'Badai' PHK di Jurang Resesi
Tinta Media - Gelap! Dunia akan terjun ke jurang resesi global pada tahun 2023. Hal itu disampaikan Sri Mulyani saat konferensi pers APBN KITA pada September 2022 lalu.
Namun, sebelum sampai ke jurang resesi tahun 2023, Indonesia sudah mengalami krisis. Banyak perusahaan lokal maupun global yang mengurangi jumlah pekerjanya.
Di Jawa Barat, dilansir dari Tempo.co, Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jabar (PPTPJB), Yan Mei telah menerima laporan pemutusan hubungan kerja/PHK sebanyak 64 ribu dari 124 perusahaan sejak akhir Oktober. (2/11)
Ada lagi perusahaan startup seperti Shopee Indonesia, Indosat, JD.ID, Zenius, dan perusahaan startup lainnya yang sudah melakukan PHK terhadap pekerjanya.
Kapitalisme Pangkal Resesi
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa resesi dipicu oleh laju inflasi yang tinggi akibat naiknya harga pangan dan energi di sejumlah negara, khususnya AS dan Eropa. Inflasi yang tinggi inilah yang memicu bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas. Otomatis, negara-negara berkembang seperti Indonesia akan terkena imbas dari resesi ini.
Persoalan inflasi juga memegang andil dalam krisis ekonomi saat ini. Inflasi adalah kondisi kenaikan harga barang dan jasa yang terus-menerus. Dampaknya, daya beli masyarakat menurun sehingga berimbas pada jumlah produksi dan pendapatan perusahaan. Akhirnya, banyak perusahaan yang melakukan PHK untuk menekan biaya produksi. Inflasi dan resesi sama-sama berimbas pada PHK.
Setidaknya ada empat faktor utama yang mendasari sistem kapitalisme penyebab resesi global.
Pertama, riba sebagai pondasi ekonomi. Riba menjadi penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency). Riba juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang ke dalam debt trap atau jerat hutang. Selain itu, riba juga memicu terjadinya fenomena bubble ekonomi yang membuat sektor riil tidak berjalan normal.
Kedua, pasar modal dan berkembangnya sektor ekonomi nonriil. Hal tersebut membuat ketimpangan antara sektor riil dan nonriil.
Ketiga, sistem ekonomi yang tidak berbasis emas dan perak. Mata uang kertas yang digunakan saat ini membuat daya beli mudah tergerus karena inflasi yang terus terjadi.
Empat, liberalisasi atau privatisasi sumber daya alam. Liberalisasi sumber daya alam milik umum membuat sistem keuangan negara tidak sehat. Selanjutnya, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) akan bersumber dari pajak dan utang.
Sistem Kapitalisme Melemahkan Pekerja
Nasib pekerja makin terjepit di tengah inflasi dan jurang resesi. Sistem ekonomi kapitalis telah melemahkan posisi pekerja. Pekerja diposisikan sebagai bagian dari faktor produksi. Maka dari itu, PHK menjadi salah satu upaya efisiensi bagi perusahaan demi menekan biaya produksi. Perusahaan seolah tidak peduli dengan nasib pekerja.
Alih-alih memperbaiki, regulasi yang dibuat oleh pemangku kebijakan malah semakin memudahkan perusahaan untuk melakukan PHK.
Tengok saja, dalam UU Ciptaker tercantum 26 alasan perusahaan dapat menjatuhkan PHK pada karyawan, sementara dulu UU Ketenagakerjaan hanya mencantumkan 15 alasan. Ketentuan tersebut secara normatif terdapat dalam pasal 154A.
Dilansir dari bbc.com, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut lebih dari 17.000 buruh di-PHK sejak UU Ciptaker disahkan, mayoritas secara sepihak. (8/10)
Alhasil, sistem ekonomi kapitalisme yang lemah dan sistem ketenagakerjaan yang rapuh akhirnya membuat pekerja Indonesia dikorbankan demi menyelamatkan korporasi dan pengusaha. Ibarat mengundi nasib, para pekerja kini harus siap melewati 'badai' PHK sampai resesi itu benar-benar menenggelamkan perekonomian dunia.
Islam Tahan Krisis
Islam memiliki sistem ekonomi yang khas dan tahah krisis. Sejarah mencatat, Islam meraih kegemilangan dalam mencapai kesejahteraan.
Pertama, sistem ekonominya bertumpu pada sektor riil. Perekonomian di sektor riil akan menciptakan pertumbuhan yang riil. Tak seperti sektor nonriil yang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi semu dan gelembung spekulatif keuangan.
Tak hanya itu, Islam menggunakan emas sebagai mata uang sehingga melahirkan kestabilan dan tahan terhadap krisis. Emas juga memiliki nilai intrinsik dan nominal yang sama sehingga tidak ada manipulatif. Pemerintah pun tak akan sembarangan mencetaknya. Alhasil, tak ada potensi inflasi di dalam negeri.
Dalam ekonomi internasional, sistem uang emas memiliki kurs yang stabil antarnegara, tak akan terjadi ketimpangan harga dalam ekspor-impor. Kondisi seperti ini justru yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tak hanya sistem ekonominya yang unggul, Islam pun melindungi nasib pekerja. Pemberi kerja dan pekerja diikat dalam akad ijarah. Akad ini harus saling menguntungkan dan tidak boleh ada kezaliman di dalamnya.
Dalam penentuan imbalan pun, pekerja diberi upah sebagaimana nilai guna dari jasa pekerjaan tersebut. Penentuan imbalan ini tidak boleh ditentukan sembarangan, tetapi kepada ahlinya yang memiliki kemampuan menentukan upah.
Pekerja dengan akad ijarah bukanlah bagian dari faktor produksi. Upah pekerja tidak ditentukan dari banyak atau sedikitnya barang produksi. Dengan begitu, 'badai' PHK saat ini tidak akan terjadi hanya karena penurunan permintaan barang atau krisis ekonomi.
Khatimah
Jelas, hanya Islam yang memiliki sistem ekonomi dan ketenagakerjaan yang unggul. Islam tak bersifat materialistik, tetapi juga memperhatikan hukum syara dalam menjalankan sistem ekonominya. Tak hanya itu, Islam juga melindungi nasib pekerja. Maka, hanya dengan kembali pada sistem Islam, umat akan menemukan jalan keluar dari jurang resesi ini.
Wallahu'alam bishawwab.
Oleh: Isti Rahmawati, S.Hum.
Penulis