Judi Akan Selalu Ada hingga Hukum Islam Ditegakkan!
Tinta Media - Judi bukanlah sekadar permainan dan hiburan belaka. Habis main, selesai perkara. Bukan, bukan sesederhana itu. Di balik kesenangan judi, baik judi langsung ataupun judi online, pasti menyisakan dampak buruk bagi diri, masyarakat, negara, bahkan agama. Dalam kacamata Islam pun judi termasuk perilaku setan, najis, dan keji. Pelakunya dihukumi dosa besar.
Dalam menghadapi perkara judi online yang makin marak di negeri ini, maka pemerintah harus segera menyelesaikan secara sungguh-sungguh sampai ke akar-akarnya. Meski Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Menkominfo, Usman Kansong, mengatakan bahwa telah men-take down 1,4 juta lebih konten, tetapi ternyata judi masih sangat merajalela seantero negeri. Mati satu tumbuh seribu.
Dengan kata lain, setiap satu domain dihapus maka esoknya bisa muncul lagi dengan nama yang berganti. Terbukti, meski Menkominfo sejak 2018 hingga 10 Mei 2022 telah memutus akses 499.645 konten perjudian di berbagai platform digital, namun tetap saja masih kecolongan transaksi judi online hingga ratusan triliun rupiah di tahun berikutnya. Di tahun 2024 bisa jadi angkanya mencapai di atas Rp400 triliun. Tak ayal, perkara ini benar-benar menjadi sangat mengkhawatirkan.
Selain melihat dari sisi jumlah pelaku yang tertinggi di dunia, warga RI yang terlibat dengan judi online pun sekitar 3,2 juta orang. Mayoritas pelaku masih di kisaran usia 17 sampai 20 tahun. Sementara di usia tersebut adalah usia pra dewasa yang bisa jadi mereka pun belum mendapatkan pekerjaan riil karena sempitnya lapangan pekerjaan. Hingga mereka terjun ke arah judi online dengan anggapan akan mendapatkan cuan dengan mudah hanya bermodalkan gawai dan inden beberapa puluh ribu saja.
Journal Frontiers in Psychiatry (2022) menunjukkan bahwa utang dan rasa malu akibat judi merupakan penyebab utama meningkatnya peluang bunuh diri. Ini hanya salah satu dampak buruk dari judi. Adapun dampak lainnya misalnya terganggunya kesehatan mental, makin memperburuk kondisi finansial, memicu tindakan kriminal, merusak hubungan sosial, bahkan lebih besar lagi ketika judi menghinggapi jiwa setiap orang termasuk muslim, maka ia akan semakin jauh dari agama dan enggan menerima nasihat.
Kemaksiatan jika dibiarkan makin lama, maka ia akan menjadi kemungkaran yang semakin kuat mempertahankan dirinya, sehingga tidak mudah untuk diberantas. Para pelaku kemungkaran bakal melawan siapa saja yang berusaha menghentikan. Apalagi, suatu kemungkaran melibatkan atau menimbulkan putaran uang yang sangat besar di dalamnya.
Sosok Pablo Escobar contohnya, kepala kartel narkoba terbesar di MedellÃn yang membuat pemerintah Kolombia tak mampu menghadapi. Artinya, semakin lama dibiarkan, makin memerlukan energi luar biasa untuk sekadar memerangi kemungkaran sekelompok orang. Meskipun itu ditangani oleh negara sekalipun, seorang bandar tak akan takut. Karena setiap kali akan ada operasi penggerebekan, pasti ketahuan. Ini juga sebagai tanda bahwa negaranya tidak memiliki hukum yang menakutkan untuk menjerakan pelaku kemungkaran.
Judi ini bisa berkembang sebab banyak faktor, secara sistemik dan by design. Di negara-negara berkembang, judi ini berkembang juga. Menkominfo, Budi Ari Setiadi bahkan mengungkapkan kalau seluruh negara ASEAN sudah melegalkan judi online, hanya Indonesia dan Brunei Darussalam saja yang masih menetapkan kalau judi online ilegal.
Walaupun ilegal, tetapi pemerintah masih membolehkan judi asalkan di tempat lokalisasi tertentu dengan alasan supaya terpusat dan terkendali dari pihak berwenang. Sebab dari judi ini akan ditarik pajak sebagai pemasukan Pemda. (statement Gubernur DKI Jakarta masa Ali Sadikin)
Ini faktor pertama, kalau judi berkembang karena sistemnya juga membolehkan untuk berkembang. Faktor kedua adalah faktor lingkungan, termasuk lingkaran pertemanan. Faktor ketiga adalah iklan judi yang terus-menerus. Akibat dari iklan yang berulang, orang akan terstimulus dan akhirnya terjerumus juga.
Terlihat jelas kalau hari ini revolusi kejahatan sangat luar biasa. Bayangkan, 3,2 juta orang jika dikumpulkan kira-kira butuh tempat 30 kali GBK. Namun, karena ini online, maka tak perlu adanya batas teritorial, bahkan bisa lintas provinsi atau lintas negara.
Meski Kemenkominfo mengaku sudah menutup beberapa situs judi online yang diketahui bermarkas bukan di Indonesia, tetapi aliran dana ke penyelenggara judi online di luar negeri juga cukup besar. Aliran dana ke luar negeri ini dinilai sebagai capital flight. Alih-alih Indonesia mendapatkan dana masuk dari luar negeri, yang ada dana itu justru keluar.
Oleh karena itu, judi online ini wajib ditanggapi secara serius. Pertama, harus disadari bahwa judi online ini bisa memapar siapa pun terutama yang kendali dirinya lemah. Salah satu faktor yang membuat judi online itu marak karena kemudahannya mengakses. Kedua, faktor lingkungan sosial. Ketiga, institusi pendidikan wajib memberikan edukasi agar masalah judi online ini teratasi. Keempat, penegakan hukum yang tegas dan menjerakan.
Jika masih hukum sekuler yang diterapkan hari ini, maka tak mungkin mampu mengatasi perjudian, baik offline maupun online. Perjudian tidak dianggap pelanggaran, justru pendapatan negara dengan anggapan pajak hiburan. Buktinya ada konsorsium 303 yang sempat diungkap.
Dengan demikian, untuk memberantas aktivitas judi haruslah memakai hukum Islam dengan fungsi jawabir dan jawazirnya. Syariat Islam secara mutlak mengharamkan judi tanpa ‘illat apa pun dan tanpa pengecualian. Allah dengan tegas melarang perjudian sebagaimana dalam QS. Al Maidah: 90.
Karena judi adalah kejahatan, ada sanksi hukum bagi para pelakunya. Baik muslim ataupun non-muslim (ahlu dzimmah). Negara tidak boleh membiarkan adanya judi online, ataupun membuatkan lokalisasi perjudian.
Allah pun mewajibkan kaum muslimin, khususnya Khalifah untuk menegakkan sanksi pidana (‘uqubat) terhadap para pelaku, yakni bandar, pemain, penyedia server, pembuat program, dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Sanksinya berupa ta’zir yakni jenis sanksi yang diserahkan keputusannya kepada Khalifah atau Qadhi yang menjadi wakil Khalifah dalam penegakan hukum Islam ini.
Dalam hal ini otoritas tertinggi adalah Khalifah atau Qadhi yang telah ditunjuk. Maka sanksi yang dijatuhkan sesuai dengan tindak kejahatannya. Kalau memang sangat dahsyat kejahatannya, maka layak untuk dicambuk, dipenjara, bahkan dihukum mati. Pelaksanaannya pun boleh disaksikan oleh masyarakat secara umum untuk menimbulkan rasa jera dan takut akan kemungkaran.
Hukum yang tegas ini adalah bukti kalau syariah Islam berpihak pada rakyat atas perlindungan terhadap jiwa, darah, harta, akal, keamanan, hukum, serta kehidupan sosial mereka. Umat juga didorong untuk mencari nafkah halal, tidak bermalas-malasan apalagi mengundi nasib dengan perjudian. Negara juga wajib hadir dalam menyediakan lapangan kerja dan jaminan hidup secara cuma-cuma selama para suami dan para wali mencari pekerjaan. Dan itu semua hanya terwujud dalam sistem Islam yang paripurna, Al Khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lam bish showab.
Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd., Sahabat Tinta Media