Ada Juragan dan Bos Partai di DPR, Pamong Institute: Ini Anomali dan Ilusi Demokrasi
Tinta Media - Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky menilai Pernyataan Anggota DPR RI Bambang Pacul tentang adanya juragan atau bos partai di DPR sebagai anomali dalam sistem demokrasi sekaligus ilusi demokrasi.
“Pernyataan salah satu anggota dewan yang mengungkap adanya juragan atau bos partai ini menunjukkan anomali dalam sistem demokrasi sekaligus ilusi demokrasi,” tuturnya dalam Acara Bincang Bersama Sahabat Wahyu: Anggota DPR Wakil Parpol atau Wakil Rakyat? di kanal YouTube Jakarta Qolbu Dakwah, Selasa (4/4/2023).
Wahyudi mengurai alasan anomali sekaligus ilusi demokrasi karena yang katanya sistem demokrasi mendudukkan rakyat berdaulat dan memiliki wakil tapi ternyata wakilnya sama sekali tidak mewakili rakyat. "Keputusan yang dibuat pun menunggu juragan atau bos partainya. Fakta ini, juga mengiriskan hati dan membuat rakyat geram bahkan marah," ungkapnya.
Wahyudi menjelaskan bahwa undang-undang itu mengatur dan mengikat seluruh warga negara. Sehingga ketika pengesahan undang-undang menunggu perintah atau persetujuan juragan atau segelintir orang pimpinan parpol akan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ia mencontohkan ada pengesahan undang-undang (UU) yang terjadi di era Jokowi yang sudah ditolak oleh rakyat bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) tapi tetap dilaksanakan juga yaitu UU Ciptaker dan Minerba. “Jadi akhirnya undang-undang yang lahir itu betul hanya merupakan aspirasi dari segelintir orang. Ini menyedihkan dan membahayakan rakyat juga negara karena UU tersebut jelas-jelas tidak menguntungkan rakyat. Padahal yang mengesahkan UU kan wakil rakyat. Kok bisa?” tanyanya.
Wahyudi melihat ada ketidaknyambungan antara keinginan rakyat dengan yang mewakilinya yaitu DPR. “Ternyata kalau diungkap seperti itu berarti betul selama ini DPR hanya menunggu perintah juragan bukan perintah rakyat,” lugasnya.
Lebih lanjut, Wahyudi mengungkap di sinilah terjadi bahaya sangat besar karena UU yang dikeluarkan itu mengikuti para oligarki maupun para juragan partai atau para pimpinan partai. “Mereka menunggangi negara untuk mengeluarkan undang-undang atau aturan yang dibutuhkan. Wakilnya pun sudah mengakuinya bahwa mereka tinggal tunggu perintah juragannya. Ini semuanya kaum kapitalis dan oligart,” ujarnya.
Menurutnya, dengan melihat mekanisme demokrasi ini akan melahirkan para pemimpin dan para wakil rakyat yang sebenarnya tidak mewakili rakyat tapi mewakili partai atau bahkan juragannya. “Bahkan bisa jadi para wakil rakyat itu mewakili para oligart itu sendiri. Jika seperti ini terus, kasihan rakyat. Rakyat tetap tidak diperhatikan kepentingannya karena mereka hanya memperhatikan kepentingan dan pesanan maupun perintah dari bosnya,” imbuhnya.
Pada titik inilah ia menghimbau rakyat harus memahaminya dan juga harus melakukan penyadaran kepada rakyat terus-menerus. “Rakyat harus disadarkan dan diberikan gambaran yang jelas bahwa kita harus segera mencari sistem alternatif yang lebih baik. Termasuk juga rakyat harus sadar jangan terjebak dengan janji-janji orang-orang yang merasa menyatakan dirinya mewakili rakyat padahal dia tidak mewakili rakyat. jangan terjebak dan terjerat dengan kasus yang sama,” pungkasnya.[] Erlina