Tinta Media: KUHP
Tampilkan postingan dengan label KUHP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KUHP. Tampilkan semua postingan

Selasa, 24 Januari 2023

KUHP Kembali Bangkitkan Orde Baru? Ini Faktanya...

Tinta Media - Seberapa jauh keberadaan produk legislasi nasional yaitu Undang-Undang KUHP akan mengembalikan lagi kebangkitan organisasi Orde Baru, mendapat tanggapan dari Presiden Pusat Kajian dan Analisis Data Slamet Sugianto.

“Bisa melihat kondisi faktual keberadaan UU KUHP ini. Kondisi faktualnya antara lain,” tuturnya dalam Kabar Petang : KUHP Alat Gebuk Pemerintah di Ruang Digital di kanal youtube Khilafah News, Selasa (17/1/2023). 

Pertama, keberadaan KUHP ini adalah peninggalan penjajah Belanda. “Keberadaan produk UU ini sesungguhnya adalah produk yang digunakan oleh penjajah dengan peraturan hukum Eropa kontinental karena Belanda itu masuk dalam kawasan negara-negara Eropa yang saat itu dalam relasi antara penjajah dengan yang dijajah,” ungkapnya.

Secara materi fungsi-fungsinya, lanjutnya, adalah proses pengaturan itu dan keberadaan KUHP sebagai sebuah norma nilai dalam relasi menjajah dengan yang dijajah. Sumber pembentukan perundang-undangan yang ada di Indonesia adalah adopsi dari norma hukum, norma agama, dan norma adat sebagai norma hukum positif. 

Kedua, produk legislasi KUHP ini adalah produk carry over artinya produk legislasi nasional peninggalan DPR dari kurun waktu ke kurun waktu. “Setelah revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 Kemarin soal proses pembentukan perundang-undangan yang memasukkan sebuah klausul atau pasal kebolehan membentuk undang-undang secara dengan metode omnibus yaitu menggabungkan berbagai produk-produk undang-undang, maka KUHP produk legislasi carry over ini akhirnya menjadi semacam produk perundang-undangan kompilasi dari berbagai produk yang mengatur mengenai norma pidana,” bebernya.

Slamet menyebutkan sebuah amar putusan MK yang dikeluarkan ketika gugatan formil atas UU Ciptaker dan dilakukan oleh berbagai pihak serta dipertanyakan juga urgensitas keberadaan UU Cipatker ini. Pemerintah, lanjutnya malah tidak mau membenahi aspek formal atau terkait dengan proses pembentukan perundang-undangan hingga sampai November 2023, tetapi malah mengeluarkan Perpu Ciptaker yang disinyalir atau dinilai oleh banyak kalangan sebagai pembagkangan konstitusi karena mengabaikan dua lembaga sekaligus yakni Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat. 

Ketiga, KUHP ini adalah program hukum pidana yang seharusnya memperhatikan prinsip Ultimum Remedium. Ultimatum Remedium adalah mengedepankan proses-proses penyelesaian tidak dengan cara memberikan sanksi tetapi ditakar dulu. “Bagaimana proses penyelesaian mengenai misalnya sengketa di antara warga negara dengan para penyelenggara negara dilihat dari aspek positifnya. Apakah para penyelenggara negara ini memang benar-benar bisa memberikan pelayanan sesuai dengan amanat konstitusi dan amanah ayat suci? Apalagi kita sebagai seorang muslim berkeyakinan ada tanggung jawab negara untuk memberikan pelayanan umum dan memastikan kewajiban negara memang benar-benar di berikan,” jelasnya.
 
Keempat, pengesahan RKUHP menjadi undang-undang KUHP dihadiri secara fisik hanya oleh 18 orang anggota dewan dari semua fraksi. “Sisanya 108 orang hadir secara virtual dan 164 orang izin padahal jumlah keseluruhan anggota DPR RI adalah 575 anggota. Dari semua fraksi menyetujui dan hanya satu kader PKS walk out,” imbuhnya. 

Jika kita memperhatikan kondisi faktual keberadaan UU KUHP dan persoalan-persoan formil atau proses pembentukannya oleh publik terkesan singkat. “Secara material kalau kita coba korelasikan kemungkinan bangkitnya orba itu bisa kita takar dari beberapa pasal-pasal,” pungkasnya.[] Erlina

Selasa, 10 Januari 2023

KUHP Baru, Antara Kepentingan Ekonomi dan Gaya Hidup Liberal


Tinta Media - Kontroversi dan kritik RKUHP kini kembali disorot terkait pasal-pasalnya yang membahas  hukum perzinaan. Setelah kesekian kali revisi, draft terbaru RKHUP dirilis pada 30 November 2022 sudah disahkan menjadi KUHP pada 6 Desember 2022. Berdasarkan UU tersebut terdapat aturan baru yang melarang seks di luar nikah untuk penduduk lokal dan pelancong. Berdasarkan KUHP baru, perzinaan akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori II, mencapai Rp 10 juta.

Pasal tersebut tuai kritik dari pakar dan masyarakat, karena dianggap bencana HAM dan melanggar hak kebebasan privasi. Hotman Paris mengutarakan kritiknya, tidak masuk akal kalau kasusnya kedua pihak yang berzina itu single dan apabila ingin dilaporkan terbatas hanya dari suami/istri, orang tua atau anak.

KUHP ini akan berlaku dalam tiga tahun bagi warga negara Indonesia, penduduk asing yang menetap di Indonesia, serta turis asing. Oleh karenanya, turis sudah mulai gelisah dan khawatir, terutama Australia. Banyak warganet Australia berkomentar hal ini akan menghancurkan industri pariwisata Bali.

Pasal dalam KUHP tentang perzinaan banyak yang tidak masuk akal. Jika terjadi perzinaan, yang bisa melaporkan dan membuat pengaduan hanya sebatas suami atau istri, orang tua terkait atau anaknya. Bagaimana jika ada kasus dan sang orang tua tidak mau melaporkan karena ikatan kekeluargaan atau orang tua merupakan orang terhormat dalam desa tersebut? Bagaimana kalau kedua pezina tidak mempunyai anak maupun orang tua?

Banyak sekali variabel yang dapat memengaruhi ketidakefektifan pasal ini. Sebagai contoh lain, dalam KUHP pasal 411 hukuman melakukan zina ialah pidana penjara paling lama 1 tahun, sedangkan dalam pasal 414 mengenai percabulan hukuman pidana penjara mulai dari 1 tahun hingga 9 tahun tergantung situasi dilakukannya percabulan. Sangat mengherankan dan aneh, seakan-akan lebih mending melakukan zina daripada percabulan.

Padahal dalam pandangan Islam, zina merupakan salah satu dosa besar, perbuatan yang dilarang keras oleh Allah SWT, derajatnya setara dengan syirik dan pembunuhan.

Walaupun dibalik semua kontroversi dan tidak konsistennya KUHP, banyak masyarakat masih menganggap larangan seks di luar nikah melanggar privasi dan hak asasi manusia. Menurut mereka, hal itu merupakan privasi yang harus dihargai walaupun bersifat imoral. Inilah salah satu bentuk pemikiran sekuler dan gaya hidup liberal ala Barat yang sudah tertanam dalam diri masyarakat sekarang, ‘my body my choice’, itulah slogan mereka.

Sedihnya lagi, banyak masyarakat terutama di bidang pariwisata mengkritik larangan seks di luar nikah ini akan merugikan mereka, karena memungkinkan turunnya turisme. Selain itu, tidak sedikit juga yang beranggapan larangan ini akan merusak perekonomian Indonesia, bukan hanya dari sisi pariwisata tetapi ketakutannya akan

investor-investor yang terancam tarik diri dari Indonesia. Sangat miris sekali, kelihatannya sumber perekonomian negara ini berpusat pada suatu yang sangat dibenci Allah SWT.

Akibat sistem sekuler dan paham liberal ini, banyak masyarakat yang sudah dibutakan dari mana yang halal dan haram. Semua perbuatan tidak lagi didasarkan atas mencari keridhaan Allah SWT, tetapi berdasarkan apa yang dapat menghasilkan manfaat dan keuntungan dunia saja.

RUHP ini merupakan produk akal manusia yang dilegislasi oleh negara. Dibuktikan dengan banyaknya kontroversi dan kejanggalan dalam KUHP, sudah pertanda akal manusia itu lemah dan terbatas. Akal manusia tidak mampu menciptakan aturan yang terbaik untuk manusia itu sendiri, yang ada hanya menimbulkan masalah baru seperti yang terjadi sekarang.

Kemoralan akan seks di luar nikah atau zina harusnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena Allah SWT telah mengaturnya sedemikian rupa dalam Al-Qur’an. Sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk” (QS al-Isra’: 32).

Kemudian hukumannya pun sudah jelas dalam Al-Qur’an, sebagaimana Allah SWT berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap satu dari keduanya dengan seratus kali deraan. Dan janganlah kamu belas kasihan kepada keduanya di dalam menjalankan (ketentuan) agama Allah yaitu jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah (dalam melaksanakan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (QS an-Nur: 2)

Islam telah jelas menetapkan perbuatan dan sanksi terhadap pelakunya. Halal dan haram telah ditentukan berdasarkan syariat Islam. Ini yang harusnya menjadi panduan dalam membuat aturan, bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab, hak membuat hukum hanya milik Allah SWT.

Oleh karenanya hal tersebut hanya bisa diwujudkan dengan kepemimpinan khalifah dalam institusi khilafah. Sebab, hanya khalifah yang mempunyai wewenang menyusun UU bukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti dalam demokrasi.[]

Oleh: Fatiyah Danaa Hidaayah

Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok

 


 

 

Kamis, 29 Desember 2022

Refleksi 2022, Aroma Islamofobia Kuat Menyengat di Pasal 188 KUHP


Tinta Media - Jurnalis Joko Prasetyo menilai aroma islamofobia kuat menyengat di Pasal 188 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada 6 Desember 2022. “Selama 2022 ini banyak regulasi dan kebijakan yang menunjukkan rezim ini islamofobia, salah satunya aroma islamofobia kuat menyengat itu di pasal 188 KUHP terbaru,” ungkapnya kepada Tintamedia.web.id, Kamis (29/12/2022).

Karena, lanjut Om Joy, sapaan akrabnya, dalam pasal tersebut selain secara definitif melarang paham komunisme/marxisme, leninisme, juga memuat frasa, “Atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila”. “Itu frasa yang tidak definitif, ambigu, multitafsir, sangat ngaret, dan berdasarkan rekam jejak rezim ini, kuat aroma untuk mengkriminalisasi khilafah ajaran Islam,” tegasnya.

Om Joy meragukan kalau frasa ambigu tersebut muncul murni untuk menjerat semua paham yang bertentangan dengan Pancasila. “Itu apakah murni untuk menjerat paham lain yang bertentangan dengan Pancasila atau untuk mengkriminalisasi khilafah ajaran Islam?” tanyanya.

Bukan apa-apa, lanjutnya, karena selama ini khilafah kerap diopinikan rezim sebagai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Karena alasan itu pula ormas Islam yang istiqamah mendakwahkan khilafah ajaran Islam dicabut badan hukum perkumpulannya, para aktivisnya dipersekusi dan dikriminalisasi.

Tapi dalam waktu bersamaan, terang Om Joy, rezim ini dengan sangat produktif mengamalkan paham kapitalisme, di antaranya: privatisasi aset yang menurut Islam itu kepemilikan umum (milkiyah ammah) yang haram diprivatisasi, meminjam uang berbunga dan juga melegalkan bunga bank yang menurut Islam itu riba satu dirham saja dosanya setara berzina dengan ibunya sendiri; dan lain sebagainya. “Selain itu, terlihat wellcome dengan paham komunisme, yang jelas-jelas bertolak belakang dengan ajaran Islam,” jelasnya.

Sekali lagi, ia pun menanyakan, apakah yang dimaksud dengan frasa ambigu oleh rezim itu khilafah? “Bila menganggap khilafah bertentangan dengan Pancasila, itu mengonfirmasi bahwa Pancasila bertentangan dengan Islam. Mengapa? Karena khilafah bukanlah ideologi, tetapi ajaran Islam di bidang pemerintahan. Hukumnya fardhu kifayah untuk ditegakkan,” jelasnya.

Agar Leluasa

Menurutnya, rezim kerap menyebut khilafah sebagai ideologi agar kaum islamofobia leluasa menista khilafah ajaran Islam selain itu agar Muslim yang masih awam tidak mengetahui khilafah adalah ajaran Islam di bidang pemerintahan.

“Soalnya, seawam-awamnya orang Islam, mestilah membela ajaran agamanya bila dinistakan. Bagaimana agar leluasa menista khilafah, ya fitnah saja khilafah sebagai ideologi. Lalu dimonsterisasi dengan berbagai fitnah lainnya agar tampak menakutkan di mata orang-orang awam,” ungkapnya.

Sebaliknya, jelas Om Joy, berbagai UU dan kebijakan yang sangat kapitalistik (neolib/sangat pro oligarki meski menyengsarakan rakyat) tidak dihapus dan rezim ini tetap saja bermesraan dengan Kakak Besar (sebutan Presiden Jokowi kepada Presiden Komunis Cina Xi Jinping) yang jelas-jelas membantai dan menyiksa Muslim Uighur, tidak dapat diragukan lagi, ini hanya menambah fakta baru saja untuk menambah fakta sejarah yang selama ini sudah terang benerang bahwa, "Pancasila memang dijadikan alat oleh para sekuler-kapitalis dan ateis-komunis untuk menjegal tauhid-Islam."

Makanya, lanjut Om Joy, tidak aneh kalau ketua dari badan yang paling otoritatif dalam pembinaan 'ideologi' Pancasila, BPIP, Prof. Dr. Yudian Wahyudi mengatakan, "Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan."

“Agama apa yang dimaksud kalau bukan Islam? Wong selama ini yang konsisten dipersekusi dan kriminalisasi itu hanya Islam kok, bukan agama lain,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Selasa, 27 Desember 2022

Hukum Buatan Manusia Selamanya Unfaedah

Tinta Media - Tanggal 6 Desember 2022 publik dikejutkan dengan kabar bahwa Komisi III DPR RI mengesahkan Rancangan KUHP menjadi KUHP.  DPR berpendapat bahwa KUHP baru ini membawa misi dekolonialisasi karena buatan orang Indonesia,  bukan lagi KUHP warisan Kolonial Belanda,  sehingga sangat solutif dalam menyelesaikan problem masyarakat Indonesia. 

Padahal, sejak kemunculannya, draf RUU KUHP ini telah banyak mendapat penolakan dari masyarakat karena ada pasal-pasal  yang bermasalah,  tendensius, dan refresif. Menurut pengamat politik Ahmad Khozinudin, dari 627 pasal dalam KUHP,  ada sepuluh pasal kontroversi. Bahkan,  dr.  Nurun Nisa mengatakan bahwa KUHP baru ini semakin melanggengkan sekularisme,  liberalisme, dan otoritarianisme  di Indonesia. 

Hal yang menjadi sorotan dalam KUHP baru antara lain:

Pertama, pasal yang memidanakan penyebaran paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila,  penghinaan terhadap presiden,  pemerintah atau lembaga negara serta kriminalisasi demonstrasi. 
Di dalamnya ada ketentuan yang bersifat karet yang dapat dijadikan alat represif oleh pemerintah untuk membungkam suara kritis masyarakat. Hal ini menunjukkan sifat otoriter penguasa. 

Kedua, KUHP baru tidak memberi sanksi kepada pelaku L6BTQ+, padahal sudah jelas dan terbukti mendatangkan bahaya bagi masyarakat 

Ketiga, hubungan antara penguasa dan rakyat tidak banyak perbedaan dengan KUHP sebelumnya, yaitu tidak dapat mewujudkan keadilan pada rakyat kecil dan gagal memberantas tindak kejahatan. 

Keempat, pasal tentang perzinaan bersifat delik aduan. Artinya, bila dilakukan atas dasar suka sama suka, maka bukan suatu kejahatan. Bila tidak ada yang mengadukan dari pihak keluarga inti,  maka bukan kejahatan. Hal ini jelas-jelas makin mendukung liberalisme dan kapitalisme. 

Pakar Hukum Masyarakat dan Filsafat Pancasila,  Prof. Dr. Suteki, S. H., M. Hum merekomendasikan agar pengesahan RKUHP tersebut dievaluasi supaya lebih cermat dalam hal yang sangat krusial. 

Menurut Ustadz M. Ismail Yusanto,  KUHP baru ini menempatkan  rakyat dengan sangat ketat sehingga rakyat tidak punya celah atau jalan untuk melakukan kritik pada penguasa. 

Beginilah hukum buatan manusia yang berlandaskan sekulerisme. Alih-alih memberi efek jera, malah melanggengkan kemaksiatan dan penjajahan suatu kelompok kepada kelompok lainnya. 

Manusia dengan segala kelemahan dan keterbatasan dirinya tidak mungkin membuat aturan atau hukum untuk digunakan dalam kehidupannya.  Hukum buatan manusia hanya akan menyebabkan kesengsaraan karena yang menjadi landasan adalah sekularisme,  memisahkan agama dari kehidupan. Hal ini bertentangan dengan fitrah manusia karena aspek ruhiyah diabaikan. Selain itu, hubungan antar manusia didasarkan pada asas manfaat.

Manusia diciptakan Allah Yang Maha Esa dan ditempatkan di bumi dengan fasilitas lengkap berupa sumber daya alam  dan aturan atau syariah-Nya. Allah Yang Mahabijaksana telah menurunkan syariah-Nya kepada Rasulullah Muhammad saw. untuk menjadi petunjuk dan pedoman dalam menjalani hidup dan mengelola kehidupan. 

Syariah Islam terdiri atas hukum-hukum yang mengatur semua masalah manusia secara sempurna karena berasal dari Allah Yang Maha Sempurna.  Allah, Sang Khaliq yang tahu persis karakter manusia sehingga hukum-Nya pun pasti sempurna untuk kehidupan manusia, termasuk hukum pidana.  

Hukum pidana Islam pasti adil karena berasal dari Allah Yang Mahaadil.  Allah pasti tidak akan zalim kepada hamba-hamba-Nya sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Qur'an surat Ghafir ayat 31. 

Allah juga menegaskan bahwa syariah Islam adalah rahmatan lil 'alamin,  membawa kemaslahatan bagi umat manusia dan seluruh alam, sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Qur'an surat Al Anbiya ayat 107.

Hukum pidana Islam memberikan maslahat di dunia dan akhirat karena memiliki sifat jawabir dan zawajir. Sifat jawabir yaitu menjadi penebus dosa bagi pelakunya sehingga dia terbebas dari hukuman di akhirat. Zawajir yaitu dapat memberi efek jera bagi pelakunya dan membuat orang lain takut untuk melakukan tindakan kriminal serupa.  Dengan demikian, penerapan hukum pidana Islam akan memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat sehingga  jumlah pelaku tindakan kriminal akan sedikit. Penjara dan Lembaga Permasyarakatan tidak akan penuh sesak melebihi kapasitas seperti yang terjadi saat ini. 

Kebenaran dan keadilan hukum pidana Islam seharusnya tidak diragukan lagi. Sejarah mencatat bahwa hal itu pernah dirasakan, bukan hanya oleh kaum muslimin, tetapi juga oleh nonmuslim, yaitu saat hukum Islam diterapkan secara nyata dalam kehidupan khilafah selama belasan abad, sejak masa Rasulullah menjadi kepala negara di Madinah tahun 622 M sampai masa kekhilafahan Turki Ustmani tahun 1924 M. 

Saat ini hukum-hukum Islam tidak lagi diterapkan. Ia digantikan dengan hukum buatan manusia. Inilah yang membuat kehidupan masyarakat sarat dengan ketidakadilan dan kezaliman, tidak ada rasa aman dan tenang. Semestinya kondisi ini mendorong kita untuk kembali menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan dan memutuskan segala perkara di masyarakat.  Jangan sampai kita termasuk orang zalim,  fasik, apalagi kafir karena enggan menerapkan hukum-hukum Islam. 

Allah Swt. berfirman: "Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah turunkan,  mereka itu adalah orang-orang zalim (Qs Al Maidah: 45). 

Wallahu 'alam bissawab.

Oleh: Wiwin Widaningsih
Sahabat Tinta Media

Kamis, 22 Desember 2022

Larangan Seks di Luar Nikah Menuai Kontroversi

Tinta Media - Masalah RKUHP menjadi KUHP pada 6 Desember kemarin menuai banyak sorotan. Pasalnya, undang-undang baru tersebut mengandung larangan seks di luar nikah yang berujung pada ketidaknyamanan para wisatawan asing yang sering melakukan kunjungan wisata ke Indonesia.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikabarkan dalam laman CNBC Indonesia bahwa ada beberapa media asing, seperti Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), media Australia SBS dan juga Euronews yang mengemukakan ketidaknyamanan para turis tersebut. Tak cukup sampai di situ, ternyata hal ini juga mampu membuat negara adidaya (AS) kepanasan atas undang-undang tersebut.

Duta Besar AS Sung Kim menyatakan bahwa, mengkriminalkan keputusan pribadi individu akan membayangi matriks keputusan banyak perusahaan yang menentukan apakah akan berinvestasi di Indonesia. Mereka juga mengkhawatirkan selain adanya larangan seks di luar nikah, hukum baru ini akan melarang hidup bersama antara pasangan yang belum menikah. Itu disahkan dengan dukungan dari semua partai politik dan meskipun ada peringatan dari kelompok bisnis bahwa itu dapat menakuti turis dan merusak investasi. 

Larangan seks di luar nikah dianggap mengancam keberlangsungan pariwisata, bahkan investasi. Narasi ini jelas menunjukkan keberpihakan kepada perilaku sesat yang diharamkan agama, dan menggambarkan dengan jelas bagaimana aturan dalam sistem sekuler kapitalis ini berlaku. 

Menghalangi kepentingan pihak tertentu, utamanya dalam membentur paham yang dipegang oleh para penguasa yang mengusung kapitalis dengan gaya hidup liberalnya, tentu akan menuai banyak ketidaksenangan atas aturan tersebut. 

Namun, di sisi lain, aturan ini juga menunjukkan betapa sekulernya cara berpikir anggota dewan karena memasukkan zina dalam delik aduan dan membatasi pelapor hanya keluarga dekat. Hal ini secara tidak langsung memberi peluang bagi para pelaku zina sehingga perbuatan yang tidak dibenarkan dalam agama tersebut berubah menjadi membolehkan perzinaan, bahkan negara pun mentolerir perbuatan ini sebagai hal yang biasa, bahkan mereka memfasilitasi tempat-tempat untuk menuangkan hasrat dan juga membolehkan pola pergaulan yang tak beradab.

Inilah gambaran kehidupan sekuler yang jelas bertentangan dengan Islam. Hal ini menunjukkan bahwa kita membutuhkan institusi yang tegas dalam menerapkan aturan. Aturan tersebut bukan hanya lahir dari buah pikiran belaka, melainkan harus ada pertimbangan kuat berdasarkan hukum-hukum yang telah dijelaskan dalam Islam.

Kebutuhan umat akan tegaknya aturan Islam menunjukkan kebutuhana akan tegaknya khilafah islamiyyah, sebab sistem kekhilafan ini akan menerapkan aturan Islam secara totalitas, seperti politik, sosial, ekonomi, pergaulan, keamanan dan lain-lain. Islam juga tidak akan melakukan tindakan diskriminasi pada sebagian pihak hanya karena mereka beda agama. 

Seks di luar nikah menurut Islam merupakan tindakan amoral yang menimbulkan dosa, serta akan merusak tatanan kehidupan. Maka dari itu, khilafah akan berupaya menutup jalur masuk perbuatan ini dari arah mana pun. Khalifah juga akan memberi sanksi bagi para pelaku sesuai kadar islam.

Khilafah tidak akan memanfaatkan jalan keharaman sebagai sumber pemasukan. Selain itu, jalur pariwisata di dalam Islam bukanlah sumber utama pemasukan negara. Adapun sumber pemasukan negara khilafah adalah harta fa'i, kharaj, harta umum, dan juga sedekah. Sedangkan pariwisata digunakan sebagai sarana untuk tadabbur alam dalam meningkatkan ketakwaan kepada Allah dengan mengagungkan ciptaan-Nya yang indah.

Adapun dalam penyelesaian masalah zina, maka khilafah akan melakukan beberapa tindakan seperti, 

Pertama, memberikan pendidikan yang berbasis akidah Islam untuk mengokohkan keimanan para peserta didik dengan menguatkan keterikatan mereka pada hukum syara'. 

Kedua, khilafah akan menerapkan sistem pergaulan Islam sehingga masyarakat diimbau untuk tetap berada pada koridor syar'i, seperti mewajibkan para wanita menutup aurat secara sempurna ketika keluar rumah, melarang ikhtilat dan berkhalwat tanpa ada uzur syar'i. 

Ketiga, khilafah akan mengupayakan kesejahteraan hidup keluarga dapat terjamin, sehingga seorang ibu dapat fokus dalam menempa anak-anaknya menjadi generasi mulia. 

Keempat, khilafah akan memberlakukan sanksi tegas bagi para pelaku maksiat, seperti zina. Jika ia termasuk zina mukhsan maka hukumannya akan dirajam. Jika masuk dalan zina gairu mukhsan, maka ia akan dicambuk sebanyak 80 kali kemudian diasingkan.

Beginilah cara Islam dalam menyelesaikan masalah, sehingga tak berlarut-larut. Selain itu, sanksi yang diberlakukan  di dalamnya akan menimbulkan efek jera dan ketakutan sehingga orang lain tak akan berniat untuk melakukan hal yang sama. Ketika aturan Islam diterapkan, maka hukuman yang akan mereka rasakan cukup sampai didunia saja, karena hukuman di akhirat telah tertebus.

Wallahua'lam bissawab.

Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd.
Aktivis Dakwah

Selasa, 20 Desember 2022

Ahmad Sastra: Ada Relasi Kontraproduktif antara Penguasa dan Rakyat dalam KUHP

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra menganggap ada relasi yang kontraproduktif antara penguasa dan rakyat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan.

“Melalui KUHP ini seolah relasi penguasa dan rakyat kontraproduktif,” ujarnya kepada Tinta Media, Senin (19/12/2022).

Ia menegaskan relasi penguasa dan rakyat bersifattidak (mampu) menghasilkan hal baik atau tidak saling menguntungkan.

“Padahal pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan bos dan rakyat pembantunya,” tegasnya.

Hal ini berkaitan dengan kontroversi pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pada Selasa, 6/12/2022 dalam rapat paripurna oleh DPR dan pemerintah di kompleks parlemen.

“Setelah banyak protes dari masyarakat karena menyelisihi demokrasi, pengesahan RKUHP ini terkesan dikebut, masih terdapat banyak substansi yang kontroversial, khususnya dilema relasi antara penguasa dan rakyatnya yang diurus,” bebernya.

Menurutnya, minimnya partisipasi publik dengan dikebutnya pengesahan RKUHP seolah menunjukkan DPR dan pemerintah seolah tidak mengindahkan kritik dan masukan publik.

“Padahal sejumlah kalangan publik dari mulai jurnalis, praktisi hukum, hingga aktivis HAM dan mahasiswa melihat materi dalam draf RKUHP masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah,” tuturnya.

Ia menunjukkan draf RKUHP dalam pasal-pasal bermasalah, antara lain Pasal 218 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta. Dan ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

“Maksud dari penjelasan Pasal 218 ayat (2) tentang dilakukan untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa atau demonstrasi, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden. Maka aksi atau kebebasan berekspresi itu pun diberi embel-embel bersifat konstruktif,” kritiknya.

Ia menilai dalam RKUHP penguasa memosisikan dirinya sebagai pihak yang selalu benar dan menolak masukan, protes, nasihat, dan sejenisnya dari rakyat. 
“Padahal kata penghinaan adalah pasal karet yang bisa multitafsir, dikhawatirkan nasihat dan protes rakyat nanti dianggap sebagai bentuk penghinaan,” nilainya.

Pasal 192 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara  maksimal 20 tahun.

“Pasal ini juga kontroversial dan agak aneh sebenarnya, jika mau berpikir secara mendalam, justru dengan menerapkan ideologi kapitalisme sekuler liberal, negeri ini bisa tergadaikan kepada oligarki asing dan aseng,” ujarnya.

Ia berpendapat makar yang sesungguhnya adalah penerapan kapitalisme sekuler liberal. Oligarki asing dan aseng makin kaya di negeri ini, sementara rakyat makin sengsara.
“Hingga hari ini hampir tak tersisa lagi sumber daya alam milik rakyat kecuali dikuasai oleh asing dan aseng,” ucapnya.

Pasal 193 ayat (1) mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana penjara paling lama 12 tahun. Sementara Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun.

“Pasal ini juga bisa jadi pasal karet multiinterpretasi bagi rakyat yang menginginkan negeri ini menjadi lebih baik. Padahal ideologi transnasional demokrasi kapitalisme sekuler liberal yang diterapkan di negeri ini terbukti telah menyengsarakan rakyat,” tuturnya.

Pada Pasal 188 paragraf 1 disebutkan tentang penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme, Leninisme, atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan dan mengembangkan melalui media apa pun, dipidana penjara paling lama 4 tahun.

“Memahami pasal ini, maka salah satu paham yang bertentangan dengan Pancasila justru sedang diterapkan di negeri ini, seperti sekularisme, kapitalisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, dan banyak isme lainnya,” katanya. 

“Berbeda dengan Islam, dalam hampir semua kajian akademik tidak ada yang berpendapat bahwa Islam itu bertentangan dengan Pancasila bahkan secara historis ada yang berpendapat Pancasila sebagai hadiah terbesar umat Islam untuk negeri ini,” imbuhnya.

Ia mengungkapkan secara politik yang terjadi sebaliknya, penyebaran ajaran Islam sering kali dianggap bertentangan dengan Pancasila, seperti syariah dan khilafah. Pasal 188 ini sangat rawan ditafsirkan secara serampangan sehingga dakwah-dakwah Islam bisa dijadikan sasaran tuduhan anti Pancasila.

“Padahal keduanya bukan isme, melainkan bagian dari ajaran Islam. Logikanya jika Islam tidak bertentangan dengan Pancasila berarti seluruh ajarannya juga tidak bertentangan, menyebutkan ajaran khilafah sebagai isme adalah kebodohan,” ungkapnya.

Menurutnya Pasal 188 ini akan menyuburkan kapitalisme, liberalisme, sekularisme, dan pluralisme yang jelas bertentangan dengan Pancasila akan terus tumbuh. Sementara tuduhan keji seperti radikalisme, terorisme, fundamentalisme justru sering disasarkan kepada umat Islam.

Dr. Ahmad mengatakan dalam draf RKUHP Pasal 349 tercantum delik aduan, yakni mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR, DPRD, Kejaksaan,  hingga Polri. Lembaga negara ini harus dihormati oleh rakyat karena mereka adalah pelayan rakyat.

“Pada ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara, ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan,” katanya.

Sedangkan pada Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan di media sosial. 

“Dengan pasal seperti ini tentu saja rakyat akan takut bersuara, khawatir suaranya ditafsirkan berbeda oleh penguasa sebagai penafsir tunggal atas hak bersuara yang dimiliki oleh rakyat. Seyogianya jika pelayan rakyat bersalah dan tidak melayani rakyat, maka rakyat jelas berhak mengingatkan,” bebernya. 

Ia menilai istilah menghina kekuasaan sangat multiinterpretasi. Penafsirannya sangat bergantung kepada penguasa, pasal ini seolah menempatkan penguasa sebagai penafsir tunggal atas hak bersuara yang dimiliki oleh rakyat.

“Menempatkan diri sebagai penafsir tunggal, sama saja dengan menempatkan diri sebagai yang benar dan tidak pernah salah. Khawatir dengan pasal ini bisa menafsirkan sebagai delik aduan ketika rakyat melakukan kritik atas kesalahan penguasa, bisa saja kan?” nilainya.
 
Draf RKUHP turut memuat ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan dan tertuang dalam Pasal 256. “Pasal ini menuai banyak kritik dengan alasan mudah dalam mengriminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat. Koalisi masyarakat sipil mengatakan pada praktiknya polisi kerap mempersulit izin demo,” ucapnya.

Menurutnya, konsistensi demokrasi di dalam pasal ini dipertanyakan sebab seolah penguasa melakukan pembungkaman atas hak bersuara rakyat.

“Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa ada paradigma yang salah dalam RKUHP terkait konstruksi relasi antara penguasa dan rakyatnya,” tuturnya.

Pada Pasal 263 ayat (1) dijelaskan bahwa seseorang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dapat dipenjara paling lama 6 tahun atau denda Rp 500 juta.
“Kemudian pada ayat berikutnya dikatakan setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga berita bohong dan dapat memicu kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda Rp 200 juta,” ujarnya.

 Lebih lanjut, dalam Pasal 264 menyatakan bahwa seseorang yang membuat dan menyebarkan berita tersebut (penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan), dapat dipenjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp 10 juta.

 “Jelas pasal ini menunjukkan relasi yang salah antara penguasa dan rakyat terutama soal tafsir dan penafsiran. Sebab di saat rakyat atau pers melakukan siaran terancam oleh bayang-bayang penjara,” lanjutnya.

Pasal ini telah menimbulkan suasana tidak kondusif bagi dikursus sosial politik di negeri ini, dan berpotensi merusak relasi antara penguasa dan rakyat. Ia berpandangan relasi penguasa dan rakyat dalam KUHP ini bertentangan 180° dengan relasi dalam Islam. Mengutip perkataan Kaab al-Akhbat ra. dari Ibnu Qutaibah (w. 276H) bahwa perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang , dan tali pengikat serta pasaknya.

“Tenda besarnya adalah Islam, tiangnya adalah kekuasaan, tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat, satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya. Dalam relasi Islam antara penguasa dan rakyat saling menguatkan,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Senin, 19 Desember 2022

RKUHP DISAHKAN, TIRANI MINORITAS DPR TERHADAP MAYORITAS RAKYAT INDONESIA

Tinta Media - Draf RKUHP yang terdiri dari 37 Bab dan 627 pasal, akhirnya disahkan DPR menjadi UU pada Rabu tanggal 6 Desember 2022. Agenda super penting ini dalam rapat paripurna pengesahannya hanya dihadiri secara fisik oleh 18 orang anggota DPR 'yang terhormat'.

Sebanyak 285 dari total 575 anggota DPR absen (mbolos, mangkir). Sisanya, 108 orang hadir secara virtual dan 164 orang izin. (entah, izin tidur atau mau melahirkan).

Tentu saja, kondisi tidak layak ini telah dilegitimasi oleh Tatib DPR sejak era pandemi. Berdalih kopad kopid, semua serba online. Hingga soal pembahasan RKUHP yang berdampak luas dan menyangkut masa depan bangsa, dibahas juga secara online.

108 orang anggota DPR yang hadir secara online ini juga tidak bisa dipastikan, benar-benar mengikuti agenda atau tidur. Atau bahkan, mungkin saja mematikan camera, pasang DP, aktifkan koneksi, padahal fisiknya keluyuran kesana kemari.

Kalau menggunakan Tatib yang normal, tentu saja pengesahan RKUHP ini cacat formil karena tidak memenuhi quorum. Hanya dihadiri 18 dari total 575 anggota dewan 'yang terhormat'.

Lalu, 18 orang ini mengesahkan RKUHP yang banyak ditolak publik, dipaksakan akan diberlakukan kepada 280 juta penduduk Indonesia. Ini jelas, sebuah tirani minorotas (DPR) terhadap mayoritas (rakyat).

Kalau DPR tidak tiran, tidak diktator, sebenarnya mudah saja mengakomodir kritik publik. Cukup hapus pasal-pasal kontroversi, yang jumlahnya hanya sepuluhan pasal.

DPR tidak akan merasa kalah, kalau hanya menghapus 10 pasal kontoversi seperti soal pidana demonstrasi, penghinaan presiden, penghinaan lembaga negara, pidana kontra pancasila, dll. Sebab, kalaupun DPR menuruti kehendak publik dengan menghapus 10 pasal kontroversi, berarti DPR masih punya 617 pasal yang bisa disahkan. Sebab, total pasal RKUHP 627 pasal.

Rakyat juga ga akan protes, kalau pasalnya tidak represif dan dalam rangka menertibkan masyarakat. Misalnya, rakyat tidak ada yang mempersoalkan pasal pembunuhan, pencurian, perjudian, penipuan, penggelapan, dll. Karena ini memang jelas-jelas kejahatan.

Rakyat hanya mengkritik demo dipidana, kritik DPR dan Presiden bisa dibui, menyampaikan pendapat dianggap kebohongan, pancasila diperalat untuk gebuk rakyat, dan seterusnya. Menyampaikan kritik dan pendapat kok dibilang penghinaan?

Begini saja, kalau ga mau dikritik, ga mau dihina, ga usah jadi pejabat, ga usah jadi Presiden, ga usah jadi anggota DPR. Biar DPR dan Lembaga Presiden diisi oleh orang yang siap dikritik dan 'dihina' rakyat.

Jangan tak mau dikritik berdalih penghinaan. Lalu bertindak represif dan otoriter.

Tapi ini DPR tetap ngotot, ketok palu, lalu persilahkan rakyat gugat ke MK. Ini jelas tirani DPR kepada seluruh rakyat.

Ada juga, sebagian anggota DPR yang akting menolak RKUHP. Tapi pandangam resmi fraksinya menyetujui. Mencoba berkamuflase dengan ungkapan 'menyetujui dengan catatan'.

Intinya, ga ada guna DPR. Mereka bukan mewakili rakyat, tapi mewakili rezim. Kalau mereka wakil rakyat, semestinya mendengar kritik rakyat. Apa susahnya menghapus 10 pasal kontroversial dari 627 pasal RKUHP? [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/

Minggu, 18 Desember 2022

MMC: Larangan Seks di Luar Nikah Tak Tegas dalam KUHP


Tinta Media - Muslimah Media Center (MMC) menganggap bahwa larangan seks di luar nikah dalam KUHP yang baru tidak tegas.

"Aturan tersebut tidak tegas bahkan negara terkesan mentolerir perzinaan," tuturnya dalam acara Serba-serbi MMC: Larangan Seks di Luar Nikah, Tak Tegas Demi Kepentingan Ekonomi melalui kanal Youtube Muslimah Media Center, Kamis (15/12/2022).

Narartor beralasan, sebab pasal perzinaan dimasukkan dalam delik aduan dan membatasi pelapor hanya keluarga dekat saja. “Hanya suami atau istri bagi yang terikat perkawinan atau orang tua atau anak bagi yang tidak terikat perkawinan, yang bisa membuat pengaduan dalam keterangan tertulis, tidak bisa pihak lain melapor apalagi sampai main hakim sendiri, jadi tidak akan ada protes hukum tanpa pengaduan dari pihak yang berhak dan dirugikan secara langsung,” bebernya.

KUHP baru ini memidanakan pelaku hubungan seks di luar nikah berdasarkan KUHP baru perzinaan, akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori 2 mencapai 10 juta rupiah. "Tapi larangan seks tersebut dianggap para turis asing dan negara Barat mengancam keberlangsungan pariwisata bahkan investasi di negeri ini," ungkapnya. 

Media asing pun, ujar narator, ikut berbondong-bondong menyoroti pengesahan RKUHP tersebut, media Australia SBS memberikan peringatan bagi warganya yang akan berkunjung ke Bali, "Pernyataan keras juga disampaikan oleh Amerika Serikat, bahkan AS menegaskan pengesahan KUHP yang baru bisa menghentikan investasi internasional dalam industri pariwisata,” tuturnya.

Narator MMC menjelaskan aturan ini secara tidak langsung berarti negara membolehkan perzinaan, inilah gambaran kehidupan sekuler yang jelas bertentangan dengan Islam. "Meski ada aturan tentang larangan perzinaan namun aturan tersebut tidak tegas bahkan terkesan negara mentolerir perzinaan,” jelasnya.

Solusi

MMC menilai, hubungan seks di luar nikah dalam pandangan Islam adalah perbuatan jarimah atau kriminal karena termasuk perbuatan maksiat. "Karena itulah Khilafah akan mencegah pintu masuk perbuatan ini dari arah mana pun dan menghukum pelakunya sesuai sanksi Islam," tegasnya. 

Adapun dalam menyelesaikan masalah zina, kata narator, maka Khilafah akan hadir melaksanakan tanggung jawab yang telah ditetapkan oleh Islam.

Pertama, Khilafah wajib menyelenggarakan pendidikan berbasis Aqidah Islam dan mengajarkan pengetahuan hukum syariat kepada peserta didik. "Sehingga akan terlahir individu yang kuat imannya penuh ketakwaan pada Allah subhanahu wa ta'ala dan takut berbuat maksiat," ujarnya. 

Kedua, Khilafah wajib menerapkan sistem pergaulan Islam yang akan memberlakukan ketentuan syariat dalam interaksi di masyarakat. "Seperti kewajiban menutup aurat, larangan khalwat, larangan ikhtilat tanpa hajat syar'i dan lain-lain," katanya. 

Ketiga, Khilafah wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya. 

Keempat, Khilafah menerapkan sanksi tegas sesuai ketentuan syariat terhadap pelaku maksiat, yakni sanksi rajam bagi pelaku zina yang sudah pernah menikah, dicambuk dan diasingkan untuk pelaku zina yang belum pernah menikah. "Sanksi yang diterima pun disesuaikan dengan hukum Islam,” pungkasnya. [] Evi

Sabtu, 17 Desember 2022

TOK! RKUHP DISAHKAN MENJADI UU: SELAMAT DATANG ERA TIRANI DAN PEMBUNGKAMAN! ERA RAKYAT DIJAJAH OLEH BANGSANYA SENDIRI!

Tinta Media - Saat penulis mengkritik RKUHP (yang akhirnya disahkan hari ini, selasa, 6/12), seorang sejawat Advokat mempertanyakan solusi atas kritik yang penulis sampaikan. Idealnya, selain menyampaikan kritik penulis juga diminta menyampaikan solusinya.

Sebenarnya, kalau pemerintah dan DPR tidak tuli, sangat mudah mengambil solusi dari banyaknya kritik publik. Yakni, cukup dengan menghapus sejumlah pasal kontroversi yang banyak dikritik publik.

Misalnya saja, saat penulis mengkritik Ketentuan pidana dalam pasal 218 RKUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden. Solusinya sederhana: Hapus pasal ini.

Juga soal Pasal penghinaan lembaga Negara. Solusinya ya cukup menghapus ketentuan Pasal 349. Kritik kriminalisasi dan pembungkaman demonstrasi, solusinya tinggal menghapus Pasal 256.

Belum lagi Pidana penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila, yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1):

"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."

Pasal ini karet, dan sangat subjektif. Tafsirnya akan sangat tergantung kehendak kekuasaan. Kalau ditanya apa solusinya? ya hapus saja, atau buat norma pasal yang lebih limitatif.

Namun penulis paham, tujuan aktivasi norma yang tidak limitatif, yang obscuur dan lentur. Agar bisa menjadi alat represi, alat gebuk untuk membungkam lawan politik.

Jadi, problemnya bukan karena rakyat atau yang mengkritik tidak menyampaikan solusi. Tapi karena pemerintah dan DPR memang sudah pasang muka badak dan tebal kuping, tak mau mendengar kritikan rakyat, sambil sesumbar dengan sombongnya mengatakan KITA TELAH MENGAKHIRI EKSISTENSI KOLONIALISME KUHP BELANDA YANG TELAH BERCOKOL DI NEGERI INI LEBIH DARI 150 TAHUN.

Lagipula, Pemerintah dan DPR digaji untuk melahirkan solusi. Bukan malah menambah masalah dan beban rakyat.

Sebut saja, ketika Pemerintah dan DPR melegislasi UU Cipta Kerja, UU Minerba hingga UU KPK, bukannya menjadi solusi malah menjadi masalah bagi rakyat. UU tersebut ditolak bahkan memakan korban rakyat (pendemo).

Rakyat fokus mengkritik, karena UU tersebut akan diterapkan kepada rakyat. Rakyat adalah objek penerapan UU, sehingga rakyat berhak mengkritik.

Namun apapun kritik yang disampaikan rakyat, faktanya RKUHP disahkan menjadi UU. Yang tidak sependapat silahkan ke MK. Sesampainya di MK, nantinya MK menyatakan rakyat tidak memiliki legal standing. Lalu maunya apa?

Selamat datang era pembungkaman, era tirani yang makin represif. Penjajahan baru, bukan oleh Belanda, tapi rakyat dijajah oleh bangsanya sendiri. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pacta Sunt Servanda)

https://heylink.me/AK_Channel/

Jumat, 16 Desember 2022

LBH Pelita Umat: KUHP Ini Cenderung Represi

Tinta Media - Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purna Irawan menilai KUHP yang disahkan DPR pada Selasa (6/12) cenderung represi.

"Kalau dari bunyinya saja, pasal ini sudah menimbulkan persoalan yang cenderung represi, selanjutnya bagaimana proses implementasi dari pasal," ungkapnya dalam program Kabar Petang: KUHP Baru Menjadi Alat Represi? Melalui kanal Youtube Khilafah News, Kamis (8/12/2022). 

Chandra mengatakan, RKUHP yang telah disahkan DPR menjadi KUHP masih mengandung spirit kolonialisme. "Yang menjadi spiritnya adalah bukan sekedar mengganti undang-undang kolonial dengan undang-undang buatan sendiri, tetapi bagaimana undang-undang yang kemudian disusun dan disahkan itu adalah undang-undang yang kemudian tidak menjerat kebebasan sipil," tuturnya.

Menurutnya, di dalam KUHP yang baru, potensi terhadap jeratan sipil begitu besar. "Misalnya terkait hak demonstrasi yang tidak mendapatkan izin maka akan dipidana, pertanyaannya adalah KUHP baru ini memindahkan ranah pemberitahuan menjadi ranah izin, ranah hak menjadi izin. Padahal izin adalah untuk sesuatu yang sudah dilarang, sedangkan demonstrasi itu adalah hak, pastinya tidak perlu izin cukup dengan pemberitahuan," jelasnya.

Chandra mengungkapkan bahwa izin adalah untuk sesuatu yang dilarang, dengan ada izin maka menjadi boleh. Misalnya, seorang laki-laki dan wanita tentu dilarang untuk melakukan hubungan, tapi dengan ada izin berupa menikah maka dia menjadi boleh.

"Sejumlah pihak khawatir dengan polisi yang akan salah tafsir dalam penerapan pasal-pasal baru di RKUHP, kekhawatirannya itu didasari terhadap kinerja POLRI yang dinilainya sering menyimpang dan merekayasa kasus," ungkapnya. 

"Memang penafsir pertama dalam proses penerapan pasal itu adalah polisi, dan biasanya untuk meminta perbandingan, polisi akan memanggil keterangan ahli, potensi represi itu terjadi dalam KUHP karena memindahkan sesuatu yang menjadi hak menjadi ranah perizinan mestinya cukup dengan pemberitahuan, sejumlah aturan baru RKUHP apalagi yang dianggap publik sebagai pasal karet akan menimbulkan multi interpretasi dalam penegakan hukum di kepolisian," tambahnya.

Chandra menjelaskan, beberapa pasal ada yang multi tafsir, misalkan menyebarkan paham yang bertentangan dengan pancasila. "Siapa yang berhak menafsirkan itu? kalau pemerintah, yang menafsirkannya adalah kepolisian. Saya kira salah, karena kalau dalam teori hukum pidana, sesuatu yang tidak ditulis bentuk pelanggarannya, dia tidak dapat dipidana, karena pidana merupakan pasal-pasal dalam KUHP itu. Jadi, kalau tidak disebutkan di situ tidak dapat dipidana," ujarnya.

Solusi terakhir, ujar Chandra, ada di MK, tapi publik menaruh curiga dengan MK. "Khawatir MK tidak berani melakukan pembatalan karena hakim MK sendiri dapat di recall oleh DPR atau pemerintah," pungkasnya. [] Evi

Selasa, 13 Desember 2022

MENYOAL RELASI PENGUASA DAN RAKYAT DI KUHP

Tinta Media - Setelah banyak protes dari masyarakat terkait kontroversi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena menyelisihi demokrasi, namun pada akhirnya disahkan juga oleh DPR RI dan pemerintah pada Selasa, 06/12/22 dalam rapat paripurna yang digelar di kompleks parlemen. Pengesahan RKUHP ini terkesan dikebut, sebab sebelumnya banyak gelombang aksi protes karena terdapat banyak substansi yang kontroversial, khususnya dilema relasi antara penguasa dan rakyatnya yang diurus.

 

Pengesahan RKUHP itu terkesan dikebut karena minimnya partisipasi publik, bahkan seolrah pemerintah dan DPR tidak mengindahkan kritik dan masukan publik. Padahal sejumlah kalangan publik dari mulai jurnalis, praktisi hukum, hingga aktivis HAM dan mahasiswa masih melihat materi dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah.

 

Relasi antara penguasa dan rakyat adalah relasi positif yakni penguasa mencintai rakyat dan rakyat mencintai pemimpinnya. Muhasabah dan nasehat rakyat kepada penguasanya adalah tanda kecintaan itu agar pemimpin tetap berjalan di jalan Allah. Demikian pula seorang pemimpin mesti menjadikan dirinya teladan bagi rakyatnya. Relasi penguasa dan rakyat bukan relasi permusuhan. Kepemimpinan adalah amanah Allah dan rakyat.

 

Pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan boss dan rakyat pembantunya. Melalui KUHP ini seolah relasi penguasa dan rakyat bersifat tidak (mampu) menghasilkan hal baik atau tidak saling menguntungkan. Dalam filsafat relasi ini bernama kontraproduktif.

 

Saat Soekarno menyatakan bahwa jika negara berdasarkan Islam maka akan banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri, semangat keislaman rakyat membuat mereka memprotesnya. KH Isa Anshari dari Masyumi melayangkan nota protesnya. Protes resmi juga dilayangkan oleh PBNU, Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam dan PB Persis. Rakyat juga memprotes lewat poster-poster berbunyi: “Kami cinta kepada presiden, tetapi lebih cinta kepada negara. Kami cinta kepada negara, tetapi lebih cinta kepada agama.”

 

Protes seperti ini dan semisalnya, asalkan sesuai dengan hukum syariah, hendaknya dilihat sebagai bentuk pertolongan sekaligus penunaian kewajiban rakyat. Bukan dianggap penentangan apalagi makar. Bahkan andaikan rakyat diam, penguasalah yang seharusnya turun lapangan untuk meminta kritik dari rakyat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ra.

 

Suatu hari, Khalifah Umar naik ke atas mimbar. Dia lalu berpidato di hadapan khalayak ramai. ”Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”

 

Rupanya kebijakan ini tidak disetujui oleh sebagian kaum perempuan. Maka, usai menyampaikan keterangan, datanglah seorang perempuan menyampaikan protes. ” Hai, Amirul Mukminin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?” protes wanita itu. ” Ya,” jawab Khalifah Umar. ” Apakah kau tidak pernah dengar Allah menurunkan ayat (melafalkan penggalan ayat 20 Surat An Nisa),” kata wanita itu.

 

Umar tersentak sambil berkata, ” Tiap orang lebih paham ketimbang Umar.” Menyadari kekeliruannya, Umar kembali naik mimbar dan menyampaikan pernyataan yang telah direvisi sesuai kritik yang disampaikan rakyatnya. (dikutip dari Jakarta, Masjiduna)

 

Perhatikanlah ucapan pidato Abu Bakar As Shiddiq saat dilantik menjadi seorang khalifah pertama dalam peradaban Islam : (1) Wahai manusia Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu (ri’ayatu suunul ummah). (2) Padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu (berakhlak : rendah hati dan tahu diri). (3) Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku (merangkul rakyat, bukan memusuhi).

(4) Tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah (tidak anti kritik, mengakui kesalahan, mendengar masukan para ahli dll). . Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya (ekonomi keseimbangan, bukan kapitalisme : menerapkan sistem ekonomi Islam). sejalan dengan firman Allah 59 : 7 “….agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu.

 

Dalam Draf RKUHP pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 200 juta. Kemudian pada Pasal 218 ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.



Pada bagian penjelasan Pasal 218 ayat (2) dinyatakan bahwa hal yang dimaksud dengan 'dilakukan untuk kepentingan umum' adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa atau demonstrasi, kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden. Aksi atau kebebasan berekspresi itu pun diberi embel-embel bersifat 'konstruktif'.

Relasi penguasa dan rakyat dalam RKUHP dibandingkan relasi dalam Islam jelas bertentangan 180 derajat. Di RKUHP penguasa memposisikan dirinya sebagai pihak yang selalu benar dan menolak masukan, protes, nasihat dan sejenisnya dari rakyat. Padahal kata penghinaan adalah pasal karet yang bisa multitafsir, dikhawatirkan nasihat dan protes rakyat nanti dianggap sebagai bentuk penghinaan.

 

Padahal mestinya pemimpin itu bersyukur jika rakyatnya peduli dan masih mau memberikan berbagai masukan kepada pemimpinnya. Di RKUHP yang kini menjadi KUHP ini posisi rakyat seolah selalu akan jadi korban dan selalu jadi sasaran untuk disalahkan. Rakyat dianggap tak pernah benar, dilarang bicara, hanya disuruh diam dan menerima apapun yang dilakukan penguasa.

 

Pasal 192 menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan makar dengan maksud supaya sebagian atau seluruh wilayah NKRI jatuh kepada kekuasaan asing atau untuk memisahkan diri dari NKRI dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara maksimal 20 tahun. Pasal 193 ayat (1) mengatur setiap orang yang melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Sementara itu, Pasal 193 ayat (2) menyatakan pemimpin atau pengatur makar dipidana dengan pidana penjara maksimal 15 tahun.

 

Ini juga pasal yang kontroversial dan agak aneh sebenarnya. Jika mau berpikir sejalan mendalam, justru dengan menerapkan ideologi kapitalisme sekuler liberal, negeri ini bisa tergadaikan kepada oligarki asing dan aseng. Hingga hari ini hampir tak tersisa lagi sumber daya alam milik rakyat, kecuali dikuasai oleh asing dan aseng. Makar yang sesungguhnya adalah justru pada penerapan ideologi kapitalisme sekuler liberal di negeri ini. Oligarki asing dan aseng makin kaya di negeri ini, sementara rakyat makin sengsara.

 

Pasal ini juga bisa jadi pasal karet yang multiinterpretasi bagi rakyat yang menginginkan negeri ini menjadi lebih baik. Padahal ideologi transnasional demokrasi kapitalisme sekuler liberal yang diterapkan di negeri terbukti telah menyengsarakan rakyat. Kapitalisme adalah ideologi imperialisme warisan penjajah.

 

Jika rakyat menginginkan perubahan sistem agar menjadi lebih baik, maka melalui pasal ini, bisa jadi dianggap makar. Sebab secara filosofis, tidak ada yang final di dunia ini, semua terus akan berubah. Apakah jika negeri ini berubah menjadi lebih baik itu tidak boleh. Apakah ada intervensi oligarki dalam pengesahan RKUHP ini? Bukannya pasal 192 itu justru paradoks?

 

Pada pasal 188 paragraf 1 disebutkan tentang penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Sanksi pidana Di pasal 188 (1) berbunyi setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan dan mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjaran paling lama 4 (empat) tahun.

 

Pasal ini jika mau dipahami dengan baik, maka salah satu paham yang bertentangan dengan pancasila justru sedang diterapkan di negeri ini seperti sekulerisme, kapitalisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, pragmatisme dan banyak isme lain yang justru sangat bertentangan dengan pancasila. Hampir semua kajian akademik tidak ada yang berpendapat bahwa Islam itu bertentangan dengan pancasila, bahkan secara historis, ada yang berpendapat bahwa pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam untuk negeri ini. Ini secara akademik.

 

Namun demikian, secara politik yang terjadi justru sebaliknya, seringkali penyebaran ajaran Islam seperti syariah dan khilafah dianggap bertentangan dengan Islam, padahal keduanya tidka termasuk isme, melainkan bagian dari ajaran Islam. Logikanya, jika Islam tidak bertentangan dengan pancasila, berarti seluruh ajarannya juga tidak bertentangan. Menyebutkan ajaran khilafah sebagai isme adalah kebodohan. Karena itu pasal 188 ini sangat rawan ditarsirkan secara serampangan sehingga dakwah-dakwah Islam bisa dijadikan sasaran tuduhan anti pancasila.

 

Selama ini tuduhan keji seperti radikalisme, terorisme, fundamentalisme justru sering disasarkan kepada umat Islam, bukan kepada yang lainnya. Dengan adanya pasal 188, kemungkinan berbagai tuduhan kepada umat Islam akan terus digaungkan. Sementara kapitalisme, liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme yang jelas bertentangan dengan pancasila malah akan terus tumbuh subur.

 

Draf RKUHP juga masih mengatur ancaman pidana bagi penghina lembaga negara seperti DPR hingga Polri. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 349. Pasal tersebut merupakan delik aduan. kPada ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara. Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.

 

Istilah menghina kekuasaan ini tentu saya sangat multiinterpretasi. Penafsirannya sangat bergantung kepada penguasa. Pasal ini seolah menempatkan penguasa sebagai penafsir tunggal atas hak bersuara yang dimiliki oleh rakyat. Menempatkan diri sebagai penafsir tunggal, sama saja dengan menempatkan diri sebagai yang benar dan tidak pernah salah. Dikhawatirkan dengan pasal ini jika rakyat melakukan kritik atas kesalahan penguasa, maka bisa saja ditafsirkan sebagai delik penghinaan, bisa saja kan ?

 

Pasal 350, pidana bisa diperberat hingga dua tahun jika penghinaan dilakukan lewat media sosial. Sementara, yang dimaksud kekuasaan umum atau lembaga negara dalam RKUHP yaitu DPR, DPRD, Kejaksaan, hingga Polri. Sejumlah lembaga itu harus dihormati. ituTentu saja lembaga negara itu harus dihormati oleh rakyat karena mereka itu pelayan rakyat. Namun jika pelayan rakyat bersalah dan tidak melayani rakyat, maka rakyat jelas berhak mengingatkannya. Dengan pasal seperti ini tentu saja rakyat akan takut bersuara, khawatir suaranya ditafsirkan berbeda oleh penguasa. Ini relasi kontrakproduktif antara penguasa dan rakyat.

 

Draf RKUHP turut memuat ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. Hal itu tertuang dalam Pasal 256. Pasal ini menuai banyak kritik dengan alasan bahwa bisa dengan mudah mengkriminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat. Koalisi masyarakat sipil mengatakan, pada praktiknya polisi kerap mempersulit izin demo. Konsistensi demokrasi dipertanyakan lewat pasal ini, sebab seolah penguasa melakukan pembungkaman atas hak bersuara rakyat. Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa ada paradigma yang salah dalam RKHUP terkait konstruksi relasi antara penguasa dan rakyatnya.

 

RKUHP juga mengatur soal penyiaran, penyebarluasan berita atau pemberitahuan yang diduga bohong. Pasal ini, dapat menyasar pers atau pekerja media. Pada Pasal 263 Ayat 1 dijelaskan bahwa seseorang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dapat dipenjara paling lama 6 tahun atau denda Rp500 juta.

Bunyi pasal 263 ayat 1 adalah sebagai berikut : Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

Kemudian pada ayat berikutnya dikatakan setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan, padahal patut diduga berita bohong dan dapat memicu kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 atau denda Rp200 juta. 

 

Lebih lanjut, RKUHP terbaru juga memuat ketentuan penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan. Seseorang yang membuat dan menyebarkan berita tersebut dapat dipenjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp10 juta. Hal itu tertuang dalam pasal 264. 

 

Jelas pasal ini menunjukkan relasi yang salah antara penguasa dan rakyat terutama soal tafsir dan penafsiran. Sebab disaat rakyat atau pers melakukan siaran terancam oleh bayang-bayang penjara. Tentu saja hal ini tidak sehat, terlepas secara etika memang tidak boleh menyebarkan berita bohong. Namun pasal ini selain menimbulkan suasana tidak kondusif bagi diskursus sosial politik di negeri ini, juga telah berpotensi merusak relasi antara penguasa dan rakyat.

 

Dalam pandangan Islam, penguasa dan rakyat harusnya saling menguatkan. Ibnu Qutaibah (w. 276H) mengutip perkataan Kaab al-Akhbar rahimahumalLah: “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.

 

Rasulullah bersabda : Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Makna ar-râ’i adalah al-hâfidz al-mu’taman8 (penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, pengasuh yang diberi amanah). Penguasa/pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya.

 

Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab ra. pernah melihat orang tua yang mengemis. Ia ternyata beragama Yahudi. Beliau bertanya, “Apa yang memaksa engkau mengemis?” Dia menjawab, “Untuk membayar jizyah (sejenis pajak), kebutuhan hidup dan karena aku sudah tua (tidak sanggup bekerja).” Lalu Khalifah Umar ra. mengutus dia kepada penjaga Baitul Mal dan berkata kepada penjaganya, “Lihatlah orang ini dan yang seperti dia! Demi Allah, kita tidak adil kepada dia jika kita mengambil jizyah pada masa mudanya, kemudian kita menistakannya ketika telah tua.” Setelah itu beliau membebaskan orang tua tersebut dari membayar jizyah. Bahkan beliau memberi dia subsidi dari Baitul Mal.

 

Dalam perumpamaan sebelumnya, fungsi tali dan pasak adalah untuk menjaga tiang agar tidak miring atau roboh. Demikianlah rakyat. Selain wajib taat kepada penguasa dalam perkara yang merupakan wewenang mereka dan bukan kemaksiatan, rakyat juga wajib menjaga agar penguasa tetap tegak di atas hukum syariah.

 

Semisal dari sekitar 627 pasal yang dikutip detik.com, lesbian, biseksual, gay, dan transgender (LGBT) tidak dimasukkan sebagai delik pidana.Padahal sudah lama disuarakan agar disorientasi seksual itu dimasukkan sebagai pelanggaran hukum. Tentu saja telah jelas, bahwa praktek LGBT bertentangan dengan agama sebagai living law negeri ini, termasuk bertentangan dengan Pancasila. Namun apa daya rakyat tak mampu mengatur undang-undang negeri ini, bisanya hanya memberikan masukan dan rasa benci dalam hati sebagai bentuk lemahnya iman karena dibatasi oleh kewenangan.

Jika rakyat tidak memiliki kemampuan mengubah kemungkaran penguasanya. Hal paling minim yang harus mereka lakukan adalah dengan membenci dan menampakkan sikap tidak rela terhadap kemungkaran tersebut. Ketika menjelaskan hadis Ummu Salamah r.a terkait kemungkaran penguasa, Imam an-Nawawi menyatakan : Siapa saja yang mengetahui kemungkaran dan tidak meragukan kemungkarannya, maka itu telah menjadi jalan bagi dia menuju kebebasan dari dosa dan hukuman dengan cara dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya atau lisannya. Jika dia tidak mampu, hendaklah dia membenci kemungkaran itu dengan hatinya.

Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

(AhmadSastra,KotaHujan,07/12/22 : 14.56 WIB )
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Senin, 12 Desember 2022

AAPI: Pengesahan RKUHP Dipaksakan

Tinta Media - Presiden Asosiasi Ahli Pidana (AAPI) Dr. Muhammad Taufik, S.H., M.H. menegaskan bahwa disahkannya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) itu adalah sesuatu yang dipaksakan.

“Mereka akan mengesahkan rancangan undang-undang hukum pidana itu adalah sesuatu yang dipaksakan,” tegasnya dalam Perspektif PKAD: RKUHP Segera Disahkan, Selamat Datang Rezim Otoriter??!!!, Selasa (6/12/2022) di kanal Youtube Pusat Kajian Analisis dan Data.

Menurutnya, dengan melihat proses pembuatan hukumnya, law making, prosesnya ini sama sekali unhistoris. “Sepertinya bertolak belakang dengan asas umum dari ketika ada satu peraturan khusus, peraturan umum itu dilangkahi,” tuturnya.

Putusan MK No.13-022/PUU-IV/2006 telah menghapus delik-delik pasal penghinaan presiden dari Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP dari semula delik umum siapa pun bisa melaporkan siapa saja yang menghina presiden kemudian di RKUHP ini di ubah menjadi delik aduan. “Hanya orang yang bersangkutan (orang yang menghina presiden) atau presiden saja yang boleh membuat aduan dan sifatnya bukti laporan yang mendukung,” ucapnya.

Ternyata Indonesia mencantumkan pasal penghinaan kepada pejabat kepala negara dan pejabat negara tapi di tahun 2006 pada masa Pak Susilo Bambang Yudhoyono dilakukan koreksi sehingga alhasil tidak disebutkan lagi sebagai delik umum tapi delik aduan. “Kita sudah ada asas lex specialis derogat legi generali yang artinya peraturan khusus mengesampingkan hukum yang berlaku umum. Nah tampaknya asas ini sudah tercerabut. Harusnya Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengadili undang-undang di bawah UUD (undang-undang dasar) ternyata bisa dikalahkan oleh DPR,” jelasnya.

Ia mengungkapkan jika berbicara tentang aliran hukum maka ini adalah aliran hukum yang represif yang sudah tidak dikenal di negara Belanda dan negara asal-muasalnya KUHP (Perancis) sudah tidak ada.

“Jadi betul-betul ini menggunakan asas hukum yang dipakai di negara-negara oligarki, sementara kita sudah menggunakan paham progresif,” ungkapnya.

Jika RKUHP ini sudah disahkan, Dr. Taufik menyatakan kesimpulannya bahwa akan final untuk menuju otokrasi, dengan bentuknya monolitik.

“Akan terjadi yang namanya proses kristalisasi presiden itu tiga periode,” ujarnya.

Untuk mempersiapkan tiga periode maka orang-orang yang menolak itu akan diberangus dengan menggunakan pasal-pasal penghinaan pejabat negara. “Dan ini tidak pernah ditemukan di rumusan mana pun. Ini seperti daftar pesanan makanan karena disebutkan di situ pejabat negara itu termasuk jaksa, polisi, dan sebagainya, tidak dikenal di mana pun di dalam UU mana pun gaya UU seperti itu,” kritiknya.

Ia menyebutnya sebagai penyelundupan hukum. Jadi bertolak belakang dengan demokrasi.

“Ini jelas anti demokrasi, pintu awal supaya mulus menyahkan gagasan presiden tiga periode. Karena ini lebih aman di saat negara positif tidak memiliki duit maka yang didorong adalah secepat mungkin mengesahkan RKUHP menjadi KUHP,” pungkasnya. [] Ageng Kartika.
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab