Tinta Media: Kajian Kitab
Tampilkan postingan dengan label Kajian Kitab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian Kitab. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Maret 2023

Ustadzah L. Nur Salamah : Penuntut Ilmu Sebaiknya Tidak Memilih Ilmu Sesuai Kemauan Sendiri

Tinta Media - Pengasuh Kajian Mutiara Ummat sekaligus penulis, Ustadzah L. Nur Salamah, S.Pd. menyampaikan bahwa seorang penuntut ilmu sebaiknya tidak memilih ilmu sesuai kemauan sendiri.

"Seyogyanya bagi penuntut ilmu untuk tidak memilih jenis ilmu sesuai kemauannya sendiri. Akan tetapi menyerahkan urusan kepada gurunya," tuturnya saat menyampaikan kajian umum Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim, Selasa (21/3/2023) di Batam.

Karena sesungguhnya, kata Ustadzah Nur, seorang Ustadz, telah ada padanya pengalaman dalam hal itu. Maka guru itu lebih paham apa yang tepat bagi setiap orang-orang dengan kebiasaan dan tabiatnya masing-masing.

Selanjutnya ia menceritakan tentang kisah seorang ulama yang bernama Syekh Burhanuddin Al-Hak atau Burhanul Hak Waddin.

"Dan adapun seorang Syaikhul Imam Al-Ajal (yang mulia) Ustadz Burhanul Hak Waddin. Semoga Rahmat Allah tercurah kepadanya. Beliau berkata: Bahwa para penuntut ilmu pada zaman awal-awal, mereka menyerahkan dalam urusan belajarnya kepada gurunya. Maka mereka sampai kepada tujuan mereka dan keinginan mereka dalam menuntut ilmu," bebernya.

Pada zaman dahulu, kata Ustadzah Nur, para penuntut ilmu itu terbiasa dipilihkan oleh gurunya. Kitab apa yang pertama dan utama untuk dikaji. Ilmu apa yang cocok untuk dipelajari. Gambarannya seperti yang dicontohkan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabani. Untuk pemula, kitab pertama yang dikaji adalah Nidzomul Islam bab Thoriqul Iman dan begitu seterusnya. Karena pertama bagi seorang muslim adalah ilmu tauhid atau ketuhanan, sampai keimanannya tertancap kuat, tidak mudah tergoyahkan. Setelah dirasa cukup kuat baru beranjak pada pelajaran atau kitab yang lain.

Bunda, siapa akrabnya juga menjelaskan maksud zaman awal itu seperti apa. "Zaman awal yang dimaksudkan yaitu lahirnya Imam Az-Zurnujii (pengarang kitab ini), yaitu sekitar tahun 600 Hijriyah. Sudah mulai ada perubahan pada sikap penuntut ilmu. Berarti sekitar 800 tahun yang lalu. Itu sudah mulai ada perubahan, apalagi kondisi sekarang. Malah ambyar gak karuan. Pelajar atau penuntut ilmu memilih jurusan sesuai keinginan dan hawa nafsunya. Demi orientasi dunia semata. Wajar jika tidak mendapatkan arti dari sebuah keberkahan dan kebermanfaatan ilmu," paparnya.

Terakhir, ia menegaskan bahwa jika penuntut ilmu memilih jenis ilmu sesuai keinginannya, maka tidak akan mendapatkan hasil apapun dan jauh dari kefaqihan.

"Dan sekarang, mereka memilih jenis ilmu, menurut kemauannya sendiri, maka tidak menghasilkan tujuan mereka dari menuntut ilmu dan dari kefaqihan terhadap agama," pungkasnya.[] Bey

Kamis, 16 Maret 2023

Ustadzah L Nur Salamah Ungkap Pentingnya Mengkaji Ilmu Seputar Muamalah

Tinta Media - Penulis dan Pengasuh Kajian Mutiara Ummat Ustadzah L. Nur Salamah, S.Pd. menjelaskan tentang pentingnya mempelajari atau mengkaji ilmu seputar muamalah.

"Demikian juga wajib mempelajari ilmu seputar muamalah, dan segala harta yang kita miliki," tuturnya dalam kajian Kitab Adab Ta'limu al Muta'alim, Sabtu (11/3/2023) di Batam.

Ia mengatakan bahwa setiap manusia wajib mempelajari ilmu berdasarkan aktivitasnya atau profesinya masing-masing. "Dan setiap manusia yang menyibukkan diri dengan sesuatu dari aktivitas muamalah, maka wajib atas orang itu belajar tentang ilmu yang dapat menghindarkan diri dari perkara-perkara   yang diharamkan di dalamnya," ujarnya.

Begitu juga, imbuhnya, wajib bagi setiap muslim  ilmu tentang kondisi hati (kalbu), dan ilmu tentang tawakal, dan kembalinya seseorang setelah tersesat, serta ilmu tentang keridaan Allah. Karena sesungguhnya (ahwalil qalbi) terjadi dalam semua kondisi.

Bunda, sapaan akrabnya, juga memberikan contoh sikap atau perbuatan yang berkaitan dengan kondisi hati. "Semua aktivitas juga butuh ilmu. Termasuk bagaimana menjaga hati. Kalau ada orang yang kebetulan tidak senyum atau cemberut, tidak bisa kita langsung menuduh yang tidak-tidak. Jangan-jangan dia marah sama aku, mengapa dia diamkan aku dan lain-lain. Bisa saja dia sedang sakit atau sedang ada masalah. Oleh karena itu, kita tidak boleh berprasangka buruk kepadanya," bebernya.

Adapun kaitannya antara ilmu kondisi dan zuhud, kata Nur Salamah, bahwa bersikap zuhud itu tidak hanya sebatas ibadah mahda (ibadah yang ada sarat dan rukunnya) saja. Akan tetapi bersikap zuhud itu dalam seluruh aspek kehidupan. Mulai masalah ibadah, akhlak maupun muamalah. Untuk dapat mencapai derajat zuhud diperlukan apa yang disebut ilmu pada suatu kondisi.

Sebagai pengasuh kajian, ia menegaskan bahwa ilmu lah yang menjadikan manusia itu memiliki ciri khas atau keutamaan. Karena hanya ilmu yang membuat manusia itu berbeda dan memiliki derajat lebih tinggi dari makhluk yang lain.

"Keutamaan ilmu tidak tersembunyi pada seseorang, karena ilmu merupakan kekhususan kepada manusia. Karena semua sifat kecuali ilmu, ada pada diri manusia dan hewan. Sifat-sifat itu yaitu, keberanian, kenekatan, kekuatan, kemarahan, dan kasih sayang. Semua itu hewan juga memiliki, kecuali manusia yang berilmu," pungkasnya.[] Bey

Selasa, 07 Maret 2023

Wujud Memuliakan Ilmu dengan Memperbagus Tulisan di Buku

Tinta Media - Pengasuh Kajian Mutiara Ummat, Ustazah L. Nur Salamah menjelaskan bahwa salah satu wujud memuliakan ilmu adalah dengan memperbagus tulisan di buku. 

"Diantara wujud memuliakan ilmu adalah dengan memperbagus tulisan di buku," jelasnya sebagai pembuka kajian MuTu Kitab Adab Ta'limu Al-Muta'alim Thoriqotu Ta'alum, Selasa (28/2/2023) di Batam.

Menurutnya, ketika guru menjelaskan suatu pelajaran, murid hendaknya mencatat dengan tulisan yang bagus dan rapi. "Namun, ketika penjelasan guru terkesan cepat maka alangkah baiknya kita mengulang atau memurojaah pelajaran tersebut dengan menyalin pelajaran tersebut dengan tulisan yang rapi," ujarnya. 

Selanjutnya, ia menegaskan tidak dibenarkan menulis dengan huruf yang kecil-kecil dan berdempetan. 

"Kemudian janganlah mencatat sebuah pelajaran dengan huruf yang kecil-kecil, dan meninggalkan untuk membuat catatan kaki kecuali dalam keadaan darurat. Maksudnya jangan menulis kecil-kecil dan tidak terbaca, dalam bentuk yang berdempetan atau di sela-sela huruf asli dalam sebuah kitab kecuali dalam keadaan darurat. Maka disarankan untuk menyediakan buku tulis yang dikhususkan untuk membuat catatan, sehingga kita atau pembaca nantinya tidak merasa bingung ketika membaca tulisan kita," tuturnya.

Setelah itu ia menjelaskan tentang kisah Abu Hanifah yang melihat seorang penulis, yang menulis dengan huruf yang kecil-kecil. 

"Abu Hanifah (Imam Hanafi) radiallahuanhu, pernah melihat seorang penulis yang menulis dengan tulisan yang hurufnya kecil-kecil di dalam bukunya, kemudian ia berkata, "Janganlah kamu menulis dengan tulisan yang kecil-kecil. Jika engkau berumur panjang, engkau akan menyesal, dan jika engkau mati akan di caci maki." Maksud dari Abu Hanifah, ketika Allah memberikan umur yang panjang, jangan sampai ketika kita tua nanti menyesali tulisan kita, karena lazimnya ketika sudah tua mata sudah rabun dan kita tidak dapat memberi petunjuk bagi anak-anak kita terhadap kitab atau buku yang kita tulis," bebernya.

Maksudnya dicaci-maki, imbuhnya, ketika kita sudah mati, tulisan kita dibaca orang lain, dan tidak jelas atau berantakan maka kita akan dicaci-maki oleh orang yang membaca tulisan tersebut.

Terakhir ia menegaskan, seyogianya kita harus memperbagus tulisan kita agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. 

"Maksudnya, jika kamu sudah tua dan cahaya pandangan mata sudah lemah alias rabun, maka kamu akan menyesali hal itu. Jangan sampai kita menyesali tulisan kita yang tidak bagus karena tidak bisa baca. Kita akan sadar dan menyesalinya, ketika ingin menyampaikan ilmu kembali atau pun ketika sudah tua nanti," pungkasnya.[] Reni Adelina/Nai

Sabtu, 18 Februari 2023

Ustazah L. Nur Salamah: Wujud Memuliakan Ilmu adalah Memuliakan Kitab

Tinta Media - Pengasuh Kajian Mutiara Ummat sekaligus Aktivis Muslimah Kota Batam, Ustazah L. Nur Salamah kembali menjelaskan tentang wujud mentakzimkan (memuliakan) ilmu adalah dengan memuliakan kitab. 

"Masih dalam pembahasan mentakzimkan ilmu dan ahli ilmu yakni dengan memuliakan kitab. Bagian dari memuliakan ilmu yang wajib bagi penuntut ilmu untuk tidak menyelonjorkan atau menjulurkan kaki ke arah kitab," ungkapnya sebagai awal pembukaan kajian Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim Thoriqotu Ta'lum, Selasa (14/02/2023) di Batam. 

Bunda, sapaan akrab pemateri juga menegaskan bahwa salah satu wujud memuliakan kitab yakni tidak meletakkan kitab (buku-buku) lain di atas kitab tafsir. Maksudnya adalah tidak sembarangan menimpa buku-buku tafsir agama dengan buku tulis atau sejenisnya. Apalagi Al-quran, jelas harus dimuliakan tidak boleh sembarangan menyusunnya. 

Alangkah baiknya, lanjutnya, ketika menyusun Al-Qur'an, kitab-kitab tafsir, atau buku-buku agama yang berbahasa Arab di atas buku-buku yang lain. Kemudian juga tidak dibenarkan meletakkan sesuatu di atas kitab seperti HP, kacamata, makanan, pena atau sejenisnya. 

Selanjutnya, Bunda mengangkat sebuah kisah seorang guru bernama Burhanuddin yang merupakan guru dari Imam Az-Zurnuji. 

"Adapun guru kami Syaikhul Imam Burhanuddin pernah mengisahkan tentang salah seorang guru di hadapan para guru (gurunya para guru). Bahwa ada seorang fakih atau ahli fikih meletakkan bak tinta (tempat tinta yang isi ulang) di atas kitab. Lalu Syaikh tersebut mengatakan padanya dalam Bahasa Persia, "Jika caramu seperti itu (yakni meletakkan bak tinta di atas kitab) maka tidak akan berkah ilmumu." Begitulah adab penuntut ilmu pada zaman dahulu. Begitu memuliakan kitab," bebernya dengan sangat gamblang. 

Mirisnya generasi saat ini sangat jauh dari adab menuntut ilmu terutama dalam memuliakan kitab atau buku-buku pelajaran. Sembarangan meletakkannya dan tidak menjaganya dengan baik. Penyebabnya tidak lain adalah sistem kehidupan hari ini yang mengantarkan para penuntut ilmu jauh dari adab.

Pun, ada kisah menarik tentang seorang guru pada zaman keemasan Islam.  Ada kisah seorang guru sekaligus qadhi yakni seorang hakim yang memutuskan sebuah perkara bernama Syaikh Fakhruddin. 

"Guru kami Al-Qadhi Al-Imam yang mulia Fakhruddin yang dikenal dengan Qadhi  pernah berkata,"Jika hal itu (meletakkan barang-barang tadi di atas kitab, seperti bak tinta tadi) tidak bermaksud meremehkan, maka tidak mengapa. Namun, alangkah baiknya jika hal itu dihindari," pungkasnya.[] Reni Adelina/Nai

Setiap Muslim Wajib Mempelajari Ilmu Kondisi (Ilmu Hal)

Tinta Media - Pengasuh Kajian Mutiara Ummat sekaligus reporter, Ustazah L. Nur Salamah menjelaskan bahwa yang wajib dipelajari oleh setiap muslim adalah ilmu kondisi (ilmu hal).

"Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya tidaklah diwajibkan atas setiap muslim menuntut semua ilmu. Dan sesungguhnya yang diwajibkan atasnya adalah ilmu kondisi (ilmu hal)," tuturnya pada saat mengisi kajian umum Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim Thoriqotu Ta'alum, bab pertama, Sabtu (11/2/2023) di Batam. 

Pasal pertama dari kitab ini, kata Ustadzah Nur, adalah hakikat ilmu fikih dan keutamaannya, dibuka dengan sebuah hadis yang sangat familiar tentang kewajiban menuntut ilmu: 

طَلَبُ اْلعِلْمْ فَرِثْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Artinya: Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim.

Kendati demikian, ia mengatakan tidak semua ilmu harus dipelajari dalam waktu yang bersamaan. "Meskipun hadits di atas menegaskan kewajiban menuntut ilmu. Akan tetapi tidak semua ilmu wajib dipelajari pada saat yang bersamaan," ujarnya.

Sebagaimana yang dikatakan para ulama, imbuhnya, seutama-utamanya ilmu adalah ilmu kondisi. Dan seutama-utamanya amal adalah menjaga kondisi.

Kemudian ia menjelaskan maksud dari seutama-utamanya amal adalah dengan menjaga kondisi.

"Adapun maksud dari seutama-utamanya amal adalah menjaga kondisi yaitu ketika kita sudah memahami ilmu lalu diamalkan, dan tidak ada salahnya kita terus memurojaah atau mengulang-ulang kembali pelajaran yang telah kita dapatkan," terangnya.

Bunda, sapaan akrabnya, juga memberikan contoh tentang ilmu kondisi. "Sebagai seorang muslim, salat merupakan suatu kewajiban, maka wajib baginya mempelajari ilmu tentang fiqih shalat. Contoh lain, ketika ada seorang mualaf, maka seorang mualaf tersebut jangan langsung di ajarkan Bahasa Arab atau tahsin, atau yang lainnya. Maka, hal yang utama untuk diajarkan pada seorang mualaf adalah ilmu tauhid yakni ilmu mengenal Tuhan, agar keimanannya tertancap kuat. Contoh lain, ketika seseorang ingin menikah, maka yang wajib dipelajari yakni fikih munakahat dan skil berumah tangga," bebernya.

Terakhir, ia menjelaskan bagaimana Islam mengatur berbagai permasalahan kehidupan. Termasuk urusan muamalah (jual beli). Sama halnya dengan pedagang. Ketika ingin berdagang, maka wajib hukumnya mempelajari ilmu fikih jual beli. 

"Dalam sistem Islam akan ada pihak-pihak yang mengontrol para pedagang, seperti qadhi hisbah yang akan keliling di pasar, melihat seorang pedagang tersebut memahami fikih jual beli atau tidak. Jika belum memahami, maka diperintahkan untuk belajar terlebih dahulu sebelum berdagang," pungkasnya.[] Reni Adelina/Nai

Kamis, 09 Februari 2023

Pengasuh Kajian Mutu: Allah Muliakan Manusia dengan Ilmu dan Amal

Tinta Media - Pengasuh Kajian Mutiara Ummat (Mutu) sekaligus Penulis, L. Nur Salamah, S.Pd. menuturkan bahwa Allah memuliakan Bani Adam atau manusia dengan ilmu dan amal.

"Segala puji hanya bagi Allah yang telah memuliakan bani Adam yakni manusia dengan ilmu dan amal," tuturnya pada saat Pengajian Umum kajian Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim Thoriqotu Ta'alum bab mukadimah atau pendahuluan, Sabtu (4/2/2023) di Batam.

Diantara makhluk ciptaan Allah di alam semesta, imbuhnya, manusia adalah makhluk yang paling mulia jika dibandingkan makhluk yang lain, termasuk malaikat. Namun ada syaratnya, yakni karena dua perkara yaitu dengan ilmu dan amal. Manusia akan mulia jika berilmu lalu beramal dengan ilmu tersebut. Bukan salah satunya. Kemuliaan seseorang juga tidak diukur dengan banyaknya materi seperti harta, jabatan, popularitas, strata sosial, titel dan bentuk fisik yang lain atau sesuatu yang bersifat jazadiah semata.

"Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pemimpin bangsa Arab dan ajami' (non Arab), beserta para keluarganya, sahabat-sahabatnya, yang merupakan sumber ilmu dan hikmah," tambahnya. 

"Ketika saya (Imam Az-Zarnuji) melihat betapa banyaknya dari penuntut ilmu pada zaman kita, bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, tetapi tidak mendapatkan hasil apa-apa, tidak dapat mengambil manfaat darinya, tidak mendapatkan buahnya ilmu, yaitu mengamalkan dan menyebarkannya. Hal itu disebabkan karena mereka (para penuntut ilmu) keliru dalam menempuh jalan atau metode untuk mencari ilmu dan meninggalkan syarat-syaratnya, dan siapa yang salah jalan maka akan tersesat dan tidak akan meraih tujuan, kecuali hanya sedikit saja," jelasnya dalam mukadimah tersebut. 

"Maka saya (Imam Az-Zarnuji) ingin menjelaskan kepada mereka cara menuntut ilmu seperti yang saya pahami dari buku-buku dan yang saya dengar dari guru-guru saya yang memiliki ilmu dan hikmah. Dengan semua itu saya mengharapkan doa dari siapa saja yang menyukainya, para mukhlisin, supaya mendapatkan kemenangan dan keselamatan pada hari kiamat. Dan ini saya lakukan setelah istikharah (memohon petunjuk dari Allah). Maka ini saya (Imam Az-Zarnuji) memberikan judul pada buku ini dengan nama Kitab Ta'lim Al-Muta'alim Thoriqotu Ta'alum, dan saya bagi menjadi beberapa pasal.

Adapun beberapa pasal dalam kitab ini diantaranya: 
1. Pasal: Hakikat ilmu fikih dan keutamaannya
2. Pasal: Niat dalam mencari ilmu 
3. Pasal: Cara memilih ilmu, guru, teman dan ketekunan
4. Pasal: Mengagungkan ilmu dan ahlinya (guru/ulama)
5. Pasal: Bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, beristikamah dan cita-cita yang luhur
6. Pasal: Bagaimana memulai perjalanan menuntut ilmu, kadarnya dan susunannya.
7. Pasal: Tawakal. 
8. Pasal: Waktu untuk menuntut ilmu (belajar)
9. Pasal: Saling mengasihi dan menasihati 
10. Pasal: Mengambil manfaat ilmu, mengutip dan mempelajari adab
11. Pasal: Bersikap wara' ketika menuntut ilmu 
12. Pasal : Hal-hal yang dapat menguatkan hapalan dan hal-hal yang dapat melemahkan
13. Pasal: Hal-hal yang dapat mempermudah datangnya rezeki, hal-hal yang mencegahnya dan hal-hal yang dapat menambah memanjangkan umur dan hal-hal yang dapat menguranginya. 

Sebagai tambahan dalam mukadimah, Bunda sapaan akrabnya, juga menjelaskan sedikit pembahasan tentang sikap wara'. Banyak faktor yang menyebabkan ilmu tidak melekat atau hapalan sering lupa pada diri seorang penuntut ilmu salah satunya lalai dalam masalah memilih makanan. Sebagai contoh gemar memakan makanan cepat saji seperti ayam goreng, nugget, dan sosis. Secara bahan memang halal, namun kita harus benar-benar wara' atau berhati-hati apakah makanan tersebut diolah dengan cara syar'i misalnya dalam penyembelihan. Benarkah mengucapkan kalimat Allah atau tidak saat menyembelihnya, atau yang menyembelihnya seorang Muslim atau tidak. Hal-hal seperti ini wajib kita perhatikan, dan masih banyak hal lainnya yang wajib kita kroscek ulang agar ilmu benar-benar melekat dan berkah pada diri kita serta keluarga kita. 

"Sebagai penutup di paragraf terakhir, dan tidak ada taufik bagiku (Imam Az-Zarnuji) melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah saya bertawakal dan hanya kepada-Nya saya kembali," pungkasnya sebagai penutup mukadimah. [] Reni Adelina/Nai

Selasa, 07 Februari 2023

Kisah Khalifah Harun Ar-Rasyid yang Mengirim Putranya untuk Menuntut Ilmu dan Belajar Adab

Tinta Media - Pengasuh Kajian Mutiara Ummat sekaligus Aktivis Muslimah Kota Batam kembali menerangkan kisah teladan dari sosok Khalifah Harun Ar-Rasyid yang mengirimkan putranya untuk menuntut ilmu dan belajar adab.

"Dikisahkan Khalifah Harun Ar-Rasyid pernah mengutus atau mengirim putranya kepada seorang guru bernama Al-Ashma'i supaya diajari ilmu dan adab," terangnya para kajian rutin Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim Thoriqotu Ta'lum, Selasa (31/1/2023).

"Pada suatu hari Khalifah Harun Ar-Rasyid melihat Al-Ashma'i berwudhu dan membasuh kakinya, sementara putra Khalifah tadi menuangkan air ke kaki gurunya," tambahnya. 

"Melihat hal itu, sang Khalifah marah dan langsung menegur Al-Ashma'i. Kira-kira apa penyebab sang Khalifah marah?" tanyanya kepada para peserta kajian. 

Bunda sapaan akrabnya, menjelaskan kemarahan sang Khalifah bukan karena kesombongan karena beliau seorang Khalifah. Bukan pula marah karena tidak rela jika anaknya diperintahkan demikian. Justru kemarahan sang Khalifah adalah marah kebaikan, ia menginginkan putranya seharusnya bersikap lebih mulia lagi dalam memuliakan sang guru. 

Khalifah Harun Ar-Rasyid pun berkata, "Sesungguhnya aku mengirim putraku kepadamu agar engkau mengajarinya ilmu dan adab kepadanya. Tapi mengapa, engkau tidak menyuruhnya membasuhkan air tersebut dengan salah satu tangannya."

"Maksud dari perkataan sang Khalifah adalah alangkah baiknya jika sang guru menyuruh putranya membasuh kaki gurunya saat berwudhu dengan tangannya. Tangan yang satu menuangkan air dan tangan satunya lagi membasuh kaki gurunya," jelasnya dengan sangat gamblang. 

Begitulah kisah teladan dari sang Khalifah yang mengirim putranya untuk belajar ilmu dan adab. Tidak ada kesombongan di dirinya sekalipun ia seorang pemimpin umat di masanya. Sang Khalifah pun mengajarkan kepada putranya agar senantiasa mentakzimkan atau memuliakan guru meskipun harus membasuh kedua kaki sang guru. 

"Dari kisah tersebut bisa kita simpulkan, tidak ada sikap yang berlebihan dalam memuliakan para guru. Begitulah adanya Islam mengajarkan bagaimana memuliakan para guru sebab profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Sekalipun kita sebagai seorang ibu rumah tangga, kita adalah seorang guru. Yakni sekolah pertama dan guru utama bagi anak-anak kita," pungkasnya.[] Reni Adelina/Nai]

Minggu, 29 Januari 2023

Inilah Kisah Penuntut Ilmu yang Memperoleh Kemuliaan

Tinta Media - Pengasuh Kajian Mutiara Ummat Ustazah L. Nur Salamah menerangkan kisah teladan seorang penuntut ilmu yang memperoleh kemuliaan karena telah berkhidmat atau melayani gurunya.

"Sebuah kisah yang menarik dari seorang qadhi yang memperoleh kemuliaan karena telah berkhidmat atau melayani gurunya," tuturnya pada kajian rutin Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim Thoriqotu Ta'lum, Selasa (24/1/2023).

Ia mengisahkan, seorang qadhi, Al-Imam Fakhruddin Al-Arsabandy, yang merupakan kepala atau pimpinan di sebuah Kota Marwa. "Bahkan seorang penguasa atau Sultan pun sangat menghormatinya dengan memberikan penghormatan setinggi-tingginya. Lalu Ia pun membuka rahasia mengapa ia diberi kemuliaan oleh banyak manusia," tuturnya. 

"Ia pernah berkata, 'Sesungguhnya saya mendapatkan kedudukan atau posisi seperti ini dengan berkhidmat atau melayani guru saya, dan sesungguhnya saya melayani ustadz saya yang bernama Al-Qadhi Al-Imam Abu Zaid Ad-Dabusi, saya melayaninya, dan memasak makanan untuknya selama tiga puluh tahun dan tidak memakan darinya sedikit pun'," lanjutnya.

Bunda, sapaan akrabnya juga menegaskan bahwa pentingnya berkhidmat kepada guru. Proses menuntut ilmu tidaklah sebentar. Tidak cukup hanya satu atau dua tahun. Pada masa dahulu menuntut ilmu itu bertahun-tahun bahkan ada yang sampai 30 tahun, berkhidmat atau melayani dan memuliakan gurunya. Maka sangat disayangkan jika kondisi saat ini para santri selalu berharap dilayani gurunya. Padahal melayani guru adalah adab untuk para penuntut ilmu.

"Ada seorang Asy-Syekh Imam yang mulia Syekhul Imam, mataharinya umat atau cahayanya umat, Al-Halwani Rahmatullah alaih, keluar dari kota Bukhara dan tinggal di suatu desa untuk beberapa hari. Karena suatu kejadian yang menimpanya. Semua muridnya mengunjunginya kecuali Asy-Syekh Al-Imam Al-Qadhi Abu Bakar bin Muhammad Az-Zurnujii Rahmatullah alaih, kemudian guru tersebut bertanya kepada muridnya saat bertemu, "Kenapa kamu tidak mengunjungiku?" Ia menjawab, "Sesungguhnya saya sedang sibuk melayani ibu saya." Gurunya berkata, "Kamu akan mendapatkan berkah umur yang panjang, tapi tidak mendapat rizki berupa keindahan dan kenikmatan-kenikmatan ilmu." Demikianlah ternyata benar. Al-Imam Abu Bakar bin Muhammad Az-Zarnuji menghabiskan lebih banyak waktunya di desa dan tidak teratur belajarnya. Rasa kecewanya seorang guru ternyata berpengaruh kepada keberkahan dan kenikmatan ilmu," bebernya. 

Setelah membeberkan tentang kisah Syekh Imam tersebut, Bunda berpesan betapa pentingnya berkhidmat atau memuliakan seorang guru. Jangan sampai membuatnya kecewa atau sakit hati. 

"Maka jika seorang guru tersakiti oleh muridnya, maka murid tersebut terhalang mendapatkan keberkahan ilmu, dan ia tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu itu kecuali hanya sedikit," ungkapnya.

Ia juga membacakan sebait syair. Sesungguhnya seorang guru dan dokter keduanya sama. Tidak akan memberikan nasehat jika tak dihormati. Maka, bersabarlah dengan penyakitmu jika kamu tidak sopan kepada dokter. Dan nikmatilah kebodohanmu jika kamu kurang ajar kepada guru. 

"Syair tersebut memberikan pelajaran kepada kita sebagai penuntut ilmu pentingnya memuliakan seorang guru atau pun dokter agar ilmu yang diperoleh mendapat keberkahan," pungkasnya.[] Reni Adelina/Nai

Minggu, 08 Januari 2023

Ustazah L. Nur Salamah: Penuntut Ilmu Harus Mencari Rida Gurunya

Tinta Media - Pengasuh Kajian Mutiara Ummat Ustazah L. Nur Salamah menjelaskan seorang penuntut ilmu harus mencari rida dari gurunya.

"Kesimpulannya, seorang penuntut ilmu (murid) harus mencari rida dari gurunya, dan hindari marahnya guru. Dalam hal ini jangan sampai membuat seorang guru marah, kecewa, dan tersinggung. Jika hal ini terjadi, kelak ilmu yang telah diperoleh tidak akan membawa kebermanfaatan apa-apa. Jika guru sudah marah, kecewa dan tersinggung maka hilanglah keberkahan ilmu," jelasnya 
dalam Kajian Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim Thoriqotu Ta'lum Selasa (27/12/2022). 

Menurutnya, seorang penuntut ilmu hendaknya senantiasa taat kepada guru. "Seorang penuntut ilmu hendaknya taat kepada guru dengan melaksanakan perintahnya selama bukan perintah yang mengajak kemaksiatan kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Al-Khaliq," tegasnya. 

Bunda, sapaan akrabnya juga menegaskan bahwa ketaatan murid kepada guru jangan kebablasan. Ia mengilustrasikan seperti mayat hidup yang telah dimandikan, lalu menuruti semua perintah dari yang memandikan. Lihatlah, bagaimana perintah tersebut terlebih dahulu. Jika mengajak ketaatan kepada Allah maka kerjakan, jika bermaksiat kepada Allah wajib ditinggalkan. 

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., "Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah yang membuang agamanya demi mengincar dunia orang lain, dan dengan bermaksiat kepada Al-Khaliq."

Sabda Nabi di atas, katanya, menggambarkan realita kehidupan hari ini. Tidak sedikit orang menggadaikan akidahnya demi jabatan, harta, kehormatan agar tetap berada di zona nyaman. Seperti rela menggunakan atribut atau perlengkapan yang bukan berasal dari Islam, mengucapkan perayaan kepada orang-orang kafir. Ini semua dilakukan semata-mata atas nama toleransi. 

"Tentu ini sudah keliru, ini toleransi yang salah kaprah" pungkasnya dengan sangat gamblang. [] Reni Adelina/Nai
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab