Tinta Media: Impor Beras
Tampilkan postingan dengan label Impor Beras. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Impor Beras. Tampilkan semua postingan

Kamis, 18 Januari 2024

Impor Beras Makin Deras, Kedaulatan Pangan Hanya Angan



Tinta Media - Impor menjadi solusi pragmatis permasalahan beras, dan hal ini bukan permasalahan mendasar. Bahkan, cenderung menjadi cara praktis mendapatkan keuntungan bagi pihak tertentu yang berkepentingan. 

Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada, terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah, yakni hampir mencapai 280 juta jiwa dan mereka membutuhkan beras. Hal ini diungkapkan Presiden Joko Widodo di acara Pembinaan Petani Jawa Tengah di Banyumas (2/1/2024). (CNBC Indonesia, 2/1/2024) 

Permasalahan ini bisa diatasi dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan oleh negara. Di antaranya, menyediakan lahan pertanian di tengah banyaknya alih fungsi lahan. 

Ekonom dari Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Muhammad Hatta menyatakan bahwa kenaikan harga beras tidak sebatas karena dampak El Nino, tetapi lebih kompleks dan sistemis. Masalah sistemis itu di antaranya: 

Pertama, penduduk bertambah banyak, tetapi produksi beras makin turun. Harga barang akan mengikuti hukum pasar. Jika penawaran lebih sedikit daripada permintaan, maka harga pasti naik. Ini menjadi alasan mengapa pemerintah melakukan impor beras, yaitu untuk menekan agar harga tidak naik. 

Kedua, harga beras tetap naik, meskipun dana triliunan rupiah sudah dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur. Seharusnya, pembangunan infrastruktur dimulai dari kebutuhan dasar rakyat terlebih dahulu, terlebih Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan pertaniannya. 

Ketiga, keberlanjutan pertanian. Indonesia berada di ranking ke-71 dari 78 negara berdasarkan data dari food sustainability index (indeks keberlanjutan pangan). 

Di tengah sistem keuangan yang kapitalistik, orang lebih memilih menimbun uang di perbankan, deposito, dan bermain di pasar modal, sehingga uang yang masuk ke dalam sektor riil yang produktif itu sangat kurang, termasuk pertanian. 

Selain itu, ada masalah konversi lahan yang berhubungan dengan para kapitalis. Mereka membuka industri dan perumahan di lahan-lahan yang diperuntukkan untuk pertanian. Hal ini menyebabkan luas lahan pertanian menjadi berkurang. Meski ada upaya penanggulangan soal ini, tetapi belum ada kebijakan yang jelas, mengingat pendapatan pajak dari dunia industri dan perumahan juga cukup menggiurkan. 

Solusi tambal sulam untuk mengatasi hal tersebut tidak menyelesaikan masalah, malah menambah masalah baru. Sejatinya, ini memperlihatkan kelemahan negara dalam kedaulatan pangan. Negara di dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator, yaitu sekadar menjalankan regulasi mengikuti arahan para kapitalis. 

Islam sangat memperhatikan masalah pangan, karena merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Islam mewajibkan seorang pemimpin negara dan jajarannya untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat, terutama pangan. Dengan dorongan iman, mereka akan melaksanakan tugas dengan baik, karena memaham bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. 

Islam mewajibkan pemerintah untuk menyediakan kebutuhan pokok, yaitu kecukupan dan kepastian kebutuhan setiap individu dapat terpenuhi. Islam mengharamkan negara mematok harga. Islam juga memiliki mekanisme agar ketersediaan pangan dan harganya tetap terjaga. 

Islam melarang kaum muslim bergantung pada asing agar negara bisa berdaulat. Namun, Islam tidak melarang impor, asalkan memenuhi kriteria syariat, seperti tidak bekerja sama dengan negara kafir harbi. 

Negara juga memiliki kebijakan dalam negeri untuk mewujudkan ketahanan pangan, di antaranya dengan ekstensifikasi, yaitu yang berhubungan dengan penyediaan lahan pertanian dan meminimalkan alih fungsi lahan. Juga dengan melakukan intensifikasi, seperti meningkatkan kualitas benih, pupuk, metode pertanian, dan seterusnya. 

Selain produksi, negara juga mengatur distribusi dengan memutus rantai distribusi hingga dapat meminimalkan biaya, menjadikan harga bahan pokok tidak naik jauh. Akan ada sanksi bagi pelaku kecurangan, sehingga tidak ada yang berani berlaku curang. Semua dilakukan karena dorongan iman kepada Allah dan paham bahwa hal itu kelak diminta pertanggungjawaban. Namun, hanya negara yang berlandaskan Islam yang dapat mewujudkannya, sehingga kedaulatan pangan bukan hanya angan-angan lagi. 

Wallahualam bissawab.

Oleh: Yanyan Supiyanti, A.Md.
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 13 Januari 2024

IMPOR BERAS MAKIN DERAS, TATA KELOLA TAK NAIK KELAS


Tinta Media - Lagi, Indonesia kembali melakukan impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kebijakan yang diambil pemerintah untuk kembali impor beras menjadi pertanyaan besar. Bagaimana bisa negara yang dikenal sebagai negara agraris, serta sumber daya alam yang melimpah, dengan hasil pertanian seharusnya mampu mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan yang solutif masih kekurangan dan membutuhkan pasokan bahan pangan dari luar?

Dikutip dari (cnbcindonesia.com)  Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka butuh beras. Jokowi juga menjelaskan bahwa tidak impor beras itu sulit untuk diterapkan karena tingkat produksi yang tidak pernah mencapai target setiap tahunnya.

Kebijakan impor beras bukan jalan baru yang ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi kegagalan mencapai target swasembada. Sekian lama pemerintah mengambil langkah yang sama namun belum mampu mengatasi persoalan yang terjadi. Hal ini disebabkan solusi yang diberikan hanya solusi praktis yang tidak sampai kepada titik permasalahan yang ada.

Kegagalan yang dialami pemerintah saat ini tidak lain karena adanya kesalahan tata kelola. Penerapan tata kelola kapitalis yang cenderung dimanfaatkan demi keuntungan sebagian pihak menjadikan solusi yang diberikan tidak berpengaruh pada pertumbuhan ketahanan pangan. Praktik ala kapitalis hanya menguntungkan segelintir orang, oleh sebab itu penyelesaian yang diberikan tidak sampai para akar masalah namun malah menambah masalah yang lebih parah.

Ketidak ketersediaan lahan pertanian menjadi salah satu faktor pendorong kurangnya pasokan beras di Indonesia. Pasalnya, dalam sistem kapitalis banyak terjadi perampasan serta alih fungsi lahan yang menjadikan para petani kehilangan lahan pertanian.

Belum lagi tidak adanya jaminan kesejahteraan yang membuat para petani mulai beralih mencari profesi lain, yang lebih menjanjikan. Petani hanya dijadikan kacung bagi para oligarki yang memimpikan sebuah keuntungan besar, sedangkan bagi para petani sendiri hidup dalam tekanan ekonomi yang kian mencekik.

Kegagalan strategi penanganan masalah pangan ini tidak akan berhenti jika pemerintah tetap menerapkan sistem tata kelola ala kapitalis, karena kebijakan yang dijalankan melalui praktik kapitalisme hanya akan membawa pada pusaran yang sama, tidak akan ada perubahan yang signifikan, selain keuntungan para pemilik modal. Seperti kegagalan proyek food estate, yang pada awalnya menjadi upaya pemerintah mewujudkan ketahanan pangan nasional, sebagai antisipasi menghadapi adanya krisis pangan, namun hasilnya nihil. Nyatanya menjadikan lahan mati yang sulit untuk di perbaiki kembali. Proyek yang gagal menghasilkan kerusakan serta kerugian yang serius.

Hal ini jelas berbeda dengan tata kelola dalam Islam, yang menyajikan tata kelola dengan kesempurnaan dan jauh dari kebatilan sesuai dengan aturan Sang Pencipta. Dalam Islam sendiri, negara adalah pihak yang paling wajib bertanggung jawab dalam penanganan dan penyediaan kebutuhan pokok.

Selain memastikan ketiadaan praktik kecurangan dalam tata kelola negara, Islam juga menjaga kesejahteraan seluruh masyarakatnya. Memastikan tidak adanya lahan yang menganggur tanpa perawatan. Berbagai strategi akan dijalankan dengan selalu berpegang teguh pada aturan-aturan Allah, demi terwujudnya kedaulatan bagi masyarakatnya.

Dengan kesempurnaan tata kelola yang dijalankan, negara yang berpegang teguh pada aturan-aturan Islam akan dengan mudah mampu mewujudkan cita-cita terbesar untuk menjadi negara adidaya sepanjang perjalanannya. Bentuk pemerintahan yang demikian hanya ada dalam negara Islam, yang berdiri di atas aturan-aturan Islam, dengan tata kelola yang sesai dengan Alquran.

Oleh: Olga Febrina (Mahasiswi, Pegiat Literasi dan Aktivis Dakwah)

 

 

 

Sabtu, 07 Oktober 2023

Ekonom: Kebutuhan Beras Indonesia Lebih Banyak Dipenuhi Impor Dibanding Produksi Sendiri

Tinta Media - Ekonom dari Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPD) Dr. Fahrur Ulum, M.E.I menilai kebutuhan beras Indonesia lebih banyak dipenuhi oleh impor dibanding  produksi sendiri.
 
“Kebutuhan beras Indonesia lebih banyak dipenuhi dari impor dari pada produksi sendiri. Kondisi el nino dituding sebagai penyebab turunnya produksi dalam negeri,” ujarnya di Kabar Petang: Beras Dari Cina Berbahaya? di kanal Youtube Khilafah News, Kamis (5/10/2023).
 
Ia menerangkan, konsumsi beras penduduk Indonesia berkisar 35,3 juta ton per tahun sementara produksi beras dalam negeri makin tahun makin menurun. Kebutuhan beras yang cukup tinggi ini secara logika ekonomi memang mengharuskan adanya impor.
 
“Impor beras bukan lagi sebagai suplemen tapi sudah menjadi penopang utama untuk memenuhi kebutuhan. Lihat saja pada tahun-tahun sebelumnya, kita sudah impor ke Thailand sebesar 50 persen dari kebutuhan, Vietnam 42 persen, India 5 persen, dan Pakistan 3 persen,” bebernya.
 
Pada akhir tahun 2023, ucapnya,  Indonesia masih akan impor beras yang diperkirakan sekitar 1 juta ton dari Cina dan akan berlanjut di tahun 2024 masih tetap akan impor 1 juta ton lagi dari Cina. 
 
Oleh karena itu, ia berkesimpulan, bahwa Indonesia sudah menjadi net importer beras karena lebih banyak ditopang oleh impor dari pada produksi beras sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.  
 
“Persoalan impor beras ini kalau dilihat dari sudut pandang ekonomi kapitalis wajar, karena kebutuhan melebihi produksi. Amanat dari Undang-Undang mengharuskan  ada 1,2 juta ton setiap saat. Nah sekarang sudah mulai menipis,  kurang dari 1,6 juta ton yang ada di cadangan beras pemerintah. Karena cadangan beras menipis, produksi terus turun mau tidak mau harus impor. Ini logika ekonomi,” ulasnya.
 
Meski demikian, Fahrur mengkritik, persoalannya tidak sekedar transaksional seperti itu, karena beras merupakan kebutuhan pokok.
 
“Harus ada upaya lebih maksimal dengan mengerahkan semua komponen bangsa, komponen masyarakat, para ahli  di bidang pertanian dan sebagainya untuk duduk bersama membicarakan agar dalam jangka panjang  tidak menjadi ketergantungan,” sarannya.
 
Terlebih, ia menerangkan, Indonesia adalah negeri agraris di mana sumber daya produksi beras itu potensinya tinggi, masyarakat yang  tinggal di pedesaan banyak, wilayahnya subur,  kenapa harus jatuh kepada  perangkap ekonomi  ansich  yaitu ekspor impor.
 
Koordinasi
 
Fahrur menganalisa, yang menjadi permasalahan adalah belum adanya koordinasi yang cukup solid dari semua elemen untuk menciptakan ketahanan pangan.
 
“Tata ruang tanah di Indonesia harus diperbaiki kembali, mempertahankan kontur  tekstur lahan pertanian, melakukan intensifikasi, dan pengembangan lahan serta peningkatan teknologi,” ujarnya.
 
Selain itu, ia juga mengingatkan agar tidak memberi kemudahan pada investor untuk masuk yang kemudian akan membabat habis lahan-lahan pertanian.
 
“Semua itu bisa dilakukan jika negara mempunyai goodwill atau keinginan yang baik untuk menjadikan negaranya swasembada pangan. Saya yakin bisa. Persoalannya mau atau tidak?” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Minggu, 02 Juli 2023

Impor Beras Kembali Dibuka, Petani Mengelus Dada

Tinta Media - Bagaikan ayam mati di lumbung padi, peribahasa di atas menggambarkan kelamnya nasib petani di negeri gemah ripah loh jinawi. Pasalnya, buruknya sistem pertanian dalam negeri menyebabkan kran impor beras kembali dibuka. Bahkan, tragedi el nino menjadi alasannya. Padahal, fenomena ini bisa diantisipasi dengan menambah stok beras sejak setahun lalu, sehingga tidak akan terjadi kekosongan beras ketika terjadi kekeringan.

Beberapa pengamat kebijakan publik mengindikasikan bahwa impor beras dilakukan karena adanya kepentingan pemilu tahun depan. Sebagimana pemilu 2019 lalu, kejadian yang sama juga terjadi, yaitu impor beras sebanyak 2,2 juta ton.

Dikutip katadata.co.id, 17/6/2023, pemerintah mengimpor beras dari India sebesar 1 juta ton. Kebijakan ini dilakukan agar pencapaian Cadangan Beras Pemerintah (CBP) stabil, baik stok dan harganya. Padahal, sebelumnya Badan Pangan Nasional (Bapenas) telah menugaskan Bulog untuk mengimpor 2 juta ton sepanjang tahun 2023. Jadi, total pemerintah mengimpor beras sebanyak 3 juta ton.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa impor ini tanpa perencanaan karena berdampak  merugikan petani dalam jangka panjang. Seharusnya Bulog mampu menambah ketersediaan beras sejak setahun lalu karena kekeringan ekstrim sudah bisa diprediksi sebelumnya.

Jebakan Liberalisasi Pangan

Sebelum tahun 1994, Indonesia tercatat sebagai negara pengekspor pangan. Namun, setelah tahun 1994, negara agraris ini menjadi pengimpor pangan. Ini disebabkan pemerintah dan negara-negara yang tergabung dalam organisasi WTO telah meratifikasi perjanjian liberalisasi perdagangan, khususnya liberalisasi industri pertanian pada tahun 1995. 

WTO mengeluarkan Agreement of Algiculture (AoA) yang berpijak pada tiga pilar, yaitu perluasan akses pasar, pemotongan subsidi ekspor, dan pengurangan dukungan domestik. Semenjak itu, kebijakan pemerintah terkait pertanian mengalami perubahan. 

Indonesia wajib  meliberalisasi pasarnya secara bertahap. Akhirnya, pasar dalam negeri dipenuhi dengan produk impor dengan barang berkualitas dan harganya lebih murah. Lambat laun, kondisi tersebut mematikan petani lokal.

Kondisi ini diperparah lagi dengan terjadinya krisis moneter tahun 1998. Ekonomi negara runtuh dan akhirnya mencari pinjaman kepada IMF  (Internasional Moneter Fund). Jebakan utang ini menyebabkan pemerintah wajib mengikuti prasyarat yang diajukan IMF, antara lain meliberalisasi industri perdagangan, termasuk komoditas pertanian, khususnya pangan. 

Sejak tahun 1998, Indonesia resmi mencabut subsidi pupuk, melepas tata niaga pupuk, benih unggul, dan pestisida, sehingga banyak petani menderita dengan meningkatnya biaya produksi. Sedangkan ketika panen, harganya kurang bersaing dikarenakan banyaknya beras impor murah yang membanjiri pasar. Para petani merugi dan memilih untuk tidak menanam padi lagi.

Pada tahun 2010, Indonesia bergabung dengan perjanjian ACFTA (ASEAN China Free Trade). Imbasnya, produk China membanjiri pasar. Lagi-lagi impor tersebut membunuh petani secara perlahan. Akhirnya, semakin ke belakang pemerintah semakin melepas satu-persatu subsidinya sehingga ketergantungan akan impor semakin tinggi. Tak ayal, harga pangan hasil petani lokal melambung tinggi, kalah bersaing dengan produk impor.

Alhasil, negara agraris tak mampu lagi punya ketahanan pangan nasional yang kokoh. Ini disebabkan oleh rakusnya negara kapitalis. Melalui organisasi dunia, PBB, IMF, ACFTA, mereka menindas negara berkembang. Liberalisasi sektor pertanian telah merenggut kebahagiaan petani lokal, sehingga banyak petani yang ganti profesi dan menjual lahannya. Alhasil, minimnya generasi penerus dalam bidang pertanian diambang mata. Astaghfirullah.

Sebuah Ironi 

Kebijakan impor pangan dilakukan oleh menteri perdagangan, setelah melakukan perundingan dalam kabinet. Kebutuhan pangan yang mendesak akibat kekeringan ekstrim menjadi alasan mengimpor 3 juta ton beras. 

Padahal, jika pemegang kebijakan di negeri ini berpihak kepada rakyat, tentunya akan mencari solusi yang terbaik, misalnya memperbaiki sistem industri pertanian, mulai dari pengadaan benih, tata niaga pupuk, pestisida, sampai alat-alat pertanian modern. 

Dari skill SDM, para petani diberikan pelatihan dan dana yang dibutuhkan agar proses produksi meningkat drastis. Ini sebagai antisipasi jika terjadi bencana paceklik, tentunya jika pemimpin negeri ini beriktikad menjadi pelayan rakyat bukannya pro oligarki, serta tidak sekadar mencari manisnya keuntungan impor semata.

Islam Satu-satunya Solusi Tuntas

Sistem Islam adalah sistem kehidupan yang unik. Dalam sistem ini, negara Islam bertanggung jawab menerapkan aturan-aturan Islam secara utuh. Negara mengatur urusan umat dalam negeri ataupun luar negeri, sehingga semua masyarakat mendapat jaminan hidup layak dan sejahtera.

Demikian juga sektor  perdagangan. Islam menjamin ketersediaan kebutuhan pokok dan distribusi ke tengah masyarakat. Sejarah telah membuktikan pula bagaimana ampuhnya aturan Islam menangani musim paceklik. 

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, kekeringan ekstrim melanda pada tahun 18H. Masa paceklik terjadi selama 9 bulan. Pada saat itu, di Madinah masih terkendali karena persediaan tercukupi. Begitu daerah sekitar Madinah kekurangan pangan, mereka mendekat ke Madinah. Akhirnya, sebagai pemimpin, Umar turut merasakan kelaparan dan tidak lagi memakan makanan seperti biasa. 

Setiap hari Khalifah Umar menyembelih onta untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. Sedangkan Umar lebih memilih memakan roti dan minyak saja sampai kulitnya yang kemerahan berubah kehitaman. Kemudian Khalifah Unar menulis surat kepada beberapa gubernur di wilayah yang surplus pertaniannya agar membantu Madinah.

'Amru bin Al 'Ash ra, gubernur Mesir mengirimkan bantuan makanan dan bahan pokok berupa gandum. Abu Musa Al Asy'ari, gubernur Basrah juga mengirimkan bantuan ke Madinah. Abu  Ubaidah membawa 4.000 hewan tunggangan dipenuhi oleh makanan, kemudian dibagikan ke perkampungan sekitar Madinah. 

Demikianlah ketika sistem Islam diterapkan untuk mengatur kehidupan. Permasalahan bisa diatasi dengan tuntas tanpa menimbulkan persoalan berikutnya, sebagaimana tanggung jawab seorang pemimpin yang amanah, rela kelaparan, dan lebih mementingkan kepentingan umatnya. 

Gambaran ketahanan pangan nasional negara Islam sangat kokoh, sehingga bisa menjadi cadangan ketika diperlukan oleh wilayah yang paceklik. Inilah kemandirian pangan yang mewujudkan kesejahteraan. 

Dalam sistem pertanian, negara Islam akan melakukan beberapa hal: 

Pertama, ekstensifikasi pertanian. Ini dilakukan dengan memanfaatkan tanah mati yaitu tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun. Maka, tanah tersebut akan diberikan kepada siapa saja yang mampu menghidupkannya. 

Kedua, intensifikasi pertanian dengan pengadaan alat-alat pertanian yang canggih. Pemerintah juga memberikan bantuan modal, benih, pupuk, pestisida, sehingga petani bisa memproduksi padi dengan baik sampai tercipta swasembada pangan. 

Ketiga, menciptakan sistem distribusi yang baik agar tidak terjadi penimbunan dan monopoli pihak yang tidak bertanggungjawab.

Demikianlah bagaimana hajat hidup rakyat terpenuhi ketika menggunakan aturan Islam. Setiap individu dapat merasakan kesejahteraan walaupun kondisi bencana kekeringan. Ini menjadi bukti bahwa pemimpin dalam Islam adalah pengurus rakyat yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah Swt.

Sebagaimana hadis Rasulullah saw.

" Seorang imam adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya". (HR. Bukhari dan Muslim).

Wallahu a'lam bissawab.

Oleh: Irma Hidayati, S.Pd.
Pegiat dakwah

Kamis, 15 Desember 2022

Impor Beras lagi, Harusnya Bisa Mandiri

Tinta Media - Petani siap-siap menerima kado pahit di akhir tahun. Belum hilang dampak kenaikan BBM, pemerintah sudah merencanakan impor beras. Dengan alasan cadangan beras menipis, untuk memenuhi permintaan maka diputuskan untuk impor.

Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) secara terbuka mengungkapkan alasan mencetuskan rencana mengimpor beras. Sebelumnya Buwas mengatakan, Bulog memiliki komitmen stok beras sebanyak 500 ribu ton di luar negeri. (CNBC Indonesia)

Saat rapat dengar pendapat dengan Eselon I Kementerian Pertanian (Kementan), Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), dan Direktur Utama Holding Pangan ID Food,
Buwas mengungkapkan bahwa ia mendapat penugasan untuk memiliki stok beras sebanyak 1,2 juta ton hingga akhir tahun 2022.

Buwas menjabarkan, per 22 November 2022, Bulog telah melakukan pengadaan 912 ribu ton beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP). Serapan tertinggi terjadi di bulan Maret dan Juni.

Sudah jatuh tertimpa tangga adalah ungkapan tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat, khususnya petani saat ini. Mengelola sawah membutuhkan dana besar, untuk pupuk, pengairan, tenaga kerja, alat-alat pertanian, hingga lahan yang tak begitu luas. Di saat panen raya antara bulan Maret-Juni akan ada gelontoran beras impor. Artinya, harga akan bersaing. Apalagi jika mutu beras lokal kurang bagus, tentu menyebabkan jatuhnya harga gabah. Padahal, saat panen petani biasanya menjual sebagian untuk menutup utang modal awal sekaligus buat modal tanam selanjutnya. 

Tak ada pemeliharaan dan perlindungan sama sekali untuk produksi dalam negeri oleh pemerintah. Ibarat ring tinju, tidak ada klasifikasi kelas berat atau ringan. Semua bertarung dalam satu ring. Tentu saja petani yang akan nyungsep alias bangkrut sebangkrut-bangkrutnya. 

Demikianlah cara berpikir pemimpin yang kapitalistik, menambah panjang penderitaan masyarakat. Cara pragmatis hanya mempertimbangkan keuntungan dan kerugian. Yang jelas mendapatkan keuntungan adalah para kapital besar. Rakyat tetap berada di pihak yang kalah dan tidak bisa berbuat banyak menghadapi kebijakan zalim tersebut.

Harusnya pemerintah melakukan kebijakan ekstenfikasi, yaitu menghidupkan lahan yang tidak diolah dengan mengaktifkannya kembali agar siap ditanami, atau membuka lahan baru yang selama ini ditelantarkan oleh pemiliknya. Cara seperti itu dalam Islam dikenal dengan menghidupkan tanah mati. Jika tiga tahun berturut-turut tidak ditanami atau diolah, maka tanah diambil negara dan akan diberikan kepada siapa saja yang bisa mengelolanya.

Dari sini, tanah luas yang terbentang akan produktif dan kemungkinan produksi melimpah cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional. Tak perlu impor, karena sejatinya hal itu menjadikan negara lain yang untung besar dan negara pengimpor hanya dijadikan pasar yang dipaksa menerima tanpa ada peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat.

Selanjutnya, ada kebijakan intensifikasi, yaitu dengan program penyaluran pupuk, peningkatan kualitas tekhnologi, seperti alat pembajakan tanah, alat pengairan, alat panen gabah menjadi beras yang efektif dan lain-lain. Maka kewajiban negara untuk menyediakan dengan harga murah bahkan bisa gratis. 

Dengan dua kebijakan di atas, bisa di pastikan produksi pangan seperti beras, jagung, kedelai, garam, gula dan yang lain tidak akan impor. Produksi pangan akan melimpah dan negara menjadikuat. 

Namun, apakah pemerintah mau melakukan dua kebijakan di atas? Rasanya mustahil jika sistem yang diterapkan masih kapitalisme, sistem yang berorientasi pada keuntungan tanpa melihat dampak bahayanya bagi masyarakat.  

Kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi pernah diterapkan oleh Umar bin Khathab saat menjadi Amirul Mukminin, beliau membuat kebijakan yang memudahkan masyarakat mengelola lahan hproduktif.

Amirul mu'minin Umar mendorong pada setiap daerah taklukan untuk meningkatan produktivitas lahan pertanian. Tanah taklukan tidak ia bagi-bagikan kepada para mujahiddin. Tanah tetap pada pemiliknya dengan harapan pengelolaannya optimal. Beliau juga menetapkan kharaj dari tanah taklukkan agar pemasukan pada negara tetap stabil. 

Negara menjamin pembangunan infrastruktur yang mendukung pertanian, seperti pembuatan irigasi dan saluran air, serta akses transportasi di wilayah produksi pertanian. Umar juga berusaha untuk mengaktifkan lahan mati, serta memberikan insentif permodalan dan sistem bagi hasil kepada para petani.

Sekali lagi, dengan mengambil lslam sebagai solusi, pasti negeri ini tidak akan impor lagi. Ketahanan pangan akan kuat serta mandiri,. Kesejahteraan masyarakat akan terwujud dengan mudah. 
Allahu a’lam

Oleh: Umi Hanifah
Sahabat Tinta Media 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab