Tinta Media: Itaewon
Tampilkan postingan dengan label Itaewon. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Itaewon. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 November 2022

Itaewon dan Kanjuruhan, Dua Tragedi dengan Sikap yang Berbeda

Tinta Media - Akhir Oktober lalu, tragedi kemanusiaan terjadi di Itaewon, Korea Selatan. Tragedi kemanusiaan ini terjadi saat hampir seratus ribu orang memadati sebuah komplek hiburan untuk merayakan pesta Halloween. Ratusan jiwa melayang dan terluka. Peristiwa yang terjadi di Itaewon pada 29 Oktober 2022 itu lantas mendapatkan perhatian dunia, termasuk pemerintah Indonesia.

Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Itaewon sebenarnya hampir sama dengan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Kanjuruhan, Malang, beberapa waktu sebelumnya. Tragedi Kanjuruhan juga menewaskan lebih dari 130 jiwa. Hanya saja, tewasnya para suporter di Kanjuruhan merupakan dampak dari sikap kepolisian yang terlalu gegabah dalam mengambil tindakan untuk mengatasi kerusuhan yang dipicu oleh suporter Arema.

Sedangkan dalam tragedi Itaewon, kerusuhan terjadi karena berkumpulnya manusia di satu titik, di samping minimnya pengawasan polisi, hingga membuat masyarakat sesak, kemudian mati lemas. 

Dua kejadian kemanusiaan tersebut rupanya mendapatkan perhatian yang berbeda dari pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia menyatakan turut berduka cita atas tragedi yang terjadi di Itaewon. Pemerintah juga berharap agar para korban luka segera sembuh.

Namun, ucapan belasungkawa tersebut tidak diberikan kepada para korban Kanjuruhan yang merupakan warga negara Indonesia sendiri. Pemerintah Indonesia justru mengklaim bahwa penanganan yang dilakukan saat di Kanjuruhan meskipun memakan korban sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Pemerintah bahkan menyalahkan pintu stadion yang terkunci hingga para suporter tak dapat keluar dari serangan gas air mata.

Kurangnya kepedulian pemerintah terhadap rakyat sendiri tak lain merupakan dampak dari sistem sekularisme yang diterapkan. Sebab, sistem ini meniadakan kepengurusan rakyat berdasarkan syariat Islam. Sistem ini berprinsip kepada pemisahan aturan agama dari kehidupan dan merambat kepada pemisahan aturan agama terhadap negara. 

Walhasil, penguasa cenderung abai terhadap urusan rakyat. Rakyat hanya dianggap sebagai beban. Padahal, selama ini rakyat selalu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, terlebih di saat semua kebutuhan semakin mencekik akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalistik.

Kepedulian pemerintah terhadap rakyat akan nampak saat pemerintah menyandarkan segala peraturannya kepada Islam. Hal ini karena Islam memandang bahwa pemerintah atau penguasa adalah junnah (perisai) bagi seluruh warga negara. 

Dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda:

"Sungguh, Imam (Khalifah) itu laksana perisai, di mana orang-orang akan berperang di belakangnya dan berlindung (dari musuh) atas dengannya." (HR. Bukhari).

Penguasa dalam pandangan Islam adalah sebagai penanggung jawab atas segala urusan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya:

"Al Imam (penguasa) adalah penanggung jawab dan bertanggung jawab atas rakyatnya ..." (HR. Bukhari).

Walhasil, tragedi kemanusiaan tersebut merupakan tanggung jawab penguasa untuk mengusut tuntas dan memberikan jaminan bagi para korban untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, memberikan kompensasi atas setiap nyawa yang melayang.

Pertanggungjawaban penguasa akan dapat terpenuhi jika negeri ini menerapkan sistem Islam secara menyeluruh di semua aspek kehidupan, baik dalam aspek pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Lebih dari itu, tragedi kemanusiaan sejatinya akan dapat dicegah, bahkan tidak akan terjadi jika sistem Islam telah diterapkan.

Ini karena Islam akan membatasi apa saja yang boleh dilakukan oleh masyarakat dan negara, dan apa saja yang tidak. Terkait dengan hiburan, permainan atau perayaan, maka negara Islam tidak boleh membiarkan warga negaranya merayakan segala perayaan atau hiburan yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Oleh karena itu, tragedi kemanusiaan yang terjadi merupakan suatu permasalahan yang komplek karena ketiadaan penerapan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Jadi, bukan sekadar kelalaian manusia yang sarat akan mencari kesenangan dengan materi semata. Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Firda Umayah
Sahabat Tinta Media

Jumat, 11 November 2022

Empati yang Tak Menarik Simpati

Tinta Media - Kematian ratusan peserta pesta halloween menyentak dunia, tak terkecuali pemimpin negeri ini.

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan ungkapan duka cita yang mendalam atas peristiwa tewasnya ratusan orang saat merayakan pesta Halloween di Itaewon, Seoul, Korea Selatan. Jokowi merasa sangat sedih begitu mengetahui ratusan korban jiwa melayang saat merayakan Halloween. "Deeply saddened to learn about the tragic stampede in Seoul," kata Presiden Jokowi dalam akun twitter resminya, Minggu 30 Oktober 2022. Viva.co.id 

Tak ada yang salah dalam ucapan bela sungkawa. Namun,  ucapan seorang pemimpin seperti itu lebih layak ditujukan untuk permasalahan yang membelit negeri ini. Faktanya, berbagai kesedihan dan kesusahan rakyat belum menjadi perhatian penting. Namun ungkapan simpati itu justru cepat disampaikan buat masyarakat negara lain.

Empati dan simpati itu juga seharusnya untuk tragedi Kanjuruhan yang sampai saat ini belum tuntas, termasuk siapa yang bertanggung jawab atas hal tersebut. Masyarakat, terutama keluarga korban ingin tahu penyebab kematian ratusan jiwa yang sia-sia. Mereka juga bertanya-tanya, mengapa aparat sampai menembakan gas air mata?

Empati dan simpati dari presiden dan pihak yang terkait itu mestinya direalisasikan dengan segera mengusut tuntas pihak yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut, tidak membiarkan masyarakat berasumsi sendiri, sehingga menambah ketidakpercayaan pada aparat dalam menegakkan hukum.

Masyarakat yang selama ini sudah tidak simpati pada para pemimpin dan penegak hukum, bisa jadi akan mencari jalan lain dalam menyelesaikan masalah. Dengan berlarut-larutnya penanganan perkara, ada kesan tragedi didesain untuk mengalihkan perhatian masyarakat tentang berbagai kegagalan  pemimpin mengatur negeri ini. 

Berbeda halnya dengan sistem lslam. Pemimpin selalu peduli serta empati pada rakyat, baik dalam kondisi normal, terlebih ketika terjadi tragedi. Hal ini karena pemimpin adalah pelindung dan penanggung jawab urusan masyarakat.
Rasulullah saw. dengan sabdanya:
«ÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ رَاعٍ ÙˆَÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ»
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. (HR. Bukhari).

Para pemimpin akan bertindak cepat mengusut perkara yang menimpa rakyat, terlebih jika menyangkut nyawa. Dalam Islam, perkara nyawa adalah sesuatu yang besar. Hilangnya satu nyawa bagaikan menghilangkan semua nyawa manusia di bumi ini.

Penghilangan nyawa bisa di sebut pembunuhan. Pembunuhan  ada 4 macam, yaitu:

Pertama, pembunuhan yang disengaja, yaitu ada rencana dan dengan memakai alat yang mematikan. Hukuman bagi pelaku adalah wajib atasnya qishas, yaitu membunuh pelaku karena perbuatannya. Jika keluarga korban memaafkan, maka ada diyat yang harus diserahkan kepada walinya.

Sebagaimana Firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah 179: 

“Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”

Dari Tirmidzi, dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. bersabda: 

“Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, maka keputusannya diserahkan kepada wali-wali pihak terbunuh. Mereka berhak membunuh, atau mengambil diyat, yakni 30 unta dewasa, 30 unta muda (jadza’ah) dan 40 unta yang sedang bunting, dan mereka juga berhak memaafkannya.”

Kedua, pembunuhan yang miÅ•ip disengaja adalàh pembunuhan yang disengaja, tetapi menggunakan alat yang pada umumnya tidak bisa membunuh. Bisa jadi maksudnya hanya menyakiti, memberi pelajaran, menyiksa dan lain-lain, tetapi melampaui batas. Seperti memukul dengan cambuk, tangan, kaki, tongkat dan lain-lain yang umumnya tidak mematikan. 

Hukum pembunuhan yang mirip disengaja diyatnya sangat berat, yakni 100 ekor unta dan 40 ekor di antaranya sedang bunting.

Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Perhatikan, orang yang terbunuh secara mirip disengaja, terbunuh karena cambuk atau tongkat, maka diyatnyan 100 ekor unta dan 40 ekor di antaranya sedang bunting. “(HR. Bukhari).

Ketiga, pembunuhan tidak disengaja ada dua bentuk. Pertama, menembak binatang mengenai seseorang dan terbunuh, memundurkan mobil lalu menabrak seseorang hingga mati, dan lain-lain. 

Hukuman terhadap pelakunya adalah menyerahkan diyat kepada wali korban sebesar 100 ekor unta dan harus membayar kafarat dengan membebaskan budak. Jika tidak menjumpai budak, maka ia harus berpuasa 2 bulan secara berturut-turut.

Kedua, pelaku membunuh seseorang di negeri kafir harbiy (negera kafir yang memerangi umat lslam), tetapi orang yang ia bunuh adalah muslim. Namun, korban menyembunyikan keislamannya. Hukum bagi pelaku adalah ia hanya wajib membayar kafarat saja, dan tidak wajib membayar diyat.

Sebagaimana yang terdapat dalam Qur’an surat an-Nisa 92:

“Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaknya si pembunuh) memerdekakan hamba-hamba yang mukmin.”

Keempat, pembunuhan yang terjadi karena ketidaksengajaan, yaitu jika seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa ia kehendaki, tetapi perbuatannya menyebabkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, seseorang jatuh lalu menimpa orang lain hingga mati, bermain-main senjata lalu mengenai orang hingga mati, rusaknya mesin mobil hingga menabrak orang lalu mati, dan lain-lain. 

Jenis pembunuhan ini mirip dengan pembunuhan tidak disengaja jenis pertama. Kemiripan dua model ini sangat jelas, yaitu pembunuhan tidak disengaja terjadi pada perbuatan yang dikehendaki oleh pelaku. Akan tapi, apa yang diakibatkan dari perbuatannya tidak sesuai dengan kehendaknya. 

Adapun pembunuhan yang terjadi karena ketidaksengajaan, tidak ada kehendak dari pelakunya secara mutlak, juga terhadap apa yang diakibatkan dari perbuatannya itu. Oleh karena itu, ia tidak dibunuh, karena ia melakukan pembunuhan yang tidak disengaja, tapi masuk pada kategori melakukan pembunuhan yang terjadi karena ketidaksenggajaan.

Hukum pembunuhan semacam ini adalah wajib membayar diyat 100 ekor unta dan wajib membayar kafarat dengan membebaskan budak. Jika ia tidak mendapatkan budak, wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut. (Nidzam al-Uqubat, Abdurrahman al-Maliki hal 139-162).

Hukuman yang diberlakukan bertujuan untuk mencegah manusia untuk melakukan hal yang sama/jawazir, serta menebus adzab di akhirat kelak/jawabir karena hukuman yang sesuai syariat telah dilaksanakan di dunia. 

Pasti masyarakat akan simpati pada pemimpin yang menjalankan  keadilan Islam sekaligus membuktikan bahwa hanya hukum lslam yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa manusia.
Allahu a’lam

Oleh: Umi Hanif 
Sahabat Tinta Media

Minggu, 06 November 2022

Berduka Atas Tragedi Itaewon Tak Sebanding dengan Nasib Rakyat Sendiri

Pada bulan Oktober 2022, tepatnya Sabtu (29/10/2022) malam, publik dikagetkan dengan bencana kematian massal di distrik Itaewon, Korea Selatan. 

Hingga kini, Tragedi Halloween Itaewon, Korea Selatan, menewaskan setidaknya 151 korban jiwa dengan ratusan korban terluka lainnya.

Dilansir dari laman The New York Times, Pejabat senior di pemadam kebakaran Seoul, Choi Seong-Beom, mengatakan bahwa sebagian besar yang tewas adalah remaja atau berusia 20-an.

Tragedi ini benar-benar mengerikan. Sabtu malam itu, di sebuah gang sempit di sebelah Landmark Hotel Hamilton, ribuan pengunjung Itaewon yang berdesakan itu mulai berjatuhan. Situasi tak terkendali di gang sempit ini semakin meningkat, mengingat lebarnya dilaporkan hanya sekitar empat meter dengan posisi sedikit miring atau menanjak.

Para pengunjung perayaan Halloween pun akhirnya terjebak di antara kerumunan orang-orang yang keluar dari Hotel Hamilton dengan kerumuman dari pintu keluar 1 dan 2 stasiun kereta bawah tanah Itaewon.

Orang-orang yang terjebak dalam desakan kerumunan itu tak bisa bergerak dan pada akhirnya terinjak-injak. Pemandangan semakin pilu saat terlihat antrean panjang korban meninggal yang ditutupi selimut di trotoar.

Tragedi kematian Halloween di Korsel, jelas membuat publik prihatin, sampai-sampai penguasa negeri ini juga turut berduka cita dan menyampaikan bela sungkawa atas terjadinya tragedi maut itu dengan mengatakan bahwa Indonesia bersama rakyat Korea Selatan.

"Saya mengharapkan mereka yang terluka segera pulih," tulis Retno dalam akun Twitter resminya @Menlu_RI, Minggu (30/10/2022). 

"Turut berduka cita atas tragedi di Seoul. Belasungkawa mendalam bagi mereka yang kehilangan orang-orang terkasih," kata Jokowi melalui akun Twitter resminya @Jokowi, dikutip Senin (31/10).

"Indonesia berduka bersama dengan rakyat Korea Selatan dan kami berharap para korban yang terluka dapat cepat pulih," lanjutnya.(koran-jakarta.com, Senin, 31 Oktober 2022)

Ungkapan duka seorang penguasa sebenarnya tidak salah. Namun, yang menjadi perhatian justru sikap penguasa yang lebih prihatin dan peduli kepada rakyat negara lain dibandingkan terhadap nasib rakyat sendiri. Ini adalah keprihatinan yang miris lagi menyedihkan. 

Pasalnya, sebelum tragedi Hallewoon Itaewon, publik juga dihadapkan pada tragedi kanjuruhan yang juga memakan korban meninggal dalam jumlah lumayan besar. Penguasa justru saling berlepas tangan terhadap kejadian nahas tersebut. Aparat keamanan justru mencari dalih untuk menutupi kesalahannya, bahkan tidak ada pernyataan pemerintah bersama korban kanjuruhan.

Tak hanya itu, penguasa membiarkan perayaan serupa di Indonesia. Padahal, perayaan tersebut adalah budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat dan juga tidak sesuai dengan akidah mayoritas penduduk negeri ini yang mayoritas muslim. Bahkan, bisa dikatakan tidak memberi manfaat pada pembangunan karakter pemuda masa depan. Sebab, perayaan-perayaan semacam itu sejatinya hanya mengedepankan kesenangan belaka. Tidak jarang perayaan tersebut diikuti dengan konsumsi miras, narkoba, free sex dan sejenisnya.

Hal ini menunjukkan bahwasanya penguasa abai akan proses pembinaan karakter para pemudanya. Padahal, kaum pemuda sejatinya ialah mereka yang akan membangun sebuah peradaban bangsa yang akan datang. Hal tersebut tidak lepas dari sistem kepemimpinan saat ini, yakni sekularisme-kapitalisme. 

Sistem ini tidak mempedulikan tolak ukur agama dalam sebuah amal perbuatan. Ini karena sekularisme-kapitalisme telah memisahkan agama dari kehidupan. 

Orientasi kehidupan manusia hanya diarahkan untuk mencari kesenangan jasadiyah atau kesenangan fisik, tanpa melihat halal-haram atau baik-buruk menurut aturan agama. Jadilah para pemuda berprilaku permisif dan gila mencari kesenangan sesaat. Semua itu diperparah dengan negara sekularisme-kapitalisme yang berkarakter abai terhadap urusan rakyat.

Ini tentu saja sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang diatur dengan sistem Islam, yakni khilafah dalam memperhatikan urusan generasi. 

Khilafah sebagai institusi negara akan melindungi generasi-generasinya dari pemikiran, budaya-budaya, gaya hidup orang-orang , dan semua hal dari asing yang membahayakan akidah mereka.

Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: 

"Sesungguhnya al Imam( Khalifah) itu perisai dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan akan berlindung dari musuh akan kekuasaannya. ( HR Muttafaqun Alaih)

Berdasarkan dalil tersebut, khilafah akan menjawab pembentukkan atas kepribadian generasi melalui berbagai mekanisme, baik di dunia pendidikan maupun di luar pendidikan.

Dalam pendidikan, khilafah akan menerapkan pendidikan Islam yang memiliki kurikulum yang menghasilkan generasi berkepribadian Islam. Artinya, setiap anak didik dalam lembaga pendidikan Islam akan memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai syariat Islam. 

Anak-anak tidak akan terpengaruh dengan pemahaman, pemikiran, dan budaya asing yang mengarah pada sekularisme, kapitalisme, seperti perayaan Halloween dan sejenisnya. Sebab, mereka paham bahwa hal yang demikian itu termasuk tasyabuh lil kuffar atau menyerupai kaum kafir yang haram bagi seorang muslim untuk mengikutinya.

Dalam sistem pendidikan ini, anak-anak akan dibentuk menjadi sosok-sosok manusia yang peka terhadap permasalahan umat. Mereka juga akan dibekali dengan ilmu-ilmu alat sehingga bisa survive mengarungi kehidupan. Diharapkan nantinya dari sistem pendidikan Islan lahir generasi yang memahami bahwa kemuliaan hidupnya terletak pada sebagian besar hanya menghabiskan untuk Islam dan Kaum Muslimin. Mindset ini yang membuat mereka akhirnya fokus agar menjadikan diri mereka senantiasa terikat dengan hukum-hukum syariat tatkala mengembangkan potensi diri yang mereka miliki.

Pendidikan Islam juga akan menguak bobrok dan batilnya pemikiran Barat sehingga para generasi Islam akan meninggalkan dengan sendirinya ide-ide Barat. Selain itu, perlindungan Khilafah pada generasi terhadap ide-ide asing juga terwujud dengan adanya penjagaan media. 

Media dalam sistem Islam digunakan untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak (akhlakul karimah), serta menyebarkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, konten yang memuat segala yang merusak akhlak generasi dan agama akan dilarang untuk tayang.  

Selain itu, adanya kontrol masyarakat dalam naungan khilafah juga akan semakin menguatkan kepribadian Islam generasi. 

Maka, hanya sistem Islam yang sanggup membina generasi menjadi pribadi yang gemilang, sehingga mereka akan terhindar dari kejahatan tragis yang merebut nyawa dengan tidak wajar seperti sekarang ini. Wallahu A'lam.

Oleh: Ummu Faiha Hasna
Sahabat Tinta Media

Kamis, 03 November 2022

Belajar dari Kasus Itaewon, IJM: Kaum Muslim Jangan Terjerumus dalam Kegiatan Halloween!

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnu Wardana mengajak kaum Muslim untuk mengambil pelajaran dari kasus Itaewon.

"Kasus Itaewon ini adalah suatu bentuk pelajaran penting buat kita semua. Jangan sampai umat Muslim, anak-anak muda Islam terjerumus dalam kegiatan Halloween," tuturnya dalam acara Aspirasi Rakyat 'Ironi Halloween Itaewon' di kanal Youtube Justice Monitor pada hari Senin (31/10/2022).

Menurutnya, apalagi kegiatan Halloween itu menimbulkan korban jiwa. Sebagaimana dikabarkan bahwa pesta Halloween di Itaewon Korea Selatan telah menewaskan 153 orang dan 80 orang terluka. "Mati karena perbuatan yang buruk tentu sangat dijauhi dalam konteks Islam," ungkapnya. 

Agung membeberkan fakta tradisi Halloween bukan berasal dari Islam. Bahkan jauh dari konteks, konsep, dan peradaban Islam. Selain itu, simbol dan nama-nama terkait perayaan Halloween sama sekali tidak ada hubungannya dengan khazanah Islam. "Halloween identik dengan tradisi sekularisme," ujarnya.

Ia menyayangkan ketika ada saudara Muslim malah ikut-ikutan merayakan tradisi ini. "Foto bareng atau foto selfie dengan kostum Halloween. Apa motifnya? Sekadar iseng, ikut tren, hanya main-main?" serunya.

Ia pun mengingatkan supaya kaum Muslim tidak latah mengikuti hal yang belum tentu faedahnya. "Apalagi yang sudah jelas kesalahannya," tandasnya.

Jebakan 

Direktur Justice Monitor ini mengungkapkan, perayaan Halloween itu bagian dari produk budaya populer dan jebakan bagi kaum Muslim. "Budaya populer adalah budaya yang disukai banyak orang. Ukuran popularitas dalam hal ini bersifat kualitatif dan serba relatif," imbuhnya.

Ia pun menambahkan budaya populer tidak termasuk dalam hitungan budaya adiluhung. Termasuk budaya massa yang komersial dan membodohi banyak orang. "Budaya yang mencaplok mimpi-mimpi kita, mengemasnya, dan menjualnya kepada kita," jelasnya. 

Agung menegaskan budaya pop menjadi alat kapitalisme yang menciptakan kesadaran palsu di kalangan banyak orang. Budaya ini bergerak cepat, sampai-sampai tanpa sadar publik sukarela tunduk dengan logic of capital (logika proses produksi), dimana hal-hal yang dangkal dan cepat ditangkap, itu yang cepat laku. "Fenomena ini juga sering dijuluki dengan instant culture," tambahnya. 

Agung berharap agar generasi muda Muslim menyadari bahwa banyak jebakan yang bisa membuat mereka lengah dan kemudian terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang agama. Hal ini akan menjadi panduan ampuh agar kaum Muslim tidak terjerumus menjadi pembebek budaya Barat dan pengamal budaya buruk. 

"Karena kita sudah punya ilmunya. Ilmu yang bisa menuntun kita untuk menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Begitulah yang seharusnya dilakukan," pungkasnya.[] Lussy Deshanti Wulandari
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab