Tinta Media: Kajian Tafsir Al-Qur'an
Tampilkan postingan dengan label Kajian Tafsir Al-Qur'an. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian Tafsir Al-Qur'an. Tampilkan semua postingan

Kamis, 23 Maret 2023

Ustadz Labib: Sebuah Kezaliman Menjamu Israel yang Memerangi Palestina

Tinta Media - Cendekiawan Muslim KH Rokhmat S. Labib menegaskan bahwa sebuah kezaliman menjamu atau menerima tamu Timnas U-20 Israel yang jelas memerangi, menumpahkan darah, dan mengusir kaum muslimin dari Palestina.

“Sebuah kezaliman menjamu tamu (orang-orang kafir) dan memperlakukan mereka sebagai layaknya kekasih, pemimpin, padahal jelas mereka memerangi kaum muslimin, menumpahkan darah, dan mengusir kaum muslimin dari negerinya,” tegasnya dalam Kajian Tafsir al wa'ie: Menerima U-20 Israel, Haram! (Tafsir QS. Al-Mumtahanah [60]: 8-9), Rabu (15/3/2023) di kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.

Ustadz Labib, sapaan akrabnya, mengungkapkan sekarang ini banyak yang salah bagaimana Islam memandang dan menjelaskan tentang kedatangan sejumlah tim sepakbola dari Israel yang dikaitkan dengan Firman Allah dalam QS. Al-Mumtahanah ayat ke 8-9. Dalam penjelasan ayat ini disebutkan kedudukan kaum kafir dalam hubungan muamalah dengan kaum muslimin.

“Secara global kesimpulan dari ayat ini bahwa perlakuan kita kepada orang kafir bergantung kepada perlakuan mereka terhadap kaum muslimin. Perlakuan mereka, itulah yang menjadi penentu,” ungkapnya.

"Apabila orang-orang kafir tidak memerangi kaum muslimin, tidak mengusir kaum muslimin, dan tidak membantu mengusir kaum muslimin maka tidak dilarang oleh Allah SWT untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka," tambahnya. 

Sementara sebaliknya, kata Ustadz Labib, jika orang-orang kafir memerangi, mengusir dari tempat tinggal dan negeri kaum muslimin, dan ikut membantu pengusiran itu, maka tidak boleh kaum muslimin mengangkat sebagai wali. 

"Wali ini sebagai badal dari sikap sebelumnya, berarti tidak boleh kamu berbuat baik kepada mereka dan berbuat adil dlm pengertian memperlakukan mereka seperti layaknya terhadap orang-orang yang tidak memerangi kaum muslimin,” bebernya.

Ia menerangkan dalam ayat selanjutnya tentang larangan Allah kepada kaum muslimin untuk mengangkat orang-orang kafir sebagai wali. "Ketika mereka memerangi karena agama, mengusir dari negeri kaum muslimin tinggal, dan mereka itu membantu pengusiran kaum muslimin. Larangan ini sampai pada hukum haram. Disebutkan barang siapa mengangkat mereka sebagai wali, maka mereka termasuk orang-orang yang zalim," ungkapnya. 

“Dalam Al Qur’an, makna wali menunjukkan sifatnya kedekatan, penolong (punya kedekatan secara emosional), mencintai, atau makna sekutu. Artinya tidak boleh mengangkat mereka sebagai teman dekat, sekutu, sebagai orang yang kalian cintai, dan segala macamnya. Itu tidak boleh!” terangnya.

Sejak awal menurutnya, Yahudi atau bangsa Israel diaspora, tercerai berai di berbagai negara. Lalu mereka datang ke Palestina dan melakukan perampokan, orang yang sudah tinggal diteror, diusir dengan kekuatan bantuan dari Inggris, singkat cerita lebih dari separuh penduduk Palestina terusir dari tanah mereka. Dilihat dari sejarah masuknya Yahudi sangat jelas memenuhi kriteria dalam QS. Al-Mumtahanah ayat ke 8-9, yakni memerangi warga Palestina dan mengusir dari tempat tinggalnya.

“Jadi benar mereka (Israel) memerangi dan mengusir warga Palestina, awalnya wilayah atau daerah kekuasaannya sedikit, tapi lama kelamaan meluas. Mereka telah merampas tanah milik Palestina,” tuturnya.

Ia mengatakan jika menginginkan Al Qur’an sebagai pedoman maka menjamu orang-orang kafir yang menguasai wilayah negara Palestina dengan memerangi, menumpahkan darah, dan mengusirnya, itu merupakan kemungkaran. Dan kemungkaran itu harus dihilangkan semampunya. Kalau tidak bisa, tidak boleh merasa ridho dan senang dengan kemungkaran itu. Ridho kepada kemaksiatan adalah kemaksiatan dan ridho kepada kekufuran adalah kekufuran.

“Jika kita berada pada penguasa-penguasa yang tidak terikat dengan Qur’an, ya tidak akan bisa kaum Yahudi (Israel) itu bisa lenyap, yang terjadi justru semakin kokoh,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Rabu, 08 Maret 2023

Guru Luthfi: Tauhid, Pondasi dalam Beragama

Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur'an Tapin Guru H. Luthfi Hidayat mengatakan bahwa tauhid, pondasi dalam beragama.

"Surah Al Baqarah ayat ke-163 yang akan sama-sama kita resapi hari ini, ayat yang mulia ini menjelaskan perkara pondasi dalam beragama yakni mengesakan Allah Subhanahu wa Ta'ala, tauhid dan benar-benar memurnikan tauhid," tuturnya dalam Kajian Jum'at bersama Al-Qur'an: Hakikat Kalimat Tauhid, Jum'at (3/3/2023) di kanal YouTube Majelis Baitul Qur'an.

Ia menuturkan bahwa Imam al Qurthubi  dalam tafsirnya Al Jami' li Ahkami Qur'an menjelaskan bahwa setelah pada ayat sebelumnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala memperingatkan untuk tidak menyembunyikan kebenaran, lalu pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan hal pertama yang wajib diberitahukan dan dilarang untuk disembunyikan, tidak lain mengenai perkara tauhid.

Ia menjelaskan bahwa hal tersebut dapat dilakukan dengan mengingat semua bukti-bukti ketuhanan, meyakininya, dan merenungi keajaiban seluruh makhluk ciptaan-Nya. "Tujuannya, adalah agar kita semua dapat mengetahui bahwa, Pencipta semua ini tidak mungkin diserupai oleh siapapun dan apapun yang ada di alam semesta," ujarnya.

Ia melanjutkan bahwa Imam al Qurthubi juga menjelaskan asbabun nuzul dari ayat ini. Bahwa Ibnu Abbas pernah meriwayatkan: suatu hari kaum kafir Quraisy berkata: "Wahai Muhammad, sebutkan Tuhanmu kepada kami." (Maka Allah menurunkan Surat Al Ikhlas dan ayat ini). Pada saat itu mereka memiliki sekitar tiga ratus enam puluh berhala.  Allah SWT  menerangkan keEsaan-Nya.

Firman Allah SWT: 
"Dan Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa.”

Ia menambahkan bahwa Imam Muhammad Ali Ash Shabuni menjelaskan:
Artinya, Tuhan kalian yang berhak disembah adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya. "Secara Ilmu Balaghah beliau menjelaskan:
Ungkapan ini bernada khabar (informasi), bukan berupa afirmasi (peneguhan), diturunkan bagi orang yang ingkar, menempati orang yang tidak mengingkari," jelasnya 

'Sebab di depan mereka terdapat bukti nyata dan dalil yang kuat, jika seandainya mereka bersedia merenungkannya, niscaya mereka akan meyakininya. 
Tidak ada Tuhan melainkan Dia," bebernya.

Kemudian, lanjutnya,  Imam Al Qurthubi menjelaskan: Firman Allah ini; ada peniadaan dan ada penetapan. Kalimat pertama adalah kekufuran dan kalimat kedua adalah keimanan. Makna firman ini sendiri adalah, tidak ada yang harus disembah melainkan Allah SWT. Kemudian kalimat berikutnya..Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maba Penyayang. "Imam Ali Ash Shabuni menjelaskan: Tiada Dzat yang layak disembah kecuali Allah SWT, pemilik kenikmatan dan sumber kebaikan," tambahnya.

Imam Al Qurthubi menambahkan  penjelasan kebaikan kalimat tauhid ini bahwa 
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjanjikan ganjaran yang melimpah bagi orang yang mengucapkannya, yaitu yang disampaikan melalui lisan nabi-Nya Muhammad SAW.  Beliau bersabda: "Barangsiapa yang akhir ucapannya (pada saat meregang nyawa) adalah kalimat 'laa ilaaha illallah'  maka ia pasti masuk surga." (HR. Muslim).

"Maksudnya adalah ucapan disertai keyakinan hati, bukan hanya ucapan lisan saja.  Dengan demikian, jika seseorang mengucapkan 'laa ilaaha ' lalu wafat,  hati dan keyakinannya tetap berkomit pada tauhid dan segala sifat yang dimiliki oleh Tuhan, maka ia termasuk ahli surga. Hal disepakati oleh seluruh ulama Ahlus sunnah," paparnya.

"Demikianlah yang bisa kita fahami dari surah Al Baqarah ayat 163. Allah lah satu-satunya Dzat yang wajib kita sembah, Allah lah satu-satunya Dzat yang wajib diibadahi dan diagungkan," pungkasnya.[] Ajira

Senin, 20 Februari 2023

Guru Luthfi: Sa’i Antara Bukit Shafa dan Marwah adalah Salah Satu Rukun Haji


Tinta Media - Penjelasan Surat Al-Baqarah ayat 158 menurut Pengurus Majelis Baitul Qur’an Tapin Guru H. Luthfi Hidayat adalah tentang ritual sa'i, yakni berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah.

“Firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 158 adalah tentang ritual sa'i yang merupakan bagian dari ritual haji atau umrah, yakni berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah,” tuturnya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Sa'i, Berlari-lari Kecil Antara Bukit Shafa dan Marwah, Jumat (10/2/2023) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Firman Allah Swt.:

إِنَّ الصَّفا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُناحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِما وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَإِنَّ اللَّهَ شاكِرٌ عَلِيمٌ (١٥٨)

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 158)

Ia mengungkapkan muhasabah dari keterkaitan ayat 158 ini dengan ayat sebelumnya, adalah tatkala Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengingat-Nya dan bersyukur kepada-Nya.

“Dan Allah mengajak orang-orang beriman untuk meminta tolong dengan sabar dan shalat, kemudian ayat selanjutnya menerangkan pentingnya haji,” ungkapnya.
Ia menerangkan bahwa Shafa dan Marwah, keduanya nama dua Bukit dekat Masjidil Haram.

“Imam Al Qurthubi menyebutkan Bukit yang pertama dinamakan dengan Shafa karena dulu Nabi Adam a.s. (al musthafa) pernah berdiri di atasnya, maka dinamakanlah bukit itu dengan nama tersebut (ash Shafa). Dan Bukit kedua dinamakan Bukit Marwah karena dulu Hawa (Al Mar’wah) pernah berdiri di atasnya, maka dinamakan bukit ini dengan nama tersebut (Marwah), wallahu a’lam,” terangnya.

Bukit Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Berdasarkan penjelasan dari Imam Muhammad Ali Ash Shabuni dari kalimat “sya’aairillah”. Pluralnya adalah “sya’iirah”, secara bahasa bermakna tanda-tanda.

“Termasuk sebagai tanda-tanda agama Allah dan ritual-ritual agama-Nya, yang mana kita beribadah kepada Allah dengan ritual-ritual tersebut,” ujarnya.

“Sya’aair bisa bermakna setiap amalan yang kita pahami sebagai beribadah kepada Allah, berkenaan dengan perkara agama, seperti thawaf, sa’i, adzan, dan lain-lain,” lanjutnya.
Ia menyebutkan penjelasan Imam Ibnu Katsir tentang sa’i antara Shafa dan Marwah adalah salah satu syiar Allah Swt. dan merupakan sesuatu yang disarankan kepada Ibrahim dalam menunaikan ibadah haji.

“Tentang disyariatkannya ritual sa’i antara Shafa dan Marwah, diriwayatkan dalam hadis sahih Imam al-Bukhari dan Muslim bahwa Aisyah r.a. mengatakan Rasulullah saw. telah mensyariatkan sa’i antara keduanya, maka tidak seorang pun diperbolehkan meninggalkan sa’i di antara Shafa dan Marwah,” urainya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Habibah binti Abi Tajrah bahwa ia menceritakan pernah menyaksikan Rasulullah saw. mengerjakan sa’i antara Shafa dan Marwah. Orang-orang berada di hadapannya, dan Rasulullah berlari-lari kecil, karena kerasnya ia melihat kedua lututnya dikelilingi oleh kain. Rasulullah saw. bersabda, ”kerjakanlah sa’i karena Allah Ta’ala telah mewajibkan kepada kalian sa’i.”

“Hadis ini dijadikan sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa sa’i antara Shafa dan Marwah merupakan salah satu rukun haji,” tuturnya.

Ia mengungkapkan kalimat selanjutnya dalam QS. Al-Baqarah ayat 158.

 فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُناحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِما وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَإِنَّ اللَّهَ شاكِرٌ عَلِيمٌ

Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.

“Artinya barang siapa mengerjakan haji dan umrah setelah melaksanakan hajatnya, yang diwajibkan kepadanya, akan mengerjakan kebaikan fardu maupun sunah,” ungkapnya.
Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan ketaatannya dan akan membalas perbuatannya dengan sebaik-baik balasan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui setiap apa yang berasal dari hamba-Nya, berupa amal perbuatannya. Sesungguhnya Allah tidak pernah menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. [] Ageng Kartika









Guru Luthfi: Sa’i Antara Bukit Shafa dan Marwah adalah Salah Satu Rukun Haji

Tinta Media - Penjelasan Surat Al-Baqarah ayat 158 menurut Pengurus Majelis Baitul Qur’an Tapin Guru H. Luthfi Hidayat adalah tentang ritual sa'i, yakni berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah.

“Firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 158 adalah tentang ritual sa'i yang merupakan bagian dari ritual haji atau umrah, yakni berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah,” tuturnya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Sa'i, Berlari-lari Kecil Antara Bukit Shafa dan Marwah, Jumat (10/2/2023) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Firman Allah Swt.:

إِنَّ الصَّفا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُناحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِما وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَإِنَّ اللَّهَ شاكِرٌ عَلِيمٌ (١٥٨)

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 158)

Ia mengungkapkan muhasabah dari keterkaitan ayat 158 ini dengan ayat sebelumnya, adalah tatkala Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengingat-Nya dan bersyukur kepada-Nya.

“Dan Allah mengajak orang-orang beriman untuk meminta tolong dengan sabar dan shalat, kemudian ayat selanjutnya menerangkan pentingnya haji,” ungkapnya.
Ia menerangkan bahwa Shafa dan Marwah, keduanya nama dua Bukit dekat Masjidil Haram.

“Imam Al Qurthubi menyebutkan Bukit yang pertama dinamakan dengan Shafa karena dulu Nabi Adam a.s. (al musthafa) pernah berdiri di atasnya, maka dinamakanlah bukit itu dengan nama tersebut (ash Shafa). Dan Bukit kedua dinamakan Bukit Marwah karena dulu Hawa (Al Mar’wah) pernah berdiri di atasnya, maka dinamakan bukit ini dengan nama tersebut (Marwah), wallahu a’lam,” terangnya.

Bukit Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Berdasarkan penjelasan dari Imam Muhammad Ali Ash Shabuni dari kalimat “sya’aairillah”. Pluralnya adalah “sya’iirah”, secara bahasa bermakna tanda-tanda.

“Termasuk sebagai tanda-tanda agama Allah dan ritual-ritual agama-Nya, yang mana kita beribadah kepada Allah dengan ritual-ritual tersebut,” ujarnya.

“Sya’aair bisa bermakna setiap amalan yang kita pahami sebagai beribadah kepada Allah, berkenaan dengan perkara agama, seperti thawaf, sa’i, adzan, dan lain-lain,” lanjutnya.
Ia menyebutkan penjelasan Imam Ibnu Katsir tentang sa’i antara Shafa dan Marwah adalah salah satu syiar Allah Swt. dan merupakan sesuatu yang disarankan kepada Ibrahim dalam menunaikan ibadah haji.

“Tentang disyariatkannya ritual sa’i antara Shafa dan Marwah, diriwayatkan dalam hadis sahih Imam al-Bukhari dan Muslim bahwa Aisyah r.a. mengatakan Rasulullah saw. telah mensyariatkan sa’i antara keduanya, maka tidak seorang pun diperbolehkan meninggalkan sa’i di antara Shafa dan Marwah,” urainya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Habibah binti Abi Tajrah bahwa ia menceritakan pernah menyaksikan Rasulullah saw. mengerjakan sa’i antara Shafa dan Marwah. Orang-orang berada di hadapannya, dan Rasulullah berlari-lari kecil, karena kerasnya ia melihat kedua lututnya dikelilingi oleh kain. Rasulullah saw. bersabda, ”kerjakanlah sa’i karena Allah Ta’ala telah mewajibkan kepada kalian sa’i.”

“Hadis ini dijadikan sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa sa’i antara Shafa dan Marwah merupakan salah satu rukun haji,” tuturnya.

Ia mengungkapkan kalimat selanjutnya dalam QS. Al-Baqarah ayat 158.

 فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُناحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِما وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَإِنَّ اللَّهَ شاكِرٌ عَلِيمٌ

Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i di antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.

“Artinya barang siapa mengerjakan haji dan umrah setelah melaksanakan hajatnya, yang diwajibkan kepadanya, akan mengerjakan kebaikan fardu maupun sunah,” ungkapnya.
Maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan ketaatannya dan akan membalas perbuatannya dengan sebaik-baik balasan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui setiap apa yang berasal dari hamba-Nya, berupa amal perbuatannya. Sesungguhnya Allah tidak pernah menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab