MAHKAMAH KONSTITUSI MEROBOHKAN NORMA KONSTITUSI, PUTUSAN PERPANJANGAN MASA JABATAN KPK TELAH MERAMPOK KEWENANGAN DPR RI SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF
Tinta Media - Mahkamah Konstitusi (MK) lahir dari rahim reformasi, dibentuk untuk tujuan menjadi garda konstitusi. Sejumlah legislasi DPR yang bertentangan dengan UUD 1945 dilakukan review oleh MK agar tetap sejalan dengan maksud dan tujuan bernegara sebagaimana yang dikehendaki konstitusi.
Salah satu tugas dan kewenangan MK adalah mengadili undang-undang terhadap undang-undang dasar. Dalam konteks kewenangan ini, MK setidaknya melakukan 3 (tiga) tugas, yaitu:
*Pertama,* mengadili norma perundangan terhadap UUD yang hasilnya putusan MK menyatakan norma UU tersebut bertentangan dengan UUD sehingga batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
*Kedua,* mengadili norma perundangan terhadap UUD melalui tafsir ulang MK yang hasilnya putusan MK menyatakan norma UU tersebut bertentangan dengan UUD sehingga batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak ditafsitkan sesuai tafsir yang ditunjukan oleh MK dalam putusan.
*Ketiga,* mengadili norma perundangan terhadap UUD yang hasilnya keputusan MK menyatakan norma UU tersebut sejalan dengan UUD sehingga permohonan yang diajukan ditolak, baik karena alasan yang diajukan adalah problema penerapan pasal bukan mengenai konstitusionalitas pasal, atau karena sebab lainnya.
Sayangnya, pada tanggal 25 Mei 2023 lalu MK telah membacakan putusan yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. *Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 berisi putusan MK yang melampaui kewenangan MK dan merampas hak legislasi DPR.*
Ada dua materi putusan utama MK yang bermasalah, yaitu:
*Pertama,* menyatakan Pasal 29 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) yang semula berbunyi, “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.
*Kedua,* menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) yang semula berbunyi, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”.
Isu utama dalam kasus ini sebenarnya ada dua hal, yaitu :
1. Apakah norma Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berisi tentang pengaturan batasan usia calon pimpinan KPK sejalan atau bertentangan dengan konstitusi?
2. Apakah norma pasal 34 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang mengatur masa jabatan Pimpinan KPK sejalan atau bertentangan dengan konstitusi?
Kalau kedua norma tersebut sejalan dengan konstitusi, maka MK tidak berwenang mengadili perkara dengan mengabulkan perubahan batasan usia calon pimpinan KPK maupun menambah masa jabatan pimpinan KPK.
Kebijakan batasan usia calon Pimpinan MK apakah minimal 50 tahun atau hingga 65 tahun terkategori 'Open Legal Policy' yang menjadi kewenangan DPR sebagai lembaga legislasi.
Jika ada kehendak untuk mengubah kebijakan batasan usia calon pimpinan KPK, maka kewenangannya ada pada DPR dimana mekanismenya dilakukan melalui perubahan UU KPK yang tunduk pada mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebaimana diubah dengan UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Kebijakan batasan jabatan pimpinan MK apakah 4 tahun atau 5 tahun juga terkategori 'Open Legal Policy' yang menjadi kewenangan DPR sebagai lembaga legislasi.
Jika ada kehendak untuk mengubah kebijakan masa jabatan pimpinan KPK, maka kewenangannya ada pada DPR dimana mekanismenya dilakukan melalui perubahan UU KPK yang tunduk pada mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebaimana diubah dengan UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Jadi, *sejatinya MK melalui Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 telah merampas kewenangan 'Open Legal Policy' yang semestinya menjadi wewenang lembaga legislatif (DPR), dan membentuk norma baru berupa pengaturan batasan usia calon pimpinan KPK dan masa jabatan Pimpinan KPK, berdalih menafsirkan UU terhadap UUD.*
*Yang paling parah, MK telah mengkongkritkan putusan Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 sehingga dapat diberlakukan pada Firly Bahuri cs, selaku Pimpinan KPK saat ini.* Dengan putusan KPK ini, Firly Bahuri yang semestinya selesai pada 20 Desember 2023 otomatis diperpanjang satu tahun sehingga jabatannya diperpanjang hingga 20 Desember 2024.
Dalam Pertimbangan Paragraf [3.17] halaman 117, dalam putusan bernomor Putusan 112/PUU-XX/2022, MK menyatakan:
_"Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini berakhir 20 Desember 2023 yang tinggal kuran lebih enam bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan"._
Jelas-jelas pertimbangan ini melabarak dua hal :
*Pertama,* bertentangan dengan asas non retroaktif. Pertimbangan ini dijadikan dasar untuk memperpanjang usia jabatan Firly Bahuri, yang artinya putusan MK bukan saja berlaku mengikat sejak diucapkan, tapi berlaku mundur untuk diterapkan pada kasus Firly Bahuri.
*Kedua,* putusan MK yang semestinya bersifat publik, memiliki karakter 'Erga Omnes' dalam pengertian mengikat publik bagi kasus serupa, menjadi putusan yang bersifat kongkrit, individual dan final (seperti putusan PTUN) untuk diterapkan pada masa jabatan Firly Bahuri cs.
Maka benarlah analisis Deny Indrayana yang menyatakan putusan MK ini adalah bagian dari strategi politik Pemilu 2024. Apalagi, putusan MK ini juga berlaku bagi Dewan Pengawas KPK. Melihat track record kepemimpinan KPK era Firly Bahuri, siapa yang yakin, KPK tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik Pemilu khususnya Pilpres 2024? [].
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat
https://heylink.me/AK_Channel/