Catatan KTT G20, Di Balik Green Screen Ada Ratusan Ribu Orang Miskin
Tinta Media - Publik dunia tersentak saat KTT G20 di New Delhi ternyata pemerintah New Delhi menyembunyikan kemiskinan yang dialami oleh ratusan ribu orang di ibukota negaranya. Pemerintah India menutup kawasan kumuh atau kawasan miskin itu dengan green screen atau penutup berwarna hijau seolah-olah ini adalah satu sambutan kepada delegasi yang datang. Aktivis Muslimah, Iffah Ainur Rochmah memberikan catatan, di balik green screen ternyata ada ratusan ribu orang miskin.
“Di balik green screen itu ada ratusan ribu orang yang sedang mengalami kemiskinan dan bertolak belakang dengan apa yang dibanggakan oleh negaranya sebagai negara dengan ekonomi terkuat di wilayah Selatan,” ungkapnya, dalam Muslimah Talk: Di Balik Layar Hijau KTT G20 India Tersembunyi Puluhan Ribu Warga Miskin, di kanal Youtube Muslimah Media Center, Sabtu (7/10/2023).
Ia menambahkan, yang menyembunyikan borok hasil pembangunan kapitalistik bukan hanya India.
“Di Amerika, sudah terekspos ke publik bagaimana orang-orang miskin, tunawisma, orang-orang yang terlantar karena tidak mendapatkan akses sumber daya ekonomi, ternyata dibiarkan. Dan jumlah mereka bukan ratusan ribu lagi, tapi jutaan hingga belasan juta,” bebernya.
Bahkan, lanjutnya, di kawasan paling elit untuk pengembangan teknologi di sekitar Silicon Valley Amerika, itu juga ada kawasan-kawasan kumuh yang sudah sering terekspos, padahal sangat dekat dengan pusat masuknya uang untuk menambah jumlah hitungan pemasukan negara.
“Demikian pun di Cina, beberapa tahun lalu Cina pernah kedapatan memindahkan sekitar 2 juta penduduk dari kawasan kumuh ke tempat tertentu yang pemindahan itu tidak bermakna mereka lebih sejahtera,” terangnya.
Tidak Manusiawi
Menurut Iffah, kepemimpinan ideologi kapitalisme termasuk dalam sistem ekonominya tidak manusiawi. “Semua itu karena manusia tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan sistem yang adil,” kritiknya.
Bicara soal ekonomi, sambungnya, manusia punya naluri untuk mengembangkan kekayaan, naluri untuk memperbanyak harta yang dimiliki.
“Kalau dikembalikan kepada apa yang dipikirkan oleh manusia sebagai sistem terbaik yang sanggup mereka rancang, maka tetap bahwa sistem ekonomi yang dibuat oleh manusia itu akan eksploitatif yakni akan ada kecenderungan untuk mengeksploitasi atau mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya, dari sumber daya alam maupun sumber daya ekonomi,” bebernya.
Karena itu, simpulnya, sistem ekonomi kapitalistik ataupun sistem ekonomi buatan manusia yang lain cenderung akan eksploitatif.
“Bahkan di dunia barat itu kita kenal ada prinsip homohominilupus, yaitu prinsip manusia yang satu bisa memakan manusia yang lain asalkan punya kemampuan,” imbuhnya.
Dalam sistem ekonomi seperti ini, ucapnya, akan terus terjadi ketidakstabilan, akan ada konflik, akan ada penindasan dan perlawanan dari pihak yang tertindas. Dan ini memunculkan ketidaktenangan pada semua pihak.
“Ketika seseorang menikmati keuntungan dari hasil membodohi, mengeksploitasi, ataupun memanipulasi kemaslahatan orang lain, pasti akan ada rasa tidak tenang,” terangnya.
Demikian juga pada level negara, ulasnya, boleh jadi negara-negara yang disebut sebagai negara dengan ekonomi terkuat tadi mendapatkan banyak sekali keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dibolehkan atau diizinkan oleh sistem kapitalisme.
“Tetapi apa yang dilakukan oleh sistem kapitalisme ini mengeksploitasi negara lain, mengeksploitasi manusia yang lain. Perdagangan bebas membuat ada persaingan tidak sehat. Perampokan sumber daya alam atas nama investasi juga terus terjadi,” urainya.
Maka negara-negara kapitalistik ini, jelasnya, bukan hanya akan menerima kemarahan atau kebencian dari negara-negara yang menjadi korban kerakusan dan eksploitasi sistem ekonominya, tapi juga akan mendapatkan kritik dan protes dari rakyatnya sendiri. “Pada titik tertentu rakyat akan menyadari mereka hidup dan mendapatkan keuntungan dari hasil perampokan yang dilakukan oleh negaranya di atas prinsip-prinsip kapitalistik,” tambahnya.
Menurutnya, negara yang menggunakan sistem ekonomi kapitalisme akan terus diliputi oleh kondisi ketidakstabilan sosial, ketidakstabilan politik, dan bahkan akan terus mendapatkan guncangan dari bangsa-bangsa ataupun negara-negara lain yang menjadi korbannya.
Sistem Islam
Dalam pandangan Iffah, sistem terbaik yang bisa mengayomi, menyejahterakan dan membuat dunia stabil tidak lain adalah sistem Islam. Dari sistem Islam, ujarnya, lahir sistem ekonomi Islam yang menjelaskan bahwa Allah Taala memerintahkan kepada negara untuk memberlakukan prinsip-prinsip ekonomi yang ditetapkan oleh syariat.
“Negara harus memiliki regulasi yang memastikan semua pihak baik individu, organisasi ataupun kelompok usaha, perusahaan-perusahaan, baik perusahaan dalam negeri maupun perusahaan asing atau aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara lain, semuanya harus diarahkan untuk tunduk kepada sistem ekonomi Islam,” terangnya.
Pemberlakuan sistem ekonomi Islam, lanjutnya, tidak hanya diberlakukan oleh Khilafah tapi juga akan menjadi role model yang dicontoh oleh negara-negara lain di dunia.
“Negara-negara lain di dunia akan menyesuaikan aktivitas ekonominya ketika berhubungan dengan negara Khilafah tadi dengan prinsip-prinsip yang diambil oleh kaum muslimin yang ditetapkan oleh syariat,” jelasnya.
Dalam pandangan Iffah, pemberlakuan sistem ekonomi Islam bukan hanya menyejahterakan, tetapi akan semakin memperbesar pemasukan negara, ketersediaan lapangan kerja, terwujud keadilan ekonomi yang akan dinikmati oleh muslim maupun nonmuslim.
“Karena itu, kita membutuhkan hadirnya kembali sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam tidak akan mengedepankan gengsi dengan ukuran materialistik, tetapi akan mampu memberikan pelayanan, memastikan terealisirnya kesejahteraan bagi seluruh individu rakyat tanpa kecuali,” bangganya.
Iffah berharap, kerinduan hadirnya sistem Islam harus ditindaklanjuti dengan ikhtiar melakukan perubahan.
“Memperkenalkan kembali sistem ekonomi Islam dan terus
memupuk kesadaran dan keinginan untuk kembali terwujudnya sistem politik
Islam,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun