Tinta Media: Ironis
Tampilkan postingan dengan label Ironis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ironis. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 Februari 2024

Ironis, Harga Beras Makin Meringis di Negeri Agraris



Tinta Media - Negeri Agraris, julukan ini pernah tersemat untuk Indonesia. Bahkan negeri ini dulu juga pernah menjadi negeri yang berswasembada pangan termasuk beras di dalamnya.
Namun kini sungguh sangat ironis. Beras yang menjadi bahan makanan pokok penduduk negeri ini, kini sangatlah sulit untuk didapati, tersebab harganya yang melambung tinggi. Bahkan sempat menghilang di beberapa swalayan. Lantas mengapa kondisi ini bisa terjadi?

Tertinggi dalam Sejarah

Naiknya harga beras memang bukan hanya kali ini saja, sudah hampir dua bulan, tepatnya sejak awal tahun 2024 harga beras melonjak tajam. Namun, seperti dilansir oleh BBC News Indonesia (22/2/2024), kenaikan harga beras saat ini terbilang tertinggi dalam sejarah. Betapa tidak, beras yang biasanya bisa dibeli dengan harga 14 ribu per kilo, kini menyentuh angka 18 ribu per kilo, sungguh sebuah harga yang sangat "fantastis", untuk ukuran harga bahan makanan pokok penduduk yang dikonsumsi setiap hari tiga kali. Dan sungguh sebuah harga yang sangat mahal untuk makanan pokok rakyat yang seharusnya dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. 

Sebelum kenaikan ini, harga rata-rata beras di pasaran berkisar antara 10 ribu sampai 12 ribu per kilonya. Meski harga ini terbilang cukup mahal di beberapa kalangan, namun akses masyarakat untuk mendapatkannya tidak sesulit seperti saat ini. Di pasar-pasar, di swalayan, dan di beberapa toko yang  menjual beras, stok beras tampak cukup. Warga tidak perlu antre untuk mendapatkannya. 

Namun kini, kondisi itu telah berubah. Sama seperti ketika minyak goreng menghilang di pasaran, akhirnya masyarakat rela antre untuk mendapatkan minyak goreng tersebut. Kondisi ini pun terjadi saat ini, di beberapa wilayah, pemerintah setempat mengadakan operasi pasar untuk menjual beras dengan harga murah yang bisa dibeli dengan harga Rp. 51.000,- per kilogram (ibid). Artinya, harga beras yang dibeli oleh masyarakat adalah 10.200 per kilogramnya. Pertanyaannya, solutifkah operasi pasar yang dilakukan oleh pemerintah, untuk menyelesaikan mahalnya harga beras?

Tambal Sulam Sistem Ekonomi Kapitalis

Bila kita cermati, persoalan langkanya bahan pangan yang terjadi di negeri ini, termasuk beras di dalamnya, semua bermuara pada satu hal,  sistem ekonomi kapitalis. Sistem ini sejak awal kemunculannya, telah gagal dalam memetakan permasalahan ekonomi. 

Dalam sistem ekonomi kapitalis, persoalan ekonomi terletak pada kelangkaan barang dan jasa di tengah masyarakat. Sehingga, ketika keberadaan barang di tengah masyarakat langka, entah karena harga mahal dan lain sebagainya, maka penyelesaiannya adalah dengan memperbanyak ketersediaan barang tersebut. Hal ini dilakukan salah satunya dengan operasi pasar. Masyarakat bisa mendapatkan barang yang dibutuhkan  (dalam bentuk paket 5 kilogram, atau 5 liter, dst) dengan harga murah (5 kilogram bisa ditebus dengan harga 51 ribu). 

Namun persoalannya, tidak semua orang mampu mengikuti atau turut terlibat  dalam operasi pasar murah tersebut. Tidak semua orang memiliki uang 51 ribu saat itu untuk menebus harga beras 5 kilogram tersebut,  artinya, akses masyarakat untuk mendapatkan barang yang murah tersebut sangatlah terbatas. Dengan kata lain, hanya orang-orang tertentu saja, yang memiliki uang saja yang bisa mendapatkan barang atau kebutuhan pokok dengan harga "murah" tersebut. Lantas...bagaimana dengan warga masyarakat yang tidak memiliki uang dengan nominal 51 ribu tersebut, sementara dia dan keluarganya sangat membutuhkan beras untuk makan hari itu? Di sinilah tidak solutifnya sistem ekonomi kapitalis. Mereka hanya bicara pada tataran ketersediaan barang, dan melupakan distribusi barang tersebut. 

Sistem Ekonomi Islam Solusi Hakiki Selesaikan Kebutuhan Pangan

Islam sebagai aqidah ruhiyah wa siyasiyah, memiliki seperangkat aturan yang mampu menyelesaikan berbagai problematika umat, termasuk kelangkaan pangan di dalamnya.

Dalam Islam, pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat, yang keberadaannya menjadi tanggung jawab negara. 

Dalam sistem ekonomi Islam, permasalahan ekonomi terletak pada aspek distribusi, bukan hanya masalah produksi. Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, yang hanya mengutamakan aspek produksi, sehingga ketika pun barang melimpah, namun tidak mampu terakses oleh seluruh lapisan masyarakat karena rantai distribusi yang kacau. 

Dalam Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang berperan dan bertanggung jawab untuk memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat. Negara akan memastikan ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat aman, dan mampu terakses secara individu per individu. Alhasil, ketika stok pangan dirasa cukup, maka negara, dalam hal ini khalifah akan memastikan pendistribusian pangan tersebut sampai kepada warganya individu per individu, tua atau pun muda, kaya atau pun miskin. Semua akan dipastikan mampu mengakses setiap kebutuhan pokoknya masing-masing.

Ibarat seorang ibu, sistem ekonomi Islam, akan sangat detail memperhatikan pemenuhan kebutuhan setiap anak yang dia miliki. Tidak akan pernah seorang ibu mengabaikan atau memilah dan memilih  anak nomor berapa yang akan dia penuhi kebutuhannya, dan anak yang nomor sekian dia abaikan. Ibu akan sangat paham kebutuhan setiap anaknya, dan akan memastikan setiap anaknya terpenuhi seluruh kebutuhannya.

Hal ini bisa dilihat saat Abu Bakar RA menjadi Khalifah pertama kaum muslim, dengan penuh kasih sayang, dan tanggung jawab yang sangat luar biasa,  di saat malam yang dingin, beliau mengetuk setiap pintu rumah penduduk untuk membagikan selimut kepada warganya, agar mereka tidak merasakan kedinginan.

Demikian halnya dengan Khalifah kedua kaum muslim, sahabat Rasul yang bergelar Al-Faruq ini pun, mengikuti jejak Khalifah Abu Bakar, menunaikan tugasnya sebagai raa'in. 
Khalifah Umar Bin Khatab, salah satu kisahnya yang sangat masyhur, adalah pada saat beliau tengah "berkeliling" memastikan kondisi warganya  dalam keadaan baik-baik saja dan tidak kelaparan. Saat itu beliau mendapati seorang ibu yang tengah memasak air, sementara anaknya menangis karena lapar. Sang Khalifah pun bertanya kepada si ibu, apa gerangan yang tengah dimasaknya. Ibu tersebut menjawab, bahwa ia tengah memasak air, karena tidak punya makanan untuk dimasak. Seketika, Khalifah yang mulia itu langsung pergi ke dar addaqiq (rumah tepung) untuk mengambil sekarung gandum, dan langsung diberikan kepada ibu tersebut oleh tangannya sendiri. 

Maasyaa Allah...luar biasanya kepemimpinan seorang Khalifah di dalam Islam. Sangat kontras dengan apa yang terjadi saat ini. Ketika pun penguasa membagikan beras kepada  rakyat, namun itu karena ada maunya.

Alhasil, hanya sistem Islam yang menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk masalah pangan. 
Wallahu a'lam bishowwab.
[] 

Oleh: 'Aziimatul Azka 
(Aktivis Muslimah)

Minggu, 02 April 2023

Luhut Sebut Orang di Luar Pemerintahan Dilarang Banyak Bicara, IJM: Ironis dan Absurd

Tinta Media - Perkataan Menteri Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan bahwa 'pihak yang sering mengkritik penguasa tanpa landasan yang kuat dilarang banyak bicara karena mereka tidak pernah berada di pemerintahan dan merasakan sulitnya mengurusi pemerintahan' dinilai Direktur Indonesia Justice Monitor, Agung Wisnuwardana sebagai perkataan yang ironis, absurd, dan represif terhadap suara-suara kritis rakyat.

“Pernyataan Pak Luhut Binsar Panjaitan ini menurut saya ironis dan absurd, bahkan dinilai sebagai sebuah ancaman terhadap suara-suara kritis,” ungkapnya dalam program Aspirasi: Luhut Melakukan Represi Verbal? Di kanal YouTube Justice Monitor, Senin (27/3/2023)

Menurutnya, narasi Luhut itu represif verbal atau suatu narasi yang bermakna ancaman kepada publik. "Ancaman terhadap kebebasan mengkritik penguasa atau semacam ancaman kepada mereka, siapapun yang biasa melakukan kritik," ungkapnya. 

Hal ini, kata Agung,  juga menunjukkan semacam karakter otentik dari saudara Luhut Binsar Panjaitan yang cenderung anti kritik. “Represif itu akan menjadi berbahaya jika terus-menerus diproduksi oleh saudara Luhut Binsar Panjaitan,” sebutnya.

Sebab, ia beralasan, dampaknya bukan hanya menciptakan rasa takut publik untuk bersuara kritis tetapi juga bisa berdampak kepada hadirnya kebijakan negara yang merugikan rakyat secara luas karena minimnya kritik dari publik.

Padahal, imbuhnya, suara-suara kritis itu sangat diperlukan agar negara tidak salah langkah dan akan lahir kebijakan publik yang berkualitas.

 “Jadi, Pak Luhut ini, dengarkan nih nasihat kami! Pak Luhut ini perlu dikoreksi secara mendasar logikanya. Mungkin kalimat yang tepat itu Pak Luhut itu adalah Luhut sebagai orang dalam pemerintahan Jangan banyak bicara, kerja saja sana! Kerja! Kerja! Kerja!” nasehatnya kepada pak menteri.

Yang terakhir, ia memberikan nasehat pada pemirsa Justice Monitor agar tetap kritis dan jangan ragu walaupun mungkin represif secara verbal terus bermunculan. “Semangat untuk perubahan Indonesia yang lebih baik, dunia yang lebih baik,” pungkasnya.[] Wafi
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab