Tinta Media: Impor
Tampilkan postingan dengan label Impor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Impor. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 April 2024

Ketergantungan Impor Menjelang Lebaran Kian Menggila


Tinta Media - Kebutuhan untuk konsumsi di Bulan Ramadan dan menjelang Lebaran tentu dirasakan berbeda oleh setiap orang, termasuk masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Kebutuhan konsumsi mengalami peningkatan yang pesat dan tentu hal ini tidak bisa dipisahkan dari masyarakat di bulan mulia ini. 

Impor untuk kebutuhan konsumsi memang mengalami lonjakan yang cukup tajam, apalagi menjelang Ramadan serta Idul Fitri 2024. Kenaikan permintaan barang konsumsi sebenarnya terjadi, baik secara bulanan maupun tahunan. 

Untuk memenuhi ketersediaan pangan dalam negeri, Perum Bulog menargetkan distribusi beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) hingga ke pasar ritel modern, pasar tradisional, gerakan pangan murah yang bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat dan operasi pasar di seluruh Indonesia. Bahkan, perum bulog menargetkan distribusi sebanyak 250 ribu ton untuk Maret 2024 hingga Hari Raya dari stock 1,1 juta ton di seluruh Indonesia yang kini sudah mencapai 70% dari yang diharapkan. 

Badan Pusat Statistik (BPS)  melaporkan bahwa impor kebutuhan konsumsi per bulan Februari 2024 saja sebanyak US$ 1,86 miliar atau naik 5,11% dibandingkan dengan bulan Januari 2023. Hal ini dipicu oleh kenaikan impor beras sebesar 970.000 ton dari Thailand dan Kamboja. Tentu hal ini termasuk carry over sebesar 500.000 ton dari 2023. Tak hanya itu, adanya impor sebesar 93% secara volume dan bahkan secara nilai telah mengalami kenaikan sebanyak 148,63% khusus periode Januari-Februari 2024 saja.

Tak hanya itu, impor bawang putih juga mengalami kenaikan sebanyak 374,20% secara volume, dan naik 357,01% secara harga. Impor Gandum, mesin atau peralatan mekanis dan bagiannya, kendaraan dan bagiannya, dan mesin atau perlengkapan elektrik serta bagiannya, komoditas pangan juga mengalami peningkatan. (CNBC Indonesia, 19/3/2024)  

Kepala Badan Pangan Nasional menginformasikan bahwa akan ada  impor daging dan sapi hidup dalam waktu 2 - 3 minggu. PT RNI Persero Frans Marganda Tambunan juga melakukan impor sapi dari Australia sebanyak 2.350 ekor untuk memenuhi kebutuhan daging sapi Lebaran 2024. Sebanyak 145.250,60 ton sapi harus dicukupi dalam satu tahun, baik dari negara Australia, Amerika Serikat, dan New Zealand. 

Bukanlah lebaran terjadi setiap tahun? Faktor diberlakukan impor adalah karena iklim dan cuaca, konversi lahan pertanian, pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, serta adanya kenaikan kebutuhan konsumsi yang meningkat menjelang Ramadan dan Lebaran sehingga dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan kebutuhan konsumsi, serta kenaikan harga barang yang melambung tinggi. 

Selama ini, kebijakan impor selalu diambil untuk menstabilkan kondisi pangan. Impor adalah kebijakan terakhir untuk memenuhi stok cadangan pangan dalam negeri. Saking seringnya dipakai, tentu sudah tidak asing dengan kata "impor" karena dipandang pemerintah sebagai solusi kelangkaan pangan yang cepat, praktis, serta mudah. 

Bukankah seharusnya peningkatan kebutuhan sudah bisa diprediksi dan diantisipasi mengingat Lebaran dan Ramadan terjadi setiap tahun? Harusnya ini sudah dipikirkan mengingat selalu ada ketergantungan pada impor yang dapat mengancam kedaulatan negara. 

Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris tentu berpotensi menjadi negara yang memiliki kemandirian pangan tanpa memilih impor sebagai jalan keluar setiap tahunnya. Namun, hal ini tentu membutuhkan keberanian, kemampuan, dan dana yang besar di awal. Tentu saja dibutuhkan keseriusan pemerintah untuk mewujudkannya.

Indonesia menerapkan sistem kapitalis neoliberal dalam mengelola ketersediaan pangan dalam negeri. Ini secara otomatis memaksa Indonesia untuk terlibat dalam perdagangan pasar bebas. Alhasil, pasar asing begitu gampang masuk ke Indonesia. Karena itu, impor menjadi jalan keluar, tak peduli akan adanya ketergantungan di masa mendatang. Sekalipun terlihat cepat, praktis, dan mudah, impor memiliki bahaya, yaitu dapat mengancam kedaulatan negara.

Selain adanya ketergantungan, hal ini akan berdampak semakin parah pada para peternak dan petani lokal karena harga yang tidak akan pernah bisa stabil. Ini akan membuat rakyat terus merugi. Yang ada hanya orang-orang bermodal besar yang bisa menguasai pasar karena bisa bekerja sama dengan pemerintah untuk ketersediaan pangan dan memainkan harga sesuka hatinya. Sehingga tak akan ada kesejahteraan para penduduk dalam negeri sejatinya. 

Negara harus mencari solusi agar menjadi negara mandiri. Sistem hari ini, yaitu kapitalisme membuat negara tidak bisa untuk mandiri.

Hal ini tentu berbeda dengan Islam yang mewajibkan negara bersikap mandiri, termasuk dalam masalah pangan. Berbagai upaya akan dilakukan oleh negara secara maksimal, termasuk dalam membangun infrastruktur berkualitas, melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian dan peternakan, juga berinovasi meningkatkan teknologi tepat guna dan berkemampuan tinggi. 

Islam mewajibkan negara untuk memberikan kesejahteraan yang sebenarnya, termasuk memberikan subsidi pada rakyat yang membutuhkan bantuan, seperti para petani dan peternak yang kurang modal atau tidak memiliki modal. 

Negara Islam mampu mensupport rakyatnya karena memiliki sumber dana yang banyak dan beragam, serta terjamin keamanannya dengan penerapan sistem ekonom Islam. 
Untuk menjadi negara yang mandiri, dibutuhkan sistem Islam  untuk mengatur dengan aturan Allah di setiap lini kehidupan agar tercipta kesejahteraan yang hakiki. Wallahualam bissawab.


Oleh: Wilda Nusva Lilasari S.M
Sahabat Tinta Media

Jumat, 09 Februari 2024

Kebijakan Impor Beras, MMC: Ini Solusi Pragmatis



Tinta Media - Impor beras secara jor-joran yang dilakukan pemerintah, dinilai Narator Muslimah Media Center (MMC) sebagai solusi pragmatis buah penerapan sistem kapitalisme. 

“Kebijakan impor beras dalam upaya pemenuhan stok pangan dan stabilitas harga pangan merupakan solusi pragmatis buah penerapan sistem kapitalisme,” tuturnya dalam Serba-Serbi MMC: Harga Beras Mahal di Tengah Impor, Negara gagal Menjaga Stabilitas Harga Pangan, Senin (5/2/2024) di kanal Youtube Muslimah Media Center. 

Menurutnya, kebijakan impor beras menguntungkan para oligarki dibanding rakyat. “Kebijakan pemerintah yang lebih memilih impor daripada memajukan pertanian dalam negeri, sejatinya hanya menguntungkan para oligarki yaitu para pengusaha importir,” jelasnya.  

Ia meyakini, selama sistem kapitalisme demokrasi diterapkan di negeri ini, kebijakan-kebijakan pemerintah tidak akan pernah berpihak pada rakyat termasuk petani lokal. 

“Saat ini korporasi menjadi pihak yang menguasai rantai produksi hingga distribusi sektor pertanian. Mahalnya harga pupuk, benih, dan sarana prasarana pertanian lainnya, adalah akibat penguasaan pihak korporasi pada sektor pertanian atas legalitas penguasa,” ujarnya. 

Islam

Narator lalu membandingkannya dengan sistem Islam. “Negara dalam Islam akan menjadi pelayan umat dan tidak membiarkan swasta menguasai pertanian seperti dalam sistem kapitalisme,” ungkapnya. 

Negara dalam Islam, lanjutnya,  akan hadir sebagai pelayan umat yang memastikan kebutuhan pangan dapat diakses oleh seluruh rakyat, sehingga tidak membiarkan pihak swasta menguasai rantai produksi dan distribusi pertanian dengan semangat bisnis sebagaimana dalam sistem kapitalisme. 

“Hal yang wajib dilakukan Khilafah adalah memastikan stok pangan tercukupi dan bisa diperoleh rakyat dengan harga terjangkau, dengan mewujudkan swasembada pangan. 

Swasembada pangan ini, lanjutnya, dengan cara  mengoptimalkan pertanian dan membangun industri di dalam negeri, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, memberikan dukungan agar terjadi optimalisasi produksi pertanian, membangun infrastruktur pertanian, dan penyediaan air irigasi. 

“Selain itu, bantuan kepada petani yang membutuhkan modal untuk bertani baik berupa lahan, benih, pupuk dan saprotan, membangun industri pengolah hasil pertanian, serta memberikan edukasi bagi petani secara gratis,” pungkasnya.[] Evi

Senin, 15 Januari 2024

Impor Selalu Menjadi Solusi Kesulitan Beras di Negeri Agraris



Tinta Media - Lagi dan lagi, Impor kembali dilakukan oleh pemerintah, alasannya karena sulit untuk mencukupi seluruh kebutuhan masyarakat akan beras, dan juga penambahan jumlah penduduk Indonesia yang semakin banyak setiap tahunnya  menjadi penyebab tidak tercapai nya swasembada. Namun mengapa bisa produksi beras tidak cukup? bukankah kita adalah negara agraria dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah bertani. 

Dalam laman CnbcIndonesia.com 02/01/2024. Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa sebenarnya tidak ingin melakukan impor lagi, namun hasil produksi beras tidak bisa mencapai target setiap tahunnya, sementara kebutuhan akan beras terus meningkat. Saat ini penduduk Indonesia sudah mencapai 280 juta jiwa yang sebagian besar makanan pokoknya adalah nasi. 

Impor Beras Bukanlah Solusi Tuntas 

Krisis beras ini bukan hanya mengakibatkan Impor, tapi juga berdampak pada kenaikan harga beras yang semakin tinggi, mayoritas ekonomi penduduk Indonesia adalah menengah ke bawah, dengan kenaikan harga ini tentu akan sangat memberatkan masyarakat, sebab harga beras yang mahal akan mengurangi jatah uang untuk membeli lauk, dan kebutuhan lain, juga untuk membayar listrik, atau biaya sewa. 

Namun, pemerintah justru mengambil solusi praktis dengan melakukan impor, padahal kebijakan impor hanya akan menyulitkan petani lokal, sebab harga impor biasanya akan lebih murah dari petani lokal, sehingga masyarakat cenderung memilih harga murah yang akibatnya dapat merugikan para petani. Impor juga menjadi ladang cuan bagi para penguasa sebab ketika negara melakukan impor maka akan mendapat keuntungan. 

Pemerintah harusnya menganalisis secara mendalam, apa penyebab hasil produksi yang sedikit, apakah karena cuaca atau sistem distribusi. Jika akibat cuaca yang berubah- ubah, pemerintah harus melakukan riset dan penelitian demi menciptakan bibit unggul yang tahan perubahan cuaca, memberikan subsidi atau pupuk gratis. Dan jika masalahnya di pendistribusian, maka pemerintah wajib memantau penyaluran beras, mulai dari produksi para petani hingga sampai kepada masyarakat. 

Pemerintah juga harus mengantisipasi adanya toke atau pemain yang akan berlaku curang memainkan harga atau menimbun beras untuk waktu lama, yang mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga di pasar. Namun solusi- solusi ini tidak akan pernah diterapkan oleh negara kapitalis, yang mengutamakan keuntungan atas segalanya. 

Islam Solusi Kesejahteraan Negeri 

Dalam Islam, pemerintah adalah pelayan umat, sehingga setiap kebijakan yang diambil akan selalu mengutamakan kepentingan umat, bukan mencari keuntungan semata. Produksi beras akan di awasi mulai dari petani hingga pemasaran pada masyarakat, dan akan di pastikan tidak ada kecurangan yang terjadi dalam setiap prosesnya. 

Petani di berikan edukasi pertanian dan teknologi untuk alat-alat terbaru yang akan memudahkan sistem produksi. Sementara petani yang kekurangan modal akan di berikan pinjaman tanpa bunga atau di berikan bantuan gratis, baik uang maupun lahan untuk pertanian. 

Negara Islam juga akan memberikan sanksi yang tegas terhadap para pelaku curang, cukong pasar atau mafia tanah yang menyulitkan para petani dalam menjalankan usahanya. Negara juga bertanggung jawab penuh dalam pemenuhan kebutuhan pokok warganya, seluruh bantuan diberikan secara gratis, di tanggung oleh baitul maal yang dikelola oleh negara. 

Demikianlah kepemimpinan dalam Islam, negara yang menerapkan syari'at Islam secara menyeluruh tidak akan menzalimi rakyatnya, sebab ada syari'at di sana ada maslahat. dan setiap pengambilan kebijakan akan melihat halal haram atau menimbang dosa dan pahala jika di lakukan, maka insya Allah rakyat akan makmur, tenang, tenteram dan sejahtera. Wallahu A'lam Bisshowab.

Oleh: Audina Putri 
(Aktivis Muslimah) 

Sabtu, 23 Desember 2023

Kebijakan Impor Merugikan Rakyat



Tinta Media - Swasembada pangan atau ketahanan pangan adalah sesuatu yang sangat diinginkan oleh rakyat Indonesia. Ini memang seharusnya dirasakan oleh rakyat karena Indonesia kaya akan sumber daya alam, termasuk sumber daya pangan. Bahkan, Indonesia disebut sebagai lumbung padi. Akan tetapi, sungguh sangat ironi, pada faktanya negara Indonesia masih saja melakukan impor beras dengan dalih agar ada ketersediaan bahan pokok beras. 

Menurut Menteri Pertanian Andi Amran, yang penting bisa mengamankan pangan dan menekan impor beras tahun depan. Hal ini dikarenakan Indonesia berada pada dampak El Nino yang paling dahsyat. 

Untuk menekan impor beras akibat fenomena El Nino, Amran Sulaiman menargetkan Provinsi Jabar mampu memproduksi sebanyak 11 juta ton gabah pada tahun 2024. Untuk sekarang ini, impor beras 3,5 juta dan kemungkinan bisa naik lagi. 

Menurut beliau, saat ini Indonesia berada pada kondisi El Nino pada level paling parah dan bisa mengancam produksi beras dalam negeri. Amran meminta kepada para petani untuk mewujudkan swasembada pangan. Indonesia harus bangkit dengan meletakan pondasi yang kuat. 

Amran berharap, dengan didukung saluran irigasi dari berbagai bendungan yang telah dibangun oleh pemerintah pusat untuk mengatasi kekeringan, maka target produksi gabah pada tahun 2024 di Jabar ini bakal terealisasi. 

Menteri Pertanian Andi Amran terjun langsung ke lapangan dengan mendatangi daerah sentra padi yang ada di Jawa Timur, Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, dan sekarang berada di Jawa Barat untuk mengetahui keluhan para petani di Indonesia. Beliau pun  akan memberikan solusi kepada para petani Indonesia.

El Nino adalah sebuah fenomena alam yang sudah biasa terjadi dan bisa diprediksi sebelumnya. Karena itu, alasan pemerintah melakukan impor beras dikarenakan El Nino adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Semestinya pemerintah sudah mengantisipasi keadaan ini sejak tahun lalu, dengan melakukan upaya untuk meningkatkan stok beras dari dalam negeri. 

Berbagai cara bisa dilakukan oleh pemerintah agar produksi beras lokal meningkat. Contohnya, pemerintah bisa memberikan bantuan benih, pupuk, dan sarana produksi pertanian, bukan malah meningkatkan impor beras yang justru akan merugikan para petani. 

Dengan biaya yang tidak sedikit, para petani mengeluarkan modal. Akan tetapi, ketika pemerintah melakukan impor beras, otomatis harga gabah lokal akan anjlok, sehingga merugikan para petani, dan harga beras di pasaran pun tetap naik, sehingga sangat dirasakan berat oleh masyarakat menengah ke bawah.  

Ketika pemerintah sering melakukan impor, tentunya hal ini akan membahayakan kedaulatan pangan dan memukul para petani. Akibat dari anjloknya harga gabah, banyak petani yang enggan menanam padi. Walhasil, produksi padi semakin menurun. Bahkan, generasi muda tidak mau berprofesi sebagai petani karena tidak menjanjikan keuntungan yang cukup. 

Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan meng-impor beras bukan menjadi solusi persoalan mahalnya harga beras, karena beras tetap mahal harganya. Sangat jelas di sini bahwa kebijakan pemerintah tentang impor beras tidak berpihak kepada rakyat, bahkan merugikan para petani.

Rakyat pun semakin berat dengan harga beras yang terus naik. Kebijakan impor beras ini, hanya menguntungkan segelintir orang yang menjadi bagian dari rantai impor beras saja. Inilah salah satu produk dari sistem yang rusak.

Artinya, Indonesia diwajibkan meliberalisasi pasar. Selain itu, liberalisasi pangan semakin parah dengan disahkannya UU Cipta Kerja, yang membolehkan impor dilakukan kapan saja, tidak perlu menunggu adanya kekurangan stok dalam negeri.

Berbeda dengan sistem Islam. Bahwasanya, Islam mewajibkan negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang bersandar pada syariat Islam, dan sesuai aturan syara. Dengan demikian, di dalam sistem Islam, negara tidak boleh tergantung kepada impor, karena akan menyebabkan ketergantungan dan penguasaan oleh orang-orang kafir terhadap umat Islam. 

Negara harus mewujudkan kedaulatan pangan dengan mengoptimalkan produksi pertanian di dalam negeri. Inilah urgensi adanya kepemimpinan Islam, yaitu sebagai raa'in atau pengurus urusan umat. Pemerintah bertugas untuk melayani rakyat, bukan untuk memeras dan menzalimi mereka. 

Wallahu'alam bishawab.

Oleh: Enung Sopiah
Sahabat Tinta Media

Minggu, 02 Juli 2023

Impor Beras Kembali Dibuka, Petani Mengelus Dada

Tinta Media - Bagaikan ayam mati di lumbung padi, peribahasa di atas menggambarkan kelamnya nasib petani di negeri gemah ripah loh jinawi. Pasalnya, buruknya sistem pertanian dalam negeri menyebabkan kran impor beras kembali dibuka. Bahkan, tragedi el nino menjadi alasannya. Padahal, fenomena ini bisa diantisipasi dengan menambah stok beras sejak setahun lalu, sehingga tidak akan terjadi kekosongan beras ketika terjadi kekeringan.

Beberapa pengamat kebijakan publik mengindikasikan bahwa impor beras dilakukan karena adanya kepentingan pemilu tahun depan. Sebagimana pemilu 2019 lalu, kejadian yang sama juga terjadi, yaitu impor beras sebanyak 2,2 juta ton.

Dikutip katadata.co.id, 17/6/2023, pemerintah mengimpor beras dari India sebesar 1 juta ton. Kebijakan ini dilakukan agar pencapaian Cadangan Beras Pemerintah (CBP) stabil, baik stok dan harganya. Padahal, sebelumnya Badan Pangan Nasional (Bapenas) telah menugaskan Bulog untuk mengimpor 2 juta ton sepanjang tahun 2023. Jadi, total pemerintah mengimpor beras sebanyak 3 juta ton.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa impor ini tanpa perencanaan karena berdampak  merugikan petani dalam jangka panjang. Seharusnya Bulog mampu menambah ketersediaan beras sejak setahun lalu karena kekeringan ekstrim sudah bisa diprediksi sebelumnya.

Jebakan Liberalisasi Pangan

Sebelum tahun 1994, Indonesia tercatat sebagai negara pengekspor pangan. Namun, setelah tahun 1994, negara agraris ini menjadi pengimpor pangan. Ini disebabkan pemerintah dan negara-negara yang tergabung dalam organisasi WTO telah meratifikasi perjanjian liberalisasi perdagangan, khususnya liberalisasi industri pertanian pada tahun 1995. 

WTO mengeluarkan Agreement of Algiculture (AoA) yang berpijak pada tiga pilar, yaitu perluasan akses pasar, pemotongan subsidi ekspor, dan pengurangan dukungan domestik. Semenjak itu, kebijakan pemerintah terkait pertanian mengalami perubahan. 

Indonesia wajib  meliberalisasi pasarnya secara bertahap. Akhirnya, pasar dalam negeri dipenuhi dengan produk impor dengan barang berkualitas dan harganya lebih murah. Lambat laun, kondisi tersebut mematikan petani lokal.

Kondisi ini diperparah lagi dengan terjadinya krisis moneter tahun 1998. Ekonomi negara runtuh dan akhirnya mencari pinjaman kepada IMF  (Internasional Moneter Fund). Jebakan utang ini menyebabkan pemerintah wajib mengikuti prasyarat yang diajukan IMF, antara lain meliberalisasi industri perdagangan, termasuk komoditas pertanian, khususnya pangan. 

Sejak tahun 1998, Indonesia resmi mencabut subsidi pupuk, melepas tata niaga pupuk, benih unggul, dan pestisida, sehingga banyak petani menderita dengan meningkatnya biaya produksi. Sedangkan ketika panen, harganya kurang bersaing dikarenakan banyaknya beras impor murah yang membanjiri pasar. Para petani merugi dan memilih untuk tidak menanam padi lagi.

Pada tahun 2010, Indonesia bergabung dengan perjanjian ACFTA (ASEAN China Free Trade). Imbasnya, produk China membanjiri pasar. Lagi-lagi impor tersebut membunuh petani secara perlahan. Akhirnya, semakin ke belakang pemerintah semakin melepas satu-persatu subsidinya sehingga ketergantungan akan impor semakin tinggi. Tak ayal, harga pangan hasil petani lokal melambung tinggi, kalah bersaing dengan produk impor.

Alhasil, negara agraris tak mampu lagi punya ketahanan pangan nasional yang kokoh. Ini disebabkan oleh rakusnya negara kapitalis. Melalui organisasi dunia, PBB, IMF, ACFTA, mereka menindas negara berkembang. Liberalisasi sektor pertanian telah merenggut kebahagiaan petani lokal, sehingga banyak petani yang ganti profesi dan menjual lahannya. Alhasil, minimnya generasi penerus dalam bidang pertanian diambang mata. Astaghfirullah.

Sebuah Ironi 

Kebijakan impor pangan dilakukan oleh menteri perdagangan, setelah melakukan perundingan dalam kabinet. Kebutuhan pangan yang mendesak akibat kekeringan ekstrim menjadi alasan mengimpor 3 juta ton beras. 

Padahal, jika pemegang kebijakan di negeri ini berpihak kepada rakyat, tentunya akan mencari solusi yang terbaik, misalnya memperbaiki sistem industri pertanian, mulai dari pengadaan benih, tata niaga pupuk, pestisida, sampai alat-alat pertanian modern. 

Dari skill SDM, para petani diberikan pelatihan dan dana yang dibutuhkan agar proses produksi meningkat drastis. Ini sebagai antisipasi jika terjadi bencana paceklik, tentunya jika pemimpin negeri ini beriktikad menjadi pelayan rakyat bukannya pro oligarki, serta tidak sekadar mencari manisnya keuntungan impor semata.

Islam Satu-satunya Solusi Tuntas

Sistem Islam adalah sistem kehidupan yang unik. Dalam sistem ini, negara Islam bertanggung jawab menerapkan aturan-aturan Islam secara utuh. Negara mengatur urusan umat dalam negeri ataupun luar negeri, sehingga semua masyarakat mendapat jaminan hidup layak dan sejahtera.

Demikian juga sektor  perdagangan. Islam menjamin ketersediaan kebutuhan pokok dan distribusi ke tengah masyarakat. Sejarah telah membuktikan pula bagaimana ampuhnya aturan Islam menangani musim paceklik. 

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, kekeringan ekstrim melanda pada tahun 18H. Masa paceklik terjadi selama 9 bulan. Pada saat itu, di Madinah masih terkendali karena persediaan tercukupi. Begitu daerah sekitar Madinah kekurangan pangan, mereka mendekat ke Madinah. Akhirnya, sebagai pemimpin, Umar turut merasakan kelaparan dan tidak lagi memakan makanan seperti biasa. 

Setiap hari Khalifah Umar menyembelih onta untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. Sedangkan Umar lebih memilih memakan roti dan minyak saja sampai kulitnya yang kemerahan berubah kehitaman. Kemudian Khalifah Unar menulis surat kepada beberapa gubernur di wilayah yang surplus pertaniannya agar membantu Madinah.

'Amru bin Al 'Ash ra, gubernur Mesir mengirimkan bantuan makanan dan bahan pokok berupa gandum. Abu Musa Al Asy'ari, gubernur Basrah juga mengirimkan bantuan ke Madinah. Abu  Ubaidah membawa 4.000 hewan tunggangan dipenuhi oleh makanan, kemudian dibagikan ke perkampungan sekitar Madinah. 

Demikianlah ketika sistem Islam diterapkan untuk mengatur kehidupan. Permasalahan bisa diatasi dengan tuntas tanpa menimbulkan persoalan berikutnya, sebagaimana tanggung jawab seorang pemimpin yang amanah, rela kelaparan, dan lebih mementingkan kepentingan umatnya. 

Gambaran ketahanan pangan nasional negara Islam sangat kokoh, sehingga bisa menjadi cadangan ketika diperlukan oleh wilayah yang paceklik. Inilah kemandirian pangan yang mewujudkan kesejahteraan. 

Dalam sistem pertanian, negara Islam akan melakukan beberapa hal: 

Pertama, ekstensifikasi pertanian. Ini dilakukan dengan memanfaatkan tanah mati yaitu tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun. Maka, tanah tersebut akan diberikan kepada siapa saja yang mampu menghidupkannya. 

Kedua, intensifikasi pertanian dengan pengadaan alat-alat pertanian yang canggih. Pemerintah juga memberikan bantuan modal, benih, pupuk, pestisida, sehingga petani bisa memproduksi padi dengan baik sampai tercipta swasembada pangan. 

Ketiga, menciptakan sistem distribusi yang baik agar tidak terjadi penimbunan dan monopoli pihak yang tidak bertanggungjawab.

Demikianlah bagaimana hajat hidup rakyat terpenuhi ketika menggunakan aturan Islam. Setiap individu dapat merasakan kesejahteraan walaupun kondisi bencana kekeringan. Ini menjadi bukti bahwa pemimpin dalam Islam adalah pengurus rakyat yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah Swt.

Sebagaimana hadis Rasulullah saw.

" Seorang imam adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya". (HR. Bukhari dan Muslim).

Wallahu a'lam bissawab.

Oleh: Irma Hidayati, S.Pd.
Pegiat dakwah

Senin, 01 Mei 2023

Impor Dokter Asing, MMC: Pemerintah Gagal Cetak SDM Kesehatan

Tinta Media - Narator Muslimah Media Center (MMC) menegaskan bahwa kebijakan impor dokter asing pemerintah ini sejatinya mengonfirmasi bahwa pemerintah gagal mencetak sumber daya manusia di bidang kesehatan seperti dokter ahli yang berkualitas dan memadai.

"Kebijakan impor dokter asing sejatinya mengonfirmasi bahwa pemerintah gagal mencetak sumber daya manusia di bidang kesehatan," ujarnya dalam program Serba-serbi: RUU Kesehatan Permudah Dokter Asing Praktik di RI, Ancaman Liberalisasi Kesehatan? Kamis (27/4/2023) di kanal YouTube Muslimah Media Center.

Padahal menurutnya, negeri ini tidak kekurangan sumber daya manusia lulusan pendidikan kesehatan. Jika pemerintah fokus memberikan pendidikan berkualitas yang ditunjang oleh fasilitas pendidikan yang terbaik pula, maka tentu mereka akan berdaya di negeri ini. "Bahkan negara tidak perlu membuka peluang bagi dokter asing untuk bekerja di negeri ini, sebab hal tersebut hanya akan menambah besar persaingan tenaga kerja di negeri ini yang berujung pada bertambahnya jumlah pengangguran, namun hal tersebut tidak menjadi pilihan," ujarnya.

Narator menuturkan, hal ini wajar terjadi sebab kesehatan dalam perspektif negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler adalah jasa yang harus dikomersialkan. Negara akan berhitung untung rugi ketika membuat kebijakan untuk menjamin berlangsungnya komersialisasi.

"Tak heran RUU kesehatan ini dinilai syarat dengan upaya meliberalisasi dan mengkapitalisasi kesehatan, padahal persoalan kesehatan di Indonesia sebenarnya masih banyak dan sangat kompleks, namun RUU kesehatan justru tidak menawarkan solusi yang komprehensif dan menyentuh akar persoalan," ungkapnya.

RUU kesehatan tidak menawarkan upaya mewujudkan pelayanan yang berkualitas dan mudah bagi rakyat, tetapi justru merugikan kepentingan rakyat termasuk para tenaga kesehatan. "Inilah fakta buruknya pengurusan-urusan rakyat di bawah penerapan sistem kapitalisme sekulerisme," tegasnya.

Berbeda dengan Khilafah kehadiran penguasa (Khalifah) sebagai pelaksana syariah secara Kaffah adalah untuk menjamin pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh warga negaranya, muslim atau non muslim kaya ataupun miskin. "Sebab dalam pandangan Islam, kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang menjadi tanggung jawab negara, bukan jasa untuk dikomersialkan," jelasnya. 

Ia menambahkan, apapun alasannya tidak dibenarkan dalam negara Khilafah ada program yang bertujuan mengkomersialisasi pelayanan kesehatan, baik dalam bentuk investasi, atau menarik bayaran kepada rakyat untuk mendapatkan untung. 

Narator menegaskan, para dokter dan insan kesehatan bahkan memiliki ruang yang memadai untuk mendedikasikan keahlian bagi kesembuhan dan keselamatan jiwa masyarakat. Tidak akan ada lagi beban agenda kesehatan dan persaingan dengan dokter-dokter asing karena negara akan mendahulukan pemanfaatan SDM dalam negeri. 

"Inilah fakta jaminan kesehatan Khilafah buah dari penerapan Syariah Islam Kaffah yang bersumber dari Allah SWT," pungkasnya.[] Sri

Kamis, 15 Desember 2022

Impor Beras lagi, Harusnya Bisa Mandiri

Tinta Media - Petani siap-siap menerima kado pahit di akhir tahun. Belum hilang dampak kenaikan BBM, pemerintah sudah merencanakan impor beras. Dengan alasan cadangan beras menipis, untuk memenuhi permintaan maka diputuskan untuk impor.

Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) secara terbuka mengungkapkan alasan mencetuskan rencana mengimpor beras. Sebelumnya Buwas mengatakan, Bulog memiliki komitmen stok beras sebanyak 500 ribu ton di luar negeri. (CNBC Indonesia)

Saat rapat dengar pendapat dengan Eselon I Kementerian Pertanian (Kementan), Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), dan Direktur Utama Holding Pangan ID Food,
Buwas mengungkapkan bahwa ia mendapat penugasan untuk memiliki stok beras sebanyak 1,2 juta ton hingga akhir tahun 2022.

Buwas menjabarkan, per 22 November 2022, Bulog telah melakukan pengadaan 912 ribu ton beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP). Serapan tertinggi terjadi di bulan Maret dan Juni.

Sudah jatuh tertimpa tangga adalah ungkapan tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat, khususnya petani saat ini. Mengelola sawah membutuhkan dana besar, untuk pupuk, pengairan, tenaga kerja, alat-alat pertanian, hingga lahan yang tak begitu luas. Di saat panen raya antara bulan Maret-Juni akan ada gelontoran beras impor. Artinya, harga akan bersaing. Apalagi jika mutu beras lokal kurang bagus, tentu menyebabkan jatuhnya harga gabah. Padahal, saat panen petani biasanya menjual sebagian untuk menutup utang modal awal sekaligus buat modal tanam selanjutnya. 

Tak ada pemeliharaan dan perlindungan sama sekali untuk produksi dalam negeri oleh pemerintah. Ibarat ring tinju, tidak ada klasifikasi kelas berat atau ringan. Semua bertarung dalam satu ring. Tentu saja petani yang akan nyungsep alias bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. 

Demikianlah cara berpikir pemimpin yang kapitalistik, menambah panjang penderitaan masyarakat. Cara pragmatis hanya mempertimbangkan keuntungan dan kerugian. Yang jelas mendapatkan keuntungan adalah para kapital besar. Rakyat tetap berada di pihak yang kalah dan tidak bisa berbuat banyak menghadapi kebijakan zalim tersebut.

Harusnya pemerintah melakukan kebijakan ekstenfikasi, yaitu menghidupkan lahan yang tidak diolah dengan mengaktifkannya kembali agar siap ditanami, atau membuka lahan baru yang selama ini ditelantarkan oleh pemiliknya. Cara seperti itu dalam Islam dikenal dengan menghidupkan tanah mati. Jika tiga tahun berturut-turut tidak ditanami atau diolah, maka tanah diambil negara dan akan diberikan kepada siapa saja yang bisa mengelolanya.

Dari sini, tanah luas yang terbentang akan produktif dan kemungkinan produksi melimpah cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Tak perlu impor, karena sejatinya hal itu menjadikan negara lain yang untung besar dan negara pengimpor hanya dijadikan pasar yang dipaksa menerima tanpa ada peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat.

Selanjutnya, ada kebijakan intensifikasi, yaitu dengan program penyaluran pupuk, peningkatan kualitas tekhnologi, seperti alat pembajakan tanah, alat pengairan, alat panen gabah menjadi beras yang efektif dan lain-lain. Maka kewajiban negara untuk menyediakan dengan harga murah bahkan bisa gratis. 

Dengan dua kebijakan di atas, bisa di pastikan produksi pangan seperti beras, jagung, kedelai, garam, gula dan yang lain tidak akan impor. Produksi pangan akan melimpah dan negara menjadikuat. 

Namun, apakah pemerintah mau melakukan dua kebijakan di atas? Rasanya mustahil jika sistem yang diterapkan masih kapitalisme, sistem yang berorientasi pada keuntungan tanpa melihat dampak bahayanya bagi masyarakat.  

Kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi pernah diterapkan oleh Umar bin Khathab saat menjadi Amirul Mukminin, beliau membuat kebijakan yang memudahkan masyarakat mengelola lahan hproduktif.

Amirul mu'minin Umar mendorong pada setiap daerah taklukan untuk meningkatan produktivitas lahan pertanian. Tanah taklukan tidak ia bagi-bagikan kepada para mujahiddin. Tanah tetap pada pemiliknya dengan harapan pengelolaannya optimal. Beliau juga menetapkan kharaj dari tanah taklukkan agar pemasukan pada negara tetap stabil. 

Negara menjamin pembangunan infrastruktur yang mendukung pertanian, seperti pembuatan irigasi dan saluran air, serta akses transportasi di wilayah produksi pertanian. Umar juga berusaha untuk mengaktifkan lahan mati, serta memberikan insentif permodalan dan sistem bagi hasil kepada para petani.

Sekali lagi, dengan mengambil lslam sebagai solusi, pasti negeri ini tidak akan impor lagi. Ketahanan pangan akan kuat serta mandiri,. Kesejahteraan masyarakat akan terwujud dengan mudah. 
Allahu a’lam

Oleh: Umi Hanifah
Sahabat Tinta Media 

Selasa, 13 Desember 2022

Rencana Impor Beras di Tengah Penghargaan IRRI, Indonesia Gagal Mandiri?

Tinta Media - Sungguh heran dengan para pemangku kebijakan di negeri ini. Baru beberapa bulan lalu, tepatnya tanggal 14 Agustus 2022, pemerintah mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atas kemampuannya mencapai swasembada beras selama tiga tahun terakhir secara berturut-turut. 

Namun di tengah prestasinya ini, pemerintah melalui Kemendag, malah kembali berencana untuk membuka keran impor beras sebesar 500.000 ton. Dalihnya dalam rangka untuk memenuhi pasokan cadangan beras pemerintah (CBP) yang kian menipis.

Mengapa tak lama setelah mengumumkan swasembada pemerintah malah memutuskan impor beras? Apa artinya penghargaan IRRI jika nyatanya negeri ini masih harus mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhannya?

Keputusan mengimpor beras di tengah penghargaan IRRI, sungguh sangat ironis. Hal ini menunjukkan, pertama, buruknya pengelolaan pangan dalam negeri sehingga gagal dalam mengoptimalkan segala potensi baik SDA maupun SDM yang dimilikinya.

Indonesia merupakan negara agraris. Negeri ini memiliki lahan pertanian yang luas dan subur, beranekaragam komoditas pertanian, dan SDM petani yang banyak. Dengan potensi tersebut, seharusnya Indonesia sangat bisa mewujudkan ketahanan pangan. 

Kedua, buruknya kinerja pemerintah dalam memastikan ketersediaan stok beras nasional dan mengoordinasi data. Pasalnya kisruh data malah sering terjadi di antara pejabat pemerintah.

Ketiga, terlalu fokus pada pemenuhan stok tapi kurang memperhatikan distribusinya ke tengah-tengah masyarakat. Realitasnya, seringkali terjadi pemusnahan stok beras dengan alasan turunnya mutu. Padahal di lapangan, rakyat masih banyak yang kelaparan.

Keempat, inkonsistensi keberpihakan pemerintah terhadap rakyat dan lebih memihak pada oligarki kapitalis. Ketika kebijakan impor digolkan, justru yang kerap dirugikan adalah petani sendiri. 

Para pemburu (mafia) rente mengambil keuntungan dari impor. Tak sedikit yang berasal dari kalangan pejabat. Mereka berperan memuluskan kebijakan yang berpihak kepada siapa saja yang bisa memberikan rente, yaitu para oligarki pemilik modal. 

Kelima, negara tak memiliki visi ideologis untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Impor kerap dijadikan solusi pamungkas untuk memenuhi ketersediaan stok pangan dalam negeri. Bukannya mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Inilah yang terjadi jika sistem demokrasi kapitalisme menjadi landasan atas setiap kebijakan dan peraturan. Tak aneh jika pemangku kebijakan jauh dari kesan memihak kepada rakyat dan justru lebih condong pada kepentingan oligarki pemilik modal. Mahalnya biaya demokrasi, menciptakan simbiosis mutualisme antara pemangku kebijakan dengan para kapitalis. 

Negara pun akhirnya gagal dalam menciptakan kemandirian dan ketahanan pangan. Penghargaan swasembada hanya sebatas klaim.

Sistem Islam Wujudkan Kemandirian Pangan

Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang memiliki aturan yang paripurna termasuk dalam mengatasi masalah pangan. Dengan kekuatan ideologinya, negara Islam (Khilafah) memiliki sejumlah mekanisme untuk mewujudkan kemandirian pangan.

Pertama, kebijakan optimalisasi produksi pangan dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi dengan menghidupkan lahan mati, misalnya. Sedangkan intensifikasi, meningkatkan produktivitas lahan dan memaksimalkan pengadaan saprodi serta sarana pertanian lainnya bagi petani.

Kedua, distribusi pangan yang adil dan merata. Negara menciptakan mekanisme pasar yang sehat, melarang praktik penimbunan, kartel, penipuan, praktik riba, dan monopoli. 

Ketiga, mengatur kebijakan ekspor impor antar negara. Ekspor boleh dilakukan jika seluruh rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri. Aspek yang dilihat dalam perdagangan luar negeri adalah pelaku perdagangan, bukan barang yang diperdagangkan. 

Semua ini, dilakukan negara berideologi Islam untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan. Sehingga tak bergantung impor, lagi dan lagi. Wallahu alam bish shawab.

Oleh: Lussy Deshanti Wulandari
Pegiat Literasi

Sabtu, 10 Desember 2022

Ironi, Negara Agraris Pecandu Impor Beras

Tinta Media - Kebijakan impor beras ibarat rutinitas tahunan di Indonesia. Ironis, sebab negeri ini dikenal sebagai negara agraris, bahkan sejak masa kolonial penjajahan. Harapan swasembada pangan hanyalah ilusi yang digaungkan oleh setiap rezim yang berkuasa. Faktanya, impor beras terus berlanjut meski sebenarnya justru merugikan petani pribumi. 

Baru-baru ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, alias Zulhas, buka suara mengenai ketersedaiaan beras dalam negeri. Zulhas berujar bahwa persediaan beras di Bulog tidak boleh kurang dari 1,2 juta ton. Ketersediaan pasokan ini menjadi penting karena bisa berpengaruh terhadap inflasi pangan. Kondisi ini berbeda dengan komoditas lain, seperti cabai dan bawang. 

“Beras kalau naik Rp10 saja bisa berpengaruh pada inflasi hingga 3,6 persen. Kalau cabai atau bawang naik, pengaruhnya cuma 0,1 persen," ujar politikus Matahari Putih tersebut.  

Dia mengatakan pemerintah belum mengambil keputusan impor. Namun, Bulog sudah membeli beras di luar negeri.

"Belinya sudah, impornya belum,” ujar Zulhas ketika ditemui wartawan di The Westin Hotel Jakarta, Selasa, 29 November 2022 (tempo.com, 29/11/2022).

Pernyataan mendag tersebut merupakan respon dari kabar tirisnya ketersediaan pasokan beras di gudang bulog. Kondisi ini pertama kali dikeluhkan oleh para pedagang Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Pasalnya, pasokan beras dari Bulog per harinya berkurang dari 3000 ton menjadi hanya sekitar 150 ton saja.

Persoalan impor beras bukan persoalan baru bagi Indonesia. Hampir setiap tahun Indonesia rutin mengimpor beras dari negara lain. Anehnya, tidak ada solusi apa pun, bahkan setelah puluhan tahun berlalu. Siapa pun presiden dan menterinya, kebijakannya tidak jauh berbeda. Solusinya adalah impor beras, dan hal ini tidak pernah dianggap sebagai masalah besar. Impor justru dianggap tindakan yang baik dan harus dilakukan. Padahal, faktanya petani pribumi harus menanggung dampak yang tidak menyenangkan, yaitu anjloknya harga gabah.

Polemik impor beras ini sesungguhnya tidak perlu terjadi berlarut-larut apabila pemerintah serius dalam melakukan pengelolaan pertanian di Indonesia. Swasembada beras sebenarnya bukanlah hal yang amat jauh untuk dicapai mengingat Indonesia beriklim tropis dengan lahan yang subur membentang sangat luas di seluruh negeri. Namun sayang, hal ini tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik dan efisien, sehingga swasembada beras hingga saat ini hanya menjadi mimpi.

Bulog sendiri adalah sebuah badan yang bertanggung jawab atas stok beras negara. Tugasnya adalah menyerap hasil panen para petani untuk dijadikan cadangan pangan dalam negeri. Teorinya memang bagus, tetapi pada prakteknya, Bulog membeli hasil panen petani dengan harga yang lebih rendah daripada swasta sehingga petani pun enggan menjual hasil panennya kepada pemerintah. Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi. Penyerapan hasil pertanian dalam negeri, apalagi menyangkut makanan pokok rakyat, harusnya menjadi tanggung jawab penuh pemerintah.

Lebih ironis, untuk menjamin stok beras di gudang bulog, pemerintah memutuskan untuk membeli beras dari luar negeri. Bukan hanya tidak bijaksana, tapi kebijakan semacam ini sangat melukai hati para petani. Belum lagi petani harus dihadapkan dengan persoalan mahalnya harga pupuk. Tidak heran jika produksi beras kian menurun. Keterpurukan Ini adalah wujud dari keputusasaan petani yang tidak kunjung sejahtera, padahal hidup di dalam negara agraris.

Lalu mengapa pemerintah memilih impor dibandingkan membeli dari petani sendiri? Apakah harga beras luar negeri lebih murah daripada dalam negeri? Jawabnya iya. Biaya produksi padi di Indonesia memang tergolong tinggi. Di antaranya biaya irigasi dan pupuk di Indonesia tergolong sangat mahal, sehingga petani mau tidak mau harus memasang harga yang sesuai agar tidak merugi. Namun, masalah biaya produksi yang tinggi ini adalah masalah sistemik yang tidak bisa diselesaikan oleh para petani sendiri. Pemerintahlah yang seharusnya memberi solusi, bukan malah membeli beras dari luar negeri.

Impor beras ekstrem pada akhirnya bisa menimbulkan kerugian dan bahaya besar bagi Indonesia. Dampak paling berbahaya dari adanya impor beras adalah para petani di desa bisa mogok menanam padi. Para petani bila terus mengalami kerugian pastinya akan mencari alternatif lain selain dari menanam padi. Jika hal itu terjadi, Indonesia akan kehilangan stabilitas dan kedaulatan pangan. Bukan tidak mungkin, Indonesia akan bergantung pada negara lain dalam hal makanan pokok. Tentu ini sangat berbahaya.

Negara luar yang menjadi langganan impor beras Indonesia, seperti Vietnam dan Thailand, bisa saja menaikkan harga beras secara sepihak. Sebab pada setiap bisnis, pasti terdapat intrik politik. Thailand dan Vietnam akan melihat dan memperhitungkan kondisi Indonesia. Jika para petani benar-benar mogok menanam padi, maka bukan tidak mungkin kedua negara tersebut akan menggenjot harga menjadi lebih mahal. Jadilah negara kita kelimpungan untuk membeli beras. Maka benar adanya, bahwa swasembada pangan sangat penting bagi suatu negara.

Indonesia adalah negara agraris karena memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan iklim yang mendukung. Namun, masalah impor beras nyatanya sudah terjadi selama bertahun-tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 2000 hingga 2019 tercatat bahwa Indonesia selalu impor beras. Dalam rentang waktu tersebut, pemerintah paling banyak mengimpor beras pada tahun 2018 yakni hingga mencapai 2.253.824,5 ton atau setara US$ 1,03 miliar (solopos.com, 23/03/2021). Beras sebanyak itu diimpor dari sekitar tujuh negara, yakni Vietnam, Thailand, China, India, Pakistan, Myanmar, dan lainnya. 

Hobi impor beras yang bagai candu bagi pemerintah ini, mencerminkan buruknya sistem pengelolaan negara. Persoalan ini menunjukkan adanya kegagalan perencanaan penyerapan beras cadangan dan buruknya koordinasi berbagai pihak terkait, baik pemerintah, petani maupun swasta. Selain itu, sistem ekonomi kapitalisme memunculkan kebijakan pengelolaan pangan yang tidak berpihak pada rakyat. Kebijakan ekonomi hanya memperhitungkan untung rugi kaum kapital, bukan kemaslahatan seluruh rakyat. 

Keterpurukan semacam ini tidak akan terjadi apabila diterapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam semua lini kehidupan, termasuk tata kelola pertanian. Islam memiliki sistem pengelolaan yang terbaik, yang akan menjamin ketersediaan cadangan pangan oleh negara dan melindungi petani beras sehingga dapat berproduksi  optimal.

Dunia Islam di masa kekhalifahan tercatat telah menguasai teknologi pangan yang lebih maju dari peradaban lain, bahkan dengan Barat sekalipun. Islam memandang pertanian merupakan tiang utama dalam ketahanan sebuah negara, maka segala proses pertanian akan sangat diperhatikan. Pemerintah Islam akan menyediakan anggaran yang memadai untuk mendukung petani dalam menyediakan benih berkualitas, teknologi canggih, dan mempermudah penyediaan penunjang pertanian yang baik seperti pupuk dan pestisida.

Negara dalam sistem Islam juga akan mengatur pasar sedemikian rupa agar ramah bagi para petani dalam negeri. Impor tidak akan dilakukan selama petani dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan pasar. Dengan begitu, hasil panen petani akan dihargai dengan pantas. Kesejahteraan dan keberkahan hidup petani dan seluruh rakyat hanya bisa terwujud dalam sistem Islam. 

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al-A'raf ayat 96. "Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan". (QS. Al-A’raf: 96)

Oleh: Dinda Kusuma Wardani T
Sahabat Tinta Media

Negara Agraris Harus Impor Beras, Miris!

Tinta Media - Pada era Orde Baru, Indonesia pernah mengalami kejayaan pada bidang pertanian, hingga mendapat julukan "The Tiger of Asia" atau macan Asia. Itu adalah julukan dunia pada Indonesia. Saat itu, Indonesia mampu mengekspor beras hingga 2 juta ton setiap tahunnya. Bahkan, Indonesia mampu memberikan bantuan kemanusiaan ke banyak negara di belahan dunia. Akan tetapi, sekarang ini sungguh miris, negara agraris harus impor beras.

Cadangan beras pemerintah (CBP) di gudang Bulog saat ini hanya  651 ribu ton, jauh  di bawah cadangan ideal sebesar 1,2 juta ton. Budi Waseso mengatakan bahwa cara lain untuk meningkatkan CBP (Cadangan Beras Pemerintah) yaitu dengan impor.  

"Pemerintah harus bergerak cepat mengambil langkah alternatif untuk memenuhi cadangan beras yang sudah menipis. Kalau terlambat, di satu sisi kita sudah tahu tidak mungkin dalam waktu dekat bisa menyerap dalam jumlah besar, karena selain barangnya tidak ada, harganya tidak memungkinkan," kata Budi Waseso dalam rapat dengar pendapat dengan komisi 4 DPR RI di Gedung Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (6/11) seperti dikutip dari Antara.

Indonesia yang merupakan negara agraris diharapkan mampu mencukupi kebutuhan bahan pangan untuk masyarakatnya dari produksi dalam negeri. Akan tetapi, negeri ini ternyata masih melakukan impor bahan pangan seperti beras dari negara lain. Di pedesaan pun masih banyak  masyarakat yang mengalami kelaparan.

Banyak sekali alasan, mengapa Indonesia selalu melakukan impor beras, di antaranya adalah  karena saat ini stok beras pemerintahan di Bulog sangat terbatas. 

Selain itu, alasan yang sangat krusial adalah adanya alih fungsi lahan persawahan yang saat ini semakin gencar dilakukan. Perubahan lahan pertanian menjadi perkotaan jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan mempelebar lahan pertanian. Belum lagi adanya proyek pembangunan di kota, seperti pembangunan bandara, pelabuhan, pembuatan infrastruktur, dan sebagainya. Semua ini turut menyumbang pengurangan lahan pertanian.

Konflik agraria dan sengketa tanah merupakan beberapa gesekan yang bisa mengganggu efektivitas pertanian. Banyaknya pertanian yang beralih fungsi membuat para petani kehilangan mata pencaharian, akhirnya menjadi pengangguran. Jelas, ini menyebabkan bertambahnya penduduk miskin di pedesaan, yang sebagian besar adalah petani.

Pupus sudah kedigdayaan Indonesia yang pernah menjadi negara swasembada beras. Di mata dunia, Indonesia kini dipandang sebelah mata. Padahal, negeri ini memiliki letak geografis yang menonjol sebagai negara terluas di  kawasan Asia Tenggara dengan sumber daya yang melimpah dan julukan tersohor sebagai negara agraris.

Kapitalis adalah Sebab, Masalah  Agraria adalah Akibat

Kapitalisme yang diterapkan di negeri menyebabkan para oligarki masuk ke setiap lini, termasuk sektor pertanian. Ini menyebabkan kepincangan dalam pembagian sumber-sumber kemakmuran bersama. Sistem kapitalisme berpijak pada dasar landasan bahwa yang kuat akan semakin kuat dan yang lemah akan semakin lemah. Dari sini dapat dikatakan bahwa kapitalisme dan masalah agraria merupakan suatu hubungan sebab dan akibat.

Sistem kapitalisme dapat menggerogoti sektor pertanian, terutama wacana proyek pembangunan. Sektor pertanian ini merupakan ladang emas bagi para oligarki  asing maupun dalam negeri. 

Agraria Indonesia semakin diselimuti perang kepentingan terselubung dalam proyek pembangunan. Keuntungan yang sebesar-besarnya menjadi tujuan utama, tanpa memikirkan akibat bagi para petani yang kehilangan mata pencaharian.

Berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Seburuk-buruknya pemimpin adalah yang al huthamah (yang menzalimi rakyatnya dan tidak menyayangi rakyat nya)." (HR. Muslim)
Hadis ini merupakan peringatan buat para pemimpin negeri.

Ada hadis lainnya yang berkaitan dengan masalah ini. 
Rasulullah saw. bersabda, "Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi dari harga-harga kaum muslimin, untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak)." (HR. Achmad, Al Baihaqi, At Thabrani)

Di dalam daulah Islam, seorang pemimpin negara mewajibkan kepada seluruh pejabatnya untuk memberikan perhatian penuh kepada rakyatnya, memastikan persediaan stok pangan apakah sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Seorang pemimpin negara harus selalu mengingatkan kepada para pejabatnya untuk melakukan aktivitas produksi. Hal ini dengan melakukan pembinaan petani lokal, terutama terkait intensifikasi produksi. Negara mengatur penggunaan lahan pertanian dengan rinci, sehingga tidak akan terjadi alih fungsi lahan  yang dapat menyempitkan lahan pertanian.

Kemandirian negara dalam Islam dilakukan dengan mengharamkan segala bentuk kemungkaran bagi semua pihak di sektor apa pun, baik oleh asosiasi pengusaha, importir, atau pedagang yang melakukan kesepakatan, kolusi, atau persekongkolan dengan tujuan mengatur dan mengendalikan harga atau produk, misalnya dengan menahan atau menimbun stok maupun membuat kesepakatan harga jual sebagaimana yang dilakukan kartel pangan saat ini.

Kemandirian dalam produksi pangan sangatlah penting. Negara wajib mewujudkan swasembada, agar tidak bergantung pada negara lain. Impor tidak diharamkan dengan syarat tidak membahayakan kedaulatan negara.

Hanya dengan sistem Islam, tata kelola pangan bisa dituntaskan. Sudah saatnya umat Islam berpikir untuk berpaling dari sistem kapitalisme yang selamanya selalu menyengsarakan rakyat, ke sistem Islam yang dibuat oleh yang menciptakannya, yaitu Allah Swt. Dengan Islam kaffah, negeri ini akan memecahkan segala problematika umat di muka bumi ini.

Wallahualam bissawab.

Oleh: Titien Khadijah
Muslimah Peduli Umat

Rabu, 07 Desember 2022

Impor Beras, Dejavu Mimpi Buruk Para Petani

Tinta Media - Sudah sejak lama Indonesia dijuluki sebagai negara agraris, karena sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Bahkan, pada tahun 2016 laporan Badan pusat statistik (BPS) yang pada website resmi Kementerian Pertanian Indonesia menyatakan bahwa produksi padi Indonesia akan mengalami kenaikan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir. Kabar ini di laporkan pada masa periode pertama Presiden Jokowi menjabat. 

Dengan fakta-fakta tersebut, tentu tidak diragukan lagi bahwa Indonesia sangat menjanjikan dalam sektor komoditi pangan utama ini. Namun, pada faktanya di tahun yang sama pada kuartal 1 tahun 2016, Indonesia mencatat impor beras terbesar, yakni mencapai 981,99 ribu ton dengan nilai US$401 juta (databoks, 26/11/22). Angka tersebut merupakan catatan tertinggi selama satu dekade terahir saat ini. 

Kemudian (katadata.co.id) juga mencatat prestasi impor Indonesia secara akumulasi periode Januari-Desember 2021, mencapai 407,74 ribu ton. Angka tersebut tumbuh 14,44% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. 

Hingga di akhir tahun 2022, kabar terbaru mengenai permintaan Bulog untuk meminta impor kepada pemerintah cukup menjadi keresahan para petani. Berdasarkan keterangan yang didapat dari media (katadata.co.id, 26/11/22), diterangkan kronologisnya sebagai berikut:

'Bulog kekurangan  stok cadangan beras pemerintah (CBP) sehingga mengusulkan untuk impor. Impor ‘perlu’ dilakukan karena penyerapan beras oleh Bulog rendah, sementara Kementan gagal menyediakan beras yang dijanjikan untuk menutupi kekurangan stock tersebut. Di sisi lain, petani enggan menjual beras ke bulog karena harga beras sedang tinggi, sementara Bulog membeli dengan harga yang lebih rendah.'

Data-data impor beras setiap tahunnya seolah menjadi dejavu para petani yang mengharapkan harga gabah mahal ketika panen tiba. Kejadian tersebut seolah tidak berujung di negara yang digadang menjadi negara swasembada beras ini. Nasib petani sebagai pahlawan pangan tetap miris. 

Permasalahan seolah berputar-putar pada lingkaran yang sama, yaitu gagalnya Bulog menyerap beras dari petani dalam negeri. Ini karena harga yang ditawarkan cukup rendah. Hal ini membuat rantai beras kadang tersendat di alur tengkulak yang menyimpan beras karena menunggu harga naik, sehingga tersendat pula jumlah beras yang mengalir masuk ke pemerintah dan Bulog dari petani untuk menjadi cadangan beras negara. 

Persoalan ini menunjukkan adanya kegagalan perencanaan penyerapan beras cadangan dan buruknya koordinasi berbagai pihak terkait. Selain itu, kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan pangan yang bersifat kapitalistik sehingga tidak berpihak pada petani, seperti naiknya harga pupuk yang membuat produksi berkurang. 

Tercekik dari sisi mana pun, mungkin begitu gambaran yang tepat untuk petani kita saat ini. Harga jual yang murah ketika musim panen dan biaya produksi yang cukup tinggi bak dinding besar menghimpitnya. Penghasilan dari bertani tidak menutup modal awal yang di keluarkan. Begitulah kurang lebih kondisi yang membuat petani kita tetap miskin di negara yang subur ini. 

Tentu keegoisan sistem kapitalislah yang menjadi dalang utama ironi ini. Pemerintah yang berpihak pada pasar bebas menderaskan kegiatan impor oleh negara maju ke negara berkembang. Bukan lagi rahasia jika para kapitalislah yang akan meraup keuntungan menjanjikan. Itu sebabnya, masalah pertanian di negeri ini tetap tidak terselesaikan. 

Hal di atas tidak akan mungkin terjadi pada sistem yang menerapkan aturan Islam. Islam memiliki sistem pengelolaan yang terbaik, yang akan menjamin ketersediaan cadangan pangan oleh negara dan melindungi petani beras sehingga dapat berproduksi  secara optimal. Islam secara menyeluruh mengatur sektor pertanian, mulai dari penyediaan lahan maupun hasilnya. Intensifikasi lahan benar-benar diterapkan. Lahan pertanian yang kosong harus digarap oleh pemiliknya.

Dengan menambah peruntukan lahan pertanian secara aktif, menjadikan negara mudah untuk swasembada pangan. Demikian juga dengan infrastrukstur yang memadai, terutama pada bagian distribusi hasil pertanian. Dengan begitu, harga tidak jatuh karena alur hulu ke hilir pada sistem pertanian terlalu jauh. 

Sistem Islam juga menyediakan pasar sehat dan layak untuk menghindari daya saing masyarakat yang terlalu kontras, seperti yang terjadi pada sistem saat ini. Pemerintahan dalam Islam menjaga kondisi harga yang terjangkau untuk konsumen dan harga yang stabil untuk produsen, yaitu dengan menjamin mekanisme harga komoditi pertanian dan harga komoditi hasil industri pertanian yang berjalan secara transparan. 

Begitulah sistem Islam memamparkan solusinya secara jelas dalam suatu masalah. Menjalankan aturan Islam, selain dapat menyejahterakan manusia, juga merupakan bentuk ketaatan kita kepada Sang Khalik, Allah Subhanahu wata’ala. Wallahualam bi shawab.

Oleh: April Rain
Aktivis Dakwah

Jumat, 02 Desember 2022

Kebergantungan Impor Dinilai Mengancam Kedaulatan Negara

Tinta Media - Kebergantungan negara pada impor dinilai Muslimah Media Center (MMC) menjadi jalan yang mengancam kedaulatan negara.

"Kebergantungan negara pada impor yang terus dipertahankan justru menjadi jalan yang mengancam kedaulatan negara," tutur narator dalam Serba Serbi MMC: Ngotot Impor Beras, Optimalisasi produksi dalam Negeri Diabaikan di kanal YouTube Muslimah Media Center, Sabtu (26/11/2022).

Menurutnya, kedaulatan pangan pada suatu negara dapat diartikan kemampuannya memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara mandiri tanpa intervensi dari pihak lain. Karenanya kedaulatan dalam kemandirian pangan ini mutlak diwujudkan dalam Islam. Karena menggantungkan pemenuhan pangan melalui impor dari negara lain dapat menjadi jalan untuk menguasai kaum muslimin. "Dan hal ini diharamkan dalam Islam," ujarnya.

Ia mengungkapkan bahwa untuk merealisasikannya, khilafah akan menjalankan politik ekonomi Islam dalam pengelolaan pangan dan pertanian. Secara politik, syariah Islam menetapkan negara wajib bertanggung jawab secara penuh dalam pengurusan hajat publik. "Sebab pemerintah adalah penguasa yang memiliki dua peran utama yakni sebagai ra'in atau pelayan dan junnah atau pelindung," jelasnya.

Hal ini, lanjutnya, telah ditegaskan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam dalam hadisnya bahwa sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus urusan rakyatnya dan bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya. Hadis riwayat Muslim dan Ahmad.

"Tanggung jawab ini mutlak diemban oleh khilafah tanpa boleh dialihkan ke pihak lain, apalagi korporasi," bebernya.

Ia mengatakan bahwa khilafah hadir secara utuh dalam pengelolaan pangan mulai dari aspek hulu hingga ke hilir. Di hulu, negara bertanggung jawab untuk menjamin berjalannya proses produksi dan menjaga stok pangan. 'Karenanya khilafah akan mendukung penuh usaha pertanian yang dilakukan rakyatnya, seperti memberi kemudahan mengakses bibit terbaik, teknologi pertanian terbaru, menyalurkan bantuan, membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi dan lainnya," paparnya.

"Termasuk menyelanggarakan riset-riset pendidikan, pelatihan dan pengembangan," imbuhnya.

Kemudian negara menerapkan hukum pertanahan dalam Islam sehingga mencegah penguasaan lahan dan menjamin semua tanah dikelola maksimal. Begitu pula aspek distribusi dan stabilisasi harga. Secara prinsip distribusi dan pembentukan harga dalam Islam mengikuti permintaan dan penawaran yang terjadi secara alami tanpa adanya intervensi negara. 'Pemerintah hanya perlu melakukan pengawasan jika terjadi kondisi yang tidak normal," tukasnya.

"Oleh karena itu, hanya khilafah yang mampu mewujudkan kedaulatan pangan, sehingga kebutuhan pangan rakyat terpenuhi secara cukup, terjangkau dan berkualitas serta menjamin kesejahteraan petani," pungkasnya.[] Ajira
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab