Tinta Media: Ironi
Tampilkan postingan dengan label Ironi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ironi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Januari 2024

Ritual Malam Para Caleg di Makam, Syirik dan Ironi Kepemimpinan



Tinta Media - Suasana jelang pemilihan umum (pemilu) semakin terasa dengan semakin semaraknya foto-foto para calon anggota legislatif (caleg) yang terpampang di pinggir-pinggir jalan. Ini merupakan wujud promosi kepada masyarakat, untuk memilih mereka menjadi wakil rakyat di pemerintahan. Beragam upaya dilakukan untuk memenangkan diri dalam pertarungan kontestasi politik pada Februari 2024 mendatang. 

Tak hanya memasang foto, para caleg ini pun ternyata melakukan ritual di makam keramat. Melansir dari liputan6.com (8/12), para caleg melakukan wisata religi mengunjungi makam-makam di heritage Bukit Siguntang Palembang. Terdapat 7 unit makam di Wisata Bukit Siguntang Palembang, yang merupakan keturunan dari raja-raja di masa Kerajaan Sriwijaya. 

Menurut keterangan dari salah satu juru kunci Wisata Bukit Siguntang, biasanya tiap bulan Desember jelang Pemilu, banyak caleg yang datang. Mereka datang untuk berziarah dan mengirimkan doa kepada para leluhur, yang dipercaya sakti mandraguna di masanya. Ada yang berasal dari Palembang, Prabumulih, Ogan Ilir, Baturaja, Muara Enim, Bengkulu, dan Jakarta. Tak hanya itu, beberapa negara Asia, seperti Malaysia dan Singapura pun turut hadir ke Wisata Bukit Siguntang ini. 

Sekularisme Mengakar 

Sungguh, apa yang dilakukan para caleg adalah buah dari sekularisme yang mengakar. Mereka menormalisasi adanya kesyirikan, menjauhkan sikap dan perbuatan sesuai dengan norma agama. Lihat saja, demi meraih kekuasaan, para caleg rela menggunakan segala cara untuk menang dalam pemilu 2024 mendatang, termasuk dalam kunjungan ke makam-makam keramat. 

Terlebih, mereka melaksanakan tradisi nyeleneh untuk mewujudkan keinginan, seperti mengukur panjang kedua tangan yang dibentangkan di sebilah bambu dan dipasang tanda menggunakan karet. Beberapa hari kemudian, mereka datang lagi dan mengukur kembali bentangan tangan ke tanda karet yang dipasang sebelumnya. Jika batasannya melebihi, mereka percaya jika keinginannya akan terkabul. Selain itu, mereka juga melakukan do'a di atas makam keramat. Bahkan, disebut juga ada yang sampai membawa orang pintar dengan menggelar ritual-ritual aneh yang tak sesuai syari'at Islam. 

Menyedihkan memang, sekularisme telah mengikis habis akidah (keimanan) seseorang, termasuk dalam diri para caleg yang notabene kelak akan memimpin kehidupan rakyat. Namun, karena agama dipisahkan dari kehidupan, perbuatan yang dilakukan tidak berlandaskan halal dan haram, tetapi berlandaskan manfaat dan hawa nafsu semata. Demi tercapainya hasrat kepemimpinan, mereka rela melakukan apa saja, termasuk melanggar norma-norma agama. 

Jika masih menjadi kandidat saja sudah banyak melakukan kemaksiatan, bagaimana wujudnya jika amanah kepemimpinan sudah diserahkan ke pundaknya? Negara seperti apa yang akan diwujudkan? Pengurusan rakyat yang seperti apa yang akan dilakukan? 

Bisa dikatakan, para caleg sendiri sebenarnya sudah bingung ingin menang dengan cara apa. Mereka sendiri sadar bahwa tidak ada nilai yang membuat mereka percaya diri untuk menang. Karena faktanya, tak sedikit para kandidat caleg yang sebenarnya tidak memahami peran dan kepemimpinan. Bahkan, yang selama ini tidak dikenal track recordnya dalam kepemimpinan pun berani unjuk gigi dalam kontestasi pemilu. Waduh, kok bisa, ya? 

Itulah realitas yang terjadi jika kita hidup dalam sistem demokrasi yang menganut sistem sekuler. Jabatan kepemimpinan itu bak surya yang menyilaukan mata. Kedudukan dipandang sebagai tempat meraih pundi-pundi materi. Bayangkan saja, modal untuk masuk ke dalam dunia politik saja sudah besar. Tak heran jika yang baru saja menjabat bisa terjerat kasus korupsi untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkannya tadi. 

Pahami Urgensi Kepemimpinan 

Sesungguhnya, di dalam Islam, manusia tidak boleh mengemban paham sekularisme. Karena itulah, agama penting bagi kehidupan manusia. Buah dari agama adalah syari'at sebagai pijakan manusia dalam berbuat. 

Islam memandang kepemimpinan adalah amanah yang berat tanggung jawabnya, bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi saw. 

“Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat, lalu mati dalam keadaan dia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dia.” (HR Bukhari) 

Seorang pemimpin wajib menjaga akidah (iman) rakyat agar tetap lurus di jalan Allah Swt. Tak hanya itu, pemimpin dalam Islam juga wajib menjamin ketersediaan kebutuhan rakyat, seperti sandang, pangan, dan papan. Demikian juga pendidikan, keamanan, dan kesehatan. 

Mengutip dari laman Muslimah News, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa seorang pejabat negara harus memiliki tiga kriteria penting, yaitu al-quwwah (kekuatan); at-taqwa (ketakwaan); dan al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat). 

Disebutkan bahwa ketakwaan adalah pilar penting yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dia akan sadar bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dilihat oleh Allah Swt. dan kelak Allah Swt. akan memberikan balasan. Ketakwaan menjadikan para pemimpin senantiasa berhati-hati dalam berbuat. Sehingga, ia tidak akan mungkin berbuat maksiat karena iman dan takwa ada dalam dadanya. Dia sadar bahwa maksiat menghantarkannya ke dalam neraka. 

Apalagi, berbuat syirik, berharap dan bergantung pada selain Allah Swt. merupakan dosa besar. Pelakunya mendapatkan ancaman masuk neraka. Allah Swt. berfirman, 

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48). 

Sungguh, pemimpin yang bertakwa, yang senantiasa berpegang teguh pada al-Qur'an dan As-Sunnah harus segera diwujudkan, yakni dengan menjalankan ketakwaan individu, masyarakat, sampai ke level negara. Negara yang dimaksud adalah bukan negara demokrasi yang menihilkan peran agama, tetapi negara yang berpegang teguh pada hukum Allah Swt, yakni sistem Islam. 
Wallahua'lam bisshawab.


Oleh: Ismawati
Aktivis Muslimah Banyuasin

Sabtu, 10 Desember 2022

Ironi, Negara Agraris Pecandu Impor Beras

Tinta Media - Kebijakan impor beras ibarat rutinitas tahunan di Indonesia. Ironis, sebab negeri ini dikenal sebagai negara agraris, bahkan sejak masa kolonial penjajahan. Harapan swasembada pangan hanyalah ilusi yang digaungkan oleh setiap rezim yang berkuasa. Faktanya, impor beras terus berlanjut meski sebenarnya justru merugikan petani pribumi. 

Baru-baru ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, alias Zulhas, buka suara mengenai ketersedaiaan beras dalam negeri. Zulhas berujar bahwa persediaan beras di Bulog tidak boleh kurang dari 1,2 juta ton. Ketersediaan pasokan ini menjadi penting karena bisa berpengaruh terhadap inflasi pangan. Kondisi ini berbeda dengan komoditas lain, seperti cabai dan bawang. 

“Beras kalau naik Rp10 saja bisa berpengaruh pada inflasi hingga 3,6 persen. Kalau cabai atau bawang naik, pengaruhnya cuma 0,1 persen," ujar politikus Matahari Putih tersebut.  

Dia mengatakan pemerintah belum mengambil keputusan impor. Namun, Bulog sudah membeli beras di luar negeri.

"Belinya sudah, impornya belum,” ujar Zulhas ketika ditemui wartawan di The Westin Hotel Jakarta, Selasa, 29 November 2022 (tempo.com, 29/11/2022).

Pernyataan mendag tersebut merupakan respon dari kabar tirisnya ketersediaan pasokan beras di gudang bulog. Kondisi ini pertama kali dikeluhkan oleh para pedagang Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Pasalnya, pasokan beras dari Bulog per harinya berkurang dari 3000 ton menjadi hanya sekitar 150 ton saja.

Persoalan impor beras bukan persoalan baru bagi Indonesia. Hampir setiap tahun Indonesia rutin mengimpor beras dari negara lain. Anehnya, tidak ada solusi apa pun, bahkan setelah puluhan tahun berlalu. Siapa pun presiden dan menterinya, kebijakannya tidak jauh berbeda. Solusinya adalah impor beras, dan hal ini tidak pernah dianggap sebagai masalah besar. Impor justru dianggap tindakan yang baik dan harus dilakukan. Padahal, faktanya petani pribumi harus menanggung dampak yang tidak menyenangkan, yaitu anjloknya harga gabah.

Polemik impor beras ini sesungguhnya tidak perlu terjadi berlarut-larut apabila pemerintah serius dalam melakukan pengelolaan pertanian di Indonesia. Swasembada beras sebenarnya bukanlah hal yang amat jauh untuk dicapai mengingat Indonesia beriklim tropis dengan lahan yang subur membentang sangat luas di seluruh negeri. Namun sayang, hal ini tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik dan efisien, sehingga swasembada beras hingga saat ini hanya menjadi mimpi.

Bulog sendiri adalah sebuah badan yang bertanggung jawab atas stok beras negara. Tugasnya adalah menyerap hasil panen para petani untuk dijadikan cadangan pangan dalam negeri. Teorinya memang bagus, tetapi pada prakteknya, Bulog membeli hasil panen petani dengan harga yang lebih rendah daripada swasta sehingga petani pun enggan menjual hasil panennya kepada pemerintah. Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi. Penyerapan hasil pertanian dalam negeri, apalagi menyangkut makanan pokok rakyat, harusnya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.

Lebih ironis, untuk menjamin stok beras di gudang bulog, pemerintah memutuskan untuk membeli beras dari luar negeri. Bukan hanya tidak bijaksana, tapi kebijakan semacam ini sangat melukai hati para petani. Belum lagi petani harus dihadapkan dengan persoalan mahalnya harga pupuk. Tidak heran jika produksi beras kian menurun. Keterpurukan Ini adalah wujud dari keputusasaan petani yang tidak kunjung sejahtera, padahal hidup di dalam negara agraris.

Lalu mengapa pemerintah memilih impor dibandingkan membeli dari petani sendiri? Apakah harga beras luar negeri lebih murah daripada dalam negeri? Jawabnya iya. Biaya produksi padi di Indonesia memang tergolong tinggi. Di antaranya biaya irigasi dan pupuk di Indonesia tergolong sangat mahal, sehingga petani mau tidak mau harus memasang harga yang sesuai agar tidak merugi. Namun, masalah biaya produksi yang tinggi ini adalah masalah sistemik yang tidak bisa diselesaikan oleh para petani sendiri. Pemerintahlah yang seharusnya memberi solusi, bukan malah membeli beras dari luar negeri.

Impor beras ekstrem pada akhirnya bisa menimbulkan kerugian dan bahaya besar bagi Indonesia. Dampak paling berbahaya dari adanya impor beras adalah para petani di desa bisa mogok menanam padi. Para petani bila terus mengalami kerugian pastinya akan mencari alternatif lain selain dari menanam padi. Jika hal itu terjadi, Indonesia akan kehilangan stabilitas dan kedaulatan pangan. Bukan tidak mungkin, Indonesia akan bergantung pada negara lain dalam hal makanan pokok. Tentu ini sangat berbahaya.

Negara luar yang menjadi langganan impor beras Indonesia, seperti Vietnam dan Thailand, bisa saja menaikkan harga beras secara sepihak. Sebab pada setiap bisnis, pasti terdapat intrik politik. Thailand dan Vietnam akan melihat dan memperhitungkan kondisi Indonesia. Jika para petani benar-benar mogok menanam padi, maka bukan tidak mungkin kedua negara tersebut akan menggenjot harga menjadi lebih mahal. Jadilah negara kita kelimpungan untuk membeli beras. Maka benar adanya, bahwa swasembada pangan sangat penting bagi suatu negara.

Indonesia adalah negara agraris karena memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan iklim yang mendukung. Namun, masalah impor beras nyatanya sudah terjadi selama bertahun-tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 2000 hingga 2019 tercatat bahwa Indonesia selalu impor beras. Dalam rentang waktu tersebut, pemerintah paling banyak mengimpor beras pada tahun 2018 yakni hingga mencapai 2.253.824,5 ton atau setara US$ 1,03 miliar (solopos.com, 23/03/2021). Beras sebanyak itu diimpor dari sekitar tujuh negara, yakni Vietnam, Thailand, China, India, Pakistan, Myanmar, dan lainnya. 

Hobi impor beras yang bagai candu bagi pemerintah ini, mencerminkan buruknya sistem pengelolaan negara. Persoalan ini menunjukkan adanya kegagalan perencanaan penyerapan beras cadangan dan buruknya koordinasi berbagai pihak terkait, baik pemerintah, petani maupun swasta. Selain itu, sistem ekonomi kapitalisme memunculkan kebijakan pengelolaan pangan yang tidak berpihak pada rakyat. Kebijakan ekonomi hanya memperhitungkan untung rugi kaum kapital, bukan kemaslahatan seluruh rakyat. 

Keterpurukan semacam ini tidak akan terjadi apabila diterapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam semua lini kehidupan, termasuk tata kelola pertanian. Islam memiliki sistem pengelolaan yang terbaik, yang akan menjamin ketersediaan cadangan pangan oleh negara dan melindungi petani beras sehingga dapat berproduksi  optimal.

Dunia Islam di masa kekhalifahan tercatat telah menguasai teknologi pangan yang lebih maju dari peradaban lain, bahkan dengan Barat sekalipun. Islam memandang pertanian merupakan tiang utama dalam ketahanan sebuah negara, maka segala proses pertanian akan sangat diperhatikan. Pemerintah Islam akan menyediakan anggaran yang memadai untuk mendukung petani dalam menyediakan benih berkualitas, teknologi canggih, dan mempermudah penyediaan penunjang pertanian yang baik seperti pupuk dan pestisida.

Negara dalam sistem Islam juga akan mengatur pasar sedemikian rupa agar ramah bagi para petani dalam negeri. Impor tidak akan dilakukan selama petani dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan pasar. Dengan begitu, hasil panen petani akan dihargai dengan pantas. Kesejahteraan dan keberkahan hidup petani dan seluruh rakyat hanya bisa terwujud dalam sistem Islam. 

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al-A'raf ayat 96. "Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan". (QS. Al-A’raf: 96)

Oleh: Dinda Kusuma Wardani T
Sahabat Tinta Media

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab