Tinta Media: KCJB
Tampilkan postingan dengan label KCJB. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KCJB. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 04 Maret 2023

Dana Kereta Api Membengkak, Rakyat Menanggung Beban

Tinta Media - Proyek kereta api cepat kembali menjadi sorotan. Hal ini disebabkan kerena permasalahan pembengkakan biaya yang telah berulang kali terjadi. Pasalnya, PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) berencana akan meminjam dana berkisar Rp8,3 Trilliun ke China Development Bank (voaindonesia.com,17/2/2023). 

Menanggapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo mendukung langkah pengajuan dengan alasan moda transportasi massal seperti MRT, LRT, kereta api dan kereta api cepat merupakan keharusan bagi kota-kota besar demi terselenggaranya moda transportasi terintegrasi. Ini dilakukan agar setiap orang tidak hanya cenderung pada mobil pribadi.

Wakil Menteri BUMN Arya Sulingga mengatakan bahwa Indonesia menanggung 60% dan China 40%. Pembengkakan biaya ini terjadi karena perencanaan yang buruk. Perpanjangan KCJB (Kereta Cepat Jakarta-Bandung) atas dasar kesepakatan China juga perusahaan pelat merah Indonesia, yang pada awalnya tidak akan menggunakan dana APBN, nyatanya tetap menggunakan dana APBN untuk mengatasi pembengkakan dana pembangunan, kekurangan ekuitasi, defisit kas. Sampai akhirnya, pemerintah memenuhi layanan transportasi publik dengan menggelontorkan dana sebesar Rp3,2 Triliun.

Pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta Bandung (KCJB) merupakan bukti kegagalan dalam suatu pembangunan yang direncanakan atas dasar skema bisnis dengan mendatangkan investor asing. Dari sini jelas bahwa program berkelanjutan ini dilakukan demi proyek yang sebenarnya tidak untuk kepentingan atau kebutuhan rakyat, tetapi justru untuk korporasi.

Pembangunan infrastruktur seperti KCJB bukan suatu yang urgent. Mengandalkan investor akan membuat negara semakin masuk dalam cengkeraman asing. Hal ini bisa mengancam kedaulatan negara. Inilah akibat penerapan sistem kapitalisme, yang sejatinya lebih mengutamakan kepentingan atau keuntungan para kapitalis. Rakyat pun tidak mendapatkan kemaslahatan dari proyek kereta cepat, malah terancam tambahan biaya dan utang yang dilakukan negara. 

Ini berbeda dengan Islam. Sistem Islam (khilafah) akan mengutamakan segala hal yang lebih dibutuhkan masyarakat, mulai dari pemenuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya, barulah kemudian membuat kebijakan pembangunan infrastruktur. 

Khilafah membangun infrastruktur dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

Pertama, infrastruktur dibangun untuk kepentingan rakyat. 

Kedua, pembangunan infrastruktur adalah bagian dari pelaksanaan syariat kaffah agar terwujud nilai ruhiyah, insaniyah, dan khuluqiyah. 

Ketiga, negara bertanggung jawab atas pengelolaan dan pembiayaan. 

Keempat, perencanaan dilakukan dengan matang. 

Kelima, fungsi pembangunan untuk melayani kepentingan publik dan mempermudah mereka.

Seperti pembiayaan infrastruktur yang ditulis oleh Syaikh Abd Al Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal Daulah Al Khilafah, dijelaskan bahwasanya pendapatan khilafah bisa diambil dari pos kepemilikan negara, di antaranya dari kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, ghulul. Sedangkan pos kepemilikan umum di Baitul Mal berasal dari pengelolaan SDA, sehingga rakyat menikmati dengan harga terjangkau, bahkan gratis. 

Adapun dalam pengadaannya, Syaikh Abdurrahman Al Malik dalam kitab Assiyasah Al Iqtishadiyah Al Mutsla menyebutkan najwa ada dua jenis pembangunan infrastruktur. 

Yang pertama, infrastruktur yang sangat dibutuhkan rakyat. Jika negara menundanya, akan menimbulkan bahaya bagi rakyat. 

Kedua, infrastruktur yang tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda.

Jika umat masih dalam kepemimpinan sistem kapitalisme, pembangunan infrastruktur terus berorientasi pada kapital. Maka, sangat jelas kapitalisme tidak bisa dibandingkan dengan sistem Islam yang memiliki visi besar untuk mengurus urusan umat.

Dengan demikian, perlu perubahan sistem baru, yaitu sistem Islam dalam naungan khilafah. Hanya dengan khilafahlah masyarakat akan terurus dengan baik, kemudian negara pun menjamin kesejahteraan umat. Sudah saatnya umat menyadari kegagalan pemerintahan sekuler kapitalistik dengan bersegera memperjuangkan Islam kaffah agar mendapat kehidupan yang sejahtera.

Wallahu a'lam bisshawwab.

Oleh: Avin
Muslimah Jember 

Senin, 27 Februari 2023

Bengkaknya Biaya Kereta Cepat Jakarta Bandung, Pahitnya Penderitaan Rakyat Semakin Tidak Terbendung

Tinta Media - Naik kereta api...tut..tut..tut. Siapa hendak turut. Kira-kira gitu ya gaes lagu naik kereta api. Kata “hendak turut” dalam lagu tersebut bermaksud untuk bertanya kepada orang lain “siapa yang hendak ikut naik kereta api”. Tapi lain halnya gaes dengan proyek yang sedang dijalankan pemerintah saat ini. “Hendak turut” dalam proyek ini bermaksud untuk menanyakan sumber anggaran mana lagi yang hendak dikucurkan untuk proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).

KCJB adalah proyek berada di bawah naungan PT Kereta Cepat Indonesia Cina atau KCIC. Perusahaan ini merupakan hasil kerjasama antara konsorsium Indonesia, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia yang menguasai saham sebesar 60% dan konsorsium Tiongkok, Beijing Yawan HSR, Co. Ltd. sebesar 40%. Konsorsium Indonesia sendiri terdiri dari empat perusahaan yaitu Wijaya Karya sebagai pemegang saham paling tinggi yaitu sebesar 38%, PT Perkebunan Nusantara VIII dan PT KAI masing-masing sebesar 25%. Kemudian, sisanya dipegang oleh Jasa Marga yaitu sebesar 12% gaes (katadata.co.id/ 17/02/2023).

Keputusan pemerintah dalam menentukan partner proyek ini sebenarnya tidak berjalan begitu mulus, penuh kebimbangan gitu gaes. Nah, setelah tarik ulur kesana kemari, akhirnya pilihan dijatuhkan pada pemerintah Cina karena pada saat itu, pemerintah Cina memberikan iming-iming bahwa proyek ini akan hanya membutuhkan anggaran US$5,13 miliar (Rp80,541 triliun) dan tidak akan menyerempet APBN. Dana yang ditawarkan Cina ini lebih rendah dibandingkan tawaran Jepang yang mencapai Rp245 Triliun. 

Meskipun sudah mempunyai partner dalam membangun proyek ini, namun nyatanya pemerintah masih belum bisa bernafas lega. Karena anggaran proyek ini lambat laun mengalami pembengkakan menjadi US$6,07 Miliar, lalu menjadi US$7,5 Miliar atau setara Rp117,75 Triliun (kurs Rp15.700). Dengan adanya pembengkakan ini, proyek ini mau tidak mau harus dihentikan sementara gaes. Namun, baru-baru ini proyek kereta cepat Jakarta-Bandung akan dilanjutkan kembali loh gaes. PT KAI sudah berhasil mengantongi dana dari Penyertaan Modal Negara (PMN) yang nantinya dapat menyokong jalannya proyek ini. Padahal diawal kesepakatan pemerintah sepakat dengan Cina tidak akan menggunakan APBN sebagai sumber dana. Tetapi nyatanya uluran dana APBN juga tidak mampu menambal kekurangan dana proyek ini. Akhirnya pemerintah mengajukan hutang pada Cina Development Bank sebesar Rp8,3 Triliun (cnbcindonesia, 16/02/2023). Seperti kena prank kan gaes? Pemerintah sudah terlanjur senang dengan iming-iming Cina tapi ternyata negara semakin sengsara.

Menanggapi hal ini, Ekonom CORE Indonesia, Muhammad Faisal mengungkapkan bahwa pembengkakan biaya dalam proyek ini adalah akibat dari perencanaan yang buruk karena tidak ada perhitungan risiko dari awal gaes. Sehingga, katanya, pemerintah mau tidak mau dihadapkan pada pilihan yang sulit. Proyek ini akan berakhir pada hutang. Hutang dalam jangka pendek mungkin dapat mengatasi permasalahan APBN, namun dalam jangka panjang dapat membebani ekonomi baik dari sisi APBN ataupun rakyat. Padahal setelah COVID-19 hutang Indonesia sudahlah membengkak. Menurut Faisal, pemerintah seharusnya membebankan sebagian besar pembengkakan biaya tersebut kepada China karena mereka telah melakukan kekeliruan dalam kalkulasi awal. Tapi karena mungkin sudah mengalami kesulitan dalam negosiasi, akhirnya pilihan dijatuhkan pada hutang ke CDB. Jika hal itu yang menjadi opsinya maka perlu dilakukan negosiasi lebih lanjut dari sisi bunga karena bunga yang semakin besar akan menyebabkan pemerintah sudah pasti akan semakin merugi kan gaes (voaindonesia, 17/02/2023).

Berbeda dengan Faisal, pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan bahwa pembengkakan biaya dalam pembangunan proyek infrastruktur lumrah terjadi. Meskipun demikian, Djoko mengaminkan proyek KCJB ini pada awalnya tidak dipersiapkan dengan matang gaes. Hal ini dimungkinkan karena banyak orang-orang di sekitar Presiden yang membisikkan keuntungan yang didapatkan negara dari proyek ini. Dari sisi peminjaman dana ia juga mengatakan, proyek ini seharusnya tidak membebani anggaran negara karena seharusnya bersifat business to business (voaindonesia, 17/02/2023).

Melalui hal ini kita dapat mengetahui bahwa KJCB ini dapat dikatakan sebagai proyek yang “grusa grusu” gaes. Bagaikan anak kecil yang diiming-iming penculik oleh penculik dengan polosnya dia akan menerima permen itu tanpa pikir panjang. Kita tak perlu heran gaes karena saat ini kita masih dalam cengkraman sistem kapitalisme. Sistem yang hanya mementingkan untung rugi. Sistem yang mementingkan kantong pribadi. Proyek ini diharapkan menjadi pundi-pundi rupiah, namun malah menjadi duri bagi negara.

Pertama, karena biaya yang terlanjur membengkak, proyek ini bisa saja terancam mangkrak gaes. Karena lebih dari 6 tahun sejak proyek ini direncanakan pada tahun 2016 dan ditargetkan akan selesai pada 2019, namun nyatanya molor hingga 2022.

Kedua, proyek ini membuat hutang negara semakin menumpuk. Hal ini sudah pernah disampaikan oleh Presiden bahwa proyek KJCB ini bukan bantuan dari negara lain, tetapi proyek pinjaman dari Pemerintah China. Kata pinjaman tentunya identik dengan hutang kan gaes?. Hutang tentunya harus dibayar. Dan sudah tidak menjadi rahasia bahwa hutang luar negeri akan membebani negara baik cicilan pokoknya maupun ribanya.

Ketiga, memaksakan proyek ini bagaikan mengaduk-aduk lumpur, karena semakin diaduk semakin berantakan. Sungguh, ambisi pemerintah ini bisa menjadi sia-sia.

Dengan adanya ketiga duri tersebut, apakah ada maslahat bari rakyat gaes? Rakyat malah hanya mendapatkan getah hutang yang membuat semakin sengsara. Siapa lagi yang akan membayar hutang jika bukan rakyat. 

Setiap saat setiap waktu, rakyat dituntut untuk membayar pajak. Lebih mirisnya, uang negara yang notabenenya bisa menanggung kebutuhan publik malah ikut disedot untuk memenuhi ambisi proyek ini gaes.

Dalam sistem kapitalisme, transportasi dipandang sebagai salah satu sektor bisnis yang akan menambah keuntungan gaes. Sehingga, transportasi yang seharusnya menjadi kepemilikan umum beresiko dikuasai oleh individu. Tak hanya itu, fungsi transportasi dalam sistem ini juga bergeser dari pelayanan publik menuju keuntungan semata gaes. Kalaupun ada mekanisme pelayanan, hal itu bergantung pada harga yang dibayarkan. Semakin mahal harganya semakin baik fasilitas yang didapatkan begitu juga sebaliknya.

Hal ini tentunya berbeda dengan Islam gaes. Dalam Islam infrastruktur berstandar pada beberapa prinsip:
1. Dilakukan hanya demi kepentingan rakyat.
2. Pengelolaan dan pembiayaannya harus dilakukan oleh negara sendiri. Karena negara merupakan pengurus bagi rakyatnya.
3. Adanya pembangunan untuk meningkatkan pelayanan pada rakyat.
4. Perencanaan dilakukan dengan perhitungan yang matang terkait dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan dan masyarakat.
5. Pembangunan infrastruktur adalah wujud dari pelaksanaan syariat Islam Kaffah yang memadukan nilai ruhiyah, insaniyah dan khuluqiyah yang tidak akan berdampak pada kerusakan lingkungan.

Selain itu gaes, negara juga diharuskan untuk memperhitungkan skala prioritas pembangunan infrastruktur, hal ini terbagi menjadi dua jenis.

Pertama, infrastruktur yang penting dan mendesak. Infrastruktur ini harus segera dibangun karena jika ditunda akan menimbulkan bahaya bagi rakyat gaes. Misalkan di suatu desa belum memiliki sekolah tentunya ini akan berbahaya karena anak usia sekolah tidak akan bisa menimba ilmu. Dalam pengaturan mekanismenya, negara wajib membangunnya tanpa memperhatikan ada tidaknya dana di Baitul Mal. Jika saat itu dana Baitul Mal mencukupi maka negara akan menggunakannya, namun jika tidak maka negara akan memungut dharibah/ pajak dari masyarakat muslim yang kaya saja. Tidak seperti sistem saat ini dimana pajak dipungut setiap hari dan dibabat habis dari seluruh lapisan masyarakat.

Kedua, infrastruktur yang penting tetapi tidak mendesak (bisa ditunda pengadaannya). Misalkan jalan alternatif menuju kota tertentu. Ini tentunya kurang mendesak gaes. Selama jalan yang dilalui biasanya tidak terdapat kerusakan maka negara dan rakyat tetap dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Dalam pembangunan, infrastruktur jenis ini harus disesuaikan dana yang ada di Baitul Mal. (Abdurrahman Al Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla).
Dari beberap hal diatas, kita dapat mengetahui bahwa proyek KJCB ini tidak mendesak dan tidak penting kan gaes. Lebih-lebih lagi sumber pembiayaan proyek ini bersumber dari hutang, tentu negara tidak boleh mengambil kebijakan ini. Utang berbuntut riba tidak hanya haram dalam Islam, namun juga mengancam bagi kemandirian suatu negara.

MasyaAllah, begitu sempurna aturan yang datang langsung dari Dzat Yang Maha SegalaNya. Urusan meludah saja terdapat aturannya, apalagi urusan besar seperti periayahan negara. Sudah saatnya penguasa negeri ini move on dari sistem kapitalisme ya gaes. Sistem yang hanya mementingkan kantong-kantong para kapitalis. Menuju sistem yang tidak hanya membawa rahmat bagi manusia, tapi juga rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’alam bi shawwab.

Oleh: Ananda, S.T.P.
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 23 Februari 2023

Dana Kereta Api Membengkak, Rakyat Makin Terinjak

Tinta Media - Proyek kereta api cepat, menjadi sorotan kembali. Pasalnya dana proyek kian membengkak. Dan utang diajukan demi menutupi kekurangan dana tersebut. PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) berencana akan meminjam dana berkisar Rp 8,3 Trilliun ke China Development Bank (voaindonesia.com, 17/2/2023). Menanggapi hal tersebut, pemerintah berpendapat mendukung langkah pengajuan tersebut. Dengan alasan, semua elemen harus mendukung pembangunan transportasi massal. Moda transportasi massal seperti MRT, LRT, Kereta Api dan kereta api cepat merupakan keharusan keberadaannya di kota besar. Demi terselenggaranya moda transportasi terintegrasi. Agar setiap orang tak hanya cenderung pada mobil pribadi. Demikian papar presiden RI, Joko Widodo.

Pembengkakan dana proyek tersebut telah berulang kali terjadi. Dan kesepakatan yang ditetapkan dengan pihak Cina ternyata juga melenceng dari kesepakatan awal. Pada awalnya Cina menjanjikan bahwa proyek ini tak akan gunakan APBN. Namun nyatanya, tetap menggunakan dana APBN. Karena pembengkakan dana yang dibutuhkan proyek pembangunan. Sebagai Proyek Strategis Nasional, demi terpenuhinya layanan transportasi publik, pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp 3,2 Trilliun.

Pembengkakan biaya proyek kereta cepat Bandung Jakarta (KCBJ) menjadi sinyal bahwa perencanaan yang seharusnya dilakukan di awal proyek, gagal total di tengah-tengah pengerjaan. Tak sesuai rencana, karena tak cermat dalam menetapkan. Perencanaan pemerintah yang tak dihitung matang dengan investor asing. Program ini sebetulnya berbahaya dan mengancam kedaulatan negara dengan mengajukan utang berkelanjutan demi proyek yang sebetulnya tak dibutuhkan rakyat. Bukan prioritas untuk kepentingan rakyat.

Rakyat masih harus diurusi segala kebutuhan primernya. Sementara, saat ini justru pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur yang terbilang "mewah". Tak berimbang dengan kondisi masyarakat yang masih di bawah garis kecukupan. Kemiskinan masih membludak, kelaparan masih menjadi masalah yang belum juga tertuntaskan. Kesehatan masyarakat pun masih selalu dipertanyakan.

Lantas, pantaskah, pembangunan infrastruktur terus diprioritaskan di atas kebutuhan dasar masyarakat?

Paradigma pembangunan dalam sistem kapitalisme sekuler hanya berbasis pada kemajuan "semu" yang tak mempedulikan keadaan masyarakat. Karena sistem ini tak memprioritaskan kepentingan rakyat. Sementara kebutuhan pembangunan infrastruktur terus digenjot demi membangun penilaian bangsa-bangsa lain. Mereka menilai bahwa negara yang dikatakan maju adalah negara dengan infrastruktur megah dan berkelas. Tak peduli dana yang digunakan berasal dari dana utang yang sebetulnya akan mengganggu kedaulatan di masa datang. Inilah rusaknya pembangunan ala kapitalisme sekuler. Segala fasilitas dibangun demi dikatakan " maju" oleh negara lain. Tak peduli keadaan. Sungguh, fakta ini menggadai kedaulatan. Diperparah lagi dengan konsepnya yang keliru. Menjauhkan segala pengaturan prioritas kebutuhan umat dari pengaturan agama. Rakyat dianggap beban yang terus memperberat negara. Akhirnya kebutuhan rakyat dikesampingkan. Tak dipedulikan. Tentu saja, fakta ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme sekuler hanya menyisakan kezaliman yang nyata bagi seluruh rakyat.

Berbeda dengan paradigma yang disajikan sistem Islam. Sistem Islam memiliki prioritas jelas dalam melayani setiap kebutuhan rakyat. Sistem Islam cerdas dan cermat meletakkan prioritas kebutuhan hidup. Prioritas pertama, tentu saja pelayanan semua kebutuhan masyarakat. Mulai dari pemenuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan beragam kebutuhan dasar yang menyangkut kehidupan masyarakat sebagai warga negara.

Setelah semua kondisi masyarakat sejahtera, dan terpenuhi seluruh kebutuhan dasarnya, baru negara membuat kebijakan pembangunan infrastruktur. Hanya satu tujuannya, yaitu demi menciptakan kemudahan bagi seluruh rakyat. Misalnya seperti pembangunan moda transportasi yang aman dan menyeluruh bagi rakyat. Tentu saja, semua pembiayaan dihitung cermat dan amanah. Dengan pembiayaan yang disandarkan dari kas negara. Mandiri, tanpa perlu mengeruk utang ke negara lain, yang beresiko bagi kedaulatan negara.

Syaikh Abd Al Qadim Zallum, dalam kitab Al Amwal Dawlah al Khilafah, menjelaskan bahwa pendapatan Khilafah bisa diambil dari pos kepemilikan negara atau kepemilikan umum Baitul Maal. Pos kepemilikan negara berasal dari kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, ghulul dan sejenisnya. Sementara pos kepemilikan umum berasal dari pengelolaan sumberdaya alam secara mandiri oleh Khilafah. Konsep ini membuat Daulah Khilafah berdaulat penuh atas pembangunan infrastruktur yang diperuntukkan hanya kepada rakyat. Seluruh lapisan masyarakat pun dapat menikmati segala fasilitas yang ada dengan harga terjangkau. Atau bahkan gratis.

Adapun dalam pengadaannya, Syaikh Abdurrahman Al Maliki dalam kitab As Siyasah Al Iqtishodiyah al Mutsla, mengungkapkan bahwa pembangunan infrastruktur dalam Islam terbagi menjadi 2 jenis.

Pertama, infrastruktur yang sangat dibutihkan rakyat, dan menundanya akan menimbulkan bahaya bagi kehidupan rakyat. Misalnya pengadaan jalan umum, sekolah, rumah sakit, saluran listrik, saluran air minum dan fasilitas-fasilitas primer lainnya yang dibutuhkan rakyat setiap waktu. Negara wajib memprioritaskan pembangunannya. Demi menjaga dan melayani kebutuhan umat.

Kedua, jenis infrastruktur yang tak terlalu mendesak dan bisa ditunda. Misalnya, jalan alternatif, penambahan fasilitas gedung-gedung perkantoran, perluasan masjid dan sejenisnya. Khilafah tak akan membangunnya jika tak ada dana dari Baitul Maal.

Berdasarkan konsep Islam, proyek kereta cepat Bandung Jakarta bukanlah prioritas yang dibutuhkan masyarakat umum saat ini. Tidak mendesak, tidak bersifat darurat dan negara belum mampu membiayai secara mandiri. Namun justru, mengajukan utang ribawi untuk pembangunan infrastruktur yang tergolong kebutuhan tersier. Keadaan ini semestinya menjadi perhatian. Karena utang ribawi dapat mengancam kedaulatan dan kemandirian negara.

Islam sangat menjaga setiap kebutuhan umat. Konsep Islam pun memprioritaskan segala kepentingan rakyat. Yang benar-benar dibutuhkan, didahulukan dalam pemenuhannya. Untuk mengefektifkan anggaran negara, sekaligus menjaga kemaslahatan rakyat secara menyeluruh.
Sempurnanya sistem Islam mengurusi semua kepentingan rakyat. Sebagai kaum muslim, tak patut meragukan setiap konsep Islam. Hanya sistem Islam-lah yang amanah mensejahterakan umat.
Wallahu a'lam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab