Tinta Media: Ilmuwan
Tampilkan postingan dengan label Ilmuwan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmuwan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Desember 2022

Inilah Kebiasaan Ilmuwan Muslim dalam Mengawali Karyanya

Tinta Media - Muslimah Media Center (MMC) mengungkap kebiasaan para ilmuwan muslim dalam mengawali karyanya.

“Para ilmuwan muslim bahkan kerap mengawali karyanya dengan basmalah, hamdalah, dan shalawat kepada nabi,” beber narator MMC pada rubrik History Insight: Etika dan Adab Kepenulisan di Era Islam pada Rabu (14/12/2022) di kanal youtube Muslimah Media Center.

Menurutnya, penyebutan tiga hal ini lazim dan sudah menjadi ciri khas karya ilmuwan muslim. "Pada masa kejayaan Islam, para ilmuwan muslim melakukan aktivitas karya tulis ilmiah adalah sebagai bentuk ibadah dan bukti berserah diri kepada Allah," ujarnya. 

Narator mencontohkan salah satu karya tulis yang demikian seperti pada pembukaan naskah astronomi berjudul Mulakhkhas fi al-Hai’ah karya Syarf ad-Din Mahmud bin Umar al-Jighminy yang  berbunyi: ‘Segala puji bagi Allah, seutama-utama puji, shalawat atas nabi dan keluarganya. Berkata hamba Allah yang fakir kepada rahmat-Nya, Mahmud bin Muhammad Al jibrini. Semoga Allah merahmatinya.’ 

Selain itu, narator menyampaikan bahwa para ulama dan ilmuwan muslim senantiasa berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah agar tulisannya bermanfaat dan membawa keberkahan. “Bentuk kedekatan mereka kepada Allah adalah berwudhu,salat sunnah, dan mandi junub sebelum menulis karya mereka. Imam Al Bukhari dalam mengoleksi hadits salah satu kebiasaannya adalah salat sunnah sebelum mencatat dan menentukan derajat hadis,” tuturnya.

Narator juga menceritakan di era sebelum ditemukan mesin cetak, menyalin buku menjadi hal yang penting. Dalam konteks tersebut Umar Bin Khattab pernah berkata: ‘Seburuk-buruk tulisan adalah al-masyq atau memanjangkan tulisan; seburuk-buruk bacaan adalah Al hadzramah atau terlalu cepat bicaranya; dan sebaik-baik tulisan adalah yang paling jelas.’

Etika 

Menurutnya, etika Islam dalam menyalin sebuah karya ada empat, yaitu sidiq, tabligh, amanah, dan fathanah. “Sidiq atau jujur adalah penulis harus menyampaikan kebenaran dan tanggung jawab dalam tulisannya. Dia tak boleh menyembunyikan yang sesungguhnya. Sedangkan tabligh atau menyampaikan adalah bagian dari penyebaran ilmu,” ujarnya.

Untuk etika berikutnya yaitu amanah atau terpercaya adalah mengindikasikan bahwa penulis wajib selaras antara perkataan dan perbuatannya. “Amat tercela bagi penulis jika tulisannya menginformasikan sesuatu yang salah namun dirinya sama sekali tidak mengindahkannya,” ucapnya.
 
Etika terakhir adalah fathanah atau cerdas. “Fathanah ini adalah prasyarat ulama, ilmuwan, maupun penulis lainnya. Bahkan ketika terdapat bagian dari teks yang direvisi, pembaca dapat mengetahui tulisan sebelum direvisi. salah satu metode merevisi itu adakalanya dengan isyarat acuan atau ilhaq yaitu dengan tanda garis pendek lengkung yang mengarah ke bagian kiri atau kanan sebuah naskah. Model ini dilakukan karena tidak tersedianya ruang kosong untuk menuliskan kata atau kalimat yang dipandang relevan,” imbuhnya.

Kualitas tinta, menurut narator juga menjadi perhatian para penulis agar tulisan mudah dibaca dan tahan lama. Seorang murid disarankan narator harus memiliki buku untuk dipelajari baik dengan membeli, menyewa, maupun meminjam. Pemilik buku juga dianjurkan meminjamkannya kepada orang yang membutuhkan. Narator mengutip riwayat dari Sufyan ats-Tsauri yang berkata: ‘Barangsiapa yang pelit dari meminjamkan buku, maka dia akan mengalami tiga hal buruk yaitu pelupa, mati yang tidak bermanfaat, dan buku-bukunya hilang.’

Untuk menjaga kredibilitas dan independensinya, narator menuturkan para ilmuwan muslim saat itu memiliki sikap dan etika Islam. sikap ini dimiliki sehingga mereka tidak terpengaruh godaan dan tantangan apapun seperti harta atau jabatan. “Contoh yang bisa dilihat adalah tatkala penguasa menawarkan gaji yang besar kepada Ibnu al-Haitsam. Dia hanya mengambil sekedarnya saja. Demikian pula Al Khazini sang ahli hidrolika telah menolak hadiah 1000 dinar dan merasa cukup dengan 3 dinar saja dalam setahun. Ini mereka lakukan demi menjaga kredibilitas dan independensinya sebagai ilmuwan,” tambahnya.

Narator mengungkapkan betapa luar biasa peradaban Islam di kala itu yaitu ketika penerapan syariat Islam Kaffah dalam institusi Khilafah. Sebelum peradaban Islam  umat manusia belum mengenal adab dan etika dalam tulis menulis, salin-menyalin, dan pinjam meminjam buku. “Ini menunjukkan keseriusan umat Islam dalam bidang keilmuan yang tujuannya hanyalah mengharap ridha Allah semata,” tandasnya.

Dibandingkan dengan sekarang, menurut narator sangat jauh kondisinya di mana justru sekarang etika kepenulisan tidak dianggap penting sehingga banyak buku maupun hasil karya tulis sekarang yang justru menyesatkan bukannya memberi manfaat. Adapun jika bermanfaat bagi masyarakat malah digunakan sebagai ladang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya oleh korporasi. 

“Inilah yang terjadi ketika syariat Islam dilalaikan dan diganti dengan aturan manusia, sebab syariat Islam membawa kemaslahatan sedangkan aturan manusia membawa kehancuran bagi umat manusia,” pungkasnya.[] Erlina

Senin, 21 November 2022

ILMUWAN BUKAN MENARA GADING

Tinta Media - Jika ada persoalan yang terlalu sulit bagiku, aku pergi ke masjid dan berdoa, memohon kepada Yang Maha Pencipta agar pintu yang telah tertutup bagiku dibukakan dan apa yang tampaknya sulit menjadi sederhana. Biasanya, saat malam tiba, aku kembali ke rumah, menghidupkan lampu dan menenggelamkan diri dalam bacaan dan tulisan. [Ibnu Sina] 

Ada dua dimensi mendasar yang bisa diambil pelajaran dari spirit intelektual Ibnu Sina diatas. Pertama adalah kegelisahannya pada persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Ibnu Sina, sebagai seorang ilmuwan sangat memperhatikan problematikan sosial pada zamannya. Kedua, ketekunannya di bidang literasi dengan menenggelamkan diri dalam bacaan dan tulisan. Budaya literasi Ibnu Sina didasarkan oleh persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.

 

Ibnu Sina (980-1037) yang dikenal dengan sebutan "Avicenna" di dunia Barat adalah seorang filosuf, ilmuwan, sekaligus praktisi sebagai seorang dokter. Di bidang literasi dan riset, ilmuwan kelahiran Persia ini juga seorang penulis yang produktif dan konstributif.  Sebagian besar karyanya terkait bidang filsafat dan kedokteran. Tidak berlebihan jika dia disebuat sebagai "Bapak Kedokteran Modern". Karyanya yang sangat terkenal adalah al-Qānūn fī aṭ-Ṭibb yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad.

 

Dalam perspektif Islam, ilmuwan disebut dengan istilah ulil albaab, sebuah integrasi antara aktifitas pemikiran sekaligus spiritual. Ketinggian ilmu mestinya berbanding lurus dengan spiritualitas. Perenungan atas fakta-fakta manusia, kehidupan dan alam semesta mestinya mengantarkan kepada tingginya intelektualitas dan spiritualitas seorang ilmuwan. Hal ini ditegaskan Allah dalam QS. Ali Imran : 190-191.

 

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu)  orang-orang yang mengingat  Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka [QS Ali Imran : 190-191]  Dalam hal ini, Imam Syafi'i berkata: "Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir dan mencari dalil untuk ma'rifat kepada Allah Ta'ala. Arti berfikir adalah melakukan penalaran dan perenungan dengan mengoptimalkan potensi otak, panca indera, fakta penciptaan dan ilmu yang mengantarkan kepada keyakinan  dan ma'rifat kepada Allah.

 

Spirit ilmuwan adalah sebuah perjalanan pencarian kebenaran tiada akhir. Ilmuwan adalah seorang penjelajah samudra pengetahuan. Ilmuwan adalah orang yang memahami konsep-konsep yang telah ada dengan mendalam dan kritis. Ilmu dan pengetahuan adalah bersifat continuum yang terus bergerak, berubah dan berkembang sejalan dengan kompleksitas dan perkembangan sains dan teknologi. Ilmu akan terus bergulir dengan mengalami berbagai penyempurnaan oleh para ilmuwan masa setelahnya.

 

Sir Isacc Newton, seorang ilmuwan yang sangat terkenal, President of the Royal Society memiliki spirit ini. Ada banyak penyempurnaan penemuan ilmuwan sebelumnya yang dilakukannya. Dalam pencariannya akan ilmu, Newton tidak hanya percaya pada kebenaran yang sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia menggugat (meneliti ulang) hasil penelitian terdahulu seperti logika aristotelian tentang gerak dan kosmologi, atau logika cartesian tentang materi gerak, cahaya, dan struktur kosmos.

 

“Saya tidak mendefenisikan ruang, tempat, waktu dan gerak sebagaimana yang diketahui banyak orang” ujar Newton. Bagi Newton, dunia keilmuwan tak ada keparipurnaan, yang ada hanya pencarian yang dinamis, selalu mungkin berubah dan tak pernah selesai. “ku tekuni sebuah subjek secara terus menerus dan ku tunggu sampai cahaya fajar pertama datang perlahan, sedikit demi sedikit sampai betul-betul terang”.

 

Namun demikian, spirit riset dan penelitian seorang ilmuwan dalam pandangan Islam tidaklah cukup. Sebab ilmuwan jika tidak peduli atas persoalan masyarakat dan negara maka hanya akan menjadi menara gading yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Seorang ilmuwan dalam pandangan Islam bukan hanya berkutat persoalan intelektualitas, namun dia juga seorang pemberi peringatan.

 

Allah menegaskan dalam firmannya, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kami bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, tetapi orang yang berpaling dan kafir, maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar. Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka”, (QS Al Ghasiyyah : 17-26).

 

Dengan demikian, seorang ilmuwan sejati bukan hanya berdiri sebagai menara gading yang sibuk dengan dirinya sendiri, bukan pula yang hanya mengabdi kepada kekuasaan, namun dia adalah seorang yang berorientasi kepada kebenaran sains sekaligus memberikan pencerahan kepada masyarakat maupun kekuasaan. Ilmuwan atau ulama menjadi salah satu kunci bagi kebaikan peradaban sebuah bangsa. Dalam konteks ini, seorang ilmuwan harus memiliki integritas.

 

President dari Reflections Ministries, Atlanta, Dr. Kenneth Boa memberikan ilustrasi dan penegasan soal integritas. Dia menempatkan integritas sebagai lawan dari oportunistik. Karakter oportunis pragmatis menurutnya, tidaklah qualified untuk mencerahkan orang-orang lain guna mencapai kebaikan yang lebih tinggi. Dengan demikian integritas pemimpin menduduki posisi penting, selain integritas seorang intelektual.

 

Integritas itu bermuara kepada karakter berbasis nilai, sebagaimana kepemimpinan Rasulullah yang didasarkan oleh kejujuran, amanah, menyampaikan kebenaran dan memiliki kecerdasan. Kepemimpinan bangsa yang memiliki integritas harus ditopang oleh integritas ulama dan kaum intelektual. Keduanya berjalan seiring sejalan demi kebaikan dan kemuliaan bangsa.

 

Sifat oportunistik dan pragmatisme duniawi para ilmuwan atau ulama ini dalam pandangan Imam Al Ghazali merupakan sumber kerusakan. Dalam Kitab Ihya ‘Ulumudin juz 2 halaman 357 ditegaskan bahwa kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Sementara rusaknya para ulama itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan. Sesiapa yang terpedaya akan kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara besar ?.

 

Karena itu,  adalah penting membangun integritas intelektual para ilmuwan. Integritas intelektual berpijak kepada nilai-nilai etis yang akan membawa kepada kebaikan dan kemuliaan. Sebaliknya, intelektualitas tanpa integritas berarti suatu bangsa telah kehilangan nilai kejujuran, kredibilitas dan sederet karakter mulia lainnya. Baik kaum intelektual atau ulama maupun penguasa wajib hukumnya memiliki integritas intelektual karena sangat berperan membawa arah suatu bangsa dan peradabannya.

 

Integritas seorang ilmuwan akan membawa dirinya kepada dua fungsi sekaligus, baik sebagai kaum intelektual yang mengasilkan berbagai bidang ilmu sekaligus sebagai seorang pemberi peringatan atas kondisi bangsanya yang tidak sejalan dengan prinsip dan nilai kebaikan. Ilmuwan bukanlah orang yang berdiri sebagai menara gading, namun menetapkan dirinya juga sebagai pencerah bagi kehidupan bangsanya.

Oleh : Dr. Ahmad Sastra

Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Rabu, 24 Agustus 2022

MMC: Ilmuwan Muslim Abul Wafa, Penemu Rumus Trigonometri

Tinta Media - Narator Muslimah Media Center (MMC) mengungkap penemu rumus trigonometri, sin, cos dan tan dalam ilmu matematika ternyata adalah ilmuwan Muslim.

 “Ternyata ilmuwan muslim yang menemukan rumus tersebut. Sosok Abul Wafa’ dengan nama lengkap Abu Al Wafa’ Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Yahya Ibnu Ismail Busjani merupakan seorang astronom dan matematikawan asal Persia,” tutur Narator rubrik History Insight, Abul Wafa’ : Penemu Rumus Trigonometri, di kanal YouTube Muslimah Media Center (MMC), Minggu (21/8/2022).

Ia menceritakan, sejak kecil Abul Wafa’ sudah dipandang memiliki kecerdasan di atas rata-rata anak seumurannya. "Pada usia 19 tahun Abul Wafa’ pindah ke Baghdad yang merupakan ibukota Khilafah Abbasiyah pada saat itu dan terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Kemahirannya pada ilmu matematika menjadikan Abdul Wafa menghasilkan jasa terpenting pada bidang trigonometri,” kisahnya.

“Ia berhasil mengembangkan fungsi tangen dan menemukan metode perhitungan trigonometri,” lanjutnya. 

Ia menyampaikan bahwa Abul Wafa’ dianggap sebagai orang yang pertama memperkenalkan sinus dan cosinus. “Rumus-rumus dasar trigonometri yang dihasilkan oleh Abul Wafa’ hingga kini masih bertahan,” tuturnya.

Menurutnya, rumus trigonometri sendiri memiliki peran sangat vital di era matematika modern saat ini. “Salah satunya di bidang arsitektur dalam pembangunan gedung pencakar langit. Selain itu hasil perhitungan yang akurat dan analisis Abul Wafa’ diakui para ilmuwan terutama analisis terkait penentuan waktu tertutup matahari, perkiraan panjang musim dan derajat kemiringan bumi dari garis ekliptikanya,” jelasnya. 

“Karena itulah semasa hidupnya Abul Wafa' pernah dipercaya oleh khalifah untuk menjadi pemimpin observatorium astronomi,” jelasnya lebih lanjut.

Narator mengungkap fakta bahwa banyak ilmuwan muslim yang memberikan sumbangsih di bidang ilmu pengetahuan di masa peradaban Islam. "Diakui atau tidak, peradaban Islam dan cendekiawan hebat, bukan hanya menghasilkan lulusan sarjana dalam jumlah yang besar, namun minim kontribusi tetapi mereka menjadi penemu-penemu yang karyanya sangat dibutuhkan hari ini," ujarnya. 

“Bahkan ilmuwan-ilmuan Islam pada masa lalu berhasil membuat Eropa merasa berhutang besar pada peradaban Islam. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Montgomery Watt seorang orientalis dan sejarawan Eropa asal Skotlandia bahwa cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri,” paparnya 

Menurut Narator, tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi dinamonya barat bukanlah apa-apa. “Kehebatan Abul wafa’ dan ilmuwan-ilmuwan lainnya yang diakui oleh peradaban barat seharusnya tidak hanya membangkitkan romantisme sejarah Islam yang gemilang bagi umat Islam saat ini,” ucapnya.

Menurutnya, umat Islam hari ini harusnya menjadikannya sebagai retrospeksi sekaligus introspeksi yang tentu amati oleh mereka. Dengan itu kaum muslimin secara sadar dan jujur akan mampu melihat kembali kebesaran peradaban Islam di masa lalu sekaligus potensinya untuk kembali hadir pada masa depan untuk yang kedua kalinya. “Sebab harus diakui bahwa ilmuwan-ilmuwan Muslim hari ini masih dalam kungkungan sistem kapitalisme,” ungkapnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa pendidikan di bawah sistem kapitalisme hanya mencetak lulusan tukang yang menjadi pekerja di bawah industri korporasi kapitalisme golbal. “Bukan seorang ilmuwan yang mendedikasikan ilmunya agar memberi kemaslahatan bagi masyarakat, tetapi seorang ilmuwan yang diharapkan mampu menjadi perintis dalam segala bidang,” ungkapnya.
 
Menurutnya, selain meretrospeksi keagungan peradaban Islam masa lalu, harus ada upaya dari umat Islam hari ini untuk membangun kembali masa depan peradaban Islam di tengah-tengah hegemoni peradaban barat sekuler saat ini, yang sesungguhnya mulai tampak jompo dan makin kelihatan tanda-tanda kemundurannya. 

“Sementara Fajar kemenangan Islam dengan tegaknya kembali hukum-hukum Allah di dunia Islam mulai terlihat hilalnya,” pungkasnya. [] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab