Tinta Media: KM50
Tampilkan postingan dengan label KM50. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KM50. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 Mei 2023

Advokat: Umat Islam Tidak Akan Berhenti Menuntut Keadilan KM 50

Tinta Media - Advokat Muslim Ahmad Khozinudin dalam orasinya menyampaikan bahwa perjuangan umat Islam menuntut keadilan atas terbunuhnya enam syuhada di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek tidak akan berhenti. 

"Perjuangan umat Islam untuk menuntut keadilan atas syahidnya enam syuhada yang diperlakukan secara zalim, yang dibantai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab di KM 50 tidak akan pernah berhenti," tegasnya dalam video: 4K ULTRA HD !!! Terekam Kamera - Orasi Ahmad Khozinudin Depan Mabes Polri, Jumat (19/5/2023) di kanal Youtube Ahmad Khozinudin. 

Ia menyampaikan bahwa sepanjang pembunuh belum diadili maka selamanya umat Islam akan menuntut agar di proses hukum sesuai dengan peristiwanya. 

"Semua yang terlibat baik pelakunya yang melakukan, yang turut serta melakukan, yang memberi bantuan, otaknya, dalangnya yang menyuruh dan semua yang terlibat, semuanya harus dituntut dan diseret ke penjara," jelasnya. 

Ahmad menyampaikan sekalipun yang membuat kebijakan, bahkan jika sampai yang terlibat adalah presiden harus dituntut. Ia mengucapkan terima kasih kepada Kapolri yang telah membuka pintu kasus ini bisa diproses kembali. 

Ia menyampaikan bahwa Kapolri berjanji akan membuka kasus ini sepanjang ditemukan novum (bukti baru). "Saya tegaskan novum itu banyak," imbuhnya. 

Bahkan ia mengatakan novum sudah diberikan satu bulan setelah pernyataan pak Kapolri. Diantaranya adalah buku putih hasil penelitian Tim Pemantau Peristiwa Pembunuhan (TP3). 

"Di buku tersebut banyak keterangan dari saksi, juga olah (Tempat Kejadian Peristiwa) TKP yang keterangannya berbeda dengan apa yang di adili," pungkasnya.[] Cicin Suhendi

Selasa, 18 Oktober 2022

KM 50 DALAM DAKWAAN KASUS SAMBO

Tinta Media - Berdasarkan informasi yang beredar di website kantor berita memberitakan terdapat anggota tim CCTV di kasus unlawfull killing atas enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 muncul di surat dakwaan kasus obstruction of justice Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Adapun anggota tim CCTV kasus KM 50 yang masuk surat dakwaan adalah AKBP Ari Cahya Nugraha alias Acay. 
 
Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan Pendapat Hukum (legal opini) sebagai berikut: 
 
PERTAMA, Bahwa dalam dakwaan kasus obstruction of justice kematian Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat (J) mengonfirmasi terjadinya pengamanan CCTV dalam kasus unlawfull killing atas enam anggota Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada 2020 lalu. Dalam dakwaan AKBP ARA dijelaskan, AKBP Acay pada kasus penghalangan penyidikan kematian Brigadir J, merupakan salah satu saksi. Di dalam dakwaan tersebut disebutkan, bahwa AKBP Acay adalah yang ambil bagian dalam pengamanan CCTV pada kasus unlawfull killing, di KM 50; 
 
KEDUA, Bahwa kasus KM 50 ini bisa diungkap kembali. Tetapi tergantung pada sikap Kapolri. Jika Kapolri berani dan menegakkan hukum hal itu bisa ditelusuri kembali, dakwaan kasus Sambo dapat dijadikan petunjuk. Pengungkapan KM 50 dapat memulihkan citra Polri yang tampak semakin terpuruk;

KETIGA; kasus penembakan laskar FPI di Km 50 Tol Cikampek tergolong unlawful killing, yang merupakan unsur pelanggaran HAM. korban berada dalam kuasa aparat penegak hukum sehingga ketika meninggal dunia menjadi pertanyaan publik. Santri pengawal Habib tersebut telah ditangkap dan teriak minta ampun, terlebih lagi misalnya santri pengawal tersebut tidak mengetahui yang mengejar adalah aparat, maka dalam situasi tersebut aparat dilarang melakukan tindakan pembelaan diri yang melampaui batas misalnya sebagai contoh dengan menganiaya dan menembak. Kenapa? Karena unsur atau syarat serangan "...mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga" tidak terpenuhi, sehingga mestinya mengedepankan proses hukum terhadap santri tersebut seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku. Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law);

Demikian
IG@chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. 
Ketua LBH PELITA UMAT
 

Jumat, 14 Oktober 2022

KENAPA MASIH (TERUS) MENUNTUT USUT TUNTAS TRAGEDI PEMBANTAIAN KM 50?

Tinta Media - Mungkin ada sebagian (kecil) orang yang bertanya, kenapa masih terus menuntut tragedi pembantaian KM 50 agar diusut tuntas ? Bukankah, kasusnya sudah diadili dan divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta selatan bahkan telah inkrah dengan terbitnya putusan kasasi dari Mahkamah Agung RI ?

Penulis meyakini, segenap umat Islam pasti telah mengetahui jawabannya. Namun, agar tidak ditafsirkan lain, penulis sampaikan beberapa alasan sebagai berikut :

*Pertama,* kasus tragedi pembantaian KM 50 itu adalah kejahatan HAM yang terkategori pelanggaran HAM berat karena memenuhi unsur penghilangan paksa (enforced disappearance), dan penyiksaan (torture) serta pembunuhan atau eksekusi diluar putusan pengadilan (extra judicial killing).

Sementara itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan belum pernah mengadili perkara penghilangan paksa (enforced disappearance), dan penyiksaan (torture) serta pembunuhan atau eksekusi diluar putusan pengadilan (extra judicial killing) dalam kasus KM 50. Dan memang bukan domain (kewenangan) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kewenangan mengadili pelanggaran HAM berat berdasarkan UU No. 26/2000 ada pada Pengadilan HAM yang berada pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Jadi adalah hal yang wajar dan masuk akal, saat masyarakat menuntut usut tuntas tragedi pembantaian KM 50, karena perkaranya memang belum pernah diadili. Jadi, jangan pernah berfikir vonis dagelan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang melepaskan Yusmin Ohorella dan Fikri Ramadhan dapat menipu masyarakat dan dapat digunakan untuk menutup kasus KM 50.

*Kedua,* kesimpulan yang termuat dalam Buku Putih Pelanggaran HAM Berat Pembunuhan 6 Pengawal HRS yang diterbitkan oleh TP3 secara jelas menyebut adanya 'State Actor'. Jadi, pelaku sesungguhnya bukanlah Yusmin Ohorella dan Fikri Ramadhan, jadi wajar saja kalau keduanya divonis lepas.

Pelaku pembantaian yang sesungguhnya kami yakini sampai saat ini masih terus bebas berkeliaran. Tentu saja kami tidak ingin negeri ini menjadi Surga bagi para pembantai, dengan tidak adanya proses hukum pada peristiwa pembantaian KM 50.

*Ketiga,* kami umat Islam diwajibkan menolong Saudara kami sesama muslim. Jangankan 6 nyawa, 1 nyawa saja haram dibunuh tanpa alasan yang haq.

Sebagai wujud pembelaan kami kepada saudara muslim, juga untuk menunjukan kami tidak ridlo saudara kami dibantai secara keji, maka kami menuntut kasus ini diadili secara adil melalui pengadilan HAM. Kami tidak ridlo, putusan dagelan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dijadikan dalih untuk mengubur kasusnya.

Memang benar, kami telah mendatangi Mabes Polri untuk menyerahkan novum kepada Pak Kapolri agar kasus ini diusut tuntas sebagai bentuk respons kami atas pernyataan Kapolri dihadapan Komisi III DPR RI. Namun, jika Kapolri tidak mau atau enggan mengusut, bukan berarti kami akan diam. Kami akan menempuh seluruh cara dan jalan yang dimungkinkan secara hukum, agar tragedi pembantaian KM 50 dapat diusut tuntas. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Tim Advokasi Peristiwa KM 50

https://heylink.me/AK_Channel/


Rabu, 12 Oktober 2022

PERISTIWA KM 50 BELUM PERNAH DIADILI, PENJAHAT YANG MELAKUKAN PELANGGARAN HAM BERAT MASIH BEBAS BERKELIARAN

Tinta Media - Saat berdiskusi dengan Mbak Rahma Sarita dalam program 'Dark Justice' Realita TV (22/9), penulis tegaskan bahwa pelanggaran HAM berat pada peristiwa KM 50 belum pernah diadili. Sementara putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memberikan putusan onslag (lepas), yang dikuatkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung hanyalah dagelan saja.

Kalau ada yang bertanya, apakah penulis puas dengan putusan KM 50 pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dikuatkan oleh Putusan Kasasi MA? Jawabnya, penulis tidak peduli. Bagaimana mungkin penulis peduli pada sidang dagelan yang tidak mengadili peristiwa sesungguhnya?

Putusan PN Jakarta Selatan tidak pernah mengadili peristiwa yang sesungguhnya. Peristiwa KM 50 adalah peristiwa pelanggaran HAM berat yang harus diadili dalam Pengadilan HAM berdasarkan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Fakta-fakta hukumnya sangat gamblang, sebagaimana ditulis dalam Buku Putih Pelanggaran HAM berat pembunuhan 6 pengawal HRS yang diterbitkan oleh TP3.

Putusan PN Jalarta selatan hanya mengadili perkara pembunuhan biasa, berdasarkan pasal 338 KUHP. Putusannya juga memberikan pembenaran dan permaafan kepada pelakunya, sehingga divonis onslag (lepas).

Lalu peristiwa sesungguhnya apa?

Peristiwa yang sesungguhnya adalah pelanggaran HAM berat, sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (1) dan (2) jo pasal 104 ayat (1) UU No 39/1999 tentang HAM. Adanya unsur penghilangan paksa (enforced disappearance), dan penyiksaan (torture) serta pembunuhan atau eksekusi diluar putusan pengadilan (extra judicial killing), yang dilakukan oleh state actor adalah bukti nyata telah terjadi pelanggaran HAM berat pada peristiwa KM 50.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan belum pernah mengadili perkara penghilangan paksa (enforced disappearance), dan penyiksaan (torture) serta pembunuhan atau eksekusi diluar putusan pengadilan (extra judicial killing) dalam kasus KM 50. Jadi, *bagaimana mungkin kita bisa percaya pada pengadilan yang tidak mengadili perkaranya ? karena itu, sidang KM 50 pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanyalah sidang dagelan yang punya visi hanya untuk menutup kasus KM 50 dengan putusan Onslag.*

Lalu apa tujuan penulis bersama sejumlah Advokat mendatangi Mabes Polri?

Menagih janji. Ya, menagih janji Kapolri untuk membuka kasus KM 50 dengan novum yang telah kami serahkan. Meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengusut tuntas peristiwa KM 50 berdasarkan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM, dengan menggandeng Komnas HAM yang belum pernah melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa KM 50.

Kami juga meminta Kapolri membentuk Timsus dah Itsus untuk menyelidiki soal adanya dugaan Obstruction Of Justice pada kasus KM 50. Mengingat, dalam kasus yang menyebabkan hilangnya 6 nyawa 6 pengawal HRS, tidak ada satupun anggota polisi yang dipecat. Tidak ada pula yang diproses hukum. 

Padahal, pada kasus Brigadir Josua yang hanya satu nyawa, ada 93 polisi diperiksa, sebagian ada yang dipecat, ada juga yang disanksi, hingga proses hukum karena melakukan Obstruction of Justice.

Kapolri juga harus mengaudit Satgasus Merah Putih yang diduga terlibat dalam peristiwa KM 50. Kata kunci keterlibatannya adalah Sambo. 

Semoga novum yang kami serahkan diproses, bukan dalam rangka mengajukan PK untuk perkara Yusmin Ohorella dan Fiqri Ramadhan berdasarkan pasal 263 KUHAP. Melainkan, untuk membuka kembali kasus KM 50 dengan perspektif telah terjadi pelanggaran HAM berat, sebagaimana diuraikan secara gamblang dalam buku putih. Pelaku kejahatannya hingga hari ini masih bebas berkeliaran.[].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Tim Advokasi Peristiwa KM 50

https://heylink.me/AK_Channel/

Selasa, 11 Oktober 2022

BERKUNJUNG KE STUDIO REALITA TV, BERDISKUSI DENGAN MBAK RAHMA SARITA SOAL KM 50

Tinta Media - Hari ini (Kamis, 22/9), penulis berkesempatan berkunjung ke studio Realita TV di Daerah Meruya. Jam 10.00 WIB kami janjian untuk diskusi soal KM 50.

Saat terjebak macet di tol dalam kota penulis sempat memberikan info agak terlambat. Namun, ternyata lepas dari Senayan jalan lancar dan alhamdulillah sampai di studio pukul 10.00 WIB (lewat sedikit).

Sebelum ke studio utama, penulis diperlihatkan sejumlah ruang yang dulu menjadi pusat studio program TV. Bahkan, program infotainment (baca : gosip) 'Cek dan Ricek' juga diproduksi di salah satu ruang studio ini.

Bertemu dengan Mbak Rahma, yang sudah menunggu di studio utama. Dan kemudian, kami berdiskusi untuk menyamakan persepsi sebelum masuk diskusi utamanya.

Diawali dengan pertanyaan seputar nama, hingga apa yang menjadi atensi saat berkunjung ke Mabes Polri saat menyerahkan novum pada Selasa lalu (20/9). Tidak berselang lama, acarapun dimulai.

Acara memang tidak didesain live. Penulis berada di ruang studio yang didominasi warna dindingnya dengan warna hijau. Soal 'Green Screen' ini, orang media pasti tahu tujuan dan kegunaannya.

Seperti biasa, penulis diminta untuk menjelaskan kenapa bertandang ke Mabes Polri. Lalu, apa yang menjadi harapan setelah bertandang ke Mabes.

Penulis jelaskan bahwa kedatangan kami ke Mabes Polri tidak lepas dari menindaklanjuti pernyataan Kapolri Bapak Jenderal (pol) Listyo Sigit Prabowo yang beberapa waktu lalu menyatakan akan memproses kasus KM 50 jika ditemukan novum. Hal itu, diungkapkan Kapolri saat ditanya oleh anggota Komisi III DPR RI (24/8).

Prinsipnya, penulis ingin membantu Kapolri untuk mengusut tuntas kasus KM 50 dengan menyerahkan novum kepada Kapolri. Dalam kunjungan ke Kapolri, ada tiga agenda utama yang kami lakukan :

*Pertama,* kami menyerahkan novum berupa buku putih yang diterbitkan TP3. Didalamnya memuat banyak fakta hukum, bukti, keterangan saksi yang belum pernah diperiksa dalam penyidikan maupun pengadilan.

Bahkan, buku tersebut menyimpulkan adanya kejahatan HAM berat dan direkomendasikan untuk diadili dalam pengadilan HAM berdasarkan UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

Ada 4 lembaga yang dituntut untuk menindaklanjuti temuan. yaitu : Komnas HAM, DPR RI, LPSK dan Komnas perlindungan anak. Semua tuntutan pada pokoknya dalam kerangka untuk membawa peristiwa KM 50 agar diselidiki dan diadili dalam pengadilan HAM, berdasarkan pasal 33 ayat (1) jo pasal 89 ayat (3) UU No 39/1999 tentang HAM dan Pasal 18 UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

*Kedua,* kami meminta agar dilakukan audit Satgasus Merah Putih karena ada dugaan kuat Satgasus Merah Putih terlibat dalam peristiwa KM 50. Bukan hanya untuk kepentingan KM 50, kami meminta audit Satgasus baik audit kinerja maupun keuangan, dalam rangka untuk menjamin akuntabilitas dan tranparansi kinerja Polri.

*Ketiga,* kami meminta waktu Kapolri untuk beraudiensi untuk menjelaskan lebih detail soal temuan novum dan permintaan audit Satgasus. Mengingat, kami punya kepentingan untuk membantu Kapolri agar kasus tersebut menjadi terang benderang, diproses secara hukum dengan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sehingga terpenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat serta mengembalikan citra Polri setelah terjun bebas karena ulah Ferdy Sambo.

Sebagai Jurnalis yang juga berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum, Mbak Rahma juga mempersoalkan putusan pengadilan negeri jakarta selatan yang membebaskan dua terdakwa. Disusul putusan Kasasi MA yang juga menolak permohonan Kasasi yang diajukan Jaksa.

Terlebih lagi, Mbak Rahma juga mengungkit temuan jurnalis tempo yang ditayangkan dalam video dokumenter soal KM 50, dimana ada kesaksian saksi yang bersumpah bahwa 6 pengawal HRS saat di rest area KM 50 masih hidup, dua sudah dilumpuhkan sementara yang empat masih sehat.

Lalu, darimana ada cerita terjadi tembak menembak antara aparat dengan 6 pengawal HRS ? Cerita itulah, yang diragukan masyarakat sama seperti masyarakat meragukan cerita Ferdy Sambo soal tembak menembak di Duren Tiga yang menewaskan Beigadir Josua.

Prinsipnya, penulis dan sejumlah advokat mendatangi Mabes karena tidak percaya pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Karena kasusnya adalah pelanggaran HAM berat, sebab ada penghilangan paksa, penyiksaan dan penghilangan nyawa diluar proses hukum (ekstra judicial killing).

Kenapa kami ke Kapolri ? karena Kapolri yang menjanjikan akan memproses ulang jika ada novum. Lagipula, Kapolri bisa berkoordinasi dengan Komnas HAM agar menjalankan fungsinya, yakni melakukan penyelidikan terhadap adanya dugaan pelanggaran HAM berat.

Kami juga berharap Kapolri membentuk Timsus dan Itsus pada kasus KM 50 seperti kasus Brigadir Josua. Agar, dugaan Obstruction Of Justice dan Pelanggaran kode etik dan disiplin Polri juga ditegakkan. 

Dalam kasus Brigadir Josua, satu nyawa melayang ada 93 anggota Polri diperiksa, sejumlah jenderal dan perwira tinggi dipecat. Dalam kasus penghilangan 6 nyawa pengawal HRS, kenapa tak ada satupun anggota Polri yang dipecat ? [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Tim Advokasi Peristiwa KM 50

https://heylink.me/AK_Channel/

Sabtu, 17 September 2022

PENDAPAT HUKUM TERKAIT PENOLAKAN KASASI PERKARA KM 50

Tinta Media - Beredar informasi dari kantor berita yang memberitakan Majelis Hakim Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi Jaksa terkait putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis lepas dua polisi penembak laskar FPI (Front Pembela Islam) di Tol Cikampek KM 50. Majelis hakim berpendapat seluruh unsur dalam dakwaan primer jaksa terbukti, tetapi perbuatan dua terdakwa, merupakan upaya membela diri sehingga tidak dapat dihukum dan dilepaskan dari segala tuntutan hukum."

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, Bahwa saya khawatir putusan Mahkamah Agung tersebut dijadikan legitimasi oleh siapapun tidak terkecuali aparat bersenjata untuk melakukan tindakan pembunuhan dengan alasan "pembelaan darurat yang melampaui batas";

KEDUA, Bahwa terdapat batasan yang sangat jelas dalam penggunaan dalil “pembelaan darurat yang melampaui batas” atau noodweer exces dapat dilakukan dengan syarat memenuhi unsur yaitu *"Harus ada serangan dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga".* Sebagai contoh yaitu seorang pembegal tiba-tiba menyerang polisi dengan celurit atau senjata tajam, maka dalam kondisi darurat dapat memungkinkan untuk menembak. Tapi, jika si pembegal telah tertangkap, maka polisi tersebut tidak boleh memukuli, menganiaya, menyiksa dan menembak mati karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan mendadak dari pihak pembegal.

KETIGA, Bahwa dalam kasus KM50 apabila santri pengawal Habib tersebut telah ditangkap dan teriak minta ampun, terlebih lagi misalnya santri pengawal tersebut tidak mengetahui yang mengejar adalah aparat, maka dalam situasi tersebut aparat dilarang melakukan tindakan pembelaan diri yang melampaui batas misalnya sebagai contoh dengan menganiaya dan menembak. Kenapa? Karena unsur atau syarat serangan "...mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga" tidak terpenuhi, sehingga mestinya mengedepankan proses hukum terhadap santri tersebut seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku. Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang (due process of law);

KEEMPAT, bahwa saya khawatir vonis tersebut membuat masyarakat tidak percaya (distrust ) terhadap hukum, dan khawatir menimbulkan pembangkangan publik (public disabodiance).

Sebagai penutup bahwa barangsiapa membunuh seseorang, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.

Demikian.

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT

Jumat, 09 September 2022

IJM: Obstruction of Justice Tampak dalam Kasus Sambo dan KM50?

Tinta Media - Melihat maraknya isu obstruction of justice dalam kasus Ferdy Sambo, Ahli Hukum Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H. mengatakan, obstruction of justice (tindakan menghalangi proses hukum) juga tampak dalam pengungkapan kasus KM50. 

“Kalau kita lihat dalam kasus KM50 kemarin, yang terjadi sebelum kasus Ferdy Sambo, saya kira dalam beberapa sisi, kita melihat tampak ada tindakan obstruction of justice di balik pengungkapan KM50,” tuturnya dalam Kabar Petang: Ada Obstruction of Justice di Kasus Sambo dan KM50? melalui kanal YouTube Khilafah News, Rabu (7/9/2022).

Sebelumnya, Dr. Sjaiful menjelaskan, yang dimaksud dengan obstruction of justice adalah suatu tindakan atau upaya yang dilakukan oleh siapa saja, baik itu orang biasa, pemegang kekuasaan atau aparat penegak hukum yang menghalang-halangi tindakan penyelidikan dan penyidikan dalam mengungkap terjadinya suatu kejahatan atau suatu tindak pidana.
  
“Jadi, kalau ada tindakan-tindakan seperti menghilangkan barang bukti, seperti menghalang-halangi upaya penyelidikan dan penyidikan untuk mengungkap suatu kebenaran hukum atau mengungkap kejahatan, siapapun orangnya yang melakukan, maka itu masuk dalam kategori obstruction of justice,” ungkapnya. 

Hal ini menurutnya, karena sampai saat ini, kasus KM50 juga masih terkesan ditutup-tutupi. “Karena kalau kita lihat, kematian enam orang laskar FPI sampai hari ini, kita tidak bisa melihat, tidak bisa menangkap dan tidak bisa mengetahui siapa pelaku sesungguhnya. Sepertinya masih ada di belakang tabir, sepertinya masih ditutup-tutupi,” jelasnya.

Meskipun kasus tersebut telah diproses secara hukum, namun menurut Dr. Sjaiful, tidak ada sanksi bagi pelaku. “Kalaupun kemarin diproses secara hukum, tetapi pelakunya tidak sampai dikenakan tindak pidana karena alasan melakukan pembelaan diri,” imbuhnya. 

Ia menambahkan, dari rentetan kejadian di KM50, patut dicurigai dan patut melakukan analisis adanya indikasi-indikasi bahwa pada peristiwa KM50 tersebut ada obstruction of justice. “Pihak kepolisian seolah-olah berlepas tangan dalam peristiwa KM 50,” pungkasnya.[] Ikhty

Minggu, 21 Agustus 2022

DARI VONIS H4BIB B4H4R MENUJU KM 50 DAN PROYEKSI VONIS WARTAWAN EDY MULYADI

Tinta Media - H4bib B4h4r bin Smith (HB5) akhirnya hanya divonis 6 bulan 15 hari. Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa 5 tahun atau 60 bulan penjara. Dalam beberapa kesempatan, penulis menyebut vonis ini dengan sebutan 'vonis bebas'.

Sebab, vonis itu juga dikurangi masa tahanan sejak 3 Januari 2022. Dalam hitung-hitungan penulis, 2 atau 3 hari kedepan HBS semestinya bebas. Namun, ternyata ada masa tahanan yang dibantarkan, sehingga tidak mengurangi masa vonis. Menurut Aziz Yanuar, sekira 15 hari kedepan HBS bebas.

Vonis hakim ini benar-benar menjadi pukulan telak bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU), mengingat :

*Pertama,* vonis hakim jauh lebih ringan dari tuntutan JPU dan kurang dari 2/3 tuntutan. Sehingga, praktis JPU merasa kalah dan dipastikan akan mengajukan Banding.

*Kedua,* pasal yang dijadikan pertimbangan vonis adalah pasal 15 UU No 1/1946. Sementara, JPU menuntut dengan pasal 14 UU No 1/1946. Padal 28 ayat (2) UU ITE juga tidak terbukti.

Itu artinya, tidak ada hoax atau kebohongan dalam ceramah HBS. HBS hanya dianggap menyebarkan berita yang tidak pasti atau tidak lengkap.

Artinya, hakim implisit mengakui -berdasarkan pemeriksaan fakta persidangan- ceramah HBS perihal pembantaian 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada Desember 2020 bukan bohong. Hanya info itu kurang lengkap atau tidak utuh.

Artinya, dugaan adanya penganiayaan (penyiksaan) dan pembantaian 6 laskar FPI (bukan tembak menembak) dapat dilengkapi informasinya agar utuh dan lengkap, sehingga kelengkapan pemeriksaan peristiwa KM 50 akan mematahkan klaim 'tembak menembak' sebagaimana versi kepolisian yang diumumkan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran.

*Ketiga,* vonis ini dapat memicu tuntutan untuk bongkar ulang peristiwa KM 50. Sebagaimana diketahui, kasus tewasnya Brigadir Josua Hutabarat mulanya juga diklaim akibat tembak menembak. Ternyata, setelah disidik ulang oleh Timsus terdapat fakta hukum adanya pembunuhan berencana dengan cara ditembak, bukan akibat tembak menembak.

Artinya, dalam kasus Brigadir Josua Hutabarat ada rekayasa kasus. Hal ini, juga mengkonfirmasi dalam kasus KM 50 juga ada rekayasa kasus.

Terlepas dari itu semua, vonis 6 bulan 15 hari terhadap HBS menunjukan Rezim Jokowi mulai lemah. Kasus Sambo yang menimpa Polri, melemahkan kekuatan rezim.

Al hasil, hal ini juga dapat berimplikasi pada kasus Wartawan Edy Mulyadi. Bukan mustahil, karena kelemahan rezim, kriminalisasi terhadap Wartawan Edy Mulyadi tidak maksimal dan akhirnya berdampak pada vonis bebas atau setidaknya vonis yang ringan, sekedar untuk nenutupi masa tahanan yang sudah dijalani. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat Muslim

https://heylink.me/AK_Channel/




Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab