Tinta Media: Kafir
Tampilkan postingan dengan label Kafir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kafir. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 September 2023

Tidak Boleh Memberikan Jalan Kepada Orang Kafir Menguasai Orang Mukmin


 
Tinta Media - Ulama Aswaja KH. Rokhmat S. Labib ketika menafsirkan firman Allah, “Allah sekali-kali tidak akan menjadikan orang-orang kafir jalan untuk menguasai orang yang beriman,” mengatakan ayat ini menegaskan bahwa umat Islam tidak boleh memberikan jalan apa pun kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.
 
“Ayat ini menggunakan kalimat berita. Tetapi sebenarnya memberikan makna larangan (nafiul jawas), tidak boleh. Tidak boleh apa? Tidak boleh memberikan jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan, untuk menguasai, untuk mendominasi orang-orang mukmin,” ujarnya dalam kajian Tafsir Al-Wa’ie: Merdeka dari Dominasi Kaum Kufur, di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Rabu (16/8/2023).
 
Kiai Labib menjelaskan, ayat 141 surat An-Nisa diatas itu adalah berupa kalimat berita. “Kalau kalimat berita itu pasti benar, tidak mungkin salah karena ini berita dari Allah Swt,’ yakinnya.
 
Kiai Labib menyesalkan, pada realitasnya umat Islam saat ini dikuasai oleh orang-orang kafir dalam bentuk penjajahan fisik seperti yang terjadi di Palestina atau penjajahan ekonomi seperti utang ribawi dan berbagai investasi batil. Padahal al-Qur’an itu tidak mungkin salah dalam memberitakan.
 
“Lantas bagaimana? Ada satu kaidah di dalam ushul fiqih yang menjelaskan kalau ada sebuah khobar atau berita lalu berita itu bertentangan dengan realitas, maka itu tidak boleh dipahami sebagai ‘adamul wujud, atau tidak ada. Tetapi harus dipahami sebagai ‘adamul jawas, tidak boleh. Bukan tidak ada tetapi tidak boleh. Artinya umat Islam tidak boleh memberikan berbagai jalan yang bisa menyebabkan orang kafir itu menguasai orang mukmin,” terangnya.
 
Di sisi lain, lanjutnya, kata sabil atau jalan yang terdapat pada ayat di atas, dalam beberapa kitab tafsir itu dimaknai sebagai al gholabah, artinya kemenangan. Misalnya dalam tafsir al-Tahrir wa al Tanwir karya Muhammad Al-Thahrir ibn Asyur, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sabil adalah thoriqul wushuri Ilal mukmin bil haziimati wal gholabah, yaitu jalan untuk mencapai kepada orang mukmin kemenangan dan penguasaan. “Maksudnya adalah Allah tidak akan memberikan kemenangan kepada orang-orang kafir,” jelasnya.
 
Apa dasarnya? Kiai Labib lalu melanjutkan penjelasan tafsir di atas dengan mengatakan bahwa kalimat ini membutuhkan objek dengan kata ‘ala. Maka dalam ayat di atas disebutkan wa lay yaj'alallāhu lil-kāfirīna 'alal-mu`minīna. Nah ‘ala itu artinya di atas. Jadi Allah tidak memberikan jalan kepada orang kafir di atasnya orang mukmin. “Kata ‘ala ini yang kemudian memberikan makna al-gholabah atau kemenangan. Allah tidak akan memberikan kesempatan kemenangan bagi orang kafir untuk menguasai orang yang beriman,” ucapnya.
 
Dua Pendapat
 
Kiai Labib menjelaskan, ada dua pendapat mengenai makna penguasaan orang kafir terhadap orang mukmin.
 
“Pendapat yang pertama mengatakan bahwa Allah tidak akan memberikan kekuasaan kepada orang-orang kafir itu untuk menguasai orang yang beriman itu nanti di akhirat, sebagaimana penjelasan dari Imam al-Qurthubi bahwa maknanya adalah dzalika yaumul qiyamati, itu nanti di hari kiamat,” terangnya.
 
Penjelasan ini, ucapnya, seperti yang dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib ketika seorang laki-laki bertanya kepada Amirul Mukminin, “Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah wa lay yaj'alallāhu lil-kāfirīna 'alal-mu`minīna sabīlā, Allah sekali-kali tidak akan menjadikan orang-orang kafir jalan untuk menguasai orang yang beriman. Bagaimana hal itu terjadi? Wahum yuqootiluunana wa yudhiruuna ‘alaina ahyaana, mereka orang-orang kafir itu memerangi kami dan kadang-kadang mereka bisa mengalahkan kami.” Kemudian Sayidana Ali berkata, “wa ma’na dzalika yaumul qiyamati, yaumul hukmi, maknanya adalah hari kiamat itulah hari keputusan.”
 
“Ibnu Abbas juga berpendapat bahwa itu adalah hari kiamat,” kata Kiai Labib menambahkan.
 
Kemudian, lanjutnya, pendapat yang kedua mengatakan bahwa maknanya adalah innallaha laa yaj'alu lahum sabilan yamkhu biha daulatal mukminin wa yud hibu asaarohum, dan sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan untuk orang-orang kafir jalan kekuasaan yang bisa melenyapkan daulatul mukminin dan kemudian bisa melenyapkan jejak-jejak mereka.
 
“Maknanya mungkin umat Islam bisa dikalahkan oleh orang kafir, tetapi kekalahan itu tidak membuat umat Islam betul-betul tercabut atau hilang lenyap. Jadi masih ada yang kuat yang bisa bertahan yang suatu saat bisa jadi akan berbalik mengalahkan mereka,” urai Kiai Labib.
 
Dari dua pendapat diatas, jelasnya, sama-sama mengatakan bahwa orang-orang kafir pasti akan dikalahkan oleh orang mukmin. Hal tersebut diperkuat penjelasan bahwa pada ayat diatas ada kata lan. Lan disini artinya harfu nafi lil istiqbal, yaitu meniadakan.
 
“Yang ditiadakan itu adalah fi'il (pada kata yaj’alu), dimana fi'il untuk menunjukkan lil istiqbal atau waktu yang akan datang. Lalu sabila itu isim nakirah. Jadi kalimat peniadaan (lam nafi) yang kemudian diiringi dengan kata nakirah (sabil) itu memberikan makna umum yaitu semua jalan. Berarti kita umat Islam tidak boleh memberikan jalan apa pun yang membuat orang kafir menguasai, mengalahkan, apalagi mendominasi orang-orang mukmin,” simpulnya. []Langgeng Hidayat.

Kamis, 07 April 2022

Kafir Istilah Syariah, KH. M. Shiddiq Al-Jawi: Tak Boleh Diubah dan Dihapus

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1P4-yAc_GiF1UQ-Puy-qtzV0n1cuLpMBy

Tinta Media - Pakar Fiqh Kontemporer KH Muhammad Shiddiq Al-Jawi, M.Si. menjelaskan tidak boleh mengubah substansi makna kafir apalagi menghapusnya.

“Ghoiru Muslimin itu bisa saja digunakan untuk mengganti istilah kafir, tapi tidak mengubah apalagi menghapus istilah kafir karena itu istilah Syariah,” jelasnya pada fokus: Sebutan Kafir, Haruskah Diubah? Ahad (3/4/2022) di kanal YouTube UIY Official.

Ia menjelaskan bahwa istilah syariah itu istilah-istilah yang digunakan di dalam Al-Qur’an atau hadis. “Istilah-istilah yang digunakan di dalam Al-Qur’an atau hadis itu nggak boleh diubah istilahnya. Tidak boleh diganti yang namanya Al-Qur’an atau hadis itu tetap,” jelasnya.

Menurutnya, boleh menyebut kafir dengan istilah lain misalnya ghoiru muslimin, ahlu dzimmah atau yang istilah-istilah semisalnya tapi tidak mengubah makna. Tidak disimpangkan dari maknanya. “Kalau mau dipakai istilah lain boleh, tapi tidak boleh mengubah substansi makna,” tuturnya.

Ustaz Shiddiq menjelaskan istilah kafir dalam pandangan Islam. “Sesungguhnya istilah kafir artinya sangat jelas, yaitu orang yang tak beragama Islam, atau dengan kata lain orang yang tidak beriman dengan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, baik dia kafir asli, seperti orang Yahudi atau Nashrani, maupun kafir murtad, yaitu asalnya muslim tapi mengingkari salah satu ajaran pokok yang dipastikan sebagai ajaran Islam, seperti wajibnya shalat, haramnya zina, haramnya khamr, haramnya riba. Orang Islam yang ingkar disebut juga kafir,” jelasnya.

Ia mengungkap banyak para ulama yang mendefinisikan kafir dengan makna yang tegas. Sebagai contoh, Syeikh Rawwas Qal’ah Jie dalam kitabnya Mu’jam Lughah Al-Fuqaha bahwa “Kafir adalah siapa saja yang tidak beriman kepada Allah dan kepada Nabi Muhammad SAW, atau siapa saja yang mengingkari ajaran apa pun yang diketahui secara pasti berasal dari Islam (seperti wajibnya sholat, haramnya zina, dll), atau yang merendahkan kedudukan Allah dan risalah Islam.” (man laa yu`minu billahi wa laa bi muhammadin rasulillah aw man yunkira aa huma ma’lumun minal islam aw yantaqishu min maqaamillah ta’ala aw ar risalah).

Ustaz juga mengambil arti kafir dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith, yang menyebutkan, “Kafir adalah siapa saja orang yang tidak beriman kepada keesaan Allah, atau tidak beriman kepada kenabian Muhammad SAW, atau tidak beriman kepada Syariah Islam, atau tidak beriman kepada ketiga-tiganya.”

Ia membantah pendapat bahwa kafir itu adalah lawan dari iman (mukmin) dan bukan lawan dari Islam (muslim), sungguh tidak benar. Karena meski terdapat nash Al-Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan kafir kebalikan dari iman, tapi ada juga nash-nash syariah yang menunjukkan kafir adalah kebalikan dari Islam (muslim).

Ia menegaskan bahwa istilah kafir itu artinya adalah non-muslim sebagaimana sabda Nabi SAW, ”Orang muslim tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi muslim.”

Ia menilai persoalan yang sebenarnya sudah jelas, sekarang ini kadang-kadang menjadi kabur karena berbagai macam diskursus Barat dan orang-orang liberal yang pro Barat. Sehingga akhirnya orang-orang Yahudi dan Nasrani seakan-akan tidak kafir dengan wacana pluralisme, dialog antar agama yang merusak pemikiran umat.

Menurutnya, sekarang sebaiknya bukan melakukan pengkafiran walaupun itu sudah memenuhi syarat, tetapi lebih baik melakukan edukasi, perdebatan intelektual yang sehat. Melakukan istilahnya "mujadalah", berdiskusi secara baik. “Debatlah mereka dengan cara yang baik,” pungkasnya.[]Raras

Rabu, 06 April 2022

Ajengan YRT: Istilah Kafir dari Al-Quran, Selalu Relevan Hingga Hari Kiamat

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1hWldehhZrNT4FhGDXtKs-j1scEiwK5G3

Tinta Media - Menanggapi pernyataan yang menganggap kategori kafir tidak relevan di negara bangsa modern, Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) mengatakan bahwa istilah kafir itu adalah istilah dalam Al Qur'anul Karim, selalu relevan hingga hari kiamat.

"Apakah benar istilah kafir tidak relevan? Tidak benar. Istilah kafir adalah istilah dalam Al Qur'anul Karim dan itu akan selalu relevan sampai dengan hari kiamat nanti," tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (5/4/2022).

Ia menjelaskan bahwa istilah kafir itu adalah istilah yang merupakan istilah yang digunakan oleh Allah SWT langsung dalam Al-Qur'an untuk mensifati mereka yang tidak beriman. "Siapapun yang tidak beriman maka dia adalah kafir," ujarnya.

"Dan orang-orang kafir tersebut nanti akan didakwahi, diseru untuk masuk kepada Islam, atau paling tidak, mereka diminta untuk tunduk pada kekuasaan Islam. Dan kalau mereka melakukan perlawanan secara fisik maka kekuatan fisik tersebut juga akan dilawan juga kembali dengan jihad fisabilillah," terangnya.

Ia melanjutkan bahwa istilah kafir juga mengandung hukum turunan. Ada banyak puluhan hadist yang berkaitan dengan hukum-hukum orang kafir ini. "Jadi seandainya istilah kafir dihilangkan maka sama saja dengan menanggalkan hukum-hukum yang lainnya, yang merupakan turunannya. Menanggalkan hadist-hadist lainnya yang merupakan turunannya," bebernya.

"Contoh misalnya, hukum berkaitan dengan jihad fisabilillah, hukum berkaitan dengan futuhat atau hukum berkaitan dengan Ahlu zhimmah, hukum berkaitan dengan jizyah, hukum berkaitan juga dengan status tanah. Ada usyuriyah, kharijiyah dan lain sebagainya," paparnya.

Ajengan YRT menilai bahwa pernyataan istilah kafir tidak relevan, ini merupakan satu bentuk sikap kalah kaum muslimin pada hari ini. Jadi kaum muslimin diposisikan sebagai korban. Yang selalu diposisikan pada posisi yang salah dan bersalah. "Sehingga kita harus terus berupaya mengubah untuk menyesuaikan dengan kehendak siapapun yang tidak menyukai Islam," tukasnya.

Menurutnya, awal atau alasan istilah kafir dianggap tidak relevan, itu dikarenakan istilah kafir ini bisa merusak kerukunan antar umat beragama. "Dianggap sebagai sebutan yang itu diskriminatif," jelasnya.

Kemudian, ia pun mempertanyakan anggapan bahwa sebutan kafir itu akan merusak kerukunan antar umat beragama. "Apakah benar sebutan kafir itu akan merusak kerukunan umat beragama?" tanyanya.

"Sebab tercorengnya kerukunan itu bukanlah dari pelabelan istilah kafir, justru karena sikap intoleransi," simpulnya.

Ia melihat, hanya umat Islam yang selalu dipersalahkan dan dianggap bersalah dalam hal ini. Harus meminta maaf, bahkan lebih daripada itu, "Harus mengubah istilah yang ada, yang sudah pakem, sudah paten dalam Islam," tuturnya.

Dan Islam sejak awal justru sudah menunjukkan sikap toleran yang sangat luar biasa, ketika misalnya Islam memberikan kebebasan kepada agama lain untuk beribadah, untuk memeluk akidahnya, untuk beribadah sesuai keyakinan. Ini dipersilahkan, tidak dipaksa mereka. Mereka dibiarkan dengan cara ibadahnya. "Itukan wujud toleransi yang sangat nyata dalam Islam," tegasnya.

Justru sikap-sikap intoleran yang biasa dilakukan oleh mereka yang menista agama, menista Islam, menista Nabi, itulah yang menjadi sebab dari rusaknya kerukunan antar umat beragama. "Jadi sama sekali tidak benar kalau itu diakibatkan satu sebutan dalam Al Qur'an yang bernama atau beristilah kan kafir itu," pungkasnya.[]Ajirah

Selasa, 05 April 2022

Istilah “Kafir” Dihapus untuk Mengurangi Pertentangan, UIY: Itu Justru Tidak Relevan

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1w2rnh6WVSMLWFt1pWc1KVuvQsM6oAi_w

Tinta Media - Menanggapi argumen-argumen yang menyatakan bahwa istilah “kafir” perlu dihapus untuk mengurangi pertentangan, Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menilai hal itu justru tidak relevan.

“Saya kira, justru argumen-argumen yang menyatakan bahwa istilah ‘kafir’ perlu dihapus untuk mengurangi pertentangan, argumen itu yang tidak relevan,” tuturnya pada Rubrik Fokus: Sebutan Kafir, Haruskah Diubah? Ahad (3/4/2022) di kanal YouTube UIY Official.

UIY mengatakan tidak relevan karena pertentangan ini ada yang dipicu oleh faktor agama dan faktor di luar agama. “Tidak relevan, karena pertentangan ini memang ada yang dipicu oleh faktor agama yang itu bisa antar umat beragama, bisa juga intra umat beragama, tetapi sebagian juga dipicu oleh faktor-faktor di luar agama” ungkapnya.

“Karena itu kemudian secara semena-mena mengusulkan perubahan atau penghapusan kata kafir hanya gegara katakanlah untuk mengurangi pertentangan, itu justru yang tidak relevan,” tegasnya.

Ustaz Ismail menilai hal ini menunjukkan betapa bahwa pemahaman terhadap realitas itu sangat minim. “Seolah-olah faktor itulah yang membuat pertentangan atau konflik itu terjadi,” ujarnya.

UIY mengambil contoh pertentangan ketika Amerika melakukan invasi ke Irak. “Amerika melakukan invasi ke Irak, itu faktor apa? Apakah itu dipacu oleh faktor agama atau faktor yang lain? Fakta-fakta yang terungkap menunjukkan bahwa itu lebih dipacu oleh faktor keserakahan kapitalisme global yang ingin mendapatkan sumber-sumber minyak secara murah,” jelasnya.
Menurutnya, begitu juga ketika Amerika melakukan invasi ke Afghanistan. Itu lebih didorong skenario untuk supaya ada perang, sehingga produksi senjata yang sudah dihasilkan itu bisa terpakai. “Semua menunjukkan bahwa fakta pertentangan itu tidak single faktor tapi multiple faktor,” ungkapnya.

Ia berpendapat, bila menggunakan logika untuk mengurangi pertentangan, maka istilah di dalam agama Kristen itu juga mesti dihapus. Karena ada pertentangan di dalam tubuh agama Kristen. Antara Kristen Katolik dan Kristen Protestan itu berlangsung sampai sekarang.
Kemudian di dalam umat Islam pertentangan juga ada, apa ya juga harus dihapus?” tanyanya.

Ustaz Ismail menilai, apa yang mereka (musuh Islam) lakukan adalah untuk membuat umat Islam menjadi kafir, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 89 yang artinya: “Mereka ingin agar kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama dengan mereka ....”.

“Jadi, semua ini karena mereka ingin umat Islam mengikuti millah mereka. Supaya kita ini sama. Sama dengan mereka. Kalau sudah sama kita tidak akan menjadi faktor yang menghambat, tidak akan menjadi penghambat dari seluruh keinginan kemauan dan cita-cita mereka. Utamanya di bidang politik, ekonomi dan juga agama,” tandasnya.[]Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab