Tinta Media: Jurnalis
Tampilkan postingan dengan label Jurnalis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jurnalis. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 September 2024

Melayakkan Diri Menjadi Jurnalis

Tinta Media -- Malu! Gumamku dalam hati saat mendengar penjelasan Om Joy  bahwa  seorang jurnalis itu harus menguasai setidaknya dua hal, pertama, membuat berita lugas (straight news), kedua, merekonstruksi suatu peristiwa dalam bentuk cerita yang menggugah pembaca (feature news).

Betapa tidak! dengan hanya berbekal mampu membikin berita lugas (SN)  aku sudah berani melekatkan predikat sebagai jurnalis.

Ternyata tidak sesimple itu! Ya....saya dan puluhan teman yang lain memang tengah mengikuti 'Pelatihan Menulis Feature News' yang diinisiasi oleh teman-teman Redaktur Tinta Media.

Pelatihan dilakukan melalui kelas online setiap pekan selama dua bulan untuk  membekali para peserta agar menguasai teknik  menyajikan berita melalui cerita.

Dengan mengenakan kaos berwarna merah, Coach sekaligus Pembina Tinta Media Joko Prasetyo (Om Joy) mengawali pelatihan di pekan pertama dengan menjelaskan seputar jurnalisme.

“Jurnalistik adalah seni mengumpulkan, mengolah, menyajikan informasi, kepada khalayak secara serentak dengan indah,” jelasnya.

Proses pencariannya, ia melanjutkan, bisa dengan  observasi yaitu datang ke lapangan tempat suatu peristiwa, juga bisa dengan wawancara,  yaitu mewawancarai siapa saja yang terkait dengan peristiwa, baik saksi mata atau ahli, atau juga aparat berwenang dan sebagainya yang  relevan untuk  diwawancarai agar mendapat kejelasan atau keterangan yang lebih detail dan akurat atau lebih presisi terkait suatu peristiwa.

Selain dengan observasi, menurut penjelasan Om Joy, mencari berita bisa juga dengan studi pustaka yaitu menjadikan berita-berita yang sudah ada, atau menjadikan buku, atau referensi-referensi  lain terkait suatu peristiwa.

“Bisa juga dengan partisipasi, yaitu  jurnalis terlibat dalam peristiwa tersebut. Itu semua merupakan cara untuk memperoleh informasi,” jelasnya.

Ia melanjutkan, semua bahan berita kalau sudah didapat, dikumpulkan. Pengumpulannya bisa dalam bentuk suara, teks, foto/gambar atau audio visual.

“Setelah dikumpulkan, diolah. Cara pengolahannya sesuai dengan  bentuk penyajian. Bisa dalam bentuk news (berita) atau views (penyikapan atas suatu kejadian),” terangnya.

Kata Om Joy, jenis news itu banyak. Empat di antaranya adalah, pertama, Straight News/SN (rekonstruksi suatu kejadian yang langsung pada pokok permasalahan). Kedua Feature News/FN (rekonstruksi kejadian yang dikemas dalam bentuk cerita).

“Tulisan news yang paling populer yang harus dikuasai para jurnalis adalah SN dan FN,” tandasnya.

Menyimak penjelasan Om Joy di atas, aku benar-benar malu pada diriku sendiri, yang sudah melekatkan predikat sebagai jurnalis tetapi belum menguasai jurnalistik yang paling dasar sekalipun.

Terlebih saat Om Joy menjelaskan lebih dalam lagi. “Setelah dua hal ini  dikuasai maka para jurnalis bisa membuat sajian jurnalistik lainnya. Di antaranya adalah depth reporting (rekonstruksi suatu kejadian yang membahas segala aspek dari peristiwa tersebut), dan jurnalisme investigasi,” paparnya.

Om Joy melanjutkan, penulisan depth reporting bisa dengan gaya SN yang banyak sub judulnya, bisa juga dengan gaya FN.

Terkait jurnalisme investigasi Om Joy menjelaskan, jurnalistik investigasi itu dia mengungkap kebenaran dari kejanggalan-kejanggalan yang terlihat dari suatu peristiwa. Bila suatu peristiwa ada kejanggalan, peristiwa ini pasti akan diberitakan oleh media masa dengan  nara sumber  pihak tertentu.

“Ketika itu diberitakan, kita bisa mengendus adanya kejanggalan dari pernyataan  pihak-pihak  tertentu itu. Nah kejanggalan itu berarti dia menutupi suatu kebenaran sehingga diperlukan pengungkapan atas kebenaran peristiwa tersebut. Jadi jurnalistik investigasi adalah rekonstruksi  suatu kejadian yang mengungkap kebenaran yang tertutupi oleh kejanggalan,” tandasnya.

Ia melanjutkan, kejanggalan itu biasanya muncul karena memang informasi yang diberikan kepada media masa tidak lengkap dan sengaja ditutupi.

“Dan biasanya itu melibatkan orang-orang  yang berpengaruh, baik dari sisi jabatan maupun dari sisi harta. Kalau diungkap apa adanya nanti orang yang punya jabatan atau harta ini akan terjerat hukum sehingga disampaikan informasi yang tidak apa adanya, sehingga terlihat kejanggalan,” tandasnya.

 

Untuk penyajian jurnalistik investigasi ini, menurutnya,  bisa dalam bentuk gaya berita lugas yang banyak  sub judulnya, bisa juga dengan gaya feature news.

“Jadi ketika kita bisa menulis FN murni (yang akan dibahas selama 2 bulan ke depan),  juga kita bisa menggunakan gaya FN ini untuk menulis depth reporting  dan jurnalistik investigasi. Itu di antara keuntungan ketika kita mampu menulis Feature News,” tandasnya.

Masyaallah! Aku bahagia mengikuti pelatihan di pekan pertama ini, karena mendapat ilmu dasar jurnalistik yang bisa aku gunakan untuk melayakkan diri menjadi jurnalis.

Views

Tak hanya tentang news, Om Joy melengkapi penjelasan di pertemuan perdana ini dengan views yang merupakan bentuk sajian jurnalistik juga.

“Ragam penulisan opini (views) ada banyak. Ada yang disebut artikel, esai, kolom dan editorial,” jelas Om Joy.

Ia lalu menjelaskan satu persatu ragam views itu. “Artikel adalah pembahasan suatu masalah  secara tuntas yang ditulis oleh ahli di bidangnya,” terangnya.

Ia melanjutkan, ada juga yang disebut esai yaitu narasi mirip dengan  artikel tetapi tidak dituntut memberikan solusi. “Esai itu membahas masalah secara sepintas, bisa dengan menonjolkan kritik atau argumen melalui pengamatan sehari-hari penulis tanpa memerlukan solusi,” tandasnya.

Sedangkan kolom, ia menjelaskan,  lebih menekankan kepada aspek pengamatan dan pemaknaan terhadap satu keadaan atau persoalan yang ada di tengah masyarakat, yang penyajiannya biasanya  lebih kepada refleksi kritis.

Agar peserta lebih jelas lagi, Om Joy menekankan perbedaan antara artikel dengan kolom. “Jadi kalau artikel itu mengupas masalah tertentu yang ditulis ahlinya. Tentu analisanya lebih dekat ke akademis. Nah kalau kolom membahas suatu masalah juga, tetapi lebih kepada refleksi kritis dirinya terhadap suatu masalah, masalahnya dikritisi oleh penulisnya. Pendekatannya ke situ bukan ke analisis akademis,” tegasnya.

Berbeda dari keduanya [artikel dan kolom], ia masih menjelaskan,  kalau esai tidak memberikan solusi. “Ketika kita mengkritik suatu permasalahan  kita kritik saja masalah tersebut dari sudut pandang kita dengan argumen-argumen yang kuat yang tujuannya agar orang lain sependapat dengan kita,” bebernya.

Terakhir Om Joy menjelaskan ragam views ke empat yaitu editorial. “Editorial itu juga sama, tulisan opini juga cuman ditulisnya oleh pemimpin redaksi yang ditujukan sebagai sikap resmi dari media masa tersebut,” ungkapnya.

Subhanallah! Pertemuan pertama yang kaya ilmu, menggambarkan proses jurnalistik mulai dari mengumpulkan berita, mengolah dan menyajikan berita, aku dapatkan di pertemuan itu.

Terlebih, di penghujung pemberian materi Om Joy melengkapi pembahasan dengan menjelaskan siapa itu reporter, redaktur, bagian lay out, yang dengan peran masing-masing berita bisa disajikan dengan indah.

Ditambah dengan penjelasan bagaimana gambaran penyajian secara serentak, menambah khasanah tentang  jurnalistik yang sangat aku butuhkan untuk melayakkan diri menjadi seorang jurnalis.

Terima kasih Om Joy! Ilmu yang diberikan di pertemuan perdana ini insya Allah menjadi pengetahuan berharga yang bisa saya amalkan dan juga diamalkan oleh teman-teman sehingga bisa menyajikan berita dengan berbagai variannya.

Semoga Allah menjadikan ilmu yang Om Joy bagi menjadi amal jariah yang senantiasa mengalirkan kebaikan. Dan semoga Allah senantiasa mengaruniai kesehatan dan keberkahan hidup untuk Om Joy. Aamiin.

Rancaekek, 20 Agustus 2024

Oleh: Irianti Aminatun, Sahabat Tinta Media

Sabtu, 18 Maret 2023

Inilah Lima Alasan Om Joy Tidak Menyarankan Transkrip Pakai Aplikasi

Tinta Media - Terkait transkrip video atau audio dengan menggunakan aplikasi, Jurnalis Joko Prasetyo (Om Joy) tidak menyarankan hal tersebut karena lima alasan.

"Bisa aja pakai aplikasi suara jadi teks. Hanya saja tidak saya sarankan, setidaknya karena lima alasan," tuturnya menanggapi pertanyaan dari salah satu penanya di akun facebook miliknya, Rabu (14/3/2023).

Pertama, Apabila proses transkrip dengan cara mendengarkan secara manual kemudian mencatatnya, maka ilmu yang kita dapatkan akan nempel. "Bila mendengarkan secara manual lalu mengetiknya insyaAllah ilmu yang dipaparkan narasumber lebih mudah menyerap dan terikat di dalam benak (sehingga lebih susah lupa dibanding dengan pakai aplikasi suara jadi teks)," tuturnya.

Kedua, dengan transkrip sendiri secara manual bisa dengan mudah memberikan tanda baca sesuai intonasi narasumber. "Lebih mudah memberi tanda baca sesuai dengan intonasi narasumber. Sedangkan aplikasi suara jadi teks (setahu saya) tanpa tanda baca. Maka, tanda baca yang diberikan bisa kurang presisi," terangnya.

Ketiga, transkrip menggunakan aplikasi kurang akurat. Karena jika narasumber pengucapannya tidak jelas maka hasil tulisan yang dihasilkan menjadi keliru. "InsyaAllah transkrip manual bisa lebih akurat ketimbang aplikasi suara jadi teks. Karena bila dalam satu kalimat ada satu kata yang kurang jelas pengucapannya maka biasanya akan keliru ketikannya kalau pakai aplikasi suara ke teks, tapi kalau ditranskrip manual nalar kita (umumnya) bisa menebak kata dimaksud," bebernya.

Keempat, menurut pengalamannya bahwa setelah selesai mentranskrip, selesai juga pemberian tanda baca, termasuk kata yang kurang jelas. "Begitu selesai transkrip (kalau pengalaman saya), selesai juga membubuhi tanda baca dan selesai juga mengambil keputusan terkait kata yang kurang jelas (apakah dihapus atau dicari yang paling masuk akal dalam kalimat," ujarnya.

"Pencariannya, biasanya dengan googling: terkait, kata yang kurang jelas, nama orang, istilah yang saya khawatir keliru penulisannya). Sedangkan kalau pakai aplikasi suara ke teks, itu semua masih mentah alias belum dibubuhi tanda baca dan sangat mungkin kita tidak menganggap keliru kata dari teks yang berasal dari suara narsum yang kurang jelas," tambahnya. 

Terakhir, ia menegaskan bahwa apabila aplikasi transkrip itu hasilnya akurat, boleh saja digunakan. Namun poin pertama itu tidak dapat tergantikan. 

"Andai saja sudah ada aplikasi suara ke teks yang sangat akurat mengubah suara ke teks, boleh-boleh saja menggunakannya karena masalah nomor dua sampai empat dapat teratasi. Tapi masalah nomor satu sangat mungkin tetap tidak dapat tergantikan," pungkasnya.[] Nur Salamah

Minggu, 15 Mei 2022

Gema Kontroversi Pembunuhan Jurnalis, Shireen Abu Aqilah


Tinta Media - Media Arab dan internasional melaporkan berita pembunuhan koresponden Al-Jazeera di Palestina, Shireen Abu Aqilah, setelah dia ditembak oleh tentara entitas Yahudi, sementara rekannya Ali Al-Samudi cedera di punggungnya, pada saat mereka sedang meliput invasi pasukan entitas kriminal Yahudi ke kamp Jenin.

Dalam wawancara televisi, sejumlah saksi mata menuduh penembak jitu (sniper) Yahudi sengaja menargetkan kru media dengan darah dingin, meskipun mereka mengetahui afiliasi mereka dengan media.  Sehingga berbagai pihak mengumumkan niat mereka untuk mengajukan gugatan terhadap tentara dan pemerintah entitas.

Kaum sekularis juga mengangkat gema kontroversi, di situs komunikasi elektronik, tentang disyariahkannya kaum Muslim memintakan rahmat atas terbunuhnya Shireen Abu Aqilah, yang disebutnya sebagai seorang wanita syahid, meskipun faktanya dia beragama Kristen. Di sisi lain, banyak yang menuntut untuk tidak membahas masalah ini, dan memintanya hanya fokus pada pengungkapan kejahatan entitas kriminal.

**** **** ****

Berkaitan dengan hal tersebut, kami mengangkat isu-isu penting yang tidak boleh hilang dari benak kaum Muslim ketika melihat berbagai isu dan peristiwa:

Pertama: Darah jurnalis terkenal tidak lebih penting daripada darah rakyat jelata yang tenggelam. Sehingga sangat memalukan bahwa ada kontras dalam reaksi para jurnalis dan intelektual, ketika mereka melihat berita pembunuhan para pemuda dan wanita di Palestina, Syam, Yaman dan negara-negara Muslim lainnya, dimana mereka hanya menghitung jumlah korban, kemudian mereka melupakan begitu saja, dengan beralih membaca berita ekonomi, olahraga dan sejenisnya. Namun mereka kontan bersuara keras ketika tokoh terkemuka terbunuh atau seorang jurnalis terkenal dibunuh, hal ini menimbulkan opini dan kesan di masyarakat tentang begitu murahnya darah orang yang tidak bersalah, sedang nilai pentingnya darah bergantung posisi dan kedudukan pemiliknya, yakni apakah ia seorang jurnalis terkenal atau tokoh politik terkemuka. Akibatnya hilang kesadaran publik tentang konsep Islam bahwa betapa besar dosa menumpahkan darah siapa pun tanpa alasan yang benar menurut syariah.

Kedua: Kewajiban umat Islam terhadap darah tak berdosa dan terlarang yang ditumpahkan oleh musuh-musuh umat di negeri kita, baik itu darah Muslim atau non-Muslim dari anak-anak negeri kita, adalah kisas, perang dan jihad terhadap mereka yang meremehkan kesucian kita, utamanya terhadap entitas Yahudi, dimana tanggung jawab untuk melindungi non-Muslim yang berada di bawah kekuasaan Islam adalah dhimmah (jaminan) umat dan Rasulnya SAW, yang harus kita lakukan. Tentunya kita tidak akan berdiri tercengang dan lumpuh di depan setiap korban kejahatan bangsa yang paling pengecut, yaitu bangsa Yahudi, seandainya bukan karena kegagalan kita untuk menyatukan suara kita, kekuatan kita dan tentara kita di atas Islam dan negaranya. Sehingga yang harus kita lakukan adalah mencabut entitas ini dari akarnya, bukan malah menyiram api dengah bahan bakar, dengan membawa kasus ke pengadilan Barat, yang menggunakan standar ganda dalam menangani kasus kami dan darah kami, serta darah yang berada dalam dhimmah (jaminan) kami, dimana dua miliar Muslim dihantui oleh kekerasan yang tak tertandingi, dalam menangani masalah Ukraina dalam segala aspeknya.

Ketiga: Akidah Islam dan hukumnya tidak pernah menjadi subjek kompromi, terlepas bagaimana pun upaya para sekularis untuk melemahkan akidah dan hukum agama kami, dengan mengeksploitasi perasaan dan emosi ketika mereka menuntut untuk mendahulukan konsep sekularisme dan patriotisme, mengabaikan konsep Islam dan hukumnya. Sementara seorang Muslim tidak diperbolehkan dalam menjalankan agama Allah takut pada celaan para pencela, atau menjual sesuatu dari agamanya untuk memuaskan orang-orang yang membenci apa yang diturunkan Allah. Ingat, para penyeru untuk meminta rahmat pada mereka yang meninggal atau terbunuh dari non-Muslim, sebenarnya mereka tidak berusaha untuk memperkuat “persatuan nasional” seperti yang mereka klaim, dan tidak pula untuk merapatkan barisan guna melawan musuh, namun tujuan mereka adalah untuk merusak hukum terkait al-wala’ dan al-bara’ (loyalitas dan berlepas diri) dalam Islam, serta mengalihkan perhatian kaum Muslim dari mendakwahkan akidah Islam, termasuk keimanan pada akhirat, atau dari menjadikannya sebagai tolok ukur perkataan dan perbuatan.

Sebab meminta rahmat untuk orang yang sudah meninggal dalam Islam, adalah khusus bagi yang telah ditetapkan Allah, yaitu bagi orang-orang yang beriman bukan yang lain, yaitu ampunan dan masuk surga, maka tidak boleh bagi seorang Muslim untuk meminta rahmat bagi non-Muslim yang meninggal, namun ini tidak berarti bahwa seorang Muslim dilarang ta’ziyah (menghibur) keluarganya atau menyebutkan apa yang menjadi sifat dan sikap baiknya, juga tidak berarti Itu mengingkari darahnya yang tidak bersalah dan tidak menuntut kisas pada pelakunya. Jadi, tidak ada hubungannya dengan kesatuan sikap dalam menghadapi pembunuhan yang dilakukan orang atau entitas kriminal.

Bahkan kenyataan membuktikan bahwa non-Muslim tidak peduli apakah kaum Muslim memintakan rahmat untuk mereka yang meninggal, seperti halnya seorang Muslim tidak peduli apakah non-Muslim tidak memintakan rahmat untuk Muslim yang meningal. Hal ini sama sekali tidak menimbulkan masalah bagi Muslim dan non-Muslim sepanjang sejarah, namun kaum sekularis yang mengangkatnya sebagai serangan terhadap Islam, dan provokasi antara Muslim dan non-Muslim guna memuluskan penyebaran keyakinan mereka, yaitu pemisahan agama dari kehidupan.

Adapun mati sebagai syahid dalam Islam, maka itu adalah status milik kaum Muslim yang terbunuh dalam ketaatan kepada Allah. Jadi, kami harus terikat dengan hukum Islam dalam memberikan status tersebut, dan kami tidak boleh melampauinya, apalagi beralih ke tolok ukur kaum nasionalis sekularis, yang tidak memiliki kebenaran apa pun.

Adapun seruan untuk meninggalkan penjelasan hukum Islam dalam hal ini dengan dalih demi menyatukan barisan, maka yang pertama-tama ditujukan kepada kaum sekularis yang mengeksploitasi emosi dan duka masyarakat, yang menyerang dengan cara rendah dan murahan terhadap prinsip-prinsip Islam dan hukumnya, dan melawan mereka yang keluar untuk membela hal paling berharga yang dimiliki seorang Muslim, yaitu akidah dan agamanya.

Seruan ini tampaknya ingin memfokuskan tombak di dada para pembunuh, namun secara tidak sengaja menyerukan agar hidung kita terkena tusukan yang lebih mematikan dari peluru para agresor, serta membiarkan pintu terbuka bagi kaum sekuleris untuk memuluskan penyebaran konsep mereka yang merusak salah satu dasar agama.

Kami memohon kepada Allah agar memberi kami wawasan tentang masalah agama kami, dan membantu kami untuk menolong agama-Nya dan menolong mereka yang lemah. []

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 13/5/2022.
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab