Tinta Media: Ilusi
Tampilkan postingan dengan label Ilusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilusi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 November 2024

Berantas Judol: Ilusi dalam Sistem Kapitalis Sekuler



Tinta Media - Polda Metro Jaya  melakukan penangkapan terhadap 11 orang terkait judi online. Di antara mereka ada beberapa pegawai Kemkomdigi. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) RI, Meutya Hafid pun buka suara terkait oknum pegawai yang ikut terlibat kasus judi online. Pihak Kemkomdigi menyatakan dukungan penuh terkait pemberantasan berbagai bentuk aktivitas ilegal, termasuk judi online atas arahan Presiden Prabowo. (VIVA – Jakarta)

Tidak ada pandang bulu dalam penanganan kasus judi online. Penegakan hukum akan diberlakukan dengan tegas pada siapa pun yang terlibat, terkhusus bagi pejabat di lingkungan kementerian. Hal tersebut diungkapkan oleh Meutya dalam keterangan resmi yang dikutip pada tanggal 1 November 2024. 

Memang, penanganan berbagai kasus harus dilakukan dengan tegas, serius, dan tidak tebang pilih. Setiap yang melanggar harus diberi sanksi agar tersangka kasus-kasus seperti judol bisa berkurang dan tidak meluas. Kita ketahui bahwa judi online adalah ibarat lingkaran setan yang sangat berbahaya bagi masyarakat.

Judi adalah sebuah perbuatan yang dilarang oleh syariat. Efek judol juga sangat berbahaya dan merusak moral generasi. Di tengah pesatnya dunia digital ini, semua bisa diakses dengan sangat mudah. Sehingga, wajar kalau saat ini kasus judi online semakin merajalela hingga sangat meresahkan. Sayangnya, pejabat yang diharapkan bisa memutuskan dan memberantas praktik judi online justru ada yang menjadi tersangka karena terlibat kasus tersebut. 

Judi online merupakan kasus sistemik yang tidak bisa diselesaikan cara pragmatis. Semua berawal dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Sistem buatan manusia yang lemah karena berlandaskan kepada akal ini mustahil akan memberi kemaslahatan bagi makhluk. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan justru akan melahirkan manusia-manusia serakah, korup, dan hanya fokus untuk memperkaya diri dengan segala cara, bahkan cara haram sekalipun.

Sanksi hukum yang lemah dalam sistem demokrasi semakin memberi ruang pada para pelaku kejahatan. Bukan hanya persoalan judi online, masalah lain bertubi-tubi yang menggemparkan dunia hampir tak satu pun yang bisa selesai dengan tuntas dan mendapatkan hukuman adil. Ini karena pada dasarnya memang tidak ada keadilan di dalam sistem rusak demokrasi kapitalis. 

Kasus judi online yang melibatkan oknum pejabat seharusnya bisa menjadi tamparan keras bahwasanya ini adalah problem besar dan sangat merusak. Masalah ini tidak hanya dilakukan sendirian, tetapi justru akan menarik pelaku lainnya agar terlibat. Akhirnya, mereka saling bekerja sama dalam melakukan kejahatan.
 
Sungguh, maraknya judi online tidak akan bisa diberantas dalam sistem kapitalisme sekuler seperti saat ini. Terbukti, berbagai perundangan-undangan tak mampu memberantas praktik judi online selama ini.

Pemberantasan judol sampai akarnya hanya dapat dilakukan oleh negara. Satu-satunya negara yang bisa melakukannya adalah negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah, yaitu khilafah. 

Penerapan sistem Islam akan melahirkan orang-orang yang berkepribadian Islam karena tindak-tanduknya selalu dituntun syariat. Khilafah akan memberlakukan sanksi tegas dengan memakai aturan yang datang dari Allah Swt. yaitu syariat Islam. 

Tidak ada permainan uang/suap di dalam sistem Islam karena semua yang bersalah akan mendapatkan sanski sesuai kesalahannya. Semua dipandang sama dan tidak dibeda-bedakan.

Yang perlu diperhatikan adalah bahwasanya kekuasaan merupakan amanah yang jika berkhianat akan berdosa. Dosa penguasa atau pemangku jabatan sungguh mengerikan karena menyangkut rakyat yang dipimpinnya. 

Walhasil, dengan sistem Islam, akan lahir para pejabat yang amanah, beriman, dan bertakwa. Sehingga, celah terjadinya kecurangan sangat bisa dinetralisir dan tidak akan muncul orang-orang atau pejabat yang mau terlibat dalam kerja sama melakukan kemaksiatan. Semua karena takut dan sadar bahwa segala perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Wallahu a'lam bishawab.






Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Ilusi Berantas Judol dalam Sistem Sekuler Kapitalisme


Tinta Media - Awal November 2024, Polda Metro Jaya melakukan penangkapan terhadap pelaku judi online (judol) yang melibatkan 16 tersangka. Mirisnya, di antara mereka ada sejumlah oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) dan juga rakyat biasa. (Beritasatu.com)

Indonesia merupakan negeri muslim terbesar di dunia. Sungguh memalukan juga memilukan ketika negeri ini menjadi "surga" bagi perjudian. Pemberantasan judol hanya menjadi ilusi belaka ketika para aparatur negara malah memanfaatkan wewenangnya untuk memperkaya.

Walaupun negeri ini mayoritas muslim, tetapi sistem kehidupan yang diterapkan adalah sekuler. Terkuaknya kasus judol ini menunjukkan betapa sistem sekuler ini rusak hingga berdampak pada generasi muda, baik sebagai pelaku atau pun penikmat judi.

Sekulerisme (paham yang memisahkan agama dari kehidupan) merupakan asas sistem demokrasi kapitalisme yang meniscayakan paradigma hidup rusak dan merusak. Judi dan judol merupakan lingkaran setan. Teknologi saat ini ibarat pisau bermata dua. Manusia menyalahgunakannya akibat paradigma kehidupan serba bebas. Apa pun boleh dilakukan, yang penting menguntungkan. Hal ini yang menjerat dan merusak masyarakat akibat jauhnya dari hukum syari'at.

Masyarakat menghalalkan segala cara dalam mendapatkan kekayaan sehingga pemberantasan judol makin jauh dari harapan. Dalam sistem sekuler kapitalis yang berlandaskan asas manfaat, ketika suatu perbuatan menghasilkan keuntungan atau manfaat, maka hal itu sah-sah saja untuk diambil tanpa melihat standar halal atau haram. 

Di Indonesia, ada aturan hukum yang mengatur judi. Ada KUHP baru atau UU 1/2023. Mengenai sanksi bagi pelaku judol secara spesifik diatur dalam UU ITE (UU 1/2024). Namun, pemerintah lamban dalam bekerja, hingga dibentuk satuan tugas pemberantasan judi online yang dibentuk oleh Presiden Jokowi dengan diberlakukannya Keppres 21/2024 pada 14 Juni 2024.

Menko Polhukam Hadi Tjahjanto bertanggung jawab memimpin satgas ini. Lalu dilanjutkan saat ini era Presiden Prabowo, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan Kabareskrim Polri membentuk Satgas Penanggulangan Perjudian Online. Instruksi ini berlaku hingga tingkat Polda untuk menangani segala bentuk praktik judol. 

Namun, pada kenyataannya sanksi dalam hukum positif di Indonesia tidak membuat jera bagi pelaku judi. Sebagai bukti, sejak beberapa tahun yang lalu judol tidak pernah berhenti, padahal di berbagai kalangan sudah menimbulkan kerusakan generasi dan ekonomi masyarakat.

Meskipun ada gerak cepat dari upaya presiden baru dalam rangka memberantas judol, tetapi upaya ini tidak lepas dari pencitraan dalam 100 hari pemerintahan. Sebab, kasus judol realitasnya memiliki efek domino yang meluas, bukan hanya di kementrian atau pejabat tertentu saja.

Hukuman penjara juga tidak membuat efek jera bagi pelaku judi. Justru di dalam penjara mereka makin canggih "belajar" dari sesama napi dalam berbuat kriminal. Sehingga, banyak mantan napi semakin jahat ketika keluar dari penjara. Begitu juga untuk pidana denda, bisa langsung beres ketika denda sudah dibayar lunas.

Berbanding terbalik ketika sistem Islam diterapkan. Dalam Islam, judi merupakan aktivitas haram sehingga sistem Islam akan menutup celah terjadinya judi dengan mekanisme tiga pilar, yaitu metakwaan individu, kontrol masyarakat, dan penerapan sistem hukum yang tegas oleh negara dan membuat efek jera bagi pelakunya.

Dalam sistem Islam, pendidikan Islam meniscayakan terbentuknya kepribadian Islam sehingga terbentuk sumber daya manusia yang amanah, juga taat kepada aturan Allah Swt. Pendidikan Islam juga membentuk masyarakat yang terbiasa beramar makruf nahi mungkar.

Negara Islam juga berperan mengedukasi masyarakat melalui berbagai jenjang sistem pendidikan, baik formal atau informal. Hal ini dilakukan dalam rangka menciptakan generasi yang memiliki kepribadian Islam, paham syariat Islam, dan selalu menyibukkan diri dengan ketaatan sehingga tidak akan terlintas keharaman dan kemaksiatan dalam memikirkan cara mencari kebahagian, tetapi dengan mencari rida Allah Swt.

Negara Islam akan memberi kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk beraktivitas ekonomi secara halal. Penguasa akan mengatur penggunaan teknologi digital agar tidak disalahgunakan untuk aktivitas keharaman seperti judi dan judol.

Penguasa negera Islam akan menerapkan sistem sanksi bagi pelaku judi yang bersifat mencegah (zawajir) dan penebus dosa (jawabir). Sanksi takzir (hukuman atas tindakan pidana yang sanksinya ditentukan oleh ijtihad penguasa negara Islam) diberlakukan untuk tindak pidana perjudian dalam Islam.

Hal ini akan terjadi bila kita menerapkan syariat Islam dalam bingkai daulah Islam. Wallahu'alam bishshawwab.



Oleh: Rosi Kuriyah
(Muslimah Peduli Umat )

Senin, 04 November 2024

Harapan Baru pada Pemimpin Baru, Hanya Sekadar Ilusi


Tinta Media - Presiden Indonesia yang baru telah dilantik. Pasangan yang memenangkan pemilu, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka kini telah resmi menjabat sebagai presiden dan wakil presiden negara Republik Indonesia, tepatnya pada 20 Oktober lalu.

Dengan dihadiri oleh para pejabat tinggi negara dan duta besar negara asing, begitulah pelantikan itu digelar. Sejumlah kebijakan baru yang akan diterapkan Prabowo dalam lima tahun masa jabatannya diungkap dalam pidatonya. Beberapa janji dan kebijakan utama presiden dan wakil presiden antara lain:

Pertama, presiden berencana membentuk Badan Perencanaan Negara (BPN) untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak dari 10 persen menjadi 23 persen.

Selain itu presiden berjanji akan memangkas pajak penghasilan (PPH) dari 22 persen menjadi 20 persen untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Presiden juga akan menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen. Dalam sektor properti, presiden akan menghapus pajak properti. Langkah ini diharapkan dapat menjadi katalis positif bagi sektor properti
(liputan6.com).

Sebagian orang menganggap bahwa pergantian pemimpin merupakan harapan baru adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam anggapannya, keberhasilan suatu kepimpinan berada dalam individu pemimpin. Sejatinya, anggapan tersebut keliru. Jika sistem yang digunakan masih sama, yaitu demokrasi kapitalisme, maka tidak akan pernah terjadi perubahan.

Bagaimana tidak, sistem yang diterapkan ini, yakni kapitalisme adalah sistem yang cacat sejak lahir. Sistem diibaratkan sebagai induk. Ia akan menghasilkan turunan. Turunan yang dihasilkan oleh sebuah sistem yang rusak pastinya akan rusak pula dan berpotensi merusak.
Adanya berbagai problem di dunia ini adalah dampak buruk dari penerapan sistem saat ini. 

Keberhasilan yang akan diperoleh tidak semata-mata karena person (individu), tetapi juga sistem yang digunakan dan hasil dari penerapan hukum yang sahih (benar). Sistem yang unggul hanya akan terwujud dalam sistem Islam. Penerapan aturan Allahlah yang akan mendatangkan keberkahan dalam hidup.

Islam menetapkan kriteria pemimpin sebuah negara dalam 7 syarat in'iqad (pengangkatan), yakni laki-laki, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, dan memiliki kemampuan dalam bidangnya
(Nizamul Islam halaman 161).
Apabila seorang pemimpin tidakmemenuhi ketujuh syarat tersebut, maka tidak diperbolehkan menjadi pemimpin.

Islam juga menetapkan tugas pemimpin secara kaffah (menyeluruh). Pemimpin berperan sebagai ra'in (pelayan) dan junnah (perisai) bagi rakyat. Kedudukan pemimpin dalam Islam adalah sebagai pelayan masyarakat, sehingga harus benar-benar melayani  umat dan menjadi pemimpin yang amanah.

Dalam mekanisme sistem Islam inilah harapan kehidupan yang lebih baik akan dapat terwujkan. Hal ini membutuhkan adanya perjuangan untuk mewujudkannya. Saatnya kita kembali pada hukum Islam yang akan membawa kita pada rida Allah dan kesejahteraan bagi masyarakat. Allahu a'lam bishawwab.



Oleh: Sarinah 
(Komunitas Literasi Islam Bungo)

Kamis, 17 Oktober 2024

Makan Siang Gratis, Solusi atau Ilusi?


Tinta Media - Sejumlah media asing menyoroti rencana pemerintahan Presiden RI terpilih, Prabowo Subianto yang mengganti susu sapi dengan susu ikan untuk program makan siang gratis. Koran asal Singapura, The Straits Times, melaporkan bahwa susu ikan sudah lama menjadi inovasi pemerintah RI. Pada 2023, pememerintah RI memainkan peran kunci dalam meluncurkan susu ikan yang dikembangkan sebagai upaya melakukan hilirisasi produk perikanan. (www.cnnindonesia.com 13 September 2024) 

Isu stunting dan ketahanan pangan telah menjadi perhatian global yang mendesak sehingga beberapa program seperti makan siang gratis, susu gratis, dan susu ikan gratis muncul sebagai solusi. Namun, kebijakan yang seolah-olah untuk kesejahteraan rakyat ini sering kali memberi peluang besar bagi korporasi dan oligarki. Kebijakan tersebut pada kenyataannya bisa jadi lebih menguntungkan segelintir orang daripada masyarakat luas. 

Kerangka rezim sekuler demokrasi yang ada saat ini membuat kita sadar dan melihat langsung adanya kecenderungan untuk melepaskan tanggung jawab negara dalam mengurus rakyat. Negara seolah menunggangi isu generasi muda untuk menyukseskan proyek industrialisasi, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada kebutuhan dasar rakyat. Ini menunjukkan sebuah ironi, saat kebijakan yang seharusnya pro-rakyat justru mengarah pada pengabaian. 

Sebagai seorang muslim, kita mengetahui adanya perbedaan kontras antara pendekatan tersebut dengan apa yang diterapkan Islam. Kepemimpinan Islam menempatkan pelayanan terhadap umat sebagai prioritas utama. Dengan perhatian khusus pada jaminan kualitas generasi, kepemimpinan ini berusaha memenuhi hak dasar masyarakat secara maksimal dan berkualitas. Dalam pandangan ini, keberlangsungan peradaban sangat bergantung pada generasi yang kuat, baik dalam fisik maupun kepribadian. 

Sistem Islam memiliki konsep baitul mal yang kuat, yang berfungsi sebagai mekanisme untuk menyejahterakan rakyat. Dengan pengelolaan sumber daya yang adil dan transparan, baitul mal bisa menjadi sarana untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan memenuhi kebutuhan dasar mereka. 

Dalam menghadapi tantangan stunting dan ketahanan pangan, pendekatan yang inklusif dan berorientasi pada umat adalah kunci untuk menciptakan generasi yang tidak hanya sehat, tetapi juga berdaya saing tinggi. Ini hanya dapat diwujudkan dengan sistem Islam yang kaffah di bawah naungan Daulah Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab.


Oleh: Alifa Adnidannisa.S.Tr
Pemerhati Kebijakan Politik

Selasa, 03 September 2024

Aplikasi TiTaTu, Solusi ataukah Ilusi?


Tinta Media - Dalam upaya mempercepat pelaporan dan penanganan bencana yang mungkin terjadi, Pemerintah Kabupaten Bandung mempersiapkan pengembangan aplikasi TiTaTu (diTingali, didaTa, dibanTu). Hal ini dilakukan karena Kabupaten Bandung memiliki potensi bencana yang tinggi, sehingga diperlukan langkah-langkah yang cepat, tepat, dan terkoordinasi. 

Bupati Bandung Dadang Supriatna melalui Sekretaris Daerah Kabupaten Bandung, Cakra Amiyana mengatakan bahwa pengembangan aplikasi TiTaTu ini sebagai bentuk terobosan dan inovasi Pemkab Bandung dalam pemanfaatan transformasi digital yang bisa diakses oleh semua masyarakat.

Aplikasi ini merupakan bagian dari strategi Quick Response penanganan bencana Kabupaten Bandung. Cakra berharap, sistem ini dapat menjadi sarana yang handal bagi seluruh pihak terkait dalam upaya penanggulangan bencana.

Keberadaan potensi bencana di suatu tempat merupakan ketetapan Allah yang tidak bisa dihindari. Akan tetapi, ada ikhtiar yang harus dilakukan untuk menghindar dari keburukan yang dapat ditimbulkan. 

Upaya Pemkab Bandung membuat sebuah aplikasi untuk mengantisipasi dan melaporkan terjadinya bencana merupakan hal yang patut diapresiasi. Namun, yang paling urgent adalah planing yang jelas jika bencana terjadi. Jadi bukan sekadar cepat tahu ketika ada bencana, setelah itu masyarakat bingung dengan kondisi pasca bencana. 

Sebenarnya, bencana yang terjadi sebagian besar akibat ulah penguasa sendiri yang tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai raa'iin (pemelihara urusan). Contoh, pemberian izin mendirikan bangunan di daerah-daerah resapan air, akibatnya banjir dan longsor pun terjadi.

Berbeda dengan penanganan bencana dalam sistem Islam. Dalam konteks penanganan terhadap bencana, Khilafah menggariskan kebijakan-kebijakan komprehensif yang tegak atas akidah Islamiyah. Pengaturannya didasarkan pada syariat Islam dan ditujukan untuk kemaslahatan rakyat, meliputi: 

Pertama, penanganan prabencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana (mitigasi). 

Kedua, penanganan ketika bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian material akibat bencana. 

Ketiga, penanganan pasca bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk melakukan hal-hal berikut ini:

Pertama, me-recovery korban bencana. Para korban harus mendapatkan pelayanan yang baik selama dalam pengungsian. 

Kedua, me-recovery lingkungan tempat tinggal pasca bencana.
Pananganan bencana ini tentu membutuhkan dana yang sangat besar. Anggarannya tidak boleh dibebankan kepada rakyat. Semuanya menjadi tanggung jawab negara. 

Daulah Khilafah memiliki baitul maal yang di dalamnya terdapat pos-pos khusus yang sumber dan peruntukkannya telah diatur oleh syariat. 

Demikianlah sumbangan peradaban Islam terkait penanganan bencana. Wallahualam bissawab.



Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 02 Maret 2024

Ilusi PIP dalam Menangani Masalah Pendidikan, Islam Satu-Satunya Solusi



Tinta Media - Program Indonesia Pintar (PIP) yang diluncurkan pada 3 November 2014  menjadi angin segar bagi masyarakat yang ingin menempuh pendidikan di tengah mahalnya biaya pendidikan saat ini. Namun sayang, tidak semua pelajar menerima bantuan itu. Sehingga keberadaan PIP dianggap tidak memberikan solusi bagi dunia pendidikan. Justru memunculkan kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dan juga menimbulkan kecemburuan antar pihak. Oleh karena itu, penguasa harus lebih teliti dalam memberikan solusi bagi dunia pendidikan.

Bentuk Penanganan PIP dalam Masalah Pendidikan

Menteri pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi (mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim melaporkan bahwa PIP hingga 23 November 2023 telah mencapai 100 persen target. Sebanyak 18.109.119 penerima dengan anggaran 9,7 triliun setiap tahunnya. Adapun penyaluran PIP untuk jenjang SMA sebanyak 567.531 pelajar dan SMK sebanyak 99.104 pelajar. Penambahan sasaran bersamaan dengan peningkatan satuan bantuan yang semula 1.000.000 menjadi 1.800.000 untuk pelajar SMA dan SMK. (REPUPBLIKA.com)

Nadiem juga menuturkan bahwa untuk penyaluran bantuan PIP semakin terjamin dalam hal ketepatan sasaran, waktu, jumlah, dan pemanfaatannya. Ia melibatkan penyaluran bantuan PIP melalui pusat layanan pembiayaan pendidikan (puslapdik), semangat merdeka belajar, dan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan satuan pendidikan. Hal itu ia sampaikan pada saat mendampingi Presiden Joko Widodo pada acara penyerahan bantuan PIP di Magelang (22/1/2024).

Presiden juga menuturkan bahwa PIP bertujuan untuk mencukupi kebutuhan pelajar dalam menimba ilmu di sekolah. Oleh karena itu pelajar harus pandai dalam mengatur dana bantuan PIP. Terkait ketetapan sasaran PIP, Kepala puslapdik kemendikbudristek, Abdul Kahar mengatakan, sasaran penerima PIP bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang telah terverifikasi oleh kementerian sosial (kemensos), selanjutnya dipadankan dengan data pokok pendidikan (dapodik) untuk mengecek keberadaan pelajar tersebut di sekolah.

Penguasa Tidak Serius dalam Menangani Masalah Pendidikan

Selama 10 tahun berdirinya ternyata PIP tidak dapat menuntaskan persoalan angka putus sekolah meskipun telah mencapai 100 persen target penerima. Belum ada survei yang secara langsung menunjukkan kehadiran PIP dapat mencegah anak-anak keluarga miskin dan rentan miskin dari putus sekolah. Artinya masih ada kesalahan dalam solusi pengaturan pendidikan saat ini.

Pemerintah seharusnya tidak melihat dari satu sisi saja dalam menangani masalah pendidikan karena banyak sebab terjadinya angka putus sekolah. Seperti mahalnya biaya pendidikan, tidak hanya biaya SPP, biaya barang keperluan pembelajaran siswa pun tidak bisa dicukupi dengan dana yang diterima di PIP setahun sekali karena kebutuhan akan keperluan pendidikan serba mahal. Belum lagi ongkos kendaraan, biaya internet untuk tugas, seragam sekolah, dan alat pembelajaran lainnya.

Semua itu adalah kebutuhan pendidikan yang tidak bisa diabaikan, salah satunya di era teknologi saat ini. Di sisi lain kehidupan siswa yang miskin menyebabkan mereka harus merelakan pendidikan demi membantu orang tua untuk mencari nafkah. Hal itu bukan karena keinginan tetapi karena dorongan biaya hidup yang serba mahal. Sehingga rasa keterpaksaan menuntut para siswa memilih putus sekolah bahkan tidak bersekolah dan lebih memilih mencari uang. Apalagi banyak pendidikan saat ini yang belum tentu langsung bisa mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai output pendidikannya.

Melihat kondisi yang seperti ini menunjukkan bahwa keberadaan PIP sebagai solusi gagal meskipun pembagiannya telah tepat sasaran. Karena pada realitasnya yang mendapatkan PIP harus memenuhi syarat-syarat yang rumit. Padahal seharusnya sebagai penguasa berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat itu dengan mudah tanpa mempersulit. Dan mengenai penggunaan PIP hanya untuk pendidikan saja itu tidak adil. Karena penguasa hanya berfokus pada satu persoalan saja dan mengabaikan permasalahan yang lain.

Seperti dalam persyaratan penerima PIP hanya diperuntukkan bagi yang bersekolah tanpa melihat permasalahan penyebab anak yang memilih untuk tidak bersekolah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sikap penguasa yang seperti ini zalim dalam mengurus rakyatnya. Karena mengurus setengah hati tanpa memastikan secara pasti terhadap kondisi rakyatnya. Begitulah bentuk pengaturan penguasa dalam sistem kapitalisme, mengurus masyarakatnya dengan penuh perhitungan materi. 

Manipulasi Kapitalisme dalam Menghambat Kebangkitan Pemikiran Umat

Ideologi kapitalisme yang lahir dari asas pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) meniscayakan materi sebagai tujuan hidup. Ideologi ini sudah merasuki pemikiran kaum muslimin di negeri-negeri mereka. Sehingga kekacauan dari berbagai lini kehidupan terpampang nyata. Meskipun telah jelas fakta kerusakan kapitalisme menyakiti kehidupan umat saat ini, namun mereka larut dalam keadaan dan memilih membiasakan diri untuk menjalani kehidupan di bawah kerusakan ini.

Kondisi umat yang sudah terbelenggu oleh pemikiran kapitalisme semakin menguatkan cengkeraman kapitalisme untuk menghalangi kebangkitan generasi mulia. Sehingga tidak mengherankan mengapa solusi kehidupan yang ditawarkan oleh penguasa tidak menyelesaikan masalah. Karena penguasa menduduki jabatannya untuk meraih materi semata. Alhasil ketika ia ingin memutuskan segala sesuatu harus memikirkan untung rugi materi atau posisi jabatan yang didapat.

Dari situ lahirlah penguasa yang cenderung mengurusi masalah rakyat setengah-setengah. Karena mereka harus memikirkan asas manfaat yang didapat jika mengeluarkan kebijakan, selain dari untuk mendapatkan perhatian rakyat bahwa seolah-olah mereka sudah menjalani perannya. Di sisi lain, dengan solusi seperti ini menghambat umat dari kebangkitan karena mereka gagal dalam memahami peran penguasa yang sesungguhnya. Akibatnya banyak kaum muslimin yang terkecoh dengan bantuan-bantuan dan penyediaan infrastruktur tanpa memahami lebih mendalam fakta kerusakan yang lain.

Semua itu berhasil dimanipulasi oleh kapitalisme untuk tetap eksis walaupun menghasilkan kerusakan. Jadi, melihat PIP sebagai bentuk pelayanan penguasa tidak cukup. Perlu ada pemikiran yang mendalam pada umat mengenai fakta dan solusi yang ditawarkan apakah tepat atau justru hanya solusi sementara. Kalau itu adalah solusi sementara, umat harus lebih meningkatkan lagi proses berpikirnya yaitu dengan pemikiran yang cemerlang yang menghasilkan solusi yang tidak hanya baik tapi benar sesuai akidah Islam.

Islam Solusi Hakiki

Solusi yang benar hanya ada pada akidah Islam. Allah SWT telah berfirman dalam Qur’an surah Al-Imran ayat 19:

 اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.

Adanya ayat-ayat sebagai hukum menjadikan Islam agama yang sempurna. Karena bukan hanya pengatur ibadah mahdoh saja melainkan pengaturan asas kehidupan yang lain juga yang telah secara lengkap disampaikan melalui lisan Rasulullah Saw. Terpenuhinya pendidikan di dalam Islam adalah kewajiban penguasa. Begitu pun bagi umat wajib baginya untuk menuntut ilmu. Dengan demikian ketersediaan segala kebutuhan pendidikan harus dipenuhi dan disediakan oleh Khalifah selaku penguasa di dalam negara khilafah.

Keberadaan program PIP tidak perlu, karena di dalam negara khilafah penguasa berperan sebagai pelayan umat. Oleh karena itu ia wajib melaksanakan segala apa pun untuk melayani umat sesuai ketentuan syariat. Pelayanan Khalifah bukan dari segi pendidikan saja, melainkan juga politik, ekonomi, sosial, dan segala yang membawa kemaslahatan pada umat dengan persyaratan yang sederhana, cepat, profesional, dan sempurna. Semua pelayanan ini harus dipastikan terpenuhi oleh seluruh individu masyarakat.

Begitulah Islam mengatur kemaslahatan umat. Tidak hanya umat yang dibentuk dengan ketakwaan, tetapi pemimpin lebih lagi dibangun kepribadian takwa dalam dirinya. Pengaturan Islam yang demikian sempurna seharusnya menjadi sistem yang mengatur kehidupan kita. Oleh karena itu kita harus menumbuhkan pemahaman Islam di tengah umat dengan mengemban dakwah Islam kaffah dan berjuang menerapkan syariat Islam di bawah naungan khilafah.

wallahu a'lam.

Oleh : Novi Anggriani, S.Pd.
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 24 Februari 2024

Ilusi Investasi, Sejahtera Hanya Janji


Tinta Media - Investasi asing digadang-gadang mampu mendongkrak perekonomian dalam negeri. Namun faktanya, jauh panggang dari api. Nyatanya semua hanya ilusi. Mengapa demikian? 

Investasi ala Kapitalisme 

Bank Indonesia (BI) mencatat ada, aliran modal asing masuk atau capital inflow ke Indonesia sebesar Rp4,07 triliun, pada minggu ketiga Februari 2024 (infobanknews.com, 17/2/2024). Sementara itu, aliran modal asing di minggu ketiga Februari 2024, mencatatkan aliran modal asing masuk di pasar saham. Setelah pada pekan sebelumnya aliran modal asing tercatat keluar atau capital outflow sebesar Rp3,01 triliun. 

Investasi asing dinilai sebagai solusi yang wajar pada saat sektor ekonomi tengah terkapar. Klaim bahwa investasi asing mampu memperbaiki keadaan ekonomi dalam negeri, mengembangkan ekonomi rakyat dan membuka lapangan pekerjaan ternyata pandangan yang keliru. Karena setiap konsep investasi asing selalu berfokus pada berkembangnya kekayaan para investor. Bukan fokus pada keadaan ekonomi masyarakat. Teori tentang terbukanya lapangan pekerjaan karena derasnya investasi asing pun sama sekali tidak benar. Pabrik dan berbagai industri dengan mudahnya menetapkan kebijakan pemutusan kerja saat harus mengurangi biaya operasional. Karena dalam hal ini, biaya tenaga kerja dianggap sebagai biaya operasional yang dengan mudahnya diotak-atik demi mendongkrak keuntungan para investor. 

Bahkan secara konsepnya, investasi asing mengundang bahaya bagi kedaulatan suatu negara. Betapa rusaknya investasi asing hingga merusak ideologis suatu negara. Dan dengan jelas, investasi asing adalah jalan iming-iming yang dijanjikan pihak asing hingga berakhir dengan penjajahan. Hal ini pun nyata terjadi di beberapa negara yang sangat bergantung pada investasi asing dan gagal bayar pada jatuh tempo. Salah satunya negara Srilanka yang bangkrut. 

Inilah investasi ala sistem kapitalisme. Orientasi keuntungan materi menjadi fokus perhatian. Konsep ini adalah konsep batil yang tidak mampu melahirkan kesejahteraan di tengah kehidupan masyarakat. Karena kesejahteraan rakyat bukan tujuan utama sistem rusak tersebut. Wajar saja, saat besarnya investasi asing justru akan menciptakan nasib bangsa semakin memburuk. 

Sistem Islam dan Investasi 

Aktivitas investasi merupakan bagian dari kehidupan ekonomi dalam masyarakat. Baik yang dilakukan secara individual ataupun kelompok. Sehingga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk kebijakan yang ditetapkan negara. Ekonomi akan sulit berkembang dan maju tanpa adanya investasi. Namun perlu digarisbawahi syarat dan ketentuan investasi yang mampu memperbaiki keadaan ekonomi masyarakat. 

Prinsip dasar investasi dalam Islam wajib terikat dengan hukum syara'. Investasi (istinma', tanmiyah) merupakan istilah untuk menyebut suatu cara untuk mengembangkan harta dan memperbanyak jumlahnya. Secara syara', hukumnya boleh (mubah). 

Dalam sistem Islam, investasi asing tidak dibolehkan dalam bidang-bidang yang vital (strategis), seperti proyek infrastruktur atau proyek strategis nasional. Bidang-bidang tersebut merupakan kebutuhan publik. Jika pengelolaannya menggunakan dana investasi asing akan bermuara pada liberalisasi dan komersialisasi sumber daya. Seperti yang banyak terjadi saat ini. Alhasil, rakyat yang dirugikan. Padahal konsep utama pengurusan sumber daya adalah untuk melayani seluruh kepentingan rakyat. 

Sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda 

"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya".
(HR. Al Bukhari) 

Sistem Islam niscaya menjauhkan konsep investasi yang batil. Karena setiap kebatilan pasti berujung pada kesengsaraan rakyat. Konsep syariat Islam menutup kesempatan kaum penjajah untuk menguasai kehidupan kaum muslimin. Dengan prinsip tersebut, hak-hak rakyat mampu terjaga sempurna. 

Demikianlah konsep Islam menjaga umat. Senantiasa menghantarkan umat pada kesejahteraan yang seutuhnya. Dan konsep tersebut hanya mampu terwujud dalam institusi khilafah yang amanah. 

Wallahu a'lam bisshowwab.


Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor 

Kamis, 15 Februari 2024

Wajah Asli dari Konsep Ilusi



Tinta Media - Film dokumenter eksplanatory "Dirty Vote" menghebohkan masyarakat Indonesia. Pasalnya, Film ini berisi data, analisis, bedah, dan kritik terhadap pelaksanaan sistem demokrasi dan Pemilu di Indonesia yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan, khususnya jelang Pemilu 14 Februari 2024. Film besutan sutradara Dandhy Dwi Laksono berdurasi 117 menit ini, sudah ditonton hampir lima juta orang di Youtube pada sehari pertama perilisannya. 

Dalam film ini, dikritik masalah-masalah mendasar dalam demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Mulai dari soal penyalahgunaan kekuasaan, mobilisasi birokrasi hingga manipulasi politik yang tampaknya telah dianggap sebagai hal lumrah. Tiga pakar hukum tata Negara ditampilkan, masing-masing Dr. Zainal Arifin Mochtar dari UGM, Dr. Feri Amsari dari Universitas Andalas dan Dr. Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dengan harapan meningkatkan kesadaran publik serta demi adanya perbaikan penyelenggaraan Pemilu ke depan. 

Ketiga pakar ini menyoroti banyak persoalan, di antaranya data penyelewengan dana desa serta distribusi bantuan sosial menjelang Pemilu yang semakin meningkat. Muncul kecurigaan dana desa tidak digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, melainkan dimanfaatkan untuk mendulang suara Pemilu. Hal ini juga menimbulkan dugaan penyalahgunaan bantuan sosial dengan menjadikannya sebagai alat politik menjelang Pemilu. Distribusi bantuan sosial sering kali tidak tepat sasaran dan hanya dimaksudkan sebagai strategi populis untuk meraih dukungan. Dalam film ini juga dikritik mobilisasi massal yang dilakukan kepala desa untuk menuntut revisi UU Desa agar anggaran desa ditingkatkan. Persoalan ini pun dinilai sekadar memanfaatkan momentum politik menjelang Pemilu untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok. 

Masih soal menggunakan harta milik negara, selain banyaknya menteri dan pejabat pemerintahan yang diduga terlibat kampanye, meski seharusnya mereka bersikap netral sebagai pelayan publik, banyak di antara para pejabat itu yang terindikasi kuat menyalahgunakan kewenangan dan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. Contohnya penggunaan pesawat militer dan mobil dinas untuk keperluan kampanye Pemilu. Padahal dalam Undang-Undang, pejabat negara tidak boleh ikut menjadi tim kampanye politik kecuali terlebih dahulu mengambil cuti serta sama sekali tidak boleh menggunakan fasilitas negara. 

Selain itu, penunjukan 20 PJ Gubernur dan 82 PJ Walikota/Bupati oleh Presiden dianggap sebagai praktik politik balas budi dan menciptakan loyalitas pada petahana yang mendukung anaknya sebagai cawapres. Rendahnya independensi lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu seperti KPU dan Bawaslu juga disoroti. Lembaga ini sering dianggap hanya menjadi corong kepentingan penguasa dan tidak bersikap netral serta independen. Dalam hal verifikasi partai politik tertentu misalnya, ada partai yang tidak memenuhi syarat namun tetap diloloskan menjadi peserta Pemilu. Termasuk soal penanganan pelanggaran kampanye yang marak terjadi. 

Independensi MK yang notabene berperan sebagai pengawal demokrasi juga menjadi sorotan. Bagaimana tidak, Ketua MK, Anwar Usman dianggap memberi perlakuan istimewa pada perkara perubahan syarat usia calon Presiden. Ia diduga memiliki konflik kepentingan karena keponakannya mencalonkan diri sebagai cawapres. Selain itu, ada dugaan transaksi politik di balik putusan MK ini. 

Semua hal yang disajikan dalam Film Dirty Vote sebenarnya tidak ada yang baru atau mengejutkan. Bagi mereka yang sudah malang melintang dalam mengamati perpolitikan, terutama yang hidup pada masa orde baru, praktik menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok bukan sesuatu yang asing. Pada masa rezim Suharto, usaha melanggengkan kekuasaan ditempuh dengan cara dibuatnya aturan berisi kewajiban setiap pegawai negeri memilih partai penguasa di setiap Pemilu dan penggunaan strategi dwifungsi ABRI. Selain mengurus keamanan dan pertahanan, seluruh jabatan elite dalam politik diisi petinggi ABRI, sehingga mereka loyal kepada Presiden. 

Sebenarnya, apa pun jenis sistem demokrasi yang diterapkan sejak orde lama, orde baru hingga orde reformasi, substansinya tetap sama yakni kedaulatan di tangan manusia yang menjadi pilar dasarnya. Sistem ini tegak atas asas sekularisme (memisahkan agama dari mengatur urusan bermasyarakat dan bernegara). Manusialah yang diberi hak membuat aturan. Satu macam aturan Islam saja jika ingin diterapkan, demokrasi memberi syarat harus ikut dan menang voting dulu, dan itu prosesnya sangat lama. Padahal masih banyak syariat lainnya. Sikap seorang hamba seharusnya sami’na wa ato’na (dengar dan taat) pada perintah menerapkan syariat, bukan malah memberi syarat. 

Jika dalam demokrasi aturan bisa dibuat sesuai selera manusia (elite politik) lewat DPR atau MK, dalam sistem Islam, Khalifah tidak boleh membuat aturan yang bertentangan dengan syariat Islam. Khalifah atau pejabat yang melakukan KKN disiapkan hukuman penjara dalam waktu yang sangat lama hingga hukuman potong tangan dan kaki secara bersilangan dan bisa sampai hukuman mati. Berbeda dengan demokrasi, bukan rakyat yang memberhentikan Khalifah dalam sistem Islam. Khalifah akan diberhentikan oleh Qadhi Madzalim jika Khalifah melanggar syariat. 

Ada tiga pilar agar sistem Islam tetap tegak. Pertama, individu-individu muslim yang bertaqwa maupun non-muslim yang taat aturan Negara. Kedua, adanya kelompok yang melakukan kontrol atau amar ma’ruf nahi munkar. Ketiga, Negara yang menerapkan syariat/hukum Islam. Adapun demokrasi, tidak memberi kesempatan untuk penerapan syariat Islam yang bersifat komunal, hanya membolehkan (bahkan seharusnya mewajibkan) sebagian penerapan pada kewajiban individual seperti shalat, haji atau puasa. Akibatnya lahirlah masyarakat yang perasaan, peraturan dan pemikirannya tidak sesuai Islam. Sehingga merekapun dipimpin oleh pemimpin yang tidak bertaqwa dengan ketaqwaan hakiki. 

Oleh karena itu, isi Film Dirty Vote sesungguhnya hanya menunjukkan wajah demokrasi sebenarnya. Pragmatisme sudah menjadi bagian (built in) dari sistem ini. Keuntungan material jadi target utama tanpa mempertimbangkan halal atau haram. Karakter asli demokrasi adalah sekuler, yakni memisahkan agama dari urusan bernegara. Kedaulatan yang seharusnya di tangan Syara’ (hukum-hukum Allah), dalam demokrasi diserahkan kepada rakyat. Walaupun pada faktanya, yang berdaulat adalah segelintir elite partai politik yang juga tunduk pada kapitalis/oligarki (pemilik modal). Ketergantungan mereka pada kapitalis disebabkan besarnya biaya politik yang dibutuhkan untuk menjabat dalam sistem demokrasi. Akibatnya lahirlah kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat. Kebijakan dibuat hanya didasarkan kepentingan para pemilik modal dan demi mempertahankan jabatan semata.  Hal ini seharusnya membuat kita sadar bahwa persoalan-persoalan yang terjadi, bukan disebabkan oleh pelaksanaan demokrasi yang keliru, melainkan karena konsep demokrasi sesungguhnya memang hanya ilusi belaka. []


Oleh: Sujarwadi Suaib, S.H.I 
(Ketua LBH Pelita Umat Korwil Kepton) 

Jumat, 05 Januari 2024

Hari Anti Korupsi, Solusi ataukah Ilusi?



Tinta Media - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung melalui Inspektorat melaksanakan peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) Tingkat Kabupaten Bandung tahun 2023 di Gedung Mohamad Toha Komplek Pemkab Bandung, Soreang. Peringatan hari korupsi tersebut dihadiri oleh jajaran OPD (Organisasi Perangkat Daerah), para ASN (Aparatur Sipil Negara) maupun non-ASN, jajaran Forkopimda serta Bupati Bandung Dadang Supriatna. 

Dalam peringatan tersebut, yang menjadi narasumber adalah Kapolresta Bandung, Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung, PPKP (Penilaian Prestasi Kerja Pegawai), dan sejumlah unsur lainnya. Dengan adanya peringatan hari anti korupsi, Bupati Bandung berharap agar semua mengikuti langkah-langkah dan tugas ini dengan penuh tanggung jawab. 

Sementara, upaya antisipasi dan pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi terus dilakukan, termasuk membentuk saber pungli dengan cara berkeliling di setiap Organisasi Perangkat Desa (OPD). 

Korupsi di zaman ini seakan sudah menjadi budaya yang mendunia. Mirisnya, sebagian besar pelaku mempunyai latar belakang terpandang dengan segudang ilmu dan titel yang tinggi. Namun, perlu diketahui bahwa seorang yang menyandang gelar sarjana belum tentu memiliki intelektualitas. Ijazah seorang sarjana hanya tanda keahlian di bidang ilmu tertentu. 

Banyaknya lulusan perguruan tinggi yang tersandung kasus korupsi sebenarnya menggambarkan gagalnya sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini dalam mencetak generasi berkepribadian mulia atau kepribadian Islam. 

Pemimpin atau pejabat yang seharusnya amanah, jujur, bertanggung jawab, dan mementingkan urusan rakyat, nyatanya dimanfaatkan untuk meraup keuntungan materi sebesar-besarnya. Hal ini mencerminkan rendahnya kualitas pendidikan di perguruan tinggi. 

Perguruan tinggi saat ini tegak di atas asas sekularisme, ide yang memisahkan agama dari kehidupan. Kapitalisme mengarah pada upaya meraih keuntungan materi yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, kurikulum pun didesain untuk mencetak generasi yang mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah. Dengan kata lain, kurikulumnya senantiasa mengacu pada dunia bisnis. Hal ini telah tertuang dalam program Knowledge Based Economic (KBE). 

Secara sederhana, KBE diartikan sebagai ekonomi yang didasarkan pada pengetahuan. Artinya, dunia pendidikan sebagai tempat untuk mendapatkan pengetahuan harus mampu menggerakkan perekonomian. Link and match antara dunia pendidikan dan ekonomi dalam sistim saat ini pun menjadi hal yang mutlak, sebab keberhasilan pendidikan diukur dari seberapa besar lulusan perguruan tinggi masuk ke dunia kerja. 

Oleh karena itu, kurikulum pendidikan sekuler kapitalisme hanya memperhatikan pembentukan SDM dengan karakter pekerja keras, produktif, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang sejalan dengan kebutuhan industri. 

Pembentukan karakter yang amanah, religius, dan bertanggung jawab tidak menjadi perhatian dalam sistem pendidikan. Inilah gambaran kapitalisasi pendidikan yang terjadi di negeri ini. Di sisi lain, maraknya korupsi juga menunjukkan lemahnya pemberantasan korupsi, bahkan penerapan sistim politik demokrasi meniscayakan praktik korupsi itu sendiri. 

Politik yang diatur oleh sistem ini adalah politik transaksional berbasis modal. Artinya, tampuk kekuasaan hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang bermodal saja. Modal ini digunakan untuk membeli kursi, melakukan kampanye, dan sejenisnya, sehingga para pejabat dipilih bukan karena profesionalitas dan integritas, tetapi karena besarnya modal yang dia keluarkan. Akhirnya, kekuasaan hanya digunakan sebagai jalan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Inilah celah yang membuat korupsi menjadi penyakit kronis dalam pemerintahan saat ini. 

Sungguh, penerapan sistem manajemen kapitalisme di negeri ini merupakan akar dari persoalan maraknya koruptor produk institusi pendidikan. 

Berbeda dengan penerapan sistem yang Islam secara sempurna menjadikan akidah Islam sebagai asas kurikulum pendidikan, juga dalam bidang kehidupan yang lain, yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti sosial, ekonomi, politik, sanksi, dan sebagainya. Semuanya dilandaskan pada akidah Islam. Artinya, sistem Islam akan menerapkan seluruh aspek kehidupan hanya dengan aturan Islam. 

Dalam sistem Islam, pendidikan bertujuan untuk mencetak generasi yang berkepribadian Islam dengan pola pikir dan pola sikap Islam faqih fiddin atau memiliki penguasaan terhadap ilmu agama, menguasai ilmu sains dan teknologi, serta kreatif dan inovatif dalam konstruksi teknologi dan memiliki jiwa kepemimpinan. 

Dengan demikian, ilmu agama akan menjadi prioritas utama dalam sistem pendidikan Islam, sebab pemahaman terhadap akidah Islam akan membentuk generasi yang memiliki ruh atau kesadaran hubungan dirinya dengan Allah Swt. sebagai Pencipta dan Pengatur.

Umat akan senantiasa menyandarkan amal-amalnya pada syariat Islam, sebab semua akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt.

Pendidikan Islam tidak akan berorientasi pada materi yang hanya menjadikan generasi sibuk memperkaya diri sendiri dan individualis, tanpa memperhatikan kemanfaatan ilmu bagi umat dan Islam.

Generasi yang dididik dengan sistem pendidikan Islam akan banyak berkontribusi dengan ilmunya untuk kemaslahatan umat manusia dan memberikan kebaikan bagi dunia sebagai perwujudan rahmatan lil a'alamin. 

Politik Islam yang berjalan juga akan menutup celah terjadinya korupsi, apalagi sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan individu per individu. 

Islam mensyariatkan bahwa kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan, tidak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah Swt. di akhirat nanti.

Dengan demikian pemimpin atau pejabat yang terpilih adalah orang yang amanah, profesional, dan bertanggung jawab. Pun ketika menjalankannya, dia akan senantiasa berupaya optimal agar sesuai dengan perintah syariat. 

Selain itu, negara Islam juga memiliki sistim sanksi yang tegas, yang mampu mencegah terjadinya korupsi secara tuntas. 

Penerapan sanksi Islam akan memberi efek jawabir, yakni pelaku akan jera dan dosanya telah di tebus, selain itu juga akan memberi efek jawajir, yakni efek pencegah di masyarakat. Demikianlah mekanisme Islam yang luar biasa dalam mencetak generasi unggul dan berkepribadian Islam sekaligus mencegah terjadinya kasus korupsi. 

Wallahu'alam bishhawab.


Oleh: Rukmini
Ibu Rumah Tangga 

Selasa, 11 April 2023

Memisahkan Sepakbola dan Politik adalah Ilusi

Tinta Media - Influencer Dakwah Aab Elkarimi mengatakan bahwa memisahkan sepakbola dan politik adalah ilusi terutama di tingkat internasional.

"Perlu diketahui, memisahkan sepakbola dan politik adalah ilusi apalagi di tingkat internasional," ujarnya di postingan reels Instagram miliknya @aab_elkarimi, Senin (27/3/2023).

Menurutnya, sepakbola adalah sarana efektif untuk membangun opini karena menjadi pusat kerumunan yang disenangi dan banyak mengundang perhatian publik.

"Sepakbola itu pusat kerumunan yang disenangi dan banyak sekali mengundang perhatian publik. Dan ini sarana yang efektif untuk membangun opini dan meneguhkan sikap," tuturnya.

Aab mengatakan bahwa ada beberapa negara dan suporter yang mengkampanyekan atau membawa narasi mereka masing-masing, termasuk FIFA sendiri.

"Sebagaimana ini yang dilakukan Jerman dalam mengkampanyekan LGBT, juga dilakukan Qatar yang mendakwahkan Islam, juga yang dilakukan suporter Maroko yang membawa narasi solidaritas Palestina dan ini juga yang dilakukan FIFA saat mem-banned Rusia karena menyerang Ukraina," bebernya.

"(Demikian juga) saat kita hanya menolak Israel di media sosial, di Ramadhan ini mereka membatasi akses masuk masjid, mereka menyerbu kompleks Al-Aqsa dan mereka juga mengusir umat muslim ketika beribadah," ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa hal ini bukan beberapa tahun saja tapi sudah puluhan tahun. "Dan mereka melakukan ini bukan setahun atau dua tahun tapi puluhan tahun," sesalnya.

Ia mengatakan, batalnya drawing tersebut patut disesali karena ada banyak kerugian.
"Ada banyak kerugian tapi menerima penjajah masuk ke negeri ini tidak bisa kita biarkan," pungkasnya.[] Muhammad Ikhsan Rivaldi

Jumat, 07 April 2023

Ada Juragan dan Bos Partai di DPR, Pamong Institute: Ini Anomali dan Ilusi Demokrasi

Tinta Media - Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky menilai Pernyataan Anggota DPR RI Bambang Pacul tentang adanya juragan atau bos partai di DPR sebagai anomali dalam sistem demokrasi sekaligus ilusi demokrasi. 

“Pernyataan salah satu anggota dewan yang mengungkap adanya juragan atau bos partai ini menunjukkan anomali dalam sistem demokrasi sekaligus ilusi demokrasi,” tuturnya dalam Acara Bincang Bersama Sahabat Wahyu: Anggota DPR Wakil Parpol atau Wakil Rakyat? di kanal YouTube Jakarta Qolbu Dakwah, Selasa (4/4/2023).

Wahyudi mengurai alasan anomali sekaligus ilusi demokrasi karena yang katanya sistem demokrasi mendudukkan rakyat berdaulat dan memiliki wakil tapi ternyata wakilnya sama sekali tidak mewakili rakyat. "Keputusan yang dibuat pun menunggu juragan atau bos partainya. Fakta ini, juga mengiriskan hati dan membuat rakyat geram bahkan marah," ungkapnya. 

Wahyudi menjelaskan bahwa undang-undang itu mengatur dan mengikat seluruh warga negara. Sehingga ketika pengesahan undang-undang menunggu perintah atau persetujuan juragan atau segelintir orang pimpinan parpol akan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.  

Ia mencontohkan ada pengesahan undang-undang (UU) yang terjadi di era Jokowi yang sudah ditolak oleh rakyat bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) tapi tetap dilaksanakan juga yaitu UU Ciptaker dan Minerba. “Jadi akhirnya undang-undang yang lahir itu betul hanya merupakan aspirasi dari segelintir orang. Ini menyedihkan dan membahayakan rakyat juga negara karena UU tersebut jelas-jelas tidak menguntungkan rakyat. Padahal yang mengesahkan UU kan wakil rakyat. Kok bisa?” tanyanya. 

Wahyudi melihat ada ketidaknyambungan antara keinginan rakyat dengan yang mewakilinya yaitu DPR. “Ternyata kalau diungkap seperti itu berarti betul selama ini DPR hanya menunggu perintah juragan bukan perintah rakyat,” lugasnya.

Lebih lanjut, Wahyudi mengungkap di sinilah terjadi bahaya sangat besar karena UU yang dikeluarkan itu mengikuti para oligarki maupun para juragan partai atau para pimpinan partai. “Mereka menunggangi negara untuk mengeluarkan undang-undang atau aturan yang dibutuhkan. Wakilnya pun sudah mengakuinya bahwa mereka tinggal tunggu perintah juragannya. Ini semuanya kaum kapitalis dan oligart,” ujarnya. 

Menurutnya, dengan melihat mekanisme demokrasi ini akan melahirkan para pemimpin dan para wakil rakyat yang sebenarnya tidak mewakili rakyat tapi mewakili partai atau bahkan juragannya. “Bahkan bisa jadi para wakil rakyat itu mewakili para oligart itu sendiri. Jika seperti ini terus, kasihan rakyat. Rakyat tetap tidak diperhatikan kepentingannya karena mereka hanya memperhatikan kepentingan dan pesanan maupun perintah dari bosnya,” imbuhnya.  
 
Pada titik inilah ia menghimbau rakyat harus memahaminya dan juga harus melakukan penyadaran kepada rakyat terus-menerus. “Rakyat harus disadarkan dan diberikan gambaran yang jelas bahwa kita harus segera mencari sistem alternatif yang lebih baik. Termasuk juga rakyat harus sadar jangan terjebak dengan janji-janji orang-orang yang merasa menyatakan dirinya mewakili rakyat padahal dia tidak mewakili rakyat. jangan terjebak dan terjerat dengan kasus yang sama,” pungkasnya.[] Erlina
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab