Tinta Media - Ada yang menggila, tetapi bukan idol Korea, menjangkit ke mana-mana layaknya Corona. Sungguh, penyimpangan menjadi kebiasaan. Judol makin tak terkontrol.
Maraknya judol (judi online) yang makin menggurita di negeri tercinta, ternyata ngeri-ngeri sedap. Kenapa? Karena mayoritas pelakunya merupakan remaja dengan rentang usia di bawah 10 tahun, sampai di bawah 20 tahun. Jumlahnya mencapai 197.954 orang.
Mirisnya, di Jawa Barat sendiri menurut pelaporan PPATK, tercatat 41 ribu pelaku judol. Mayoritas mereka adalah remaja, bahkan anak-anak. (RadarSukabumi, 30/07/24)
Amazing! Ini bukan sebuah karya yang harus diapresiasi, atau bukan tentang goals pencapaian dari sebuah perencanaan, tetapi sebuah kemaksiatan yang terus berkembang menjadi monster menakutkan.
Generasi hari ini semakin menjadi-jadi. Bukannya berprestasi, malah asyik berjudi. Seharusnya kita menjadi remaja bertakwa, penuh asa untuk kegemilangan peradaban yang paripurna.
Sahabat, kalau ditelisik secara mendalam, sejatinya judi ini bukan problema kontemporer, melainkan produk lama yang kian berkembang dengan corak khas kultur negatif.
Ironisnya, sebagai seorang muslim, remaja tidak lagi malu bahkan ragu sebagai pelaku judol.
*Judol Merupakan Persoalan yang Kompleks dan Sistemik*
Apabila dikaji ulang, judol ini merupakan serangkaian tindak kriminal yang menggurita. Berangkat dari harapan seseorang, rasa equirisity, menang candu, kalah nagih, niat hati judol sebagai solutif problema yang ada, ternyata uang habis lari ke pinjol, bahkan gadai aset berharga. Alhasil, pelaku gali lobang tanpa tutup lobang, dan berujung petaka.
Diperparah dengan era digital native, hanya dengan gadget masing-masing, segala rasa penasaran dan keinginan bisa teratasi. Sayangnya, sekarang warganet disuguhi banyak sekali konten kurang mendidik, seperti flexsing, hedonisme, lifestyle. Di waktu bersamaan, sering dijumpai iklan pinjol, judol, dsb. Sehingga, di tengah gempuran zaman yang serba eksis, tampil cantik nan menarik menjadi kebutuhan
Jadi, kita merasa seperti difasilitasi. Seperti pepatah, "Banyak tools ninja menuju menara dambaan".
Realitasnya, berdasarkan penelitian di Amerika Serikat, penyakit dengan mental illness yang dihasilkan dari judi, 22-81% pejudi punya keinginan untuk bunuh diri 7-30% pernah mencoba bunuh diri, 14% pejudi berakhir dengan alkohol, 4% menyalahgunakan obat-obatan, tingkat penceraian mencapai 53,5%.
Data tersebut juga dirilis oleh RSUD Karawang, bahwasanya terdapat 10 pasien mengalami depresi akibat dari judol. Ternyata judol sudah menjangkit sampai zona remaja. Tentu ini sebagai alarm untuk kita semua. (Poskata, 28/06/24)
Ini senada dengan kasus yang terjadi pada mayoritas anak SD yang didiagnosa ketagihan judol dari konten live steaming para stramer game yang mempromosikan situs judol. Hal itu berimbas terhadap konsentrasi belajar anak yang terganggu, cenderung pendiam, asyik dengan dunianya sendiri, tantrum. Hal-hal buruk tersebut menjadi lifestye apabila keinginannya tidak terpenuhi.
Miris nan tragis! Seharusnya sebagai pelajar, spiritnya digunakan untuk belajar dan berkarya, bukan malah menekuni maksiat yang menyesatkan. Parahnya, judol menyerang ke semua kalangan, tidak kenal usia dan jabatan.
Masih ingat dengan kasus Polwan bakar hidup-hidup suaminya di Mojokerto, Jawa Timur? Korban merupakan pelaku judol. Mirisnya, korban menjabat sebagai aparatur negara. Ini tentu harus disikapi dengan penuh kesadaran bahwa judol memang mengerikan sekali keberadaannya.
Serangkaian kerusakan bin kebobrokan ini berangkat dari maindset yang rancu, bahkan salah. Kenapa? Karena sumber dari problema ini adalah ketika mayoritas orang berpikir dengan taraf materialisme. Baromater keberhasilan seseorang disandarkan dari performance, penampilan fisik, dan apa yang nampak semata.
Misalnya, seseorang dikatakan sudah sukses ketika memiliki gelar sarjana, rumah mewah, mobil empat, bahkan suami miliyader. Pemikiran seperti ini jika dipelihara akan subur layaknya tanaman yang disiram setiap hari ketika seseorang sudah adiksi terhadap judol.
Hanya Islam yang menawarkan edukatif, preventif, kuratif, dan solusif terhadap segala persoalan di dunia ini, termasuk judol. Islam memiliki role model terbaik sepanjang masa, yaitu Rasulullah Muhammad saw.
Allah sendiri sudah mention kepada kita di dalam Al-Qur'an surat al-Hujurat ayat 13, yang artinya:
"... bahwa mulianya seseorang karena takwa ...."
Lantas, jika ingin bertakwa, tentu harus ittiba' manusia paling mulia untuk mencapai taraf takwa seperti yang diperintahkan Allah sehingga beramal dengan ilmu alias tidak tersesat.
Rasulullah membawa pemikiran yang khas, yaitu pemikiran jelas dan benar (aqliyah Islamiyah), tidak abu-abu seperti pemikiran materialisme.
Sumber dari akliyah Islamiyah adalah Al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma, dan Qiyas yang bermuara pada wahyu Allah Swt, bukan karangan seorang hamba.
Apabila seseorang berpikir dengan Islam, tentu akan memahami hakikat dari penciptaan, diciptakan untuk apa, serta agenda apa yang akan terjadi setelah kematian.
Ketika manusia sudah memahami dan mampu mengaitkan ketiganya, tentu akan memperhatikan betul apa yang akan dikerjakan.
Hakikat dari segala perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Ini relate dengan firman Allah di dalam Qur'an surat al-Qariah ayat 6-11.
Sehingga, jelas bahwa standar perbuatan ialah menggapai rida Allah semata. Alhasil, maksiat ditinggalkan dan taat diperjuangkan.
Judi berangkat dari mindset yang keliru, sehingga wajar ketika memaknai judi sebagai solusi, melakukan judi tanpa basa-basi. Padahal, Allah dengan tegas dan jelas mengutuk perbuatan judi dalam bentuk dan medium apa pun.
Allah berfirman,
"Wahai orang-orang
yang beriman, sejatinya meminum khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, serta mengundi nasib dengan anak panah ialah perubahan keji, serta termasuk perbuatan setan. Sehingga, jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut, kelak kamu menjadi orang beruntung." (QS. al-Maidah ayat 90)
Mengubah maindset materialisme dengan Islam adalah langkah awal memutus mata rantai problema ini. Meskipun impect dari kesalahan berpikir, judi ini berkembang dari masalah individu, kemudian masyarakat, bahkan sampai tataran negara.
Berhubung judol merupakan persoalan kompleks dan sistemik, maka untuk mencapai 100 persen judol game over atau diberantas tuntas, harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, publik, bahkan negara.
Pertama, setiap individu dipastikan memblokir dan memboikot produk sekulerisme (induk dari materialisme).
Ini karenal dengan jelas Allah memerintahkan umat Islam untuk berittiba' kepada Rasulullah Muhammad saw. atas apa saja yang beliau bawa dan kerjakan, kemudian apa pun yang beliau larang maka tinggalkan. (QS. al-Hashr:7)
Kedua, elemen keluarga dan masyarakat harus satu padu untuk memastikan setiap anggota keluarga dan warganya taat syariat.
Peran dakwah diperlukan di sini. Artinya, masyarakat senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar. Siapa pun tidak pandang ras, warna kulit, usia, kalangan elit atau bukan, apabila mengerjakan sebuah perbuatan menyalahi norma-norma agama, maka wajib hukumnya untuk diingatkan dengan adab yang santun.
Ketiga, peran negara dibutuhkan untuk berkontribusi dalam memutus mata rantai perjudian dan seluruh persoalan yang terjadi. Ini karena negara memiliki wewenang untuk membuat kebijakan dan wewenang lain yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat sipil, mulai dari blokir situs perjudian, follow the money, hingga membuat kebijakan dan sanksi tegas dalam membasmi judi.
Sudah dicontohkan di dalam Islam, bahwasanya negara memberikan sanksi tegas untuk setiap pelaku judi dengan sanksi ta'zir.
Sanksi ta'zir diberikan tergantung separah apa tindak kriminal yang dikerjakan, bisa dari sanksi ganti rugi, pengasingan, penjara, sampai hukuman mati.
Nah, Sahabat, untuk menjadi muslim taat, perlu sekali bagi kita untuk menjadikan akidah Islam sebagai benteng pertahanan. Tinggalkan apa pun perbuatan yang mendatangkan murka Allah, dari nonton konten porno, pacaran, judi, dsb.
Perlu digarisbawahi, seperti apa pun rintangannya, jika itu perintah Allah, maka wajib dikerjakan, dan apabila maksiat, harus ditinggalkan. Ini karena taat berujung bahagia dan maksiat berujung sengsara. Wallahu'alam Bisawab.
Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak.
Penulis Ideologis, Pemerhati Remaja