Tinta Media: Jilbab
Tampilkan postingan dengan label Jilbab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jilbab. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 November 2022

JILBAB AJARAN ISLAM, MEMECAT GURU KARENA MENASEHATI SOAL JILBAB BEROTENSI DIJERAT PASAL PENISTAAN AGAMA

Tinta Media - Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyebut pihaknya bakal memecat guru yang menasehati mengenakan jilbab pada siswinya, jika mengulangi perbuatannya. Pernyataan itu disampaikan kepada wartawan di sela-sela event Borobudur Marathon 2022 kategori Bank Jateng Tilik Candi, Minggu (13/11/2022).

Ganjar menyebut pihaknya sudah meminta guru yang bersangkutan, Suwarno (54) untuk menandatangani surat pernyataan. Kasus bermula saat siswi kelas X SMA Negeri 1 Sumberlawang, Kabupaten Sragen, dinasehati guru matematikanya untuk mengenakan jilbab.

Peristiwa itu terjadi saat S mengikuti mata pelajaran di kelas pada Kamis (3/11) pekan lalu. Buntutnya, orang tua siswa mengadu ke Polres Sragen.

Sementara itu, guru SMAN 1 Sumberlawang Suwarno sudah meminta maaf soal peristiwa ini. Suwarno mengaku hanya berniat memberi nasihat kepada siswi tersebut.

"Karena ada satu anak yang belum memakai jilbab itu tadi. Tapi sebelumnya saya tidak pernah menyampaikan itu. Tapi karena ada anak yang malu ke masjid tidak jilbaban itu, saya menyampaikan secara spontanitas," ujar Suwarno.

Suwarno selain mendidik, menjadi guru yang mengajarkan ilmu agama, juga sedang memberikan nasehat agama. Suwarno telah mengamalkan hadits Rasulullah SAW yang bersabda:

"Agama itu adalah nasihat. Kami (para shahabat) bertanya: Untuk siapa (Ya Rasulullah) beliau menjawab; Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya serta pemimpin-pemimpin ummat Islam dan juga bagi orang Islam umumnya."

(HR. Muslim).

Suwarno menasehati selain kewajiban agama, juga menjadi hak siswi. Bagaimana kalau motif tidak mengenakan jilbab (menutup aurat), karena ketidaktahuan siswi? Bukankah, menjadi hak siswi yang beragama Islam, untuk tahu kewajiban mengenakan jilbab?

Lain soal kalau siswi tersebut bukan muslim. Tak ada kewajiban Suwarno untuk menasehati, tak ada hak siswi non Muslim untuk mengetahui kewajiban mengenakan jilbab.

Orang tua siswi semestinya berterima kasih kepada guru, karena selain mengajari ilmu matematika juga mengajari ilmu agama. Bahkan, ilmu agama yang akan menyelamatkan putrinya dari jilatan api neraka. 

Menutup aurat dan mengenakan jilbab adalah kewajiban agama. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

[QS : Al Ahzab : 59]

Karena itu, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo tidak usah sok-sok-an mengancam memecat guru yang memberi nasehat tentang Jilbab. Wanita itu harus menutup aurat, bukan telanjang apalagi ditonton banyak orang dalam adegan video porno.

Meski Ganjar Pranowo penyuka video porno, tapi dia tetap tak punya hak mengkerdilkan ajaran Islam yang memerintahkan wanita menutup aurat (mengenakan jilbab). Kalau dilakukan, Ganjar dapat dijerat pasal 156 A KUHP, karena telah menistakan ajaran Islam tentang jilbab, melalui tindakan memecat guru yang menasehati siswi muslimah untuk mengenakan jilbab. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Aktivis Islam

https://heylink.me/AK_Channel/

Jumat, 25 November 2022

Ganjar Ancam Pecat Guru yang Paksa Siswi Pakai Jilbab, Prof. Suteki: Nomenklatur Lentur dan Obscure

Tinta Media - Pakar Hukum dan Masyarakat Profesor Suteki mengatakan peristiwa Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang mengancam pecat guru yang paksa siswinya memakai jilbab itu nomenklaturnya lentur dan obscure (kabur).

“Saya katakan nomenklaturnya lentur dan obscure terhadap peristiwa Ganjar mengancam memecat guru yang memaksa siswinya memakai jilbab,” tuturnya dalam Segmen Tanya Profesor: Wow! Ganjar Ancam Pecat Guru Yang Paksa Siswi Pakai Jilbab, Selasa (15/11/2022) di kanal Youtube Prof. Suteki.

Ia menegaskan nomenklatur lentur dan obscure pada peristiwa tersebut lebih mementingkan persoalan politik dibandingkan aspek hukum. Di mana apa pun yang bersifat dalam tanda kutip keras, konsistensi istiqomah dalam ideologi atau agama itu bisa dikaitkan dengan radikalisme.
“Ancaman terhadap ASN, pegawai pemprov atau mungkin ASN lainnya yang terpapar radikalisme itu sering kita dengar, termasuk saya sendiri mengalaminya, disematkan radikalisme. Saya katakan untuk diksi sendiri tidak ada pasal yang mengatur, menghukum orang yang radikalisme atau terpapar radikal,” tegasnya.

“Saya perkirakan kasus ini akan ditelisik hingga misalnya apakah guru SMAN I Sumberlawang itu terpapar radikalisme, hingga di cap merundung atau membully siswi muslim itu yang tidak pakai jilbab,” ucapnya.

Terkait statement ancaman pemecatan tersebut, Suteki mengatakan diperlukan beberapa hal yang harus disampaikan oleh pejabat menanggapi peristiwa tersebut.

Pertama, pejabat mestinya mengeluarkan pernyataan yang tidak bernada tekanan dan ancaman. Justru sikap pejabat itu harus mengayomi dan bertindak sebagai negarawan.

“Karena pernyataan tersebut justru akan diikuti oleh pejabat lain dengan tujuan untuk mengiyakan atau mengamini sekaligus melakukan kebijakan dan tindakan tadi,” ujarnya.  

Kedua, selayaknya pejabat itu mampu menahan diri untuk mengeluarkan kebijakan dan tindakan kepada Pak Suwarno (Guru SMAN I Sumberlawang) sebagai pendidik dan pengajar. Sebab arahan atau nasihat guru kepada siswanya tersebut dalam rangka amar makruf nahi mungkar.
“Sehingga misalnya seorang guru muslim mengarahkan atau menasihati anak didiknya yang notabene, sudah dewasa, aqil balik, apalagi seorang perempuan maka wajae diarahkan dan dinasihati bahkan dalam tanda kutip diperintah untuk mengenakan jilbab dalam rangka menutup auratnya,” tuturnya.

Tapi ia berharap tindakan pemecatan yang akan dilakukan oleh Pak Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah itu tidak dilakukan. Sebab tindakan Guru tersebut tidak menggunakan kekerasan.

“Saya berharap Pak Gubernur tidak akan memecatnya, cukup dengan diberikan, wong itu memaksa seseorang untuk berjanji tidak mengulangi dalam arti kalau pakai kekerasan, saya setuju tapi kalau hanya memerintahkan dalam arti menasihati sekaligus memerintahkan seorang murid untuk mengenakan jilbab, selain tidak ada kekerasan di situ. Saya kira tidak masalah,” ujarnya.

Ia menjelaskan kedudukan seorang guru dalam menasihati muridnya tanpa disertai kekerasan itu diperbolehkan. Guru harus memperhatikan betul situasi dan kondisi psikologis anak didik. Pada prinsipnya tetap mengutamakan kesadaran siswa dan bukan soal keterpaksaan.

“Kira-kira bagaimana supaya nasihat dan perintahnya yang sebenarnya mulia itu tidak dimaknai lain oleh siswa maupun orang tuanya,” jelasnya.

“Prinsipnya himbauan bahkan ajakan hingga sedikit perintah itu, hal yang menurut saya boleh dilakukan selama tidak ada penggunaan kekerasan apalagi perundungan atau bullying,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 20 November 2022

Ganjar Ancam Pecat Guru Perkara Jilbab, Direktur IJM: Ini Bagian Mendidik Siswi untuk Berjilbab

Tinta Media - Ramainya pemberitaan terkait ancaman Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo terhadap seorang guru karena nasehati jilbab kepada muridnya mendapat tanggapan dari Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnu Wardhana.

"Sangat disayangkan tentunya. Dalam konteks pendidikan kadang-kadang kok malah disebut perundungan. Ini kan bagian dari mendidik anak siswi itu agar memakai jilbab, maka ya dinasehati agar dia memakai jilbab dan menggunakannya dalam lingkungan di sekolah," tuturnya dalam Program Aspirasi Rakyat: Ancam Pecat Guru Gegara Nasehati jilbab, Mengapa? Di Kanal YouTube Justice Monitor, Jum'at (18/11/2022).

"Dengan cara itu, sebenarnya, orang dibangun suasananya selalu dekat Allah Subhanahu wa Ta'ala," imbuhnya.

Ia menyatakan bahwa dalam Islam, setiap muslimah itu wajib berjilbab dan berkerudung manakala keluar rumah menuju kehidupan umum. Adapun kewajiban berjilbab bagi muslimah itu wajib dan ditetapkan berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an surah Al Ahzab ayat 59 yang artinya: "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak perempuanmu dan istri-istri kaum mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka keseluruh tubuh mereka," ucapnya.

Menurutnya, atas tindakannya tersebut, Ganjar Pranowo bisa dijerat dengan pasal 156a KUHP karena telah menistakan ajaran Islam tentang jilbab. Guru tersebut sedang mengikuti hadis Nabi. Menasehati agar siswi tadi memakai jilbab. Artinya agar siswi ini mengikuti arahan Allah dan Rasulnya. "Pak Suwarno menasehati, selain kewajiban agama juga hak siswi," ujarnya.

"Bagaimana kalau motif tidak mengenakan jilbab atau menutup aurat itu karena ketidaktahuan siswi. Bukankah menjadi hak siswi yang beragama Islam untuk tahu kewajiban mengenai jilbab," ungkapnya.

Ia menilai semestinya orang tua siswi berterima kasih kepada guru tersebut karena selain telah mengajarkan ilmu matematika, ternyata juga mengajari ilmu agama. "Bahkan ilmu agama yang akan menyelamatkan putrinya dari jilatan api neraka," tukasnya.

Ia melihat bahwa viralnya kasus jilbab, tidak lepas dari opini media-media mainstream milik korporasi. Ini mengindikasikan masih kuatnya islamofobia di Indonesia. "Tampaknya media mainstream lebih condong berpihak pada upaya kriminalisasi syariat Islam," terangnya.

"Seharusnya media-media ini lebih fokus mengarahkan untuk hal-hal baik bukan malah untuk islamofobia," tegasnya.

Ia mengungkapkan juga bahwa pejabat publik seharusnya tidak mengeluarkan pernyataan bernada tekanan atau ancaman karena akan diikuti oleh pejabat di bawahnya untuk melakukan kebijakan dan tindakan yang sama. "Sepatutnya pejabat publik seperti pak Ganjar Pranowo itu mengeluarkan pernyataan yang mengayomi dan bersifat kenegaraan," bebernya.

"Seharusnya pak Ganjar Pranowo malah mendorong, mengayomi agar pendidikan, arahan untuk berjilbab itu terjadi di masyarakat, di sekolah sehingga anak-anak didik, siswa-siswi itu bisa melaksanakan syariah Islam dengan sebaik mungkin. Seharusnya kondisifitas ini yang dibangun oleh pejabat publik," paparnya.

Ia menganggap wajar jika guru yang posisinya sebagai pendidik dan pengajar jika menasehati anak didik dan anak ajarnya, termasuk didalamnya mendidik anak itu supaya taat pada syariah Islam. Selama tindakan guru tersebut bernilai iktikad yang baik untuk mendidik dan mengajar, "Sepatutnya kita hargai," jelasnya.

Ia melanjutkan bahwa negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau keyakinan dalam kondisi apapun. Syariat Islam memang menjamin proses agar pendidikan pada siswi, pada masyarakat untuk taat pada syariah. Sebagai muslim kita perlu melakukan pembelaan syariah Islam dan upaya kriminalisai kepada umat Islam yang berupaya menyampaikan ajaran Islam termasuk guru tersebut. "Pemerintah harus segera menghentikan segala bentuk sekulerisasi pendidikan," tegasnya.

Indonesia merupakan negeri berpenduduk mayoritas Islam. Sebagai pelajar dan mahasiswa muslim wajib untuk taat syariah secara kaffah, tidak ada kaitannya dengan soal tirani mayoritas atau diskriminasi minoritas. Apalagi siswi dan mahasiswa itu muslimah, tentu dorongan untuk dididik agar memakai jilbab itu harus dilakukan sebaik mungkin. 

"Negara harus membuat regulasi yang mengantarkan peserta didik untuk menjalankan semua ketaatan baik di lembaga pendidikan umum maupun keagamaan. Pilihan untuk mengikuti syariat diberikan kepada peserta didik yang non muslim saja, karena Islam tidak memaksa dalam perkara keyakinan dan ibadah," tandasnya.[] Ajira

Rabu, 16 November 2022

Ganjar Pranowo Ancam Pecat Guru Suwarno, LBH Pelita Umat: Kami Akan Bela!

Tinta Media - Ancaman pemecatan terhadap guru Suwarno, seorang guru SMA Negeri Sumberlawang, Kabupaten Sragen yang memarahi siswi kelas X, S (15) gegara tak berjilbab, yang dilontarkan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, mendapat pembelaan dari Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.

"Insya Allah kami bersedia melakukan pembelaan terhadap guru tersebut,” tegasnya kepada Tinta Media, Rabu (14/11/2022).

Chandra menyatakan bahwa LBH Pelita Umat sebagai pembela publik memfokuskan kepada pembelaan terhadap ajaran Islam dan kriminalisasi kepada umat Islam yang berupaya menyampaikan ajaran Islam.

Terkait kasus tersebut, Chandra menyayangkan sikap pejabat yang demikian. Ia menyatakan bahwa pejabat tidak semestinya mengeluarkan pernyataan yang bernada tekanan dan ancaman. Pejabat juga wajib menahan diri untuk mengeluarkan kebijakan dan tindakan kepada guru yang posisinya sebagai pendidik dan pengajar. “Sepatutnya pejabat mengeluarkan pernyataan yang mengayomi dan bersikap negarawan,” tuturnya.

Chandra menganggap wajar ketika seorang guru menasihati anak didik atau anak ajarnya. Menurutnya, selama tindakan guru tersebut bernilai itikad baik untuk mendidik dan mengajar sepatutnya dihargai.   

“UUD 1945 memberikan jaminan, perlindungan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan agamanya sesuai Pasal 28E ayat (1) Jo Pasal 29 ayat (1) dan (2). Selain itu, berdasarkan prinsip ‘Non-Derogability’ yaitu Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun,” pungkasnya.[] Erlina YD

Senin, 14 November 2022

PEMBELAAN HUKUM TERHADAP GURU DI JATENG TERKAIT JILBAB


Tinta Media  - Mengutip pemberitaan dari website kantor berita yang memberitakan terkait Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tengah mengusut kasus Guru SMA Negeri 1 Sumberlawang, Kabupaten Sragen, Suwarno (54) yang memarahi siswi kelas X, S (15) gegara tak berjilbab. Ganjar pastikan pihaknya mengawasi kasus tersebut."Gurunya kita minta untuk tanda tangan pernyataan tidak akan mengulang, kalau mengulang tak pecat," tegas Ganjar.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, bahwa pejabat semestinya mengeluarkan pernyataan tidak bernada tekanan dan ancaman, karena pernyataan tersebut akan diikuti oleh pejabat yang berada dibawahnya untuk melakukan kebijakan dan tindakan. Sepatutnya mengeluarkan Pernyataan yang mengayomi dan bersikap negarawan;

KEDUA, bahwa pejabat wajib menahan diri untuk mengeluarkan kebijakan dan tindakan kepada guru tersebut, posisi guru adalah sebagai pendidik dan pengajar, sehingga wajar jika guru tersebut menasehati anak didik atau anak ajarnya . Selama tindakan guru tersebut bernilai iktikad baik untuk mendidik dan mengajar sepatutnya kita hargai;

KETIGA, bahwa perlu diketahui UUD 1945 memberikan jaminan, perlindungan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan  menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan agamanya Pasal 28E ayat (1) Jo Pasal 29 ayat (1) dan (2). Berdasarkan prinsip _Non-Derogability_ yaitu Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun. 

KEEMPAT, *bahwa LBH PELITA UMAT sebagai pembela publik yang memfokuskan kepada pembelaan terhadap ajaran Islam dan kriminalisasi kepada umat Islam yang berupaya menyampaikan ajaran Islam. Insyaallah Kami bersedia melakukan pembelaan terhadap guru tersebut*.

Demikian
IG@chandrapurnairawan

Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
(Ketua LBH PELITA UMAT)


Selasa, 04 Oktober 2022

Gerakan Lepas Jilbab di Iran Pasca Kematian Mahsa Amini, Pengamat: Berbahaya!

Tinta Media - Terkait gerakan lepas jilbab di Iran, pasca kematian Mahsa Amini, Pengamat Politik Luar Negeri, Umar Syarifudin menegaskan sebagai gerakan berbahaya yang dapat menyebabkan kemudaratan bagi kaum muslim. "Gerakan berbahaya, karena dapat menyebabkan kemudaratan bagi kaum muslim, khususnya muda-mudi, tegasnya kepada Tinta Media, Sabtu (1/10/22).

Umar memaparkan di tengah gempuran sekularisme, melaksanakan syariat memang penuh tantangan. "Pemahaman agama yang sulit didapat dan banjirnya pemahaman Barat, menjadikan kaum muslim berada di persimpangan," imbuhnya.

Ia menerangkan bahwa fokus barat, jelas ingin menyerang syariah jilbab dan model pergaulan Islami yang bertentangan dengan nilai - nilai liberalisme. "Demonstrasi di Iran sedang dikapitalisasi oleh Amerika Serikat dan Eropa untuk mengalihkan perhatian rakyat Iran dari kemiskinan dan nasib Palestina dan menyibukkan kawasan Timur Tengah agar sibuk dengan isu Iran," tuturnya. 

Umar menganalisa hal tersebut untuk menjadikan Iran menjadi musuh pertama di kawasan Timur Tengah, dan kemudian akhirnya fokus Timur Tengah diarahkan pada Iran. "Maka perhatian umat Islam mulai berkurang atau makin redup dari entitas Israel pencaplok Palestina," terangnya.

Ia menyakinkan adanya negara-negara imperialis itu mempermainkan masa depan negeri-negeri Muslim. "Tidak lain disebabkan para penguasa zalim yang bertanggung jawab terhadap urusan negeri kaum Muslim, tetapi setia kepada perangkap para musuhnya dan cenderung kepada mereka," sesalnya.

Umar kemudian menjelaskan munculnya perlawanan terhadap kewajiban jilbab di Iran sebagai buah dari penerapan sekulerisme di Iran ditunjang kepemimpinan diktator di negara tersebut. "Iran terus menerus diuji dengan tampilnya rezim zalim dan berkontribusi dalam menzalimi kehidupan umat Islam dengan kezaliman yang bertumpuk dan mengalami ketergantungan pada proyek Amerika khususnya, dan kolonialis pada umumnya, serta nasionalisme yang busuk, dan sektarianisme berdarah," bebernya.

Ia melanjutkan adanya ketergantungan pada proyek Amerika, maka itu sangat jelas bagi mereka yang tidak tertipu oleh debu slogan-slogan. "Kematian bagi Amerika, kebisingan poros kejahatan, dan kicauan si dungu yang ditaati. Dalam hal ini, bukti-bukti yang masih segar dalam ingatan kita adalah bantuan rezim Iran untuk penjajah Amerika di Baghdad dan Kabul," paparnya.

Ia mengungkapkan bertumpuk kekecewaan rakyat Iran atas pemaksaan sistem kapitalisme-sekuler di Iran. Termasuk terkait nasionalisme, maka rezim telah membuat umat kembali terpecah-belah, memprovokasinya, sehingga ketika masyarakat terpantik atas kematian Amini membuat situasi bertambah panas. "Ini sangat ironis. Iran masih membanggakan bahasa persinya dan hendak mengembalikan rasa dan sejarahnya," ujarnya.

Menurutnya, adanya musibah dan bencana besar ini adalah akibat dari peran sektarian yang berselimut dosa, yang telah membagi umat dengan perbatasan dan sungai darah, juga yang menyediakan benih-benih kebencian yang kemudian dieksploitasi oleh beberapa rezim dan para penindas untuk memuluskan adegan sektarian. 

Umar menekankan bahwa rakyat Iran harus bangkit untuk menang. Mereka harus menyadari bahaya rezim-rezim diktator yang telah membuat hidup umat ini diselimuti berbagai kezaliman, kemiskinan dan ketidakadilan. "Mereka harus sadar, bahwa terwujudnya kehidupan Islam yang bersih dan murni akan membuat Iran menjadi bangkit dan bermartabat," pungkasnya.[] Nita Savitri

Selasa, 06 September 2022

Esensi Jilbab adalah Menjaga Kehormatan Wanita

Tinta Media - Pengajar Ponpes Nibrosul Ulum, Siwalan Panji, Sidoarjo, Ustazah Khamsiyatil Fajriyah menegaskan bahwa esensi jilbab adalah menjaga kehormatan wanita. 

"Jilbab itu diwajibkan oleh Allah justru untuk menjaga dan melindungi kehormatan wanita, bukan untuk membuat wanita terpaksa," ujar Ustazah Khamsiyah di sela-sela kesibukannya mengajar, Senin (5/9/2022).

Lebih lanjut, Ustazah Khamsiyah menyampaikan bahwa jilbab itu wajib bagi wanita muslim yang sudah baligh. Dalilnya ada di dalam Al-Qur'an surat Al Ahzab ayat 59.

"Jadi, di ayat itu, seorang wanita muslim wajib mengulurkan jilbab ketika keluar rumah agar ia dikenal sebagai seorang muslimah yang terhormat," lanjut Ustazah Khamsiyah.

Dari situlah, maka santri Pondok Pesantren Nibrosul Ulum berkomitmen untuk selalu berjilbab ketika keluar rumah.

"Kami sebagai santri di Pondok Pesantren Nibrosul Ulum berkomitmen untuk terikat pada hukum syara', termasuk dalam hal berpakaian saat keluar rumah. Kami berkeyakinan bahwa memakai jilbab, yaitu baju longgar (gamis/jubah) adalah suatu kewajiban. Dengan begitu, kami akan terhormat dan insyaallah diridai Allah," pungkas Ustazah Khamsiyah.[]

Najwa, S (Santriwati kelas 8, Ponpes Nibrosul Ulum, Siwalan Panji Sidoarjo)

Senin, 29 Agustus 2022

Tuduhan Paksa Jilbab, Influencer Dakwah: Itu Permainan Bahasa Media

Tinta Media - Terkait isu tentang tuduhan pemaksaan jilbab terhadap seorang siswi SMA di Yogyakarta, Influencer Dakwah Doni Riwayanto menyampaikam bahwa itu permainan bahasa yang dilakukan oleh media massa.

"Ini kan permainan bahasa. Permainan bahasa yang dilakukan oleh media terutama CNN," tuturnya dalam acara Perspektif PKAD: Gorengan Dugaan Paksa Jilbab, Islamofobia Merebak? di kanal Youtube Pusat Kajian dan Analisis Data, Selasa (9/8/2022).

Menurutnya, kalau dalam konteks sekolah, seorang guru atau sebuah institusi, kalau kita mengatakan kepala sekolah dan beberapa guru, itu kan artinya mewakili institusi itu, kemudian mengajarkan kepada siswa-siswinya untuk melakukan sesuatu, itu kan konteksnya mendidik, konteksnya itu adalah pendidikan. 

Ia mencontohkan ketika zaman sekolah dulu, harus memakai kaos kaki hitam setiap hari senin, harus memakai dasi, harus memakai topi. Kalau tidak memakai topi, bahkan ada hukumannya, misalnya dijemur di tengah lapangan. 

"Saya pikir semua sudah paham dari dulu seperti itu, dan ada  enggak sih teman-teman yang protes  ketika diperintahkan untuk menggunakan topi, menggunakan kaos kaki hitam, sepatu hitam? Ada enggak yang protes ini melanggar HAM karena memaksa menggunakan topi? Enggak ada yang protes seperti itu," tegasnya.

Kenapa? susul Doni, "Karena mereka paham bahwa itu bagian dari pendidikan disiplin," tandasnya.

Doni menjelaskan, sebenarnya perintah sekolah kepada khusus siswi untuk menggunakan jilbab, kalau di dalam konteks sekolah itu adalah konteks pendidikan. Kemudian yang diperintahkan untuk menggunakan jilbab itu siswi muslimah.
"Enggak ada masalah, kan?" imbuhnya.

Sekolah, lanjut Doni, melakukan perannya sebagai pendidik di mana kita tahu sekolah itu tidak hanya transfer ilmu eksak, ilmu formal. Tetapi mendidik, membangun karakter.

"Nah, sekarang karakter dia sebagai muslimah itu, seperti apa yang dididik oleh guru dan kepala sekolah, dan itu sesuatu yang wajar," ujarnya.

Menjadi tidak wajar, sambung Doni, ketika diberitakan oleh media massa yang tentu saja islamofobi tadi menjadi sesuatu yang seolah-olah menakutkan. 

"Nah, menakutkannya dimana? Lha wong cuma dididik untuk menggunakan jilbab, kok menakutkan, menakutkannya di mana?", imbuhnya.

Doni juga menyesalkan tindakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang telah menonaktifkan kepala sekolah dan guru SMA Bangun Tapan.

Menurutnya, respon Gubernur DIY itu terlalu gegabah. Tiba-tiba saja menonaktifkan guru dan kepala sekolahnya. 

"Ini sesuatu respon yang gegabah yang hanya berdasar apa? Opini publik. Opini publik yang dibangun oleh suatu media yang disana kita tahu medianya itu tidak berimbang ketika memberitakan. Terus kemudian ada keputusan formal dari gubernur sebagai representasi dari pemerintah," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka

Minggu, 21 Agustus 2022

KH M. Shiddiq Al Jawi: Jilbab Berbeda dengan Kerudung

Tinta Media - Founder Institut Muamalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan bahwa jilbab itu berbeda dengan kerudung.

“Sebenarnya yang namanya jilbab itu berbeda dengan kerudung,” tuturnya dalam Kajian Fiqh: Jilbab dan Kerudung, Apa Bedanya? di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Jumat (19/8/2022).

Kiai Shiddiq menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an istilah untuk kerudung itu adalah khimar. Dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 31 Allah memerintahkan wanita-wanita muslimah untuk mengenakan khumur. Dalam teks aslinya adalah khumur (kerudung-kerudung mereka). Khumur itu bentuk plural dari kata khimar. “Sedangkan khimar itu tunggal atau mufrod atau singular yang berarti kerudung dalam bahasa Indonesia,” jelasnya.
 
Menurutnya, ini berbeda dengan istilah jilbab yang ada dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 59.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya: "Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

Jadi jilbab itu maknanya bukan kerudung tetapi maknanya adalah busana yang longgar yang dipakai seorang perempuan muslimah yang menutupi seluruh tubuh dari atas sampai ke bawah satu potongan, yang dipakai di atas baju rumahnya.

“Jadi itulah pengertian jilbab yang sebenarnya di dalam Al-Qur’an,” paparnya.
 
Menurutnya, saat ini memang masyarakat di Indonesia secara umum mengartikan jilbab sebagai kerudung yang sebenarnya ini tidak tepat. Di dalam kitab tafsir Ibnu Katsir,  Imam Ibnu Katsir mengartikan al- khimar atau bentuk jamak dari khimar itu adalah khumur: 
Ma yaghaththa bihi arras’su yaitu “apa-apa yang digunakan untuk menutupi kepala” 

Ustaz Shiddiq menegaskan bahwa sebenarnya bukan jilbab sebagaimana istilah yang secara salah kaprah ini terjadi di masyarakat Indonesia. “Jadi kalau kerudung kita kembalikan kepada Al-Qur’an ya, istilahnya adalah khimar, yang ada di dalam Al-Qur’an adalah wanita-wanita muslimah itu menutupkan kerudung-kerudung mereka ke dada-dada mereka itu dalam surat An-Nur ayat 31. Kalau kata jilbab itu ada di dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 59,” tegasnya 
Kiai juga menyampaikan kutipkan satu tafsir dari Imam Al-Qurthubi ketika beliau menafsirkan Qur’an surat Al-Ahzab ayat 59 tersebut dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi,  ke-14 halaman 107. Al tsaub alladzy yasturu jami’ al-badan “jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh.”

Imam Al-Qurthubi mengatakan, kata jalabib pada ayat itu adalah bentuk plural atau bentuk jamak dari jilbab yaitu baju yang lebih besar ukurannya daripada kerudung {akbar min al-khimar). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud berpendapat bahwa jilbab artinya sama dengan ar-rida’ (pakaian sejenis jubah atau gamis).

Ada yang berpendapat jilbab artinya adalah al-qina’, artinya kerudung kepala wanita atau ada yang mengartikan juga al-qina’ adalah cadar. 

Kiai Shiddiq menyampaikan memang ada khilafiyah, ada perbedaan di antara para ulama di dalam mengartikan jilbab. memang ada yang mengartikan jilbab itu diartikan sebagai kerudung, ada yang dalam bahasa Arab itu disebut kata disebut dengan kata al-qina’.

“Kemungkinan inilah yang menjadi dasar ya Kenapa di Indonesia itu kata jilbab pada ayat itu diartikan sebagai kerudung, ya karena memang ada sebagian ulama yang mengartikan jilbab itu adalah al-qina' Itu bisa diartikan kerudung, tapi bisa juga diartikan cadar,” tuturnya.

Menurut Kiai Shiddiq, pendapat yang shahih adalah kutipan dari Imam Al-Qurthubi. 
“Jadi apa itu jilbab adalah busana atau baju yang longgar yang dipakai oleh wanita di atas baju-bajunya, baju kerja atau baju rumahnya. Nah, itulah yang disebut dengan jilbab,” tandasnya.[] Raras

Kamis, 18 Agustus 2022

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY: Jilbab adalah Ajaran Islam

Tinta Media - Terkait masalah jilbab bagi peserta didik di sekolah negeri, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY,  H. Gita Danu Pranata, S.E, M.M, menyampaikan pernyataan sikapnya.

Pertama, ia mengatakan bahwa berjilbab merupakan ajaran Islam dan kewajiban bagi setiap muslimah. "Menutup aurat dengan jilbab adalah ajaran agama Islam sesuai dengan Q.S An-Nur ayat 31 dan Q.S Al-Ahzab ayat 59, sehingga merupakan kewajiban bagi setiap muslimah untuk melaksanakannya dan membudayakannya melalui proses pendidikan," tuturnya sebagaimana rilis yang diterima Tinta Media, Rabu (10/8/2022).

Oleh karena itu, kata Danu, dalam konteks pendidikan upaya pembudayaan pemakaian jilbab bagi peserta didik muslimah, termasuk di sekolah negeri dengan menganjurkan, menasehati dan memberikan keteladanan bagi peserta didik muslimah untuk mengenakan jilbab dengan prinsip-prinsip edukatif merupakan bagian dari tugas dan tanggungjawab guru.

Kedua, ia menjelaskan tentang tugas utama seorang guru dan dosen berdasarkan undang-undang. 

"Bahwa tugas utama guru sesuai dengan undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang tugas guru dan dosen adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi, peserta didik untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional," terangnya.

Yaitu, lanjut Danu, berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Ketiga, sebagai pimpinan wilayah Ormas Muhammadiyah, ia menyesalkan pro dan kontra masalah jilbab. "Berdasarkan sikap tersebut, pro-kontra tentang pemakaian jilbab bagi peserta didik muslimah, termasuk di sekolah negeri semestinya tidak perlu terjadi," sesalnya.

Karena hal itu, lanjutnya, merupakan bagian dari proses dan upaya pendidikan sesuai agama peserta didik untuk melaksanakan ajaran agamanya dan membentuk akhlak mulia, sehingga upaya tersebut sepantasnya mendapatkan dukungan.

Keempat, Danu berharap kepada pemerintah untuk dapat memberikan perlindungan dan rasa aman bagi guru dalam menjalankan tugas utamanya. 

"Pemerintah selaku penyelenggara pendidikan, seharusnya dapat memberikan pembinaan, perlindungan, dan menjamin kenyamanan bagi guru dalam melaksanakan tugas utamanya," ungkapnya.

Tugas utama bagi seorang guru, imbuhnya, adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi, peserta didik untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, termasuk dalam membimbing, mengarahkan, dan melatih peserta didik muslimah agar membiasakan berjilbab/ berbusana muslimah untuk membentuk akhlak mulia peserta didik.

Kelima, ia menyarankan jika terjadi permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan semestinya mengedepankan prinsip edukatif. "Bahwa, jika terjadi permasalahan dalam pelaksanaan pendidikan, maka sesuai dengan prinsip pendidikan, penyelesaian setiap masalah perlu mengedepankan prinsip edukatif dengan membuka ruang dialog bagi setiap tindakan yang dianggap kurang tepat," tuturnya.

Sehingga, lanjut Danu, semua masalah pendidikan dapat diselesaikan dengan baik, karena pada dasarnya setiap guru tersebut pasti berniat baik dan mulia.

Keenam, ia mengungkapkan jika persoalan diselesaikan dengan pendekatan hukuman, dikhawatirkan hubungan antara guru dan murid hanya sebatas formalistik-kontraktual.

"Bahwa apabila setiap persoalan dalam pendidikan diselesaikan dengan pendekatan hukuman kepada guru yang dianggap melakukan tindakan yang kurang tepat, maka dikhawatirkan bahwa di satuan pendidikan/ sekolah akan terjadi hubungan antara guru-peserta didik hanya bersifat formalistik-kontraktual," bebernya.

Selanjutnya ia mengingatkan bahwa jika hal itu terjadi maka guru akan beranggapan tugasnya hanya sebatas mengajar karena takut salah dan  akan ada ancaman hukuman.

"Hubungan guru dan peserta didik yang formalistik-kontraktual, guru akan berpandangan bahwa tugas guru hanya sebatas mengajar, mereka tidak mendidik, membimbing, mengarahkan, dan melatih dalam sikap dan perilaku peserta didik karena takut salah dan ancaman hukuman," paparnya.

Ketujuh, Danu menyatakan bahwa pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik merupakan tanggung jawab bersama dari orang tua, sekolah, pemerintah dan masyarakat.

"Bahwa pendidikan, pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik merupakan tanggung jawab bersama orang tua, pemerintah, sekolah dan masyarakat," jelasnya.

Sehingga, pungkas Danu setiap unsur tersebut diharapkan saling mendukung untuk mewujudkan suasana yang kondusif bagi pendidikan di sekolah dengan mengedepankan asas-asas musyawarah, dialogis antara orang tua, peserta didik dan guru (sekolah).[] Nur Salamah

Minggu, 14 Agustus 2022

Ahli Hukum: Ancaman Dugaan Paksa Jilbab Harus Penuhi Tiga Unsur

Tinta Media - Ahli Hukum Pidana Dr. Muhammad Taufiq S.H., M.H., menilai terkait ancaman dugaan paksa jilbab harus memenuhi tiga unsur.

“Saya sampaikan kasus ini sengaja dikacaukan dengan narasi ancaman. Untuk pembuktiannya tidak mudah karena mengancam itu harus memenuhi tiga unsur penting,” tuturnya dalam Program Persfektif PKAD (Pusat Kajian dan Analisis Data): Gorengan Dugaan Paksa Jilbab, Islamphobia Merebak? Selasa (9/8/2022), di kanal Youtube PKAD.

Taufik mengungkapkan tiga unsur penting mengancam dalam suatu kasus, meliputi:
Pertama, adanya kekerasan. Kedua, orang tidak memiliki kemerdekaan. Ketiga, orang itu akhirnya melakukan itu dengan terpaksa. “Tanpa adanya ancaman kekerasan, tanpa adanya paksaan dan tanpa adanya pelanggaran kemerdekaan, maka tidak bisa disangkakan ancaman,” ungkapnya. 

Sebagai ahli pidana, ia mengatakan apabila mayoritas sekolah menggunakan kerudung, itu bukan bentuk ancaman bagi siswa untuk mengenakannya. Disebut ancaman jika memenuhi unsurnya.

“Ancaman itu harus dengan alat yang bahkan orang tersebut tidak memiliki rasa takut dan orang tersebut tidak memiliki kemerdekaannya. Jika tidak memenuhi unsur itu, tidak bisa dikategorikan mengancam,” katanya.

Ia mengkritisi bahwa kasus ini harus diklarifikasi untuk memulihkan hak-hak guru dan kepala sekolah yang dikenakan sanksi penonaktifan.

“Karena kasus ini tidak benar terjadi ancaman. Jika sesuatu yang membuat putusan hukum itu benar akan menghasilkan putusan yang benar,” kritiknya.

Tidak bisa menonaktifkan guru yang tidak mengancam. Baginya penyebar berita bohong (hoax) yang layak dipidanakan atas kasus ini.
“Karena dia menyebarkan kabar bohong dan kalau ternyata itu mengandung fitnah dapat dikenakan Pasal 310 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE),” tuturnya.

Menurutnya, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Pasal 335 ayat 1 bahwa yang dihidupkan hanya dua frasa, yakni adanya pemaksaan dan kekerasan yang dapat dikenakan sanksi pidana.

“Menurut saya lebih sepakat kalau pelaku yang menyebarkan hoax ancaman inilah yang justru dikenai dengan Peraturan Hukum Pidana No.1 Tahun 1946 khususnya Pasal 14, jangan menyebarkan hoax. Itu tidak benar,” ujarnya.

Taufik mencurigai bahwa dalam kasus ini tidak ada ancaman. “Bagaimana ancaman. Ancaman itu harus ada alat, harus ada kekerasan, menyebabkan orang itu tidak merdeka,” ucapnya.

Ia mengatakan sekarang ini persidangan dimulai dengan yang disebut trial the test, persidangan karena tekanan media. Ini tidak boleh karena pembuktian harus berimbang. “Disebut ancaman itu harus diklarifikasi dahulu, minta pendapat ahli dulu, termasuk ancaman atau tidak,” katanya.

Ia memaparkan mekanisme administrasi peradilan terkait kasus penonaktifan dua guru dan kepala sekolah atas dugaan paksa jilbab. Tidak bisa orang dipidanakan tanpa mekanisme yang benar.

“Kalau ia aparatur sipil negara, harus diadili. Ketika diadili (dituduh melakukan sesuatu) maka ia diberikan kesempatan membuktikan bahwa ia tidak melakukan sesuatu dan diperbolehkan untuk memberikan saksi. Tidak bisa serta merta dijatuhi sanksi,” paparnya.

Ia melanjutkan jangan karena media (trial the test), tiba-tiba orangnya dijatuhi sanksi. Pengadilan tidak memberatkan hak terdakwa itu bersumpah karena terdakwa memiliki hak ingkar.

“Itu sangat tidak benar dan tidak adil. Ini namanya perbuatan melawan hukum karena tidak ada ancaman, orang dijatuhi sanksi. Itu harus diberikan pembuktian bahwa saya tidak bersalah,” lanjutnya.

Ia merekomendasikan agar kasus ini diklarifikasi oleh sekolah juga organisasi guru serta mengembalikan harkat dan martabat kedua guru dan kepala sekolah yang dinonaktifkan.

“Karena tidak ada ancaman, dia meminta seseorang untuk berbuat lebih baik. Yang mengarahkan kasus ini pasti bukan orang hukum dan dia hanya ingin perkara ini menjadi ramai sementara isunya sensitif,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Jumat, 12 Agustus 2022

Paradoks "Jilbab" di Negeri Muslim Terbesar

Tinta Media - Buntut panjang dari viralnya kasus “pemaksaan” penggunaan jilbab sebagai atribut sekolah di SMAN 1 Banguntapan, DI Yogyakarta, masih terus berjalan hingga kini. Menurut keterangan Sri Sultan HB X, sejauh ini kebijakan yang diambil oleh Pemda setempat adalah menonaktifkan kepsek, dua guru BK, dan satu wali kelas terkait dari jabatan hingga ada kepastian lebih lanjut (jogja.suara.com, 4/8/22). 

Ketua ORI (Ombudsman Republik Indonesia) perwakilan DIY, Budhi Masturi, menyatakan bahwa dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, ditemukan panduan yang disusun oleh sekolah terkait kebijakan penggunaan seragam dinilai berbeda penafsiran dengan regulasi yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 45 tahun 2014 tentang seragam sekolah. Budhi juga menegaskan jika memang ditemukan unsur kesengajaan untuk tak mematuhi Permendikbud tersebut, maka dapat dikenakan sanksi.

Sebagai negeri dengan mayoritas penduduk muslim, kasus ini dan mungkin juga kasus-kasus serupa memang terkesan paradoksial. Namun, inilah fakta pahit ketika kaum muslimin hidup di bawah naungan tata aturan yang tidak bersumber dari Rabbul alamin. 

Sistem demokrasi-kapitalis dengan sekulerisme sebagai asasnya, meniscayakan kedaulatan membuat hukum dan menetapkan sanksi ada di tangan manusia. Benar salah, baik buruk diukur dengan standart akal dan ditimbang dengan takaran pendapat mayoritas.

Tak heran, jika tata kelola di bidang pendidikan pun merujuk kepada standart dan logika-logika manusia selaku pemilik kedaulan mutlak dalam sistem ini. Produk aturannya dinilai lebih sakral dan lebih layak untuk diagungkan. Lalu, atas dasar menghargai Hak Asasi Manusia (HAM), siapa pun yang berusaha menyuarakan kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari Allah, ketika hal itu dianggap "menganggu" pihak lain, atau bertentangan dengan aturan yang mereka buat, maka harus dihentikan, dan jika perlu diberi sanksi.

Adanya kasus ini semakin menguatkan asumsi bahwa negeri muslim terbesar kita hari ini telah terjangkit virus islamophobia kronis. Kebanggaan umat terhadap simbol-simbol agama, termasuk penggunaan pakaian muslimah, mulai perlahan dikikis dengan pengarusutamaan opini yang terkesan menyudutkan Islam dan kaum muslimin. 

Di sisi lain, gempuran budaya serba boleh, bahkan hingga muncul trend "my body my authority", semakin menunjukkan arah pendidikan hari ini. Jika bukan untuk menjadi alat penggerak roda perekonomian kapitalis melalui tenaga kerja murah maupun pangsa pasar, maka setidaknya mereka menjadi penjaga ideologi kapitalis sekaligus garda terdepan untuk menentang dakwah Islam kaffah.

Kontras dengan sistem pendidikan hari ini, dalam Islam tujuan pendidikan adalah untuk membentuk insan bertakwa yang memiliki kepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam, dan memiliki kecakapan terhadap sains dan teknologi. 

Realisasi tujuan ini tentu saja butuh dukungan yang mumpuni dari seluruh elemen yang ada, mulai dari level keluarga yang memahami tarbiyah Islam, level masyarakat dengan suasana amar ma'ruf nahi munkar, serta level negara dari sisi kebijakan kurikulum hingga dukungan finansial yang kuat melalui regulasi politik ekonomi Islam.
Negara akan mengoptimalkan pengelolaan seluruh sumber daya alam demi kemaslahatan umat, termasuk untuk menyokong sektor pendidikan.

Tidakkah kita mengambil pelajaran wahai kaum muslimin, betapa musuh-musuh Allah dari dulu hingga hari ini senantiasa merongrong kita dari berbagai sisi, tak terkecuali sektor krusial sebuah peradaban bangsa, yakni pendidikan. Tidak pulakah kita rindu, masa tercetak generasi-generasi yang tidak hanya mahir berbicara dunia, tetapi juga takut kepada Rabbnya. Mereka mendedikasikan hidup dan keilmuannya demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin.

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah  ..." (QS. Ali Imran : 110). Wallahu alam bishawab.

Oleh: Naning Prasdawati, S.Kep., Ns.
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab