Impor Beras Makin Deras, Kedaulatan Pangan Hanya Angan
Tinta Media - Impor menjadi solusi pragmatis permasalahan beras, dan hal ini bukan permasalahan mendasar. Bahkan, cenderung menjadi cara praktis mendapatkan keuntungan bagi pihak tertentu yang berkepentingan.
Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada, terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah, yakni hampir mencapai 280 juta jiwa dan mereka membutuhkan beras. Hal ini diungkapkan Presiden Joko Widodo di acara Pembinaan Petani Jawa Tengah di Banyumas (2/1/2024). (CNBC Indonesia, 2/1/2024)
Permasalahan ini bisa diatasi dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan oleh negara. Di antaranya, menyediakan lahan pertanian di tengah banyaknya alih fungsi lahan.
Ekonom dari Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Muhammad Hatta menyatakan bahwa kenaikan harga beras tidak sebatas karena dampak El Nino, tetapi lebih kompleks dan sistemis. Masalah sistemis itu di antaranya:
Pertama, penduduk bertambah banyak, tetapi produksi beras makin turun. Harga barang akan mengikuti hukum pasar. Jika penawaran lebih sedikit daripada permintaan, maka harga pasti naik. Ini menjadi alasan mengapa pemerintah melakukan impor beras, yaitu untuk menekan agar harga tidak naik.
Kedua, harga beras tetap naik, meskipun dana triliunan rupiah sudah dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur. Seharusnya, pembangunan infrastruktur dimulai dari kebutuhan dasar rakyat terlebih dahulu, terlebih Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan pertaniannya.
Ketiga, keberlanjutan pertanian. Indonesia berada di ranking ke-71 dari 78 negara berdasarkan data dari food sustainability index (indeks keberlanjutan pangan).
Di tengah sistem keuangan yang kapitalistik, orang lebih memilih menimbun uang di perbankan, deposito, dan bermain di pasar modal, sehingga uang yang masuk ke dalam sektor riil yang produktif itu sangat kurang, termasuk pertanian.
Selain itu, ada masalah konversi lahan yang berhubungan dengan para kapitalis. Mereka membuka industri dan perumahan di lahan-lahan yang diperuntukkan untuk pertanian. Hal ini menyebabkan luas lahan pertanian menjadi berkurang. Meski ada upaya penanggulangan soal ini, tetapi belum ada kebijakan yang jelas, mengingat pendapatan pajak dari dunia industri dan perumahan juga cukup menggiurkan.
Solusi tambal sulam untuk mengatasi hal tersebut tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah baru. Sejatinya, ini memperlihatkan kelemahan negara dalam kedaulatan pangan. Negara di dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator, yaitu sekadar menjalankan regulasi mengikuti arahan para kapitalis.
Islam sangat memperhatikan masalah pangan, karena merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Islam mewajibkan seorang pemimpin negara dan jajarannya untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat, terutama pangan. Dengan dorongan iman, mereka akan melaksanakan tugas dengan baik, karena memaham bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Islam mewajibkan pemerintah untuk menyediakan kebutuhan pokok, yaitu kecukupan dan kepastian kebutuhan setiap individu dapat terpenuhi. Islam mengharamkan negara mematok harga. Islam juga memiliki mekanisme agar ketersediaan pangan dan harganya tetap terjaga.
Islam melarang kaum muslim bergantung pada asing agar negara bisa berdaulat. Namun, Islam tidak melarang impor, asalkan memenuhi kriteria syariat, seperti tidak bekerja sama dengan negara kafir harbi.
Negara juga memiliki kebijakan dalam negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan, di antaranya dengan ekstensifikasi, yaitu yang berhubungan dengan penyediaan lahan pertanian dan meminimalkan alih fungsi lahan. Juga dengan melakukan intensifikasi, seperti meningkatkan kualitas benih, pupuk, metode pertanian, dan seterusnya.
Selain produksi, negara juga mengatur distribusi dengan memutus rantai distribusi hingga dapat meminimalkan biaya, menjadikan harga bahan pokok tidak naik jauh. Akan ada sanksi bagi pelaku kecurangan, sehingga tidak ada yang berani berlaku curang. Semua dilakukan karena dorongan iman kepada Allah dan paham bahwa hal itu kelak diminta pertanggungjawaban. Namun, hanya negara yang berlandaskan Islam yang dapat mewujudkannya, sehingga kedaulatan pangan bukan hanya angan-angan lagi.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Yanyan Supiyanti, A.Md.
Sahabat Tinta Media