satu syarat shalat.’,” ucapnya.

Kedua, terkait ayat tersebut bahwa Ibnu Umar mengatakan ayat ini diturunkan tentang seorang musafir yang melakukan salat sunah seraya menghadap ke mana pun hewan tunggangannya menghadap,”.
“Tidak ada silang pendapat di antara  para ulama mengenai diperbolehkannya melaksanakan salat sunah di atas hewan tunggangan,” katanya.

Ketiga, Ibnu Said mengatakan orang-orang Yahudi menganggap baik shalat Nabi menghadap ke Baitul Maqdis. Mereka mengatakan bahwa Nabi mendapatkan petunjuk melainkan karena mereka (Yahudi). Dan ketika kiblat dialihkan ke Ka'bah, Yahudi mempertanyakan umat Islam yang telah berpaling dari kilahnya (Baitul Maqdis). “Maka turunlah ayat ini,” ujarnya.

Sementara, ia menjelaskan pendapat Mujahid yang mengatakan di mana pun kalian (umat Islam) berada maka bagi kalian menghadap ke Ka'bah.

“Dan dikatakan bahwa Allah Swt. menurunkan ayat ini sebelum diwajibkannya menghadap Ka'bah,  yakni Surat Al-Baqarah ayat 150 yang menasakh ayat ini,” jelasnya.

Selanjutnya ia menerangkan penutup ayat ini:
إنّ اللهَ واسِعٌ عَلِيم
“Sesungguhnya Allah Maha luas lagi Maha mengetahui.”

“Menurut Ibnu Jarir, bahwa Allah meliputi semua makhluk-Nya dengan kecukupan, kedermawanan, dan karunia. Sedangkan makna firman-Nya, yakni Allah mengetahui semua perbuatan makhluk-Nya,” jelasnya.

“Tidak ada satu perbuatan pun yang tersembunyi dan luput dari-Nya, tetapi sebaliknya, Dia Maha mengetahui seluruh perbuatan mereka. Demikianlah makna Firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 115,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Rabu, 15 Juni 2022

Orang Cerdas Senantiasa Ingat Kematian


Tinta Media - Pengasuh kajian kitab Nashaihul 'Ibad, Ustaz Khozin Mubarok menuturkan orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa mengingat kematian.

"Orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa mengingat kematian," ujarnya dalam acara Karomah Fajar: Bekal Terbaik Seorang Mukmin, Jumat (9/6/2022) melalui Kaffah Channel.

"Seorang mukmin bila mengingat kematian, dia tidak loyo tetapi semakin semangat dalam bertaqwa kepada Allah SWT. Tidak mau melanggar aturan-aturan Allah, semangat bekerja, berdakwah, dan semangat dalam melakukan kebaikan lainnya," lanjutnya.

Ia mengutip perkataan Abu Bakar Ash-Shiddiq bahwa apabila orang meninggal tanpa adanya bekal, maka seolah-olah orang tersebut mengarungi samudera tanpa perahu, jadi tenggelam. "Yang dimaksud bekal disini adalah amal shaleh atau amal yang Allah telah perintahkan. Adapun semua amal yang dilakukan manusia sebenarnya untuk kepentingan manusia sendiri jika dilakukan dengan ikhlas dan ridlo maka akan menjadi amal shaleh," ujarnya.

Ia menjelaskan, orang yang cerdas adalah orang yang beramal untuk kehidupan setelah kematian. "Dan kebahagiaan seorang mukmin itu ketika dia bisa bermanfaat kepada orang lain. Dan kemanfaatan yang terbesar adalah mengajak mereka beriman kepada Allah," pungkasnya.[] Yupi UN

Sabtu, 11 Juni 2022

Kajian Kitab Nashaihul Ibad, Yuk Ngaji Sidoarjo: Allah Haramkan Kezaliman


Tinta Media - Melanjutkan kajian Kitab Nashaihul Ibad karya Syeikh Nawawi Al-Bantani, Pengasuh MT Nurul Iman Tanggulangin, Sidoarjo KH Khozin Mubarak menuturkan sebuah hadits qudsi, bahwasanya Allah SWT telah mengharamkan kezaliman.

"Berbuat zalim atau menzalimi satu dengan yang lain, enggak boleh, diharamkan" tegasnya dalam Kajian Kitab Nashaihul Ibad, pertemuan kedua bersama Teman Yuk Ngaji Sidoarjo, Kamis (8/6/2022) di Mushalla Baburrayan.

"Kriteria zalim itu sesuatu yang sebenarnya menyalahi aturan Allah" sambungnya, seraya menyampaikan hadits qudsi yang diijazahkan oleh Al-'Alamah Syeikh Muhammad Al-Khatib, Ibnu Utsman bin Abbas bin Utsman, dari gurunya bersambung kepada Abu Dzar Al-Ghifari, dari Rasulullah SAW, yang artinya,

'Sungguh Aku telah mengharamkan berbuat zalim atas diri-Ku, dan Aku jadikan kezaliman di antara kamu sesuatu yang diharamkan, maka janganlah kamu saling menzalimi.'

Dengan kata lain, apabila suatu hukum memiliki sifat zalim, berarti menurutnya, salah satu faktor penyebabnya cenderung dikarenakan tidak berhukum dengan syariat Allah. 

"Kalau kita sudah tidak berhukum atau tidak memakai syariat Allah, sudah pasti termasuk di dalamnya itu kezaliman" terangnya dalam kajian bulanan, di hari Kamis pekan kedua tersebut.

Sebagaimana pula diterangkan Allah SWT di dalam firman yang artinya, 'Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.' QS. Al-Maidah: 45.

Sehingga ia menegaskan, keadilan adalah bagian dari syari'at Allah SWT. "Bagaimana bisa adil, wong sudah enggak mau ngikuti perintah Allah. Pasti di sana ada ketidakadilan," ucapnya menyinggung hukum yang diterapkan saat ini.

Dan yang terpenting menurutnya, khitab atau dalil yang disampaikan kepada Rasulullah tersebut, sebenarnya berlaku umum. "Karena (dalam bentuk) jamak. Yaa 'ibadii, bukan yaa 'abdi," jelasnya.

Kesesatan

Berikutnya, lanjut Kiai Khozin, hadits tersebut juga memuat tentang kesesatan makhluk. "Kamu semua sesat kecuali yang telah Aku beri petunjuk padanya. Maka mintalah kamu petunjuk kepada-Ku, Aku akan berikan petunjuk kalian," kutipnya.

Begitu pula dengan rasa lapar dan yang hidup tanpa berpakaian (ketika lahir). Atas dasar itu umat diperintahkan untuk senantiasa meminta rizki hanya kepada Allah SWT. 

"Ketika lahir, pada hakikatnya orang tua menyusui itu juga karena Ar-Rahim Allah saja," tukasnya.

"Kalau tidak karena sifat welas Allah yang diberikan kepada orang tua, mungkin ditinggal bayinya," sambungnya sedikit berseloroh.

Pun demikian dengan rasa bersalah dan dosa. Pasalnya, manusia yang notabene tempatnya salah dan dosa memiliki kecenderungan nafsu yang menurut Kiai Khazin, berpotensi berbuat kesalahan. 

"Maka itu Allah memberikan ampunan apabila manusia meminta dan bertobat kepada-Nya," timpalnya, sembari mengimbau apabila sudah berniat tidak mengulangi kesalahan, seorang Muslim jangan pernah sekalipun ingin mengulangi.

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri," ucapnya menukil QS. Al-Baqarah: 222.

"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.," tambahnya yang juga mengutip Al-Qur'an tepatnya Surat Ali Imran ayat 133.

Lantaran itu, ia pun mengajak kaum Muslimin untuk tidak bersikap sombong, hanya karena tidak bersedia bertobat mengakui segala kesalahan dan dosanya.

Maka itu juga, sambung Kiai Khozin, salah satu dari tujuh golongan yang kelak di Yaumul Akhir diberikan naungan, sementara tidak ada perlindungan kecuali dari Allah SWT, adalah seorang laki-laki yang menangis ketika sendiri mengingat dosa-dosanya.

"Namun yang pertama sebenarnya adalah kepada imam (pemimpin/penguasa) yang adil," tegasnya.

Sama halnya terkait ketakwaan maupun kemungkaran penduduk bumi, mulai dari Nabi Adam hingga manusia terakhir, atau juga dari kalangan jin, sejatinya tidak akan menambah atau mengurangi kekuasaan dan kemuliaan Allah SWT sedikitpun.

"Ini menunjukkan Allah enggak butuh kita, justru kita semua yang butuh Allah," ujarnya.

Kemudian masih dalam hadits tersebut, dikatakan, 'Barang siapa yang menemukan kebaikan hendaknya memuji Allah SWT. Barang siapa menemukan kejelekan, janganlah sekali-kali mencela kecuali terhadap dirinya sendiri.'

Hadits Kedua

Terakhir, berkenaan dengan hadits kedua. Dari Abdullah bin Amru bin Ash, Nabi SAW bersabda tentang sebab memperoleh Husnul Khatimah, yang artinya, 

'Orang-orang yang pengasih akan dikasihani (Tuhan) yang Maha Pengasih, Maha Suci dan Maha Tinggi (Allah), sayangilah orang yang ada di muka bumi, niscaya orang yang ada di langit (para Malaikat) akan mengasihimu.' (HR.Muslim)

Tak hanya manusia, sambung Kiai Khozin menyampaikan, tetapi meliputi binatang yang kita tidak disuruh membunuhnya. 

Adapun binatang-binatang yang dianjurkan dibunuh adalah binatang fasik yang haram untuk dimakan yakni ular, gagak, tikus, anjing galak, burung elang.

Dengan demikian, manusia harus berkasih sayang terhadap sesama dan makhluk hidup pada umumnya. Yaitu, dengan mencintainya dan berdoa bagi mereka agar mendapatkan rahmat Allah serta magfirah-Nya. 

"Dengan begitu, niscaya malaikat yang ada di langit, yang jumlahnya melebihi penduduk bumi akan mengasihi kita," pungkasnya. []Zainul Krian
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab