Tinta Media: Investasi
Tampilkan postingan dengan label Investasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Investasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 November 2023

Pamong Institute: Setidaknya Ada Tiga Kebijakan yang Melahirkan Kezaliman di Rempang


 
Tinta Media—Direktur Pamong Institute, Drs.Wahyudi Al-Maroky  menyebut setidaknya ada tiga kebijakan yang melahirkan kezaliman berlapis di Rempang.
 
“Pertama, kebijakan investasi tidak pro rakyat tapi ada dugaan pro oligarki sehingga masyarakat belum tentu untung  tapi kerugian sudah pasti,”  tuturnya di Bincang Perubahan: Negara Wajib Lindungi Pulau Rempang, melalui kanal  Youtube Bincang Perubahan, Selasa (14/11/2023).
 
Kedua, sebutnya, kezaliman. Masyarakat yang seharusnya memiliki legalitas tanah sebagaimana yang dijanjikan Pak Jokowi, tapi legalitas itu tidak diberikan sampai sekarang. Mungkin ada satu dua yang dapat, tetapi banyak yang tidak dapat.
 
“Ketiga, ini yang paling fatal. Kalau menurut saya ada kezaliman verbal yang dilakukan oleh pejabat, misalnya dengan diksi akan dipiting, di buldoser. Jadi baru mendengar kalimatnya saja sudah merasa terzalimi. Padahal penguasa yang baik itu kalaulah belum bisa menyejahterakan, belum bisa mencerdaskan, minimal jangan menyakiti dengan kata-kata,” harapnya.

Terakhir Wahyudi mengajak para penguasa untuk belajar dari sejarah pemerintahan Islam di masa khalifah Umar bin Khaththab yang menggagalkan rencana penggusuran satu rumah warga Yahudi demi untuk pembangunan masjid karena sang pemilik rumah tidak rela rumahnya digusur.
 
Ia mengutip hadis Rasulullah saw.“Barangsiapa yang mengambil hak orang lain walau hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan ke lehernya (pada hari kiamat) seberat tujuh lapis bumi,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.

Forum Peduli Umat: Warga Rempang Tidak Menolak Investasi


 
Tinta Media - Dwi Tjahyo S., S.H., M.H. mewakili Forum Peduli Umat untuk Rempang Batam yang terjun langsung menemui warga Rempang dan Kampung Tua menegaskan bahwa warga Rempang tidak menolak investasi.
 
“Warga Rempang  tidak menolak investasi  sepanjang warga diberikan tempat tinggal layak dan masih bisa hidup sebagai nelayan,” ungkapnya di Bincang Perubahan: Negara Wajib Lindungi Pulau Rempang, melalui kanal  Youtube Bincang Perubahan, Selasa (14/11/2023).
 
Namun Ia menyayangkan, pemerintah di dalamrencana merelokasi warga Rempang tidak sesuai dengan harapan warga.
 
“Mereka berharap meski direlokasi tapi tetap bisa melaut sebagai mata pencaharian yang sudah digeluti selama ratusan tahun,” imbuhnya.
 
Apalagi, lanjutnya, Kampung Tua yang terdiri 16 desa sudah diberi SK oleh Walikota Batam SK No. 105/HK/lll/2004 tentang penetapan Kampung Tua sebagai perkampungan yang perlu dilestarikan.
 
“Saya ragu apakah investasi ini untuk kepentingan negara dalam arti untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat atau untuk kepentingan oligarki?” tanyanya.
 
Ia menambahkan, kalau investasi di Rempang untuk kepentingan oligarki maka sampai kapan pun masyarakat tetap miskin bahkan bisa lebih miskin lagi. [] Irianti Aminatun.

Rabu, 04 Oktober 2023

Pakar: Dalam Sistem Ekonomi Kapitalis, Investasi Hanya Alat Eksploitasi




 Tinta Media - Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim mengungkapkan bahwa di dalam sistem ekonomi kapitalis, investasi hanya sebagai alat eksploitasi.
 
"Dalam sistem ekonomi kapitalis investasi dengan prinsip kebebasan kepemilikannya dijadikan oleh negara-negara kapitalis itu sebagai alat eksploitasi," ujarnya di Kabar Petang: Liberalisasi Investasi Bahayakan Rakyat? Jumat (29/9/2023) di kanal Youtube Khilafah News.
 
Bahkan menurutnya, investasi asing sekarang berubah menjadi alat penjajahan untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada dinegara-negara berkembang.
 
"Dengan prinsip kebebasan hak miliknya, mereka (investor) tujuan utama itu mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempedulikan dampak negatifnya," kesalnya.
 
Jadi, ucapnya,  jika diperhatikan investasi yang sekarang terjadi dengan paradigma kapitalis dengan kepemilikan kebebasan, swasta mampu mengeksploitasi sumber daya alam yang ada, yang terjadi bukan memberikan dampak positif terhadap rakyat tapi justru memberikan dampak negatif.
 
Oligarki
 
Bung Arim sapaannya juga menyampaikan bahwa paradigma sistem kapitalis hanya menguntungkan oligarki, hanya menguntungkan para pemodal kapitalis.

“Dengan prinsip kebebasan kepemilikannya, para oligarki hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya. Dampak negatifnya  tidak bisa dikendalikan, akhirnya rakyat yang  dikorbankan.  Bahkan bukan hanya  rakyat, negara juga dikorbankan karena yang masuk ke negara tidak sebanding dengan kerusakan alam yang harus ditanggung," ucapnya.

Menurutnya, investasi adalah awal penjajahan baru, dari penjajahan fisik beralih menggunakan penjajahan ekonomi.

“Investasi  asing merupakan  salah satu sarana penjajahan. Namanya penjajahan tidak mungkin menguntungkan rakyat,” tegasnya.

Ia mengungkap fakta bahwa aparat kepolisian, tentara, kadang  menjadi alat perpanjangan para kapitalis untuk menggusur rakyat. “Belum lagi limbah dan kerusakan lingkungannya,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Kamis, 28 September 2023

Demi Investasi, Warga Rempang Harus Angkat Kaki

Tinta Media - Malangnya Indonesiaku, konflik perebutan tanah antara rakyat dan penguasa kembali ramai di media sosial. Luka belum sembuh, kini sudah ada luka baru. Teringat peristiwa Wadas pada Selasa (8/2/2022) yang diramaikan oleh tagar #WadasMelawan, #SaveWadas, hingga #WadasTolakTambang. 

Saat ini, warga Rempanglah yang menjadi korban berikutnya. Bentrok antara penduduk di Pulau Rempang dengan aparat keamanan pun tak dapat dihindarkan dan menjadi sorotan banyak pihak. 

Konflik ini dipicu akibat rencana pengembangan kawasan industri baru, proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang dan Galang, Batam.

Dilansir dari Kompas.com (8/9/2023), konflik ini dimulai ketika sekelompok warga memblokir jalan ketika tim gabungan hendak melakukan pengukuran lahan untuk memasang patok di sekitar Pulau Rempang. Keributan pecah ketika warga merobohkan pohon dan membakar sejumlah ban di akses jalan masuk, sementara pihak aparat kepolisian mulai menembakkan gas air mata. 

Bentrok antara pihak kepolisian dengan warga pun tak bisa dihindari. Pihak aparat secara membabi buta menembakkan gas air mata kepada warga. Banyak warga yang terluka dan diamankan, bahkan beberapa pelajar harus dilarikan ke rumah sakit. Anak-anak sekolah dasar harus merasakan trauma saat berangkat ke sekolah, dan masih banyak korban lainnya. 

Jika melihat tragedi ini, benarkah rencana pembangunan proyek pabrik kaca terbesar di Indonesia dengan investor Cina tersebut dilakukan untuk kepentingan rakyat? Bukankah ini yang dinamakan demi investasi rudapaksa, rakyat sendiri harus angkat kaki? 

Semua ini terjadi karena sistem negara yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, pada praktiknya ada di tangan para oligarki. Paradigma kekuasaan negeri ini berlandaskan asas sekularisme kapitalisme neoliberal yang menuhankan kapital dan kebebasan. 

Negara hanya bertindak sebagai regulator (pengatur) kepentingan para korporasi. Jadilah negeri ini negeri korporatokrasi (pemerintahan perusahaan) bentuk pemerintahan yang kewenangannya telah didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Penguasa abai dalam mengurus, apalagi melindungi (jiwa) rakyat, termasuk soal kepemilikan lahan dan segala yang menyangkut hajat hidup serta kemaslahatan orang banyak.

Dengan konflik Rempang ini, negara makin rapuh. Kerapuhan ini terjadi karena negara menjadi kaki tangan pengusaha dan investor, serta mengorbankan rakyat. Negara yang menerapkan sistem demokrasi telah menjadikan penguasa membela pemodal sebagai konsekuensi dari menjunjung tinggi kebebasan kepemilikan. 

Konsekuensinya, fungsi negara yang seharusnya mengurusi dan melindungi rakyat makin jauh dari harapan. Tidak ada perlindungan dari negara, malah rakyat merasa dizalimi. Inilah wajah negara sekuler sebenarnya.

Lalu, bagaimana Islam mengatasinya? Dalam Islam, kekuasaan dan kepemimpinan itu merupakan amanah yang wajib ditunaikan oleh penguasa karena akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sehingga, setiap penguasa akan takut jika kebijakannya membuat rakyat menderita, terutama menyangkut hak kepemilikan lahan. 

Dalam sistem pemerintahan Islam, amanah kepemimpinan sepaket dengan penerapan aturan Islam yang mengatur segala aspek kehidupan. Salah satunya mengenai status kepemilikan lahan. Lahan hunian, pertanian, ladang, kebun, dan lahan-lahan yang telah ditempati merupakan kategori lahan milik individu/pribadi. Hutan, tambang, dan lautan merupakan lahan milik umum. Lahan kosong yang belum dihuni atau dikelola merupakan lahan milik negara.

Berdasarkan pembagian ini, maka negara tidak boleh membuat kebijakan melegalisasi perampasan hak lahan milik individu atau umum. Sedangkan lahan-lahan milik umum, Islam menetapkan pengelolaannya diserahkan pada negara untuk kemaslahatan rakyat. 

Jaminan optimalisasi pemanfaatan lahan semua diatur dalam UU Daulah yang telah disesuaikan dengan hukum syara. Seperti, aturan bagi siapa saja yang telah menelantarkan tanah miliknya selama tiga tahun maka ia akan kehilangan hak kepemilikan. Bagi siapa yang mengelola kembali lahan yang terlantar (tidak tampak pemiliknya selama tiga tahun), maka tanah itu menjadi miliknya.

Sifat para Khalifah yang takut untuk mengambil hak rakyat merupakan bentuk ittiba’ mereka terhadap Rasulullah saw.

“Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapisan bumi pada hari kiamat nanti.” (HR Muslim)

Seperti pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau kerap melakukan inspeksi untuk memastikan kesejahteraan, keadilan, dan keamanan warganya. Saat itu, beliau pun dengan tegas menegur Gubernur Mesir Amr bin Ash ketika berencana menggusur gubuk reot milik kakek Yahudi untuk proyek perluasan Masjid. Padahal, sebelumnya, Amr bin Ash telah berdiskusi secara baik-baik dengan kakek Yahudi tersebut, bahwa gubuknya akan dibeli dan dibayar dengan harga dua kali lipat.

Nasihat pahit dari Khalifah Umar membuat Amr bin Ash menangis dan menyesali perbuatannya. Kemudian, ia langsung membatalkan rencana penggusuran gubuk milik Yahudi tersebut. Itulah, keadilan hukum Islam yang pernah diterapkan selama berabad-abad.[]

Oleh: Nur Mariana Azzahra, Aktivis Dakwah

Rabu, 27 September 2023

Mewaspadai Imperialisme Gaya Baru Berkedok Investasi


Tinta Media - Negara harusnya hadir untuk melindungi rakyatnya dari bentuk imperialisme gaya baru dengan kedok investasi merampas hak milik rakyat. Imperialisme gaya baru mengusir rakyat dari tempat tinggalnya yang sudah ditempati bahkan sebelum negara ini ada. Mereka harus pindah untuk alasan pembanguan yang bukan untuk rakyat, tapi oligarki. Rempang adalah bukti nyata bahwa negara tidak lagi berpihak pada rakyat, tapi membuka jalan masuknya bentuk imperialisme gaya baru yang ingin menguasai negeri ini dengan dalih investasi.

 

Rakyat melawan dan harus berhadapan dengan penguasa yang harusnya melindungi mereka. Pemimpin memposisikan sebagai musuh rakyatnya sendiri demi oligarki. Apalah artinya pembanguan dan kemajuan jika rakyat tidak bisa merasakan kesejahteraan. Banyak pembangunan infrastruktur tapi semua yang merasa hanya segelintir orang. Dan yang pasti diuntungkan pemilik modal, oligarki.

 

Kapitalisme semua bisa dimiliki oleh oligarki. Sementara rakyat hanya mendapatkan remah-remah roti, dengan nilai yang tidak seberapa. Kekayaan dieksploitasi yang hanya menyisakan hutang yang terus bertambah dan menjadi beban generasi. Penguasa rakus dan haus kekuasaan hanya berfikir kepentingan mereka sendiri dan kelompoknya. Mereka tidak perduli dengan nasib anak cucu mereka nanti. Itulah demokrasi saat kekuasaan dijadikan tujuan, sehingga segala cara dilakukan meskipun harus mengorbankan rakyat sendiri.

 

Merampas lahan milik rakyat secara zalim haram hukumnya dalam Islam meskipun demi alasan pembangunan. Bahkan dalam sebuah kisah, Khalifah Umar mengingatkan gubenurnya untuk membatalkan penggusuran yang dilakukan terhadap warga Yahudi meskipun untuk perluasan pembangunan masjid dan sudah mendapatkan ganti rugi. Jika rakyat tidak mau disuruh pindah dari tempat tinggalnya apapun alasannya, negara tidak boleh menggusur mereka apalagi jika dilakukan secara paksa dan dengan ancaman serta kekerasan. Lalu apa bedanya negara dengan penjajah jika keduanya ingin menguasai tanah milik rakyat yang menjadi tempat tinggal dan sumber mata pencaharian mereka.

 

Satu konflik penggusuran terhadap satu orang saja, seorang Khalifah dengan tegas  memberi peringatan keras untuk membatalkannya. Padahal dalam kasus Rempang, tidak hanya satu kampung, penguasa tidak berdaya bahkan untuk menolaknya keinginan dan ambisi oligarki untuk mendirikan sebuah kota impian dan perusahaan yang bisa menghasilkan keuntungan besar. Rakyat dikorbankan, tapi negara tidak berbuat apa-apa untuk melindungi dan menyelamatkan mereka.

 

Mewaspadai Imperialisme gaya baru, rakyat harus bersatu untuk menolak dan melawan berbagai bentuk pengusiran dan relokasi masyarakat pribumi dari negeri mereka sendiri dengan alasan investasi. Sebuah kota dibangun bukan untuk penduduk pribumi, tapi orang asing yang akan tinggal disana dengan berbagai fasilitasnya Tidakhah kita menyadari bahwa penjajahan gaya baru sudah mulai dan api perlawanan sudah ditunjukkan oleh masyarakat Rempang. Jangan biarkan api semangat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kebenaran hakiki padam. Semoga para pemimpin terbuka hati mereka untuk membela negeri mereka dari penjajahan gaya baru, bukan malah menjadi antek-antek para penjajah dengan dalih investasi dan demi pembangunan bukan untuk rakyat tapi oligarki.

 

Stop segala bentuk penjajahan di muka bumi ini dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan, karena Islam mengharamkan perampasan lahan umat dengan dalih apapun. Islam mengdorong rakyat untuk menghidupkan lahan mati dan memanfaatkan untuk kesejahteraan mereka, bukan untuk diserahhan ke asing dan kepentingan oligarki. Pemimpin harusnya berfikir untuk kepentingan rakyat, bukan hanya mempertahankan kekuasaan. Sungguh, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat adalah ide utopis dari sistem demokrasi. Saatnya kembali pada Syariat Allah yang menciptakan alam, semesta dan hidup agar kehidupan Islami bisa terwujud menggantikan sistem sekuler demokrasi yang rusak.

 

 Oleh: Mochamad Efendi

 Sahabat Tinta Media 

 

 

Rabu, 20 September 2023

Faisal: Konstruksi Hukum Investasi Rempang Eco-City Cacat

Tinta Media - Penulis Buku Republik Investor Faisal S. Sallatalohy, SK.M., M.H. menilai konstruksi hukum dalam investasi Rempang Eco-City cacat karena tidak memiliki alas hukum yang sah terkait pembebasan lahan Rempang.

“Pembebasan lahan Rempang untuk proyek Rempang Eco-City ini jelas cacat karena tidak memiliki alas hukum yang sah terkait pembebasan lahan Rempang,” ulasnya kepada Tintamedia.web.id, Ahad (17/9/2023). 

Setidaknya, menurut Faisal ada tiga alasan kenapa cacat hukum. Pertama, BP Batam (Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam) belum memiliki Sertifikat HPL (hak pengelolaan) yang diterbitkan Kementrian Agraria. 

“BP Batam baru mengantongi SK sementara. Penerbitan SK bersyarat itupun hanya untuk 600 ha lahan Pulau Rempang. Dan ingat, SK Sementara tidak bisa menjadi alas hukum bagi BP Batam paksa warga kosongkan lahan. Harus dipenuhi syarat clean and clear dengan warga dulu. Setelah semua syarat dipenuhi, terbit Sertifikat HPL, baru BP Batam bisa perintahkan warga kosongkan lahan,” urainya. 

Namun kenyataannya, lanjutnya, belum kantongi sertifikat HPL, BP Batam sudah paksa warga kosongkan lahan. “Jelas melanggar hukum!,” ujarnya geram. 

Ia menyebutkan dalam SK sementara, BP Batam hanya kuasai 600 ha lahan pulau Rempang. Sementara dalam perencanaan proyek, disebutkan kebutuhan lahan 17.000 ha yang dimanfaatkan. Ia pun mempertanyakan 16.400 ha lahan sertifikatnya HPL-nya di mana. 
 
Berikutnya, dari total 17.000 ha kebutuhan lahan Eco-City, 7.500 ha lahan diperuntukan untuk proyek PT Gorup Xinyi. Lagi-lagi ia mempertanyakan tanah yang dikuasai BP Batam lewat penerbitan SK sementara hanya 600 ha, kurang 6.900 ha (600 ha - 7.500 ha = 6.900 ha, namun tidak ada SK HPL-nya.

Kedua, dari 17.000 ha lahan dimaksud, SK sementara yang dikantongi BP Batam hanya 600 ha. Selebihnya, 16.400 ha itu lahan hutan, secara hukum ini tidak bisa diterbitkan HGU-nya. 

“Artinya, pelaksanaan Proyek Rempang Eco-City adalah bentuk izin pemerintah kepada BP Batam, PT MEG, dan Xinyi Group membangun proyek tanpa HGU (Hak Guna Usaha) di lahan hutan Pulau Rempang,” tandasnya. 

Ketiga, ada kekeliruan soal kesepakatan pemanfaatan lahan untuk proyek “Rempang Eco-City” yaitu pelanggaran kesepakatan proyek BP Batam, Pemkot dan PT MEG di tahun 2004. 

“Rekomendasi DPRD adalah untuk Kawasan Wisata Terpadu Eklsusif (KWTE) tanpa relokasi penduduk Kampung Melayu Tua. Kenapa sekarang mendadak yang disiapkan adalah Proyek “Rempang Eco City”? Kesepakatannya apa? Eksekusinya apa?” tanyanya. 

Ia menjelaskan bahwa perubahan perencanaan proyek wajib dibarengi penerbitan perizinan baru termasuk amdal dan feasibility study tersendiri. “Jika tanpa perubahan izin, alias masih tetap menggunakan izin lama, maka PT MEG adalah perusahaan yang cacat hukum untuk beroperasi di Rempang,” tegasnya. 

Ia juga menyayangkan pemerintah yang semakin arogan menindas rakyat dan mendesak pengosongan lahan. Termasuk tingkah laku biadab pemerintah dan aparat yang menguat karena adanya sinyal Xinyi Group akan mencabut komitmen investasi jika persoalan pembebasan lahan tidak selesai sesuai waktu yang ditentukan. Maka itu, ia meminta seluruh masyarakat Indonesia harus bersatu melawan penjajahan dan perampasan lahan hidup masyarakat Pulau Rempang yang diinisiasi oleh pemerintah Indonesia.
  
“Masyarakat jangan lemah. Terutama warga adat Melayu Islam Pulau Rempang. Tanah itu hak dan milik mereka. Terus pertahankan. Makin kuatkan perlawanan terhadap pemerintahan "babu asing". Bertahan apapun yang terjadi,” tutupnya.[] Erlina

IJM: Kasus Rempang, Perampasan Hak Rakyat demi Kepentingan Investasi

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai kasus Rempang merupakan perampasan hak rakyat demi kepentingan investasi.

"Kasus Rempang ini menunjukkan perampasan hak rakyat demi kepentingan investasi," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (13/9/2023).

Ini sangat nyata, ujarnya, sangat terlihat dalam proses yang dilakukan oleh penguasa hari ini, baik dari tingkat pusat, provinsi, maupun kota, dalam hal ini Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Menurutnya, ketika masyarakat tidak memiliki sertifikat, pemerintahlah yang berkewajiban memberikan sertifikat. Bukan malah dijadikan delik untuk menyingkirkan mereka.

"Kita paham masyarakat Pulau Rempang itu sudah tinggal di Pulau Rempang, Galang ratusan tahun. Titik kritisnya memang mereka nggak memiliki sertifikat, seharusnya negara yang memberikan sertifikat kepada mereka," tukasnya.

Mereka, imbuhnya, juga memiliki sejarah masa lalu. Nenek moyang mereka sudah ratusan tahun hidup dengan budaya melayunya. Jika negara ini ingin menghidupkan budaya lokal, mereka adalah mantan prajurit-prajurit kesultanan yang ada sebelum Republik Indonesia merdeka. Namun, hak-hak mereka dirampas atas nama investasi.

Terakhir, ia menegaskan bahwa kasus Rempang adalah secara nyata perampasan hak rakyat demi investor asing (para kapitalis).

"Sekali lagi saya mengatakan kasus Rempang ini adalah fakta terang benderang perampasan hak rakyat demi kepentingan oligarki dan investasi asing. Ä°nilah pola-pola pembangunan dengan gaya kapitalisme harus yang harus dihentikan sedemikian rupa, karena hanya menguntungkan segelintir orang/ para kapitalis/ pemegang modal/ investor," pungkasnya. *[]Nur Salamah*

Minggu, 17 September 2023

PEPS: Akar Masalah Konflik Rempang, Investasi dan Kolonialisme Gaya Baru

Tinta Media - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyatakan bahwa akar masalah konflik Rempang adalah investasi dan kolonialisme gaya baru.

"Akar masalah Rempang karena warga setempat mau direlokasi alias diusir dari kampung halamannya, atas nama investasi dan kolonialisme gaya baru," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (15/9/2023).

Menurutnya, hal ini merupakan kolonialisme atas nama dagang. “Jokowi terkesan cuci tangan ketika menyampaikan respons terhadap konflik tersebut dengan menyalahkan konflik Rempang ke Pemda Batam,” ungkapnya.

Anthony mengatakan, solusi Rempang hanya satu yakni batalkan relokasi warga ke daerah lain. “Biarkan mereka ikut dalam pembangunan ekonomi dan menikmati kesejahteraan," ujarnya.

Ia mengungkapkan bahwa seharusnya Pemda dan aparat hukum tidak boleh memfasilitasi pengusiran warga.

"Biarkan swasta dan swasta berunding, kalau perlu proyek tersebut dilelang," pungkasnya.[] Ajira

Jumat, 15 September 2023

Konflik Agraria Rempang Bersumber dari Dominasi Negara?




Tinta Media - Menyikapi bermunculannya konflik agraria, termasuk  yang terjadi di Pulau Rempang, provinsi Kepulauan Riau, Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. menduga bersumber dari dominasi negara.
 
“Sudah dapat diduga, bermunculan konflik agraria bersumber dari dominasi negara dan persoalan struktural,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (13/9/2023).
 
Pendapat itu didasarkan pada tiga argumen. Pertama, rencana investasi tidak akan dapat diproses apabila tidak terdapat keputusan dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Agraria untuk mengeluarkan SK Pelepasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL)  kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau.
 
“Kedua, apabila Surat Keputusan (SK) HPL tersebut dikeluarkan dan diberikan kepada BP Batam, SK tersebut dikhawatirkan akan menghidupkan kembali konsep domein verklaring (negaraisasi tanah),” ujarnya.
 
Konsep  ini, ucapnya,  mengartikan bahwa tanah dianggap sebagai kepemilikan negara, yang pada gilirannya memungkinkan pemerintah atau entitas yang berada di 
bawah otoritasnya untuk mengambil dan mengusir masyarakat yang dianggap tidak memiliki bukti kepemilikan.
 
“Dahulu Domein Verklaring dipraktikkan agrarische besluit oleh Penjajah Belanda yang menyatakan bahwa barang siapa yang tidak memiliki tanah atas hak eigendom, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara,” imbuhnya.
 
Ketiga, sebutnya, apabila ketentuan tersebut dipraktikkan kembali akan berpotensi menjadi alat pemerintah untuk menguasai tanah di Indonesia, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat.
 
“Ini juga yang kemudian membuat negara menguasai tanah seluruhnya, termasuk tanah-tanah masyarakat adat yang tidak memiliki sertifikat/bukti kepemilikan atas tanahnya. Hal ini lah yang akan menimbulkan persoalan struktural yang berimplikasi kelirunya penerapan kebijakan atas suatu lahan,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
 
 

Kamis, 14 September 2023

10 Ribu Warga Rempang Digusur, PAKTA: Dimana Rasa Keadilan?




Tinta Media - Rencana  pengembangan Rempang Eco-City di pulau Rempang yang akan menggusur 10.000 warga di 16 kampung tua Melayu mendapat tanggapan dari Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana.

“Tiba-tiba mereka akan digusur dengan rencana untuk membuat industri ini (Rempang Eco City). Di mana rasa keadilannya?” ujarnya dalam acara Kabar Petang yang bertajuk Konflik Rempang Dikuasai Pengusaha, Menggusur Warga? Selasa (12/9/2023) di kanal Youtube Khilafah News.

Erwin menyampaikan bahwa warga Rempang sudah lama tinggal yakni semenjak 1716. “Dalam sejarahnya dan sudah turun temurun, bukan masyarakat pendatang. Lantas tiba-tiba digusur. Bukan dengan pendekatan-pendekatan persuasif melainkan represif dengan mengatasnamakan Proyek Strategis Nasional (PSN),” ujarnya. 


Walaupun menurut Erwin, pak Mahfud MD mengatakan itu bukan penggusuran tapi pengosongan karena status tanah di pulau Rempang dan Galang bukan milik warga melainkan kawasan konservatif, jadi mereka di sana hanya sebatas hak guna atau pakai bukan hak milik.

“Kalau logikanya mau dijadikan kawasan konservasi, kenapa kemudian dijadikan kawasan strategis nasional yang (akan) dibangun industri kaca kwarsa terbesar kedua di dunia? Dan kita tahu, bagaimana industri kaca kwarsa itu akan menyebabkan polusi yang luar biasa terhadap lingkungan. Akan menimbulkan dampak lingkungan yang luar biasa buruk,” ucapnya.

Ia menuturkan bahwa logika yang dipakai pemerintah adalah logika yang sangat jauh dari akal sehat, karena mereka tidak direlokasikan dan diberikan kehidupan yang layak.  

“Kalau alasannya ini merupakan kawasan konservasi mestinya lengkap konservasi yang baik tanpa menggusur warga. Mereka selama ini baik-baik saja di sana, mereka di sana eksis. Mereka di sana bersekolah. Mereka di sana hidup ada mata pencahariannya, mau diganti macam apa di waktu yang sangat dekat  ini,” jelasnya.

Justru, menurutnya, pemerintah dalam hal ini sangat tidak komunikatif tidak berpihak kepada masyarakat Rempang dan Galang. “Apakah ini dimaksud dengan pemerintahan yang baik? Kalau mereka pada akhirnya melakukan semacam penolakan itu hal yang sangat patut, yang sangat rasional diterima oleh akal kita,” pungkasnya. [] Setiyawan

Sabtu, 15 Juli 2023

Ustadzah Rif'ah: Inses Bukan Hal Baru dalam Negara Sekuler Kapitalis

Tinta Media - Menanggapi terungkapnya kasus inses seorang Ayah terhadap anaknya di Banyumas Jawa Tengah hingga melahirkan 7 bayi yang semuanya dibunuh, Ustadzah Rif'ah Kholida dari Muslimah Media Center menyatakan bahwa kasus inses bukan hal baru di dalam negara sekuker kapitalis.

"Di dalam negara sekuler kapitalis, munculnya kasus inses bukan hal yang baru," uj arnya dalam program tausyiah Islam Menjawab: Inses Hancurkan Tatanan Keluarga, Bagaimana Pandangan Islam? Di kanal YouTube MMC, Ahad (9/7/2023).

Ia mengungkapkan, kasus inses juga pernah terjadi di daerah lain. Diantaranya kasus inses kakak dan adik di Pasaman, Sumatera Barat (2020), dan kasus inses ayah dan anak di Kecamatan Wowo, Kabupaten Bima NTB (2021).

Ia pun menerangkan, penerapan sistem sekuler kapitalis yang telah menjadikan manfaat sebagai asas dan kebebasan berperilaku di atas segala-galanya adalah penyebab munculnya berbagai pemikiran dan perilaku yang menyimpang (termasuk inses).

"Seseorang bebas berbuat apa saja sekehendak hatinya. Kondisi ini juga diperparah dengan minimnya pemahaman terhadap agama Islam," ucapnya.

Ia juga mengatakan, tidak sedikit individu muslim mengalami disorientasi hidup, bahkan terjerumus pada kemaksiatan karena tidak menjadikan syariat Islam sebagai standar dalam berperilaku.

Maka ia menegaskan, solusinya tiada lain hanyalah melakukan perubahan secara hakiki.

"Yaitu menerapkan syariat Islam secara kaaffah dalam naungan khilafah," pungkasnya. [] Muhar

Minggu, 28 Mei 2023

IJM: Indonesia Harus Berani Hentikan Utang dan Investasi Asing

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mengingatkan Indonesia agar memiliki keberanian untuk menghentikan utang dan investasi asing.

"Soal investasi, agar Indonesia itu tidak terjebak, tidak ingin bernasib sama seperti beberapa negara yang terjebak utang Cina, maka Indonesia harus memiliki keberanian menghentikan utang dan investasi asing,” dalam program aspirasi: Polemik! Wapres Terima Kunjungan Sekretaris Partai Komunis Fujian Cina, Ahad (14/5/2023) di kanal Youtube Justice Monitor.

Menurutnya, untuk menghentikan utang dan investasi asing ini, harus memiliki perlawanan dan perjuangan yang ideologis. "Bukan hanya sekedar pragmatis, bukan hanya menolak dan menghentikan investasi dari Cina, tapi menolak dan menghentikan juga investasi asing dan utang luar negeri dari para kapitalis barat," ujarnya. 

"Juga karena investasi dan utang itu adalah alat imperialisme dan alat penjajahan ekonomi,” tegasnya.

Derita Muslim Uighur 

Agung mencatat, di bawah rezim komunis Cina, saudara-saudari Muslim dan Muslimah Uighur tinggal di wilayah Turkistan Timur, Barat Laut China mengalami penderitaan.

"Mereka merupakan mayoritas dari populasinya yang berjumlah sekitar 26 juta bersama dengan etnis Han. Selama beberapa tahun ini wilayah ini berada di bawah pengawasan ketat, mulai dari kamera yang ada di mana-mana hingga gerbang keamanan di gedung-gedung, serta kehadiran militer yang meluas di jalan-jalan, pendataan paspor," ungkapnya.

Kemudian wanita muslim Uighur, lanjutnya, dipaksa menikahi pria Han. Pria yang dipaksa mencukur jenggot dan tidak dapat melakukan simbol-simbol agama Islam yang lain. "Singkatnya apa yang dilakukan oleh rezim komunis Cina terhadap Muslim Uighur tidak berakhir dengan tulisan saja,” bebernya.

Meskipun demikian, Agung mengkritisi banyak pemerintah di Negara-Negara Muslim yang justru malah terus melanjutkan hubungan mereka dengan rezim komunis Cina yang menganiaya dan menyiksa Umat Islam. 

"Harusnya pemerintah Islam itu menunjukkan kepedulian dan pembelaan serius dengan apa yang dilakukan rezim China terhadap muslim Uighur,” pungkasnya. [] Abi Bahrain
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab