Tinta Media: Jalan Berbayar
Tampilkan postingan dengan label Jalan Berbayar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jalan Berbayar. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Februari 2023

PEPS: ERP Lebih “Kejam” dari Jalan Tol

Tinta Media - Menanggapi rencana Pemerintah Daerah (Pemda) Jakarta yang akan menerapkan ERP (Electronic Road Pricing) dalam waktu dekat, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan menilai hal ini lebih “kejam” dari jalan tol berbayar.

“ERP (Electronic Road Pricing) adalah jalan (dalam kota) berbayar, biasanya untuk mengatasi kemacetan. ERP lebih ‘kejam’ dari jalan tol bebas hambatan berbayar,” tuturnya kepada Tinta Media, Senin (13/2/2023).

Dalam hal jalan tol, masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menggunakan jalan tol atau tidak, karena selalu tersedia jalan alternatif non-tol. “Tetapi, dalam hal ERP, masyarakat harus melewati jalan berbayar tersebut kalau tujuannya berada di dalam kawasan ERP,” jelasnya membandingkan.

Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya wacana ERP sudah didengar jauh sebelum ini. “Apakah ini merupakan ‘proyek’ yang tertunda?” tanyanya.

Dibeberkannya kawasan yang masuk ERP cukup luas, sekitar 25 ruas jalan, mungkin bisa diperluas lagi. Tarif ERP juga termasuk mahal, antara Rp5.000 sampai Rp19.000 setiap kali masuk kawasan. Mungkin lebih mahal dari tarif per km jalan tol. Bahkan ada yang bilang tarif ERP bisa dinaikkan lagi, kalau perlu sampai Rp75.000. “Luar biasa,” ujarnya.

Menurutnya, jam operasional ERP juga sangat panjang, tidak tanggung-tanggung, dari jam 05:00 hingga jam 22:00, setiap hari. “Apakah benar jam operasional yang panjang ini hanya bertujuan untuk mengatasi kemacetan? Apa ada kemacetan jam 05:00 pagi?” tanyanya heran.

Menurut Pemda Jakarta, tujuan penerapan sistem ERP untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Padahal Pemda Jakarta sudah menjalankan sistem ganjil-genap sejak 2016, untuk mengatasi kemacetan Jakarta tersebut. “Lalu, kenapa sekarang mau diganti dengan sistem berbayar ERP?” tanyanya. 

“Apa motif sebenarnya penerapan sistem ERP ini? Apakah hanya untuk pengadaan proyek semata? Untuk siapa?” tanyanya kemudian.

Anthony memaparkan bahwa warga Jakarta menuntut Pemda Jakarta menjelaskan secara transparan apa dasar penerapan sistem ERP.

Pertama, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana hasil pelaksanaan sistem ganjil-genap selama ini, apakah sudah ada evaluasi dan kajiannya? “Kalau sistem ganjil-genap ternyata gagal mengatasi kemacetan, sehingga mau diganti dengan sistem ERP, Pemda Jakarta harus menyatakan secara terbuka kepada publik bahwa sistem ganjil-genap, yang sudah menyusahkan warga Jakarta, sebagai kebijakan gagal,” ujarnya.

Menurutnya, selama tidak ada evaluasi dan pernyataan bahwa sistem ganjil-genap gagal, Pemda Jakarta tidak berhak menerapkan sistem berbayar ERP, karena dasar diberlakukannya kebijakan publik ini tidak jelas dan tidak kuat. “Terkesan hanya untuk pengadaan proyek saja untuk ‘memeras’ warga,” tuturnya.

Kedua, Pemda Jakarta harus menjelaskan siapa investor sistem ERP, apakah Pemda langsung atau ada investor pihak ketiga. Kalau ada investor pihak ketiga, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana cara pengadaan sistem ERP tersebut, apakah beli putus atau bagi hasil? “Pemda Jakarta juga harus mengumumkan siapa investor pihak ketiga tersebut,” tegasnya.

Ia mempertanyakan kalau bagi hasil, berapa untuk investor dan berapa untuk Pemda Jakarta? “Kalau bagi hasil, pemberlakuan jam operasional ERP yang sangat panjang tersebut (jam 5:00-22:00) patut diduga untuk menguntungkan investor?” tanya Anthony.

Ketiga, sistem ERP hanya diterapkan di negara maju dengan sistem transportasi sangat baik dan pendapatan (per kapita) sangat besar. Sistem ERP sejauh ini hanya diterapkan di Singapore, Jerman, Swedia, Inggris, dengan pendapatan per kapita pada 2021 masing-masing 72.794 dolar AS, 51.204 dolar AS, 61.029 dolar AS dan 46.510 dolar AS. “Sedangkan pendapatan per kapita Indonesia pada 2021 hanya 4.333 dolar AS,” ucapnya membandingkan. 

Artinya, Indonesia masuk negara berpendapatan menengah (antara bawah dan atas), sehingga tidak layak menerapkan sistem ERP. “Selain juga, sistem transportasi publik Jakarta masih belum baik, masih buruk,” paparnya.

Ia mengingatkan, jangan sampai ketidakmampuan pejabat Pemda Jakarta dalam mengatasi kemacetan Jakarta, dan kegagalan membangun transportasi publik, dibebankan kepada warga Jakarta dengan cara menerapkan sistem berbayar ERP. “Kebijakan publik seperti ini, untuk menutupi kegagalan Pemda Jakarta, tidak boleh terjadi,” bebernya. 
  
“Maka itu, warga Jakarta wajib menolak solusi mengatasi kemacetan dengan cara berbayar,” tandasnya. [] Raras

Minggu, 15 Januari 2023

Jalan Berbayar, Legalitas Pemalakan Liar

Tinta Media - Kabar tentang wacana jalan berbayar terus bergulir. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta berencana akan menetapkan kebijakan jalan berbayar, Electronic Road Pricing (ERP) di sejumlah ruas jalan ibu kota. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, mengatakan, seluruh kebijakan ini akan menyesuaikan dengan tata ruang lingkungan sekitar (republika.co.id, 11/1/2023).

Kisaran harga yang akan diberlakukan sekitar Rp5.000 - 19.000. Konsep ERP mirip seperti jalan tol, namun tak ada gerbang tol yang membatasi. Dikabarkan ada sekitar 25 ruas jalan tol yang diberlakukan konsep ERP, antara lain, Jalan Sisingamaraja, Panglima Polim, Fatmawati, Balikpapan, Suryopranoto, Majapahit, Husni Thamrin, Gajah Besar, dan jalan-jalan lain yang tersebar di Jakarta. Pemberlakuan ini akan di mulai pkl. 05.00 - 22.00 (Radar Bogor, 12/1/2023). Tujuan diterapkan ERP, yaitu untuk mengatur volume kendaraan yang melintas agar kendaraan tak menumpuk di satu titik. Harapannya, kemacetan dapat terkendali.

Berdasarkan rapat peraturan daerah (Raperda) Badan Pembentukan Pembangunan Daerah, ada beberapa jenis kendaraan yang tak dikenai biaya ERP, diantaranya, sepeda listrik, kendaraan umum plat kuning (seperti angkutan umum, dan sejenisnya), kendaraan dinas plat kuning, kendaraan diplomat, dan pemadam kebakaran. Penerapan ini pun masih dalam pembahasan untuk dituangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah DKI Jakarta.

Namun, betulkah kebijakan ini dapat menjadi solusi tuntas kemacetan yang belum tersolusikan hingga kini?

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia, Djoko Setijowarno, menyatakan bahwa aturan ERP merupakan salah satu solusi yang dapat mengendalikan kemacetan ibu kota. Namun, kebijakan ini berpotensi melahirkan berbagai pertentangan masyarakat secara umum (kompas.com, 12/1/2023). Meskipun ERP merupakan instrumen yang lebih maju dan tergolong efektif mengendalikan volume kendaraan. Gelombang protes masyarakat pasti akan mengalir deras.

Kebijakan ini tak populer di Indonesia. Negara yang sudah menerapkan sistem ERP, salah satunya adalah Singapura. Namun, antara Indonesia dan Singapura tak bisa disamaratakan secara paralel. Kebijakan ini harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat.

Kacaunya pengelolaan kebutuhan masyarakat terhadap instrumen pendukung transportasi (seperti manajemen jalan) menunjukkan bahwa sistem kapitalisme gagal total mengatur kebutuhan warga negara. Jalan umum seharusnya diperuntukkan untuk kepentingan umum. Bukan menjadi obyek "pemalakan". Bahkan segala proses dan bentuk pemalakan ini dilegalkan dalam Peraturan Pemerintah, yang tak bisa diganggu gugat oleh suara rakyat.

Sungguh, sistem demokrasi yang katanya, menjunjung suara rakyat, namun nyatanya menjadi alat penguasa untuk membodohi rakyat. Belum cukupkah? Betapa sengsaranya rakyat hari ini. Beragam kebutuhan yang kian mencekik. Sekarang ditambah program jalan berbayar yang harus dipatuhi rakyat.

Sistem demokrasi yang kapitalistik, bagaikan lintah yang terus menyedot darah rakyat hingga mengering. Pemimpin yang ada senantiasa "mencari" posisi aman untuk kepentingan pribadi, oligarki dan para pemilik modal. Tak peduli lagi terhadap nasib rakyat, yang kian hari kian melarat.

Inilah wajah sistem destruktif. Rusak dan merusak kehidupan. Tak layak dijadikan aturan. Solusi yang ditawarkan selalu menggadai kesejahteraan rakyat. Sistem ERP bukan solusi tuntas kemacetan. Solusi ERP disajikan tanpa menengok masalah yang ada di hulu.

Apa sebetulnya penyebab utama kemacetan yang luar biasa di ibukota? Beberapa diantaranya, karena banyaknya warga negara yang memiliki kendaraan, tak ada kenyamanan dan keamanan transportasi umum, serta akses jalan yang sedikit, sempit dan apa adanya. Segala penyebab ini karena pengaturan negara yang kapitalistik. Segala kebijakan dihitung-hitung keuntungannya secara materi. Tanpa menengok kebutuhan rakyat yang sebenarnya.

Selayaknya, negara senantiasa memberikan kebijakan sesuai kebutuhan rakyat. Mengatur jumlah kendaraan, menjaga kualitas ruas-ruas jalan agar aman dan terhindar dari menumpuknya jumlah kendaraan di satu titik, dan beragam kebijakan cerdas lain yang tak memeras rakyat. Namun sayang, negeri ini mengampu demokrasi kapitalistik yang betul-betul sekuler. Segala kebijakan yang ditetapkan tak bertujuan demi sejahteranya rakyat. Namun, demi kantong para korporat. Keadaan ini pun diperparah dengan penerapan sistem yang sekuleristik. Menjauhkan segala pengaturan kehidupan rakyat dari seluruh aturan agama (syariat Islam). Walhasil, kualitas hidup rakyat kian memprihatinkan. Jelaslah, solusi yang disuguhkan sistem kapitalisme hanyalah halusinasi.

Berbeda dengan sistem Islam. Yaitu sistem yang menerapkan syariat Islam yang menyeluruh di setiap bidang kehidupan. Demi sejahteranya kehidupan umat, setiap kebijakan yang ditetapkan negara selalu mengacu pada keadaan umat.

Jalan-jalan umum, atau pun jalur transportasi lainnya, merupakan fasilitas umum yang dipergunakan seluas-luasnya untuk kepentingan umat. Tak perlu berbayar. Karena pengadaan jalur transportasi adalah kewajiban negara dalam hal pelayanan rakyat. Tentu saja, segala pembangunan dan manajemennya, negara-lah yang mengatur. Setiap kebutuhan rakyat telah disiapkan pos-posnya dengan jelas. Tanpa perlu memungut biaya lagi dari rakyat.

Sistem kekhilafahan Islamiyah menyediakan segala kebutuhan rakyat seoptimal mungkin, salah satunya penyediaan jalan sebagai sarana transportasi. Khilafah merencanakan tata ruang kota, desa dan jalan-jalan dengan efektif dan efisien. Masa Kekhilafahan Abbasiyah mencerminkan tata kota yang luar biasa. Setiap kota dilengkapi berbagai fasilitas yang dapat memenuhi setiap kebutuhan rakyat. Mulai dari masjid, taman kota, sekolah-sekolah, perkantoran, perpustakaan, pasar, rumah sakit, pusat industri dan perdagangan. Sehingga masyarakat tak perlu ber-urbanisasi ke kota lain demi penghidupan yang lebih baik. Karena di wilayah tinggalnya sendiri telah aman dan nyaman dengan berbagai fasilitas yang terbaik. Jalan-jalan sarana transportasi pun dibangun dengan sangat baik. Berstandar dan sesuai kebutuhan umat. Negara membangun fasilitas sebaik-baiknya demi kepentingan umat. Tak perlu menghitung-hitung keuntungan yang bakal didapat.

 

Hanya sistem Islam-lah satu-satunya sistem yang mensejahterakan. Segala kebutuhan disiapkan negara demi tercapainya maslahat umat. Sesuai perintah Allah SWT. semata. Karena setiap pemimpin umat adalah pengurus seluruh urusan yang wajib dilaksanakan sepenuh iman dan takwa. MasyaAllah, pengaturan yang amanah dan bijaksana.

Wallahu a'lam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty

Forum Literasi Muslimah Bogor

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab