Tinta Media: Ilmu
Tampilkan postingan dengan label Ilmu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu. Tampilkan semua postingan

Minggu, 11 Februari 2024

Ilmu yang Pertama Kali Allah Angkat di Akhir Zaman

Tinta Media - Saat ini muncul berbagai produk barang maupun jasa yang ditawarkan di tengah masyarakat dikaitkan dengan akhir zaman. Sebut saja ada yang membuat ramuan minuman akhir zaman sampai menyediakan layanan olah raga akhir zaman. Namun, pernahkah Kita terpikir, bahwa ada sebuah ilmu yang dikabarkan oleh Rasulullah Saw sebagai ilmu yang pertama kali akan Allah angkat dari muka bumi ini sebelum datangnya akhir zaman. Ilmu apa yang dimaksud? 

Rasulullah SAW mengabarkan, ilmu yang dimaksud adalah ilmu tentang pembagian harta waris. Ilmu ini juga dikenal dengan nama ilmu faraidh. Rasulullah SAW bersabda :
“Pelajarilah ilmu faraid dan  ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya, ilmu faraid (ilmu waris) adalah  setengahnya ilmu dan ia akan dilupakan. Ilmu faraidh itu adalah ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku.” (HR Ibnu Majah dan Ad-Darquthni) 

Lalu, apa yang akan terjadi ketika ilmu ini diangkat oleh Allah? Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah SAW juga mengabarkan bahwa di tengah manusia akan terjadi perselisihan karena persoalan pembagian harta waris. Perselisihan ini terjadi, namun tidak ada seorang pun yang mampu memberikan solusi dengan aturan yang diturunkan oleh Allah dengan ilmu faraidh.

Mendengar kabar dari Rasulullah SAW ini, tidakkah muncul semangat di dalam diri kita untuk mempelajari ilmu faraidh? Bukankah ini sebuah peluang besar untuk mendulang pahala dan meraih keutamaan mendapatkan separuh dari ilmu? 

Ketika manusia cenderung jauh dari aturan agama, maka timbangan keadilan akan jatuh pada kemaslahatan dan kesepakatan manusia. Dalam pembagian harta waris, standar keadilan pun ditakar dengan prinsip bagi rata. Anggapan manusia, bahwa adil adalah jika semua mendapatkan bagian yang sama. Jelas, Ini muncul dari keterbatasan akal manusia, yang hanya mempertimbangkan angka. Padahal kebutuhan dan juga tanggung jawab dari keluarga tidaklah sama.  Kejahilan yang memunculkan banyak sekali perselisihan di tengah masyarakat. 

Pada kondisi yang demikian, maka munculnya seseorang yang membawa petunjuk agama akan menjadi obor penerang dalam gelapnya kebodohan masyarakat akibat mengikuti hawa nafsu. Inilah peluang besar pahala jariyah menyelamatkan manusia di akhir zaman. Pahala menyelamatkan manusia sehingga mereka terhindar dari pertengkaran akibat pembagian harta waris. 

Yuk, semangat belajar ilmu waris !

Medan, 10 Februari 2024 

Oleh: Muhammad Yusran Ramli
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 19 Agustus 2023

Keutamaan Majelis Ilmu

Tinta Media - Sobat.  Diriwayatkan bahwa Luqmanul Hakim menasehati putranya : “Wahai anakku, ketika kamu melihat jamaah tengah berdzikir (Majelis Ilmu), maka duduklah bersama mereka, karena jika engkau pandai maka bermanfaatlah ilmumu, dan jika engkau bodoh, maka kau dapat menimba ilmu dari  mereka, dan kemungkinan mereka diberi rahmat oleh Allah, maka kau  memperoleh bagian daripadanya.

Dan ketika kamu melihat masyarakat tidak berdzikir atau bukan majelis ilmu, maka hati-hatilah jangan mendekati mereka, karena jika kau pandai tiada manfaat ilmu yang ada padamu, dan jika kamu bodoh, maka menambah kesesatanmu, dan kemungkinan mereka dimarahi oleh Allah, hingga kamu tertimpa marahnya.”

Sobat. Abu Laits Assamarqandi dalam kitabnya Tanbihul Ghafilin berkata, “Orang yang duduk bersama orang pandai (Majelis Ilmu), sekalipun tidak dapat mengingat ilmu yang disampaikannya, akan memperoleh tujuh kemuliaan yaitu :1. Kemuliaan orang yang belajar. 2. Mengekang laku dosa, sepanjang dekat dengan orang yang berilmu. 3. Ketika berangkat menuju majelisnya diturunkan rahmat oleh Allah SWT. 4. Ketika berdampingan dengannya, memperoleh rahmat yang diberikan kepada ulama tersebut. 5. Ditulis kebaikan, sepanjang mendengarkan tutur kata (nasehat)nya. 6. Diliputi para malaikat dengan sayapnya, karena mereka rela kepadanya.

Sobat. Beliau juga mengingatkan kepada kita, “Barangsiapa duduk bersama 8 macam manusia, maka bertambah pula sifat, yaitu : Duduk bersama orang kaya bertambah cinta harta. Duduk bersama orang miskin, bertambah syukur dan rela atas pemberian Allah SWT. Duduk bersama penguasa, bertambah keras hati lagi sombong. Duduk bersama anak-anak, bertambah senang bermain dan bergurau. Duduk bersama pelacur, bertambah berani berbuat maksiat dan menunda-nunda taubat. Duduk bersama orang sholeh, bertambah tekun ibadah dan menjauhi maksiat. Duduk bersama ulama bertambah ilmu dan takwa”. Memilih teman bergaul adalah memilih masa depan, maka berhati-hatilah.

Allah SWT berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ  

“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah.” ( QS. Al-Infithar (82) : 6 )

Sobat. Dalam ayat ini, Allah mencela manusia-manusia yang kafir, teperdaya, dan berani berbuat hal-hal yang dilarang Allah. Padahal, Allah Maha Pemurah dengan berbagai karunia yang dianugerahkannya kepada manusia, seperti rezeki yang banyak, keturunan yang baik dan saleh, kesehatan tubuh, dan lain-lain. Seharusnya mereka bersyukur sebagai balasan atas kemurahan Allah, bukan berbuat sebaliknya. Peringatan Allah untuk tidak teperdaya oleh apa pun sehingga tidak terdorong untuk berlaku sombong kepada-Nya disebutkan kembali dalam firman-Nya:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِي وَالِدٌ عَن وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَن وَالِدِهِ شَيْئًاۚ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ  

“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (QS. Luqman (31) : 33 )

Sobat. Ayat ini menerangkan sifat-sifat orang-orang musyrik dengan melukiskan mereka, "Apabila orang-orang musyrik penyembah patung dan pemuja dewa itu berlayar ke tengah lautan, tiba-tiba datang gelombang besar dan menghempaskan bahtera mereka ke kiri dan ke kanan, dan merasa bahwa mereka tidak akan selamat, bahkan akan mati ditelan gelombang, maka di saat itulah mereka kembali kepada fitrahnya, dengan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan setulus-tulusnya. Pada saat serupa itu mereka berkeyakinan bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat menyelamatkan mereka kecuali Allah semata, seperti yang pernah dilakukan Fir'aun di saat-saat ia akan tenggelam di laut.

Setelah Allah menerima doa dan menyelamatkan mereka dari amukan gelombang itu, maka di antara mereka hanya sebagian saja yang tetap mengakui keesaan Allah, adapun yang lainnya kembali menyekutukan Tuhan. 

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa yang mengingkari ayat-ayat-Nya itu dan kembali mempersekutukan Tuhan ialah orang-orang yang dalam hidupnya penuh dengan tipu daya dan kebusukan, serta mengingkari nikmat Allah.

(33) Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada manusia untuk melaksanakan perintah-perintah dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang. Tuhan yang telah menciptakan manusia dan menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya untuk kepentingannya. Manusia hendaklah takut pada hari dimana terjadi malapetaka yang dahsyat, tidak seorang pun yang dapat menyelamatkan dirinya dari malapetaka itu. Pada waktu itu, seorang ayah tidak kuasa menolong anaknya, demikian pula seorang anak tidak dapat menolong bapaknya, karena segala urusan waktu itu berada di tangan Allah. Tiap-tiap orang bertanggung jawab terhadap segala perbuatan yang telah dilakukannya. Mereka memikul dosanya masing-masing. Hanya perbuatan baik yang telah dilakukannya selama hidup di dunia yang dapat menolong manusia dari malapetaka itu.

Sobat. Allah memperingatkan bahwa janji-Nya membangkitkan manusia dari kubur adalah sesuatu yang benar-benar akan terjadi dan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan sedikit pun. Oleh karena itu, janganlah sekali-kali manusia tertipu oleh kesenangan hidup di dunia dan segala kenikmatan yang ada padanya, sehingga mereka berusaha dan menghabiskan seluruh waktu yang ada untuk memperoleh dan menikmati kesenangan-kesenangan duniawi. 

Akibatnya, tidak ada waktu lagi untuk beribadah kepada Allah, serta mengerjakan kebajikan dan amal saleh. Padahal kehidupan akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kehidupan yang kekal dan lebih baik.

Demikian pula Allah memperingatkan manusia akan tipu daya setan, yang selalu mencari-cari kesempatan untuk memperdaya manusia. Setan itu menjadikan kehidupan dunia itu indah dalam pandangan matanya, sehingga mereka lupa kepada tugas yang dipikulkan Allah kepada mereka sebagai khalifatullah fil ardh (makhluk yang diberi-Nya tugas memakmurkan bumi).

Maka janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu teperdaya oleh penipu dalam (menaati) Allah. (Luqman/31: 33)

Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku BIGWIN dan Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana Universitas Islam Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Rabu, 05 Juli 2023

Keutamaan Ilmu dalam Perspektif Al-Qur’an

Tinta Media - Sobat. Ketika berbagai kesulitan hidup menghantam kita, pandangan kita terhadap banyak hal sangat terbatas, kita membutuhkan keluasan dan pandangan jauh ke depan. Masalah apa saja bisa mengeruhkan kebeningan hidup kita. Tetapi ketika kita melihat masalah tersebut dari sudut pandang yang luas, saat itulah-dalam sekejap mata- masalah itu jadi terasa ringan. Oleh karenanya teruslah kita menambah ilmu dan memperluas cakrawala pandangan kita dalam kehidupan ini.

Allah SWT berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ  

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( QS. Al Mujadilah (58) : 11 )

Sobat. Ayat ini memberikan penjelasan bahwa jika di antara kaum Muslimin ada yang diperintahkan Rasulullah saw berdiri untuk memberikan kesempatan kepada orang tertentu untuk duduk, atau mereka diperintahkan pergi dahulu, hendaklah mereka berdiri atau pergi, karena beliau ingin memberikan penghormatan kepada orang-orang itu, ingin menyendiri untuk memikirkan urusan-urusan agama, atau melaksanakan tugas-tugas yang perlu diselesaikan dengan segera.

Dari ayat ini dapat dipahami hal-hal sebagai berikut:

1. Para sahabat berlomba-lomba mencari tempat dekat Rasulullah saw agar mudah mendengar perkataan yang beliau sampaikan kepada mereka.

2. Perintah memberikan tempat kepada orang yang baru datang merupakan anjuran, jika memungkinkan dilakukan, untuk menimbulkan rasa persahabatan antara sesama yang hadir.

3. Sesungguhnya tiap-tiap orang yang memberikan kelapangan kepada hamba Allah dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka Allah akan memberi kelapangan pula kepadanya di dunia dan di akhirat.

Memberi kelapangan kepada sesama Muslim dalam pergaulan dan usaha mencari kebajikan dan kebaikan, berusaha menyenangkan hati saudara-saudaranya, memberi pertolongan, dan sebagainya termasuk yang dianjurkan Rasulullah saw. 

Beliau bersabda:
Allah selalu menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

Berdasarkan ayat ini para ulama berpendapat bahwa orang-orang yang hadir dalam suatu majelis hendaklah mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam majelis itu atau mematuhi perintah orang-orang yang mengatur majelis itu.

Jika dipelajari maksud ayat di atas, ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini, yaitu agar orang-orang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau yang terlambat, selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling bertenggang rasa. Bagi yang lebih dahulu datang, hendaklah memenuhi tempat di muka, sehingga orang yang datang kemudian tidak perlu melangkahi atau mengganggu orang yang telah lebih dahulu hadir. Bagi orang yang terlambat datang, hendaklah rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti tidak mendapat tempat duduk. Inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi saw:
Janganlah seseorang menyuruh temannya berdiri dari tempat duduknya, lalu ia duduk di tempat tersebut, tetapi hendaklah mereka bergeser dan berlapang-lapang." (Riwayat Muslim dari Ibnu 'Umar)

Sobat. Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman, taat dan patuh kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, berusaha menciptakan suasana damai, aman, dan tenteram dalam masyarakat, demikian pula orang-orang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah. 

Sobat. Dari ayat ini dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai derajat yang paling tinggi di sisi Allah ialah orang yang beriman dan berilmu. Ilmunya itu diamalkan sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya.

Kemudian Allah menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang dilakukan manusia, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Dia akan memberi balasan yang adil sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan baik akan dibalas dengan surga dan perbuatan jahat dan terlarang akan dibalas dengan azab neraka.

Allah SWT berfirman :
وَيَقُولُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لَسۡتَ مُرۡسَلٗاۚ قُلۡ كَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدَۢا بَيۡنِي وَبَيۡنَكُمۡ وَمَنۡ عِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلۡكِتَٰبِ 
“Berkatalah orang-orang kafir: "Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul". Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu, dan antara orang yang mempunyai ilmu Al Kitab".( QS. Ar-Ra’du (13) :43 )

Sobat. Ayat ini menunjukkan dialog antara orang-orang kafir Mekah dan Rasulullah, di mana mereka mengingkari kerasulannya dengan mengatakan, "Engkau bukanlah seorang yang dijadikan rasul." Untuk menghadapi pengingkaran mereka ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menjawabnya dengan mengatakan, "Cukuplah Allah menjadi saksi dalam pertikaian yang terjadi antara kita seputar kerasulanku. Orang-orang yang mempunyai ilmu tentang Al-Kitab dari kalanganmu yang telah masuk Islam dapat menjadi saksi tentang kebenaran kerasulanku."

Sesuai dengan penegasan Allah dalam ayat yang lalu bahwa tugas pokok Nabi Muhammad adalah menyampaikan agama Islam kepada manusia. Beliau tidak perlu gelisah menghadapi sikap ingkar dari kaum kafir tersebut, sebab Allahlah yang mengangkat dan mengutusnya menjadi rasul.

Para ulama ahlul kitab memilih menganut agama Islam karena telah mengetahui bahwa dalam kitab Injil dan Taurat yang diwahyukan Allah kepada Nabi Isa dan Nabi Musa telah ada keterangan yang jelas tentang kedatangan nabi dan rasul terakhir, yaitu Muhammad saw. Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak mengingkari kerasulan beliau.

Sobat. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah akan memperoleh kebaikan, niscaya dianugerahi-Nya pemahaman dalam agama dan diilhami-Nya petunjuk.” (HR.Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat yang lainnya beliau bersabda, “ Isi langit dan isi bumi memintakan ampunan untuk orang yang berilmu.” Manakah kedudukan yang melebihi kedudukan orang, di mana para malaikat di langit dan di bumi selalu meminta ampunan baginya? Orang itu sibuk dengan urusannya dan para malaikat sibuk pula memintakan ampunan baginya.

Sobat. Rasulullah SAW bersabda, “ Iman itu tidak berpakaian, dan pakaiannya ialah taqwa, perhiasannya ialah malu dan buahnya ialah ilmu.” (HR. Al-Hakim dari Abi Darda’)

Dalam riwayat lainnya Rasulullah SAW bersabda, “ Barangsiapa memahami agama Allah niscaya dicukupkan Allah akan kepentingannya dan diberikan-Nya rezeki di luar dugaannya.” Al’Aalimu amiinullah Subhaanahu fil ardhi – Orang yang berilmu itu adalah kepercayaan Allah di bumi.” Dalam sabda beliau yang lainnya.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif M.Si. 
Penulis Buku BIGWIN dan Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Jumat, 31 Maret 2023

Ustadzah L. Nur Salamah : Penuntut Ilmu Sebaiknya Tidak Memilih Ilmu Sesuai Kemauan Sendiri

Tinta Media - Pengasuh Kajian Mutiara Ummat sekaligus penulis, Ustadzah L. Nur Salamah, S.Pd. menyampaikan bahwa seorang penuntut ilmu sebaiknya tidak memilih ilmu sesuai kemauan sendiri.

"Seyogyanya bagi penuntut ilmu untuk tidak memilih jenis ilmu sesuai kemauannya sendiri. Akan tetapi menyerahkan urusan kepada gurunya," tuturnya saat menyampaikan kajian umum Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim, Selasa (21/3/2023) di Batam.

Karena sesungguhnya, kata Ustadzah Nur, seorang Ustadz, telah ada padanya pengalaman dalam hal itu. Maka guru itu lebih paham apa yang tepat bagi setiap orang-orang dengan kebiasaan dan tabiatnya masing-masing.

Selanjutnya ia menceritakan tentang kisah seorang ulama yang bernama Syekh Burhanuddin Al-Hak atau Burhanul Hak Waddin.

"Dan adapun seorang Syaikhul Imam Al-Ajal (yang mulia) Ustadz Burhanul Hak Waddin. Semoga Rahmat Allah tercurah kepadanya. Beliau berkata: Bahwa para penuntut ilmu pada zaman awal-awal, mereka menyerahkan dalam urusan belajarnya kepada gurunya. Maka mereka sampai kepada tujuan mereka dan keinginan mereka dalam menuntut ilmu," bebernya.

Pada zaman dahulu, kata Ustadzah Nur, para penuntut ilmu itu terbiasa dipilihkan oleh gurunya. Kitab apa yang pertama dan utama untuk dikaji. Ilmu apa yang cocok untuk dipelajari. Gambarannya seperti yang dicontohkan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabani. Untuk pemula, kitab pertama yang dikaji adalah Nidzomul Islam bab Thoriqul Iman dan begitu seterusnya. Karena pertama bagi seorang muslim adalah ilmu tauhid atau ketuhanan, sampai keimanannya tertancap kuat, tidak mudah tergoyahkan. Setelah dirasa cukup kuat baru beranjak pada pelajaran atau kitab yang lain.

Bunda, siapa akrabnya juga menjelaskan maksud zaman awal itu seperti apa. "Zaman awal yang dimaksudkan yaitu lahirnya Imam Az-Zurnujii (pengarang kitab ini), yaitu sekitar tahun 600 Hijriyah. Sudah mulai ada perubahan pada sikap penuntut ilmu. Berarti sekitar 800 tahun yang lalu. Itu sudah mulai ada perubahan, apalagi kondisi sekarang. Malah ambyar gak karuan. Pelajar atau penuntut ilmu memilih jurusan sesuai keinginan dan hawa nafsunya. Demi orientasi dunia semata. Wajar jika tidak mendapatkan arti dari sebuah keberkahan dan kebermanfaatan ilmu," paparnya.

Terakhir, ia menegaskan bahwa jika penuntut ilmu memilih jenis ilmu sesuai keinginannya, maka tidak akan mendapatkan hasil apapun dan jauh dari kefaqihan.

"Dan sekarang, mereka memilih jenis ilmu, menurut kemauannya sendiri, maka tidak menghasilkan tujuan mereka dari menuntut ilmu dan dari kefaqihan terhadap agama," pungkasnya.[] Bey

Rabu, 29 Maret 2023

Dengan Ilmu, Allah SWT Tampakkan Keutamaan Nabi Adam atas Malaikat

Tinta Media - Pengasuh Kajian Mutiara Ummat, Ustadzah L. Nur Salamah, S.Pd. menyampaikan bahwasanya Allah SWT menampakkan keutamaan Nabi Adam karena Ilmunya.

"Dengan ilmu, Allah SWT menampakkan keutamaan Nabi Adam 'Alaihi Salam atas para malaikat dan diperintahkan kepada para malaikat untuk bersujud kepadanya," tuturnya pada saat menyampaikan kajian Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim, Sabtu (18/3/2023) di Batam.

Sujud yang dimaksudkan di sini, imbuhnya, bukanlah sujud menyembah, akan tetapi sujud tersebut merupakan sujud i'tiram atau sujud penghormatan.

Selanjutnya, ia mengatakan bahwa kemuliaan ilmu itu menjadi wasilah yang mengantarkan kepada kebaikan dan ketakwaan. "Dan sesungguhnya, kemuliaan ilmu dikarenakan wasilah sebagai wasilah kepada kebaikan dan ketakwaan," ujarnya.

Dengan ilmu tersebut, kata Ustadzah Nur, manusia berhak mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT dan mendapatkan kebahagiaan yang abadi. Sebagaimana dikatakan kepada Syaikh Muhammad bin Hasan semoga Allah SWT merahmati keduanya. Beliau bersyair.

Bunda, sapaan akrabnya juga membacakan bunyi syair dari Muhammad bin Hasan. "Belajarlah, karena sesungguhnya ilmu itu perhiasan bagi pemiliknya," terangnya.

Yang namanya perhiasan, kata Bunda, identik dengan sesuatu yang mahal harganya, bisa mempercantik diri, menjadi pusat perhatian dan menjadikannya mulia dan terhormat. 

Terakhir, sebagai pengasuh kajian, ia berpesan agar kita itu terus memperbaiki diri dengan ilmu dan amal kebaikan. "Maka, tidak ada cara lain bagi kita sebagai manusia, jika ingin hidupnya mulia, dan dimuliakan maka harus menuntut ilmu dan beramal sesuai dengan ilmu yang kita kaji," pungkasnya.[] Bey

Kamis, 09 Maret 2023

Kuasai dan Milikilah Ilmu

Tinta Media - Sobat. Beberapa hari kemarin saya membersamai kegiatan mengisi liburan sekolah dengan kegiatan tadabur alam melalui SAE Young Camp 2022 dan Family Gathering di sekitar pegunungan Penanggungan. Mereka saya ajak menemukan dan menggali impian mereka, kemudian membuat peta sukses hidup menuju kebahagiaan, keberkahan dan kemuliaan. Salah satu syarat dalam meraih impian atau cita-cita adalah selain memiliki Visi Akherat dan Visi Dunia adalah senantiasa meningkatkan kompetensi dengan menguasai dan memiliki Ilmu, mengembangkan skill, dan membangun karakter-karakter yang unggul.

Sobat. Suatu saat ketika Abu Hurairah lewat suatu pasar yang ramai sekali orang dan sibuk sekali di dalamnya kemudian beliau menyapa mereka. “Saudaraku, alangkah sibuknya  kalian. Sayang sekali kalian ramai-ramai berada di sini, padahal sekarang Rasulullah SAW  sedang  membagikan harta karun yang paling berharga.  Mengapa kalian tidak ingin ikut mengambilnya,” kata Abu Hurairah.

Rasa penasaran mereka membuat mereka bertanya, “Di mana wahai Abu Hurairah?” Tanya mereka.   Di sana. Di masjid.” Jawab Abu Hurairah sambil menunjuk ke satu arah.
Merasa tertarik dengan informasi itu beberapa orang meninggalkan pasar menuju tempat yang ditunjuk oleh Abu Hurairah yaitu masjid. Sedang Abu Hurairah tetap berdiri di tempatnya menunggu orang-orang itu kembali.

Benar juga, tidak beberapa lama mereka kembali lagi ke pasar menemui Abu Hurairah. Nampak sekali, kekecewaan di wajah mereka.
“Wahai Abu Hurairah. Kami datang ke masjid, tapi kami tidak melihat ada sesuatu yang dibagikan Rasulullah SAW.” Ujar mereka.
“Apakah kalian tidak melihat orang banyak?” Tanya Abu Hurairah. “ Ya kami melihat banyak orang. Ada yang sedang sholat, ada yang membaca Al-Quran…”

Apakah kalian tidak melihat kerumunan orang yang mengelilingi Rasulullah SAW. Ya kami melihat mereka.”

Abu Hurairah berkata, “Orang itu sedang mengitari Rasulullah SAW yang sedang membagikan harta yang tak ternilai harganya. Rasulullah membagi-bagikan ilmunya kepada mereka. Bukankah ilmu adalah harta yang sangat mahal.”  Orang-orang itu hanya terdiam mendengar penjelasan Abu Hurairah, mereka tidak marah lantaran yang disampaikan Abu Hurairah memang benar apa adanya.

Sobat. Dalam kehidupan manusia, pengetahuan memiliki posisi yang teramat signifikan. Hampir di seluruh dimensi kehidupan, bisa dipastikan, setiap manusia senantiasa membutuhkan pengetahuan. Tak peduli apakah dia seorang petunia atau jenderal, seorang nelayan atau pedagang, seorang sopir ataukah insinyur. Semuanya membutuhkan pengetahuan.

Sobat. Carilah jejak-jejak orang yang ilmunya membuatnya bertambah takut kepada Allah, yang perbuatannya membuatnya bertambah arif, dan yang akalnya membuat makrifat nya semakin bertambah.

Sobat.  Dalam Al-Quran sebagai dasar untuk perintah belajar dan menuntut ilmu adalah firman Allah SWT :

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ  

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” ( QS. Al-Álaq (96): 1-5 )

Sobat. Allah memerintahkan manusia membaca (mempelajari, meneliti, dan sebagainya.) apa saja yang telah Ia ciptakan, baik ayat-ayat-Nya yang tersurat (qauliyah), yaitu Al-Qur'an, dan ayat-ayat-Nya yang tersirat, maksudnya alam semesta (kauniyah). Membaca itu harus dengan nama-Nya, artinya karena Dia dan mengharapkan pertolongan-Nya. Dengan demikian, tujuan membaca dan mendalami ayat-ayat Allah itu adalah diperolehnya hasil yang diridai-Nya, yaitu ilmu atau sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.

Sobat. Allah menyebutkan bahwa di antara yang telah Ia ciptakan adalah manusia, yang menunjukkan mulianya manusia itu dalam pandangan-Nya. Allah menciptakan manusia itu dari 'alaqah (zigot), yakni telur yang sudah terbuahi sperma, yang sudah menempel di rahim ibu. Karena sudah menempel itu, maka zigot dapat berkembang menjadi manusia. Dengan demikian, asal usul manusia itu adalah sesuatu yang tidak ada artinya, tetapi kemudian ia menjadi manusia yang perkasa. Allah berfirman:
 
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (ar-Rum/30: 20)

Asal usulnya itu juga labil, zigot itu bisa tidak menempel di rahim, atau bisa terlepas lagi dari rahim itu, sehingga pembentukan manusia terhenti prosesnya. Oleh karena itu, manusia seharusnya tidak sombong dan ingkar, tetapi bersyukur dan patuh kepada-Nya, karena dengan kemahakuasaan dan karunia Allah-lah, ia bisa tercipta. Allah berfirman menyesali manusia yang ingkar dan sombong itu:
 
Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia menjadi musuh yang nyata! (Yasin/36: 77)

Menurut kajian ilmiah, 'alaqah merupakan bentuk perkembangan pra-embrionik, yang terjadi setelah percampuran sel mani (sperma) dan sel telur. Moore dan Azzindani menjelaskan bahwa 'alaqah dalam bahasa Arab berarti lintah (leech) atau suatu suspensi (suspended thing) atau segumpal darah (a clot of blood). Lintah merupakan binatang tingkat rendah, berbentuk seperti buah per, dan hidup dengan cara menghisap darah. Jadi 'alaqah merupakan tingkatan (stadium) embrionik, yang berbentuk seperti buah per, di mana sistem kardiovaskuler (sistem pembuluh-jantung) sudah mulai tampak, dan hidupnya tergantung dari darah ibunya, mirip dengan lintah. 'Alaqah terbentuk sekitar 24-25 hari sejak pembuahan. Jika jaringan pra-embrionik 'alaqah ini diambil keluar (digugurkan), memang tampak seperti segumpal darah (a blood clot like). Lihat pula telaah ilmiah pada penjelasan Surah Nuh/71 ayat 14.

Sobat. Allah meminta manusia membaca lagi, yang mengandung arti bahwa membaca yang akan membuahkan ilmu dan iman itu perlu dilakukan berkali-kali, minimal dua kali. Bila Al-Qur'an atau alam ini dibaca dan diselidiki berkali-kali, maka manusia akan menemukan bahwa Allah itu pemurah, yaitu bahwa Ia akan mencurahkan pengetahuan-Nya kepadanya dan akan memperkokoh imannya.

Sobat. Di antara bentuk kepemurahan Allah adalah Ia mengajari manusia mampu menggunakan alat tulis. Mengajari di sini maksudnya memberinya kemampuan menggunakannya. Dengan kemampuan menggunakan alat tulis itu, manusia bisa menuliskan temuannya sehingga dapat dibaca oleh orang lain dan generasi berikutnya. Dengan dibaca oleh orang lain, maka ilmu itu dapat dikembangkan. Dengan demikian, manusia dapat mengetahui apa yang sebelumnya belum diketahuinya, artinya ilmu itu akan terus berkembang. Demikianlah besarnya fungsi baca-tulis.

Sobat. Ilmu itu menjaga kita, sementara kita  harus menjaga harta. Ilmu lebih utama dari harta karena ilmu merupakan pusaka para Rasul, sedangkan harta pusaka Qarun dan Firaun. Harta membuat hati keras, sedangkan ilmu membuat hati bercahaya. Pada saat di akherat pemilik harta akan dihisab, sementara pemilik ilmu akan memperoleh syafaát. Harta akan hancur manakala ditimbun, sementara ilmu tak akan rusak walau ditimbun zaman. Pemilik harta banyak musuhnya, pemilik ilmu banyak  temannya. Demikian beberapa penjelasan sayyidina Ali mengenai kelebihan ilmu dibanding harta.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana Universitas Islam Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Selasa, 07 Februari 2023

Kisah Khalifah Harun Ar-Rasyid yang Mengirim Putranya untuk Menuntut Ilmu dan Belajar Adab

Tinta Media - Pengasuh Kajian Mutiara Ummat sekaligus Aktivis Muslimah Kota Batam kembali menerangkan kisah teladan dari sosok Khalifah Harun Ar-Rasyid yang mengirimkan putranya untuk menuntut ilmu dan belajar adab.

"Dikisahkan Khalifah Harun Ar-Rasyid pernah mengutus atau mengirim putranya kepada seorang guru bernama Al-Ashma'i supaya diajari ilmu dan adab," terangnya para kajian rutin Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim Thoriqotu Ta'lum, Selasa (31/1/2023).

"Pada suatu hari Khalifah Harun Ar-Rasyid melihat Al-Ashma'i berwudhu dan membasuh kakinya, sementara putra Khalifah tadi menuangkan air ke kaki gurunya," tambahnya. 

"Melihat hal itu, sang Khalifah marah dan langsung menegur Al-Ashma'i. Kira-kira apa penyebab sang Khalifah marah?" tanyanya kepada para peserta kajian. 

Bunda sapaan akrabnya, menjelaskan kemarahan sang Khalifah bukan karena kesombongan karena beliau seorang Khalifah. Bukan pula marah karena tidak rela jika anaknya diperintahkan demikian. Justru kemarahan sang Khalifah adalah marah kebaikan, ia menginginkan putranya seharusnya bersikap lebih mulia lagi dalam memuliakan sang guru. 

Khalifah Harun Ar-Rasyid pun berkata, "Sesungguhnya aku mengirim putraku kepadamu agar engkau mengajarinya ilmu dan adab kepadanya. Tapi mengapa, engkau tidak menyuruhnya membasuhkan air tersebut dengan salah satu tangannya."

"Maksud dari perkataan sang Khalifah adalah alangkah baiknya jika sang guru menyuruh putranya membasuh kaki gurunya saat berwudhu dengan tangannya. Tangan yang satu menuangkan air dan tangan satunya lagi membasuh kaki gurunya," jelasnya dengan sangat gamblang. 

Begitulah kisah teladan dari sang Khalifah yang mengirim putranya untuk belajar ilmu dan adab. Tidak ada kesombongan di dirinya sekalipun ia seorang pemimpin umat di masanya. Sang Khalifah pun mengajarkan kepada putranya agar senantiasa mentakzimkan atau memuliakan guru meskipun harus membasuh kedua kaki sang guru. 

"Dari kisah tersebut bisa kita simpulkan, tidak ada sikap yang berlebihan dalam memuliakan para guru. Begitulah adanya Islam mengajarkan bagaimana memuliakan para guru sebab profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Sekalipun kita sebagai seorang ibu rumah tangga, kita adalah seorang guru. Yakni sekolah pertama dan guru utama bagi anak-anak kita," pungkasnya.[] Reni Adelina/Nai]

Senin, 05 Desember 2022

Ustazah L. Nur Salamah Jelaskan tentang Takzim terhadap Ilmu dan Ahli Ilmu

Tinta Media - Pengasuh Kajian Mutiara Ummat Ustazah L. Nur Salamah menjelaskan tentang mengagungkan (takzim) terhadap ilmu dan ahli ilmu.

"Ketahuilah bahwa seorang penuntut ilmu tidak akan memperoleh ilmu, dan tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu, kecuali dengan mengagungkan, memuliakan, atau menghormati ilmu dan para ahlinya dan menghormati para ustaz atau guru," tegasnya pada kajian Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim Thoriqotu Ta'lum, Selasa (29/11/2022). 

Ia menjelaskan beberapa contoh dalam menghormati ilmu.  "Beberapa contoh memuliakan ilmu salah satunya dengan tidak meletakan buku sembarangan, tidak sejajar dengan kaki ataupun bokong. Begitu pun dalam menyentuh kitab suci Al-Quran, diharuskan berwudhu dan membawanya dengan hati-hati sebagai tanda memuliakan kalam Allah," bebernya.

Dalam menghormati guru, bukan diilustrasikan seperti penghormatan saat upacara. Penghormatan atau memuliakan guru juga dengan memuliakan keluarganya. Contoh paling dekat dengan bertegur sapa yang santun kepada anak-anaknya. 

"Seseorang tidak akan sampai pada suatu tujuan kecuali dengan penghormatan, dan tidak akan terjatuh atau gagal kecuali dengan meninggalkan sikap penghormatan," ungkapnya. 

Ia juga mengajak agar para penuntut ilmu senantiasa menjaga sikap dan adab, berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi agar tidak gagal dalam menuntut ilmu. 

"Tidak sedikit ditemui kegagalan para penuntut ilmu. Baik santri maupun pengajar karena tidak belajar bagaimana cara memuliakan ilmu dan adab-adab dalam menuntut ilmu. Sistem kehidupan hari ini yakni kapitalisme sekuler membuat orientasi pendidikan adalah bisnis," ujarnya. 

Fakta yang sering ditemukan di lapangan salah satunya menjadikan buku sebagai lahan bisnis. Hampir setiap bulan para siswa atau santri diwajibkan membeli buku bacaan baru, padahal materi dalam buku yang lama belum tuntas dipelajari sudah diwajibkan membeli buku baru. Alhasil buku yang menumpuk berujung dijual ke pemulung. 

"Kemudian dikatakan, penghormatan itu lebih baik dari pada taat. Artinya orang yang hormat pasti taat, karena ada guru atau tidak adanya guru dihadapannya ia senantiasa menjaga adab-adabnya," tegasnya. 

"Tidaklah kamu melihat bahwa seseorang tidak kafir hanya dengan kemaksiatan, dan sesungguhnya seseorang dapat kafir dengan meninggalkan penghormatan," ungkapnya. 

Menurutnya, seseorang dikatakan kafir bahkan bisa terkategori murtad ketika meninggalkan penghormatan, misalnya berani menistakan Al-Quran, melecehkan para nabi dan ulama, serta merendahkan Islam. "Jika ada institusi sebuah negara Islam maka pelaku penista agam harus dipenggal kepalanya," tegasnya.

"Ali bin Abi Thalib berkata, " Aku adalah hamba atau budak bagi orang yang mengajariku satu huruf, jika mau ia boleh menjualku, dan jika mau ia membebaskanku. Perkataan Ali bin Abi Thalib menunjukkan penghormatannya yang luar biasa kepada gurunya. Ia memasrahkan dirinya karena ingin menjadi penuntut ilmu yang berhasil dan membawa keberkahan. Tidak ada istilah mantan guru sekali pun hanya mengajarkan satu hadist atau satu huruf sekalipun," pungkasnya. [] Reni Adelina/Nai

Selasa, 15 November 2022

Ilmu dan Keutamaan Ilmu

Tinta Media - Sobat. Abdullah bin Abbas ra berkata, “Orang-orang yang berilmu mempunyai derajat, sebanyak tujuh ratus kali derajat di atas orang-orang mukmin. Jarak diantara dua derajat ini terbentang sejauh perjalanan selama lima ratus tahun.”

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ  

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah (58) : 11)

Sobat. Ayat ini memberikan penjelasan bahwa jika di antara kaum Muslimin ada yang diperintahkan Rasulullah saw berdiri untuk memberikan kesempatan kepada orang tertentu untuk duduk, atau mereka diperintahkan pergi dahulu, hendaklah mereka berdiri atau pergi, karena beliau ingin memberikan penghormatan kepada orang-orang itu, ingin menyendiri untuk memikirkan urusan-urusan agama, atau melaksanakan tugas-tugas yang perlu diselesaikan dengan segera.

Dari ayat ini dapat dipahami hal-hal sebagai berikut:

1. Para sahabat berlomba-lomba mencari tempat dekat Rasulullah saw agar mudah mendengar perkataan yang beliau sampaikan kepada mereka.

2. Perintah memberikan tempat kepada orang yang baru datang merupakan anjuran, jika memungkinkan dilakukan, untuk menimbulkan rasa persahabatan antara sesama yang hadir.

3. Sesungguhnya tiap-tiap orang yang memberikan kelapangan kepada hamba Allah dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka Allah akan memberi kelapangan pula kepadanya di dunia dan di akhirat.

Memberi kelapangan kepada sesama Muslim dalam pergaulan dan usaha mencari kebajikan dan kebaikan, berusaha menyenangkan hati saudara-saudaranya, memberi pertolongan, dan sebagainya termasuk yang dianjurkan Rasulullah saw.

Beliau bersabda:
Allah selalu menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

Berdasarkan ayat ini para ulama berpendapat bahwa orang-orang yang hadir dalam suatu majelis hendaklah mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam majelis itu atau mematuhi perintah orang-orang yang mengatur majelis itu.

Jika dipelajari maksud ayat di atas, ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini, yaitu agar orang-orang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau yang terlambat, selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling bertenggang rasa. Bagi yang lebih dahulu datang, hendaklah memenuhi tempat di muka, sehingga orang yang datang kemudian tidak perlu melangkahi atau mengganggu orang yang telah lebih dahulu hadir. Bagi orang yang terlambat datang, hendaklah rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti tidak mendapat tempat duduk. Inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi saw:
Janganlah seseorang menyuruh temannya berdiri dari tempat duduknya, lalu ia duduk di tempat tersebut, tetapi hendaklah mereka bergeser dan berlapang-lapang." (Riwayat Muslim dari Ibnu 'Umar)

Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman, taat dan patuh kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, berusaha menciptakan suasana damai, aman, dan tenteram dalam masyarakat, demikian pula orang-orang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah. Dari ayat ini dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai derajat yang paling tinggi di sisi Allah ialah orang yang beriman dan berilmu. Ilmunya itu diamalkan sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya.

Kemudian Allah menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang dilakukan manusia, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Dia akan memberi balasan yang adil sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan baik akan dibalas dengan surga dan perbuatan jahat dan terlarang akan dibalas dengan azab neraka.

Sobat. Dalam “ Ash-shohihain” disebutkan darihadits yang diriwayatkan oleh Muáwiyah bin Abu Sufyan, dia berkata, “ Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,” Barangsiapa yang Allah menghendaki suatu kebaikan pada dirinya, maka Dia memberinya pengetahuan dalam masalah agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Shafwan bin Assal ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan sayapnya kepada orang yang mencari Ilmu, karena ridha terhadap apa yang dicarinya.” ( HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah ). Menurut Al-Khaththabi, meletakkan sayap di sini ada tiga pengertian ; bisa membentangkan sayap. Bisa juga berarti merendahkan dan menundukkannya, karena hendak menyampaikan hormat kepada orang yang mencari ilmu. Malaikat itu sendiri turun ke majelis Ilmu, menunggui dan tidak terbang dari sana.

Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda,” Barangsiapa didatangi kematian pada saat dia sedang mencari ilmu, yang dengan ilmu itu dia hendak menghidupkan Islam, maka antara dirinya dan para Nabi hanya ada satu derajat di Surga.” (HR. Ath-Thabarani dan Ad-Darimi)
Ibnu abbas berkata, “Sesungguhnya orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain, maka setia[ hewan yang melata akan memohonkan ampun baginya, termasuk pula ikan paus di lautan.” Ada pula satu riwayat lain yang dimarfukan kepada Nabi Muhammad SAW serupa dengan ini. 

Al-Hasan Rahimahullah pernah berkata: ”Andaikan tidak ada orang-orang yang berilmu, tentu manusia tak berbeda dengan binatang.” Mu’adz bin Jabal pernah berkata, “ Pelajarilah ilmu karena Allah itu mencerminkan ketakutan, mencarinya adalah ibadah, mengkajinya adalah tasbih, menuntutnya adalah jihad, mengajarkannya untuk keluarga adalah taqarrub. Ilmu adalah pendamping saat sendirian dan teman karib saat menyepi.”

Sobat. Kaáb Rahimahullah berkata, “Allah mewahyukan kepada Musa As Pelajarilah kebaikan wahai Musa dan ajarkanlah kepada manusia, karena Aku membuat kuburan orang yang mengajarkan kebaikan dan mempelajarinya bercahaya, hingga mereka tidak merasa kesepian di tempatnya.”

Namun kita harus waspada terhadap Ulama su’ (yang buruk) yakni mereka yang dengan ilmunya ingin mendapatkan kenikmatan di dunia dan mendapatkan kedudukan terpandang di kelompoknya. 

Rasulullah mengingatkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau bersabda, “ Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu, yang dengan ilmu itu semestinya dia mencari wajah Allah, dia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan kekayaan dunia, maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” (Diriwayatkan Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban).

Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mempelajari ilmu untuk membanggakan diri dihadapan para ulama, atau mendebat orang-orang yang bodoh, atau mengalihkan pandangan manusia kepada dirinya, maka dia berada di neraka.” (HR. At-Tirmidzi )

Sobat. Di antara sifat-sifat para ulama ukhrawi, mereka mengetahui bahwa dunia ini hina sedangkan akherat adalah kekal dan mulia. Sifat ulama ukhrawi hendaknya mereka membatasi diri untuk tidak terlalu dekat dengan penguasa dan bersikap waspada jika bergaul dengan mereka. Di antara sifat para ulama ukhrawi ialah mengkaji rahasia-rahasia mal syaríyah dan mengamati hukum-hukumnya. Mengikuti Rasulullah dan para sahabat dan para Tabiín yang pilihan serta menjaga diri dari hal-hal yang baru dan merusak amal serta mengeruhkan hati dan menimbulkan keguncangan.

 Allah SWT berfirman:

أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ  

“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar (39) : 9).

Sobat. Kemudian Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menanyakan kepada orang-orang kafir Mekah, apakah mereka lebih beruntung daripada orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri dengan sangat khusyuk. Dalam melaksanakan ibadah itu, timbullah dalam hatinya rasa takut kepada azab Allah di akhirat, dan memancarlah harapannya akan rahmat Allah.

Perintah yang sama diberikan Allah kepada Rasul-Nya agar menanyakan kepada mereka apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Yang dimaksud dengan orang-orang yang mengetahui ialah orang-orang yang mengetahui pahala yang akan diterimanya, karena amal perbuatannya yang baik, dan siksa yang akan diterimanya apabila ia melakukan maksiat. Sedangkan orang-orang yang tidak mengetahui ialah orang-orang yang sama sekali tidak mengetahui hal itu, karena mereka tidak mempunyai harapan sedikit pun akan mendapat pahala dari perbuatan baiknya, dan tidak menduga sama sekali akan mendapat hukuman dari amal buruknya.

Di akhir ayat, Allah menyatakan bahwa hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran. Pelajaran tersebut baik dari pengalaman hidupnya atau dari tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat di langit dan di bumi serta isinya, juga yang terdapat pada dirinya atau teladan dari kisah umat yang lalu.

(Dr. Nasrul Syarif, M.Si. Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana IAi Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur)

Minggu, 13 November 2022

Ustazah L. Nur Salamah Jelaskan Syarat-syarat Menuntut Ilmu

Tinta Media - Aktivis Muslimah Kota Batam sekaligus Penulis dan Reporter Tinta Media menjelaskan tentang syarat-syarat dalam menuntut ilmu pada Kitab Adab Ta'limu Al Muta'alim Thoriqotu Ta'alum. Hal ini disampaikan saat menjadi pembicara pada Kajian Mutiara Ummat, Selasa (8/11/2022). 

"Untuk mendapatkan manisnya dan keberkahan ilmu, tentu ada syarat-syarat dalam menuntut ilmu yang harus dipenuhi," tegasnya.

Syarat-syarat menuntut ilmu ada enam perkara. Ini dikutip dari syair Ali bin Abi Thalib dan nasihat dari Imam Syafi'i. 

"Dikutip dari syair Ali bin Abi Thalib dan nasihat Imam Syafi'i bahwa syarat-syarat menuntut ilmu ada enam perkara. Pertama kecerdasan. Kedua adalah semangat atau kemauan. Ketiga adalah kesabaran atau kesungguhan. Keempat adalah perbekalan/ biaya. Kelima adalah petunjuk guru atau bersahabatlah dengan guru. Keenam adalah waktu yang lama," terangnya.

Perkara yang pertama adalah kecerdasan. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda tentang kecerdasan. Kalau mengikuti Albert Einstein, cerdas adalah yang jago ilmu sains. Namun di dalam Islam berbeda. "Kecerdasan terbagi tiga. Pertama orang yang jenius, kedua orang yang cerdas dan ketiga orang yang idiot. Orang yang jenius memiliki daya pikir di atas rata-rata seperti Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Lalu orang yang cerdas adalah orang yang selalu berusaha menuntut ilmu dan senantiasa mengingat tentang kematian. Lalu sibuk mempersiapkan bekal amal untuk menghadap Allah SWT, dan yang ketiga adalah orang idiot yang sudah tergambar sebelumnya," terangnya. 

Perkara kedua adalah semangat atau kemauan. Meluangkan waktu untuk senantiasa belajar bukan menunggu waktu luang baru belajar. "Sebagai penuntut ilmu harus memiliki sifat tamak dalam artian positif. Tamak dan rakus terhadap ilmu itu bukan tamak dalam hal materi dan duniawi. Bukan pula tamak dalam urusan harta dan jabatan," tegasnya.

Dalam hal menuntut ilmu, karanya, terutama mengkaji Islam haruslah bersemangat. Meluangkan waktu untuk belajar dan bukan menunggu waktu luang. "Penuntut ilmu juga diharuskan bersikap tamak dan rakus dalam hal menambah ilmu. Misalnya merasa tidak cukup dengan hanya belajar Kitab Ta'limu Al-Muta'alim saja, ingin menambah pelajaran Bahasa Arab atau kitab-kitab lainnya," bebernya.

Perkara yang ketiga adalah kesabaran atau kesungguhan. "Dalam menuntut ilmu pastinya dibutuhkan kesabaran atau kesungguhan. Meluruskan niat belajar karena Allah tidak asal-asalan. Ilmu yang telah diperoleh dicatat, diamalkan dan disebarkan," tegasnya. 

Perkara yang keempat adalah perbekalan (biaya). Menuntut ilmu tentu memerlukan biaya. "Dalam menuntut ilmu harus ada perbekalan (biaya) yang dikeluarkan. Baik dalam memenuhi sarana dan prasarana belajar atau biaya akomodasi dan lainnya," tambahnya. 

Perkara yang kelima adalah petunjuk dari guru atau bersahabatlah dengan guru. "Dalam perkara menutut ilmu agama tidak bisa mengandalkan sosial media. Atau sekedar kata orang. Harus mengikuti petunjuk guru atau bersahabat dengan guru. Proses belajar juga harus adanya talqiyan fikriyan, yakni proses berpikir dan tanya jawab. Harus bertemu langsung antara guru dan murid," imbuhnya.

Syarat yang terakhir dalam menuntut ilmu adalah membutuhkan waktu yang lama dan panjang. 

"Secara fitrah, belajar itu memerlukan waktu yang lama dan panjang. Maka butuh ketekunan dan jangan terburu-buru dalam memahami sebuah ilmu," pungkasnya. [] Reni Adelina/Nai

Minggu, 23 Oktober 2022

Semangat Menuntut Ilmu untuk Meraih Rida-Nya

Tinta Media - Sebagai seorang muslim, kita harus tahu bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban. Wajib di sini sama halnya dengan salat lima waktu. Maka, ketika tidak dikerjakan akan mendapatkan dosa.

Rasullallah saw. bersabda:

"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim." (HR Ibnu Majah).

Selain itu, Allah Swt. akan meninggikan derajat orang-orang yang gemar menuntut ilmu, seperti disampaikan dalam surat Al-Mujadalah yang artinya:

"... Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadalah (58):11).

Ada dua macam ilmu yang wajib dipahami oleh seorang muslim. Yang pertama ilmu agama, hukumnya fardhu ain dan yang kedua ilmu umum, hukumnya fardhu kifayah. 

Kewajiban menuntut ilmu agama merupakan kewajiban setiap individu yang tidak bisa diwakilkan. Setiap muslim harus mengetahui dan melaksanakannya. Ketika belajar ilmu agama Islam, berarti segala sesuatu dilakukan berdasarkan sudut pandang Islam. 

Dengan menuntut ilmu agama, kita akan lebih menyadari posisi kita sebagai makhluk yang lemah, terbatas, dan membutuhkan yang lain. Di sinilah keberadaan Allah Swt. harus diyakini sebagai Al-Khalik (Pencipta) dan Al-Mudabbir (Pengatur). Dengan keyakinan dan keimanan yang kokoh kepada Allah Swt., seseorang akan merasa takut dan senantiasa berhati-hati dalam melakukan perbuatan.

Islam bukan hanya sebagai agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Namun, Islam juga merupakan sebuah mabda atau ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, sosial, dan pemerintahan.

Oleh karena itu, pengaplikasian ilmu dalam kehidupan sangatlah diperlukan. Dalam Islam, aktivitas mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, atau dari bangun tidur sampai bangun negara, perlu adanya ilmu yang mengawali.

Abu Bakar Ash Siddiq pernah berkata:

"Beramal tanpa ilmu tidak ada gunanya, sedangkan ilmu tanpa amal adalah sia-sia."

Demi menggapai rida-Nya, sebagai seorang muslimah pun kita harus memiliki ilmu dalam menempati posisinya:

Pertama, sebagai hamba Allah, mempunyai kewajiban beribadah. Untuk melaksanakan ibadah dengan baik, maka diperlukan ilmu. Di sinilah pentingnya menuntut ilmu.

Kedua, sebagai anak. Kewajiban seorang anak adalah berbakti kepada orang tua. Untuk menjadi anak yang berbakti juga perlu ilmu. Maka, Islam mewajibkan menuntut ilmu.

Ketiga, sebagai istri. Berbakti terhadap suami (dalam hal kebaikan) adalah kewajiban.
Maka, dibutuhkan ilmu untuk mengetahui bagaimana peran istri agar keluarga yang dibangun adalah keluarga sakinah, mawadah, wa rahmah.

Keempat, sebagai ibu. Ia mempunyai kewajiban memberi atau memenuhi hak anak seperti pendidikan, kesehatan, perlindungan, makanan yang halal dan tayyib. Semuanya perlu ilmu, supaya kelak mereka tumbuh sebagai generasi penerus peradaban yang cemerlang.

Kelima, sebagai anggota masyarakat. Kewajibannya beramar makruf nahi mungkar. Islam mengatur bagaimana berinteraksi sesuai syara', dan apa yang harus dilakukan ketika melihat kemaksiatan. Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, seorang muslimah harus menuntut ilmu guna beramar makruf nahi mungkar sesuai yang Allah perintahkan.

Dengan melihat betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan, semua umat Islam harus lebih bersemangat dalam mencarinya. Akan tetapi, setelah ilmu dipelajari, tidak lantas untuk disimpan sendiri. Ilmu harus diamalkan, lalu disebarkan, dan didakwahkan, dengan tujuan meraih rida-Nya.

Rasullallah saw. bersabda:

"Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat." (HR. Bukhari).

Wallahu'alam.

Oleh: Yayat Rohayati
Muslimah Karawang

Selasa, 27 September 2022

Pesan Ajengan Yuana kepada Penuntut Ilmu

Tinta Media - Mudir Ma’had Khodimus Sunnah Bandung Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) menyampaikan pesan kepada para penuntut ilmu. “Jadilah ‘alim yang paripurna menguasai ilmu (malakah). Jadilah ‘amil yang mengamalkan ilmu. Jadilah hamil yang membawa ilmu untuk didakwahkan dan solusi atas masalah di tengah masyarakat,” pesannya di acara Bincang Hangat: Mengkaji Tsaqofah Islam, Penting dan Perlu, Ahad (25/9/2022), melalui kanal Youtube UIY Official.
 
YRT lalu menjelaskan kenapa harus ‘alim. “Karena kita harus faham ilmu-ilmu syariah sampai mendarah daging dengan penguasaan yang  paripurna.
 
“Sedangkan, ‘amil berarti mengamalkan. Tidak bisa ilmu itu tidak diamalkan. Hamil lebih berat lagi karena sebagai pembawa atau pengemban dakwah. Ini yang harus disadari oleh para penuntut ilmu” tandasnya.
 
Sentral
 
Ajengan Yuana mengatakan kita harus menyadari bahwa Islam adalah sistem kehidupan. Kita belajar Islam sebagai sebuah sistem kehidupan karena Islam mengatur semua aspek kehidupan. “Maka peran pelajar/ahli ilmu itu sangat sentral. Dengan kehadirannya umat menjadi tahu tentang halal haram, tahu mana yang boleh dan tidak boleh, mana yang harus diperjuangkan mana yang harus ditinggalkan,” pujinya.  
 
YRT mengingatkan kepada para penuntut ilmu jangan sampai himmahnya yang  penting lulus LC, Doktor, kemudian ngajar dapet duit. “Wah repot kalau begini,” tukasnya seraya mengatakan kalau begitu ia tidak mengambil peran di tengah masyarakat.  “Dia harus menjadi bintang di tengah kegelapan umat, menjadi penerang umat,” imbuhnya lagi.
 
Tantangan
 
Ajengan Yuana memaparkan tiga tantangan bagi penuntut ilmu. Pertama, tantangan istiqomah. Tanpa istiqomah penuntut ilmu banyak mundur di tengah jalan, karena itu ada ulama yang mengatakan “Satu istiqomah lebih baik dari seribu karomah.”
 
Ia memberikan alasan, “Karena tsaqofah Islam itu bukan ma’arif (pengetahuan-pengetahuan)  yang dangkal tapi dalam, mengakar, tidak mungkin dicapai ala kadarnya, butuh waktu,” jelasnya.
 
Menurutnya, pemahaman itu berasal dari Allah SWT. Karena itu kita berdoa kepada Allah agar diberi kefahaman. “Jadi yang membuat faham itu Allah tapi kita wajib berusaha dengan keras dan butuh istiqomah,” tandasnya sembari memberikan contoh Imam Robi’ murid Imam Syafii yang lambat dalam menerima pelajaran tapi karena istiqomah ia menjadi ulama dan menjadi  salah satu murid kepercayaan Imam Syafi’i.
 
Kedua, tantangan dalam mengamalkan juga berat. Mempelajari dan mengamalkan punya tantangan masing-masing. Tidak semua orang bisa mengamalkan,” tukasnya.
 
Ia memberikan contoh waktu mengajar di kampus banyak teman-teman dosennya yang mengajarkan haramnya riba tetapi begitu ingin punya rumah ia kredit dengan bunga, sesuatu yang bertentangan dengan yang ia ajarkan. “Saat saya tanya mengapa begitu, mereka jawab kalau tidak begini enggak bakalan bisa punya rumah,” tambahnya.
 
Ketiga, tantangan dalam mengemban. Ini lebih berat dari  tantangan ‘alim dan ‘amil, karena akan berhadapan dengan ketidaksukaan orang. Kalau tantangan menjadi ‘alim dia bertarung dengan dirinya sendiri, demikian pun menjadi ‘amil. Tapi menjadi hamil akan bersinggungan dengan orang lain, ketidaksukaan orang lain. Maka disinilah perlu tambahan kesabaran,” bebernya.
 
YRT lalu mengatakan, dalam sebuah hadis disebutkan, seorang muslim yang berinteraksi dengan masyarakat dan juga bersabar atas penderitaan yang datang dari interaksi tersebut itu lebih baik daripada muslim yang tidak interaksi dengan masyarakat dan tidak sabar dengan  penderitaan akibat interaksi tersebut.
 
“Nabi sudah menyebut, interaksi dengan  masyarakat  itu akan mendatangkan penderitaan karena akan berhadapan dengan ketisak sukaan orang,” tegasnya.
 
Hadis diatas nilai YRT  menjadi sanggahan bahwa uzlah itu lebih baik. Uzlah itu tidak untuk meninggalkan masyarakat.  Uzlah itu menyepi, tahanus dengan  tidak meninggalkan masyarakat.
 
Ikhlas
 
Terakhir Ajengan Yuana memberikan pesan untuk para penuntut ilmu agar ikhlas dalam menuntut ilmu. “Ada ungkapan para ulama bahwa keikhlasan itu puncak dari semua. Dunia ini semua adalah kebodohan, kematian, kecuali ilmu yang ada di dalamnya.  Ilmu pun hanya akan menjadi penghujat kepada seluruh makhluk kecuali yang mengamalkannya. Amal pun seluruhnya akan sia-sia kecuali yang ikhlas. Sedangkan keikhlasan adalah perkara besar yang tidak dapat diketahui kecuali hanya Allah SWT. Dan itu akan dibawa sampai mati,” bebernya.
 
Oleh karena itu, tandasnya,  jadilah ‘alim dengan istiqomah, jadilah ‘amil dengan penuh kesabaran, dan jadilah haamil dengan kesabaran yang lebih lagi.
 
 “Dan semua itu wajib dibalut dengan keikhasan. Jika tidak itu akan sia-sia,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
 
 

Ajengan YRT Berikan Dua Kunci Penting bagi Penuntut Ilmu

Tinta Media - Mudir Ma’had Khodimus Sunnah Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) memberikan dua kunci bagi penuntut ilmu.
 
“Yang pertama himmah yang kedua tanggung jawab,” tuturnya di acara Bincang Hangat: Mengkaji Tsaqofah Islam, Penting dan Perlu, Ahad (25/9/2022), melalui kanal Youtube UIY Official.
 
YRT lalu menjelaskan tentang himmah. Himmah adalah cita-cita, harapan dan terkait dengan niat yang benar. “Imam Ibnu Jama’ah dalam kitab Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim, menjelaskan hal penting yang harus ditanamkan oleh pelajar itu adalah benarnya niat diawal, yaitu mengharap ridha Allah Swt. dan mengamalkan ilmu. Bukan sekedar disimpan dibenak yang tidak lahir dalam bentuk amal,” jelasnya.
 
Ia mencontohkan ilmu yang tersimpan dibenak dan tidak lahir dalam bentuk amal. “Ada mahasiswi yang ditugasi mentakhrij hadis tentang  haramnya kholwat. Dalam mengerjakan tugas itu dia kerja bareng dengan laki-laki (khalwat). Ini bukti ilmu yang tidak diamalkan. Padahal ilmu itu untuk menghidupkan syariah, untuk dekat dengan Allah di yaumil qiyamah nanti,” tandasnya.
 
Manfaat dari menuntut ilmu, jelas YRT, adalah terus menyebarkan ilmu itu. Ini masalahah himmah, dan tanggung jawab menyebarkan dakwah untuk kebaikan umat.
 
Metode Memahami Tsaqofah
 
Konsekuensinya, kata YRT,  penuntut ilmu harus mengerahkan segenap kemampuan dalam belajar.  Dalam kitab Sakhsiyyah Islamiyyah jilid  l dalam judul metode Islam dalam belajar  Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memberikan gambaran metode memahami tsaqofah Islam.
 
“Pertama sesuatu dipelajari dengan mendalam hingga difahami hakikatnya dengan pemahaman yang benar dengan mencurahkan seluruh kemampuan dalam belajar. Kedua, meyakini apa yang dipelajarinya sampai dia mengamalkannya. Ketiga, mempelajari tsaqofah Islam itu harus praktis untuk diterapkan dalam kehidupan,” urainya.
 
Ia kembali menegaskan bahwa seseorang mengkaji tsaqofah itu untuk menyelesaikan realitas kehidupan yang  dapat diindera dan dirasakan, bukan kajian yang bersifat teoritik.
 
“Di masa mendatang kita akan membangun kehidupan Islam yang dibangun berdasar tsaqofah Islam (akidah dan syariah). Karenanya mesti ada kefahaman yang cukup terhadap tsaqofah tadi serta bagaimana menerapkan dalam kehidupan. Bagaimana mungkin kita akan membangun kehidupan Islam kalau tidak ada kaum muslimin yang mengambil peran untuk terus belajar hingga kehidupan Islam yang hendak dibangun itu benar-benar berdasarkan akidah dan syariah Islam,” ungkapnya.
 
Tidak Memberikan Solusi
 
YRT menyayangkan banyak kaum muslimin yang belajar di fakultas syariah, fakultas ushuluddin, fakultas dakwah tapi tidak memberikan solusi pada persoalan umat hari ini. “Menurut mereka Islam itu sesuatu dan masalah sesuatu yang lain, Islam bukan untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Maka harus ada reformasi bahwa belajar tsaqofah Islam itu untuk menyelesaikan masalah,” harapnya.
 
YRT mengungkap sebab lain mengapa sebagian ulama yang menguasai tsaqofah Islam tidak mendakwahkan tsaqofahnya. “Ini masalah politik. Begitu kuat arus penolakan syariah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga membuat tidak semua person berani menampakkan  tsaqofah islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi ini tantangan secara politik,” bebernya.
 
Ia lalu menyimpulkan, kenapa banyak alumni syariah tapi tidak tergerak mendakwahkan penerapan syariah karena metode belajar yang tidak tepat dan tekanan politik. “ Inilah dua faktor utama penyebabnya, tsaqofah hanya menarik untuk dibicarakan tapi tidak menarik untuk diterapkan,” tegasnya.
 
Menentang Syariah
 
Terkait fakta banyaknya ulama yang menentang syariah, YRT mengatakan setidaknya ada dua sebab,  pertama terjadi pembaratan dan kedua diperalat.
 
“Banyak sarjana muslim terbawa arus taghrib (pembaratan). Apa yang mereka sebut dengan tajdid, modernisasi, konstektualisasi itu kata lain dari taghrib (Westernisasi) sebagai muara dari sekularisasi. Bahkan bukan hanya sekularisasi tapi sudah mengarah pada pembaratan,” sesalnya.
 
Ia menyontohkan taghrib yang terjadi di Mesir. “Kalau di Mesir itu ada Pembaharuan Seruan Agama (Tajdid khitob ad-diin)  itu diseminarkan berkali-ali dan disponsori oleh Kementerian Agama di Mesir, serta mengundang dari berbagai negara termasuk Indonesia  dalam berbagai macam seminar untuk merumuskan Pembaharuan Seruan agama,” ungkap YRT.
 
Selain taghrib, kata YRT,  tidak  banyak kaum muslimin yang memahami peta politik terkait bagaimana membangun kekuatan umat, sehingga akhirnya mereka  diperalat oleh kekuatan penguasa.
 
“Tidak sedikit mereka mendukung  program-program yang dibawa oleh pemerintah. Ini persoalannya. Mereka menikmati kekuasaan dan akhirnya dibeli. Ada ulama yang awalnya baik tapi berhasil dibeli dan diadudomba dengan  umat yang lain,” tuturnya sedih.
 
Jadi, simpul YRT, yang pertama bersifat ideologi sementara yang kedua bersifat pragmatis. Termasuk sebab ideologis yang berbahaya,  kata YRT, adalah faham wasatiyah yang mengkompromikan Islam dengan peradaban lain yang terjadi di hampir seluruh negeri Islam tak terkecuali Indonesia.
 
Meski demikian YRT tidak khawatir karena masih banyak ulama yang diam ketimbang yang terbaratkan atau terbeli. “Ulama yang faham tapi diam ini menjadi peluang untuk konsolidasi kekuatan kaum Muslimin. Mereka adalah mutiara umat yang  faham fikih, hadis, dan lain-lain yang bersembunyi di pesantren, madrasah,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun 
 

Minggu, 21 Agustus 2022

Memuliakan Ilmu dan Adab terhadap Ilmu

Tinta Media - Sobat. Dengan Ilmu, hujjah ditegakkan dan tujuan pun diketahui. Cukuplah Ilmu memiliki kemuliaan bahwa kata pertama yang turun dari langit kepada Rasulullah SAW adalah “ Iqra’ – Bacalah “ , kata ini menjadi bukti terbesar tentang keutamaan ilmu dan nilai pengetahuan. Allah SWT memerintahkan Nabi untuk berdoa memohon tambahkan Ilmu.

فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡحَقُّۗ وَلَا تَعۡجَلۡ بِٱلۡقُرۡءَانِ مِن قَبۡلِ أَن يُقۡضَىٰٓ إِلَيۡكَ وَحۡيُهُۥۖ وَقُل رَّبِّ زِدۡنِي عِلۡمٗا 

“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan". ( QS. Thaha (20) : 114 ).

Sobat. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw ketika Jibril membacakan kepadanya beberapa ayat yang diturunkan, dia cepat-cepat membacanya kembali padahal Jibril belum selesai membacakan seluruh ayat yang akan disampaikan pada Nabi. Hal ini karena Nabi takut kalau dia tidak cepat-cepat mengulanginya, mungkin dia lupa dan tidak dapat mengingat kembali. 

Oleh sebab itu Allah melarangnya bertindak seperti itu, karena tindakan seperti itu mungkin akan lebih mengacaukan hafalannya sebab di waktu dia mengulangi membaca apa yang telah dibacakan kepadanya perhatiannya tertuju kepada pengulangan bacaan itu tidak kepada ayat-ayat selanjutnya yang akan dibacakan jibril padahal Allah menjamin akan memelihara Al-Qur'an dengan sebaik-baiknya, jadi tidak mungkin Nabi Muhammad lupa atau dijadikan Allah lupa kalau dia mendengarkan baik-baik lebih dahulu semua ayat-ayat yang dibacakan Jibril kemudian bila Jibril telah selesai membacakan seluruhnya, barulah Nabi membacanya kembali.

Ayat ini menegaskan bahwa Allah Yang Mahatinggi, Mahabesar amat Luas Ilmu-Nya yang dengan Ilmu-Nya itu Dia mengatur segala sesuatu dan membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan kepentingan makhluk-Nya, tidak terkecuali peraturan-peraturan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Dialah yang mengutus para nabi dan para rasul dan menurunkan kitab-kitab suci seperti Zabur, Taurat dan Injil serta Dia pulalah yang menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw. Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan berangsur-angsur bukan sekaligus sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya. Kadang-kadang diturunkan hanya beberapa ayat pendek saja atau surah yang pendek pula dan kadang-kadang diturunkan ayat-ayat yang panjang sesuai dengan keperluan dan kebutuhan pada waktu itu.

Mengenai hal ini Allah berfirman:

Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur'an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya. (al-Qiyamah/75: 16-19)

Mengenai jaminan Allah dan terpeliharanya Al-Qur'an tersebut dalam ayat:

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. (al-hijr/15: 9)

Kemudian Allah menyuruh Nabi Muhammad saw agar berdoa supaya Dia memberikan kepadanya tambahan ilmu. Diriwayatkan oleh at-Tirmizi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah berdoa seperti berikut:

Ya Allah. Jadikanlah ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku bermanfaat bagiku, ajarkanlah kepadaku ilmu yang berguna untukku dan berikanlah kepadaku tambahan ilmu. Segala puji bagi Allah atas segala hal, aku berlindung kepada Allah dari keadaan dan segala hal yang dilakukan oleh penghuni neraka. (at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Bazzar)

Sobat. Berikut ini adalah adab terhadap ilmu :

1. Mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu. Semata-mata hanya mengharap wajah Allah Ta’ala, bukan tujuan duniawi. Seorang yang menuntut ilmu dengan tujuan duniawi diancam dengan adzab neraka Jahannam.

2. Senantiasa menunjukkan pengaruh rasa takut kepada Allah dalam gerak-geriknya, pakaiannya dan seluruh cara hidupnya.

3. Membersihkan dirinya dari akhlak-akhlak tercela, seperti: Hasad (dengki), riya, ujub (kagum pada diri sendiri), meremehkan orang lain, dendam dan benci, marah bukan karena Allah, berbuat curang, sum’ah (ingin didengar kebaikannya), pelit, bicaranya kotor, sombong enggan menerima kebenaran, tamak, angkuh, merasa tinggi, berlomba-lomba dalam perkara duniawi, mudahanah (diam dan ridha terhadap kemungkaran demi maslahat dunia), menampakkan diri seolah-olah baik di hadapan orang-orang, cinta pujian, buta terhadap aib diri, sibuk mengurusi aib orang lain, fanatik golongan, takut dan harap selain kepada Allah, ghibah, namimah (adu domba), memfitnah orang, berdusta, berkata jorok.

4. Menjauhkan diri dari segala hal yang rawan mendatangkan tuduhan serta tidak melakukan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah (kehormatan diri).

5. Senantiasa menjaga syiar-syiar Islam dan hukum-hukum Islam yang zahir. Contohnya shalat berjamaah di masjid, menebarkan salam kepada yang dikenal maupun tidak dikenal, amar ma’ruf nahi mungkar, dan bersabar ketika mendapatkan gangguan dalam dakwah.

6. Zuhud terhadap dunia dan menganggap dunia itu kecil; tidak terlalu bersedih dengan yang luput dari dunia; sederhana dalam makanannya, pakaiannya, perabotannya, rumahnya. Menurut Abu Dzar al-Ghifari:

7. “Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.” (Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Yang tepat riwayat ini mauquf (hanya perkataan Abu Dzar) sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd.” (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 346)

8. Menurut Abu Sulaiman Ad Daroni:
“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.” 
(Disebutkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Awliya’, 9/258, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut, cetakan keempat, 1405 H)

9. Menghormati Ulama perintah Allah SWT : Allah Ta’ala berfirman:

 وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

“Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al Hajj, 78:30)

Rasulullah saw bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَم ْيُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama.” (HR. Ahmad) 

Sobat. Peninggalan Nabi Muhammad SAW untuk umatnya bukanlah sesuatu yang terdapat di gelas, mangkuk, pakaian, ataupun tongkat. Namun peninggalan beliau ada di dalam syariat yang suci, sunnah yang mudah, dan agama yang toleran. Oleh sebab itu Allah SWT menghubungkan pengikutan Nabi SAW dengan peneladanan ajarannya dan pengamalan sunnahnya.

ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ ٱلنَّبِيَّ ٱلۡأُمِّيَّ ٱلَّذِي يَجِدُونَهُۥ مَكۡتُوبًا عِندَهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ يَأۡمُرُهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَىٰهُمۡ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنۡهُمۡ إِصۡرَهُمۡ وَٱلۡأَغۡلَٰلَ ٱلَّتِي كَانَتۡ عَلَيۡهِمۡۚ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُواْ ٱلنُّورَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ 

“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” ( QS. Al-A’raf (7) : 157 )

Sobat. Allah menerangkan cara-cara mengikuti Rasul yang telah disebutkan ciri-cirinya, agar bahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti, ialah beriman kepadanya dan kepada risalah yang dibawanya, menolongnya dengan rasa penuh hormat, menegakkan dan meninggikan agama yang dibawanya, mengikuti Al-Qur'an yang dibawanya.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Sabtu, 04 Juni 2022

Keutamaan Menuntut Ilmu


Tinta Media - Sobat. Abu Darda’ pernah berkata,” Belajar satu masalah (agama) bagiku lebih baik daripada sholat tahajud semalam suntuk.” Abdullah bin Mas’ud  berkata, ”Sekarang kalian hidup di zaman ‘Amal lebih baik daripada Ilmu, tetapi di masa datang ‘Ilmu lebih utama daripada amal’.

Sobat. Dari Sa’id Musayyab, dari Abu Sa’id Khudry, Rasulullah SAW bersabda,” Di dunia ini amal yang paling utama tiga yaitu : 

1. Menimba Ilmu, karena orang yang selalu menimba ilmu menjadi kekasih Allah.

2. Jihad  atau perang sabil, karena orang yang jihad adalah waliyullah.

3. Mencari penghidupan (kasab), karena pengusaha yang takwa adalah shiddiqullah.

Sobat. Ilmu adalah kawan di saat sunyi atau di tengah pengasingan, ia sebagai penunjuk jalan kegembiraan, dan penolong saat  kesukaran, penghias diantara kawan, dan senjata penghalau  musuh, Allah mengangkat derajat bangsa  atau masyarakat dunia dengan ilmu, sehingga menjadi pimpinan  yang  dapat dicontoh, malaikat senang bersahabat dengan mereka, bahkan mengusap-usap mereka dengan sayapnya, segala benda basah-kering mendoakan mereka yang berilmu, sampai  ikan-ikan di laut , serangga dan hewan-hewan buas darat-laut, apalagi ternak. Sebab Ilmu adalah penghidup hati dari kebodohan, pelita kegelapan, kekuatan dari segala kelemahan, dan alat menempuh derajat Abrar (baik) dunia dan akherat. Demikian penjelasan Abu Laits dalam Tanbihul Ghafilin.

Sobat. Muadz bin Jabal berpesan, “ Belajarlah Ilmu, sebab belajar itu adalah suatu kebaikan, dan menimbanya adalah ibadah, sedang mengingatnya adalah tasbih, lalu mengadakan penyelidikan padanya berarti jihad, kemudian mengajarkannya berarti sedekah, dan memberikannya kepada  orang  yang  berhak  adalah taqarrub, karena ilmu itu adalah  cara  untuk menempuh tingkatan  atau derajat surga.

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ 
(٢٩)

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” ( QS. Shad (38) : 29 ).

Sobat. Allah menjelaskan bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur'an kepada Rasulullah saw dan para pengikutnya. Al-Qur'an itu adalah kitab yang sempurna mengandung bimbingan yang sangat bermanfaat kepada umat manusia. Bimbingan itu menuntun manusia agar hidup sejahtera di dunia dan berbahagia di akhirat. 

Sobat. Dengan merenungkan isinya, manusia akan menemukan cara-cara mengatur kemaslahatan hidup di dunia. Tamsil ibarat dan kisah dari umat terdahulu menjadi pelajaran dalam menempuh tujuan hidup mereka dan menjauhi rintangan dan hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan hidup.

Sobat. Al-Qur'an itu diturunkan dengan maksud agar direnungkan kandungan isinya, kemudian dipahami dengan pengertian yang benar, lalu diamalkan sebagaimana mestinya. Pengertian yang benar diperoleh dengan jalan mengikuti petunjuk-petunjuk rasul, dengan dibantu ilmu pengetahuan yang dimiliki, baik yang berhubungan dengan bahasa ataupun perkembangan masyarakat. 
Begitu pula dalam mendalami petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam kitab itu, hendaknya dilandasi tuntunan rasul serta berusaha untuk menyemarakkan pengalamannya dengan ilmu pengetahuan hasil pengalaman dan pemikiran mereka.

Sobat. Al-hasan al-Bashri menjelaskan pengertian ayat ini dengan mengatakan, "Banyak hamba Allah dan anak-anak yang tidak mengerti makna Al-Qur'an, walaupun telah membacanya di luar kepala. Mereka ini hafal betul hingga tak satu pun huruf yang ketinggalan. Namun mereka mengabaikan ketentuan-ketentuan Al-Qur'an itu hingga salah seorang di antara mereka mengatakan, 

"Demi Allah saya telah membaca Al-Qur'an, hingga tak satu huruf pun yang kulewatkan." 
Sebenarnya orang yang seperti itu telah melewatkan Al-Qur'an seluruhnya, karena pengaruh Al-Qur'an tidak tampak pada dirinya, baik pada budi pekerti maupun pada perbuatannya. Demi Allah, apa gunanya ia menghafal setiap hurufnya, selama mereka mengabaikan ketentuan-ketentuan Allah. Mereka itu bukan ahli hikmat dan ahli pemberi pengajaran. Semoga Allah tidak memperbanyak jumlah orang yang seperti itu."

Sobat. Ibnu Mas'ud mengatakan: Orang-orang di antara kami apabila belajar sepuluh ayat Al-Qur'an, mereka tidak pindah ke ayat lain, sampai memahami kandungan sepuluh ayat tersebut dan mengamalkan isinya. (Riwayat Ahmad)

Sobat. Allah  menurunkan kitab-Nya untuk mendidik hamba-Nya dengan adab-Nya, berakhlak dengan akhlak-Nya, dan merenungkan kandungannya berupa pujian kepada Allah. Jika tidak direnungkan  hingga  dipahami, ajarannya  tidak bisa  diamalkan . Sesungguhnya ayat-ayat suci  itu merupakan risalah yang Allah sampaikan kepada para hamba-Nya agar mereka menunaikannya. Bukan hanya untuk dibaca tetapi tidak dipahami dan tidak dilaksanakan.

Allah SWT berfirman :

وَإِذَا مَآ أُنزِلَتۡ سُورَةٞ فَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمۡ زَادَتۡهُ هَٰذِهِۦٓ إِيمَٰنٗاۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَزَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَهُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ 
(١٢٤)

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” ( QS. at-Tawbah (9): 124 ).

Sobat. Sikap kaum munafik di masa Nabi Muhammad saw di antaranya adalah apabila ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan kepada beliau dan disampaikan kepada mereka, maka di antara mereka itu ada yang bertanya kepada teman-temannya baik dari kalangan munafik sendiri maupun teman-teman mereka dari kaum Muslimin yang lemah imannya bahwa siapakah di antara mereka yang bertambah imannya dengan turunnya surah ini. Ini meyakinkan bahwa Al-Qur'an ini benar-benar dari Allah bahwa Muhammad itu benar-benar pesuruh Allah, bahwa tiap-tiap ayat Al-Qur'an merupakan mukjizat bagi Muhammad, dan bahwa Al-Qur'an itu bukan buatan Muhammad.

Sobat. Jika diperhatikan pertanyaan orang munafik yang tersebut dalam ayat-ayat ini, dirasakan bahwa pertanyaan itu bukanlah maksudnya untuk menanyakan sesuatu yang tidak diketahui, tetapi menunjukkan apa yang menjadi isi hati mereka; yaitu mereka belum percaya kepada Rasulullah, sekalipun mulut mereka telah mengakuinya. Bahkan mereka ingin agar orang-orang Islam yang lemah imannya menjadi seperti mereka pula. Seandainya tidak ada penyakit di dalam hati orang-orang munafik itu, pasti mereka mengetahui bahwa iman yang sesungguhnya yang disertai dengan ketundukan dan penghambaan diri kepada Allah, karena telah merasakan dan meyakini kekuasaan-Nya, pasti akan bertambah dengan mendengar dan membaca ayat-ayat Al-Qur'an, apalagi jika langsung mendengarnya dari Rasulullah saw sendiri.

Sifat-sifat munafik ini diterangkan dalam firman-Nya:

Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta. (al-Baqarah/2: 9-10)

Mengenai kesan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dalam hati orang-orang yang beriman diterangkan dalam firman Allah:
Sebenarnya, (Al-Qur'an) itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu. Hanya orang-orang yang zalim yang mengingkari ayat-ayat Kami. (al-'Ankabut/29: 49)

Sobat. Pertanyaan orang-orang munafik itu dijawab Allah dengan ungkapan yang tersebut pada akhir ayat ini yang maksudnya adalah orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya dan mereka merasa gembira.

DR.Nasrul Syarif M.Si.
Ceo Educoach dan Penulis Buku Goreskan Tinta Emas. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Jumat, 27 Mei 2022

Ilmu Itu Didatangi Bukan Mendatangi


Tinta Media - Namanya Harun Ar-Rasyid. Khalifah kelima dari kekhilafahan Abbasiyah yang tinggal di pusat Pemerintahan Islam di Baghdad ini adalah sosok yang mencintai ilmu dan menyukai orang-orang yang berilmu. Video MMC dalam History Insight: Dikala Harun Ar-Rasyid Mendatangi Ilmu,  melukiskan bagaimana kecintaan Sang Khalifah terhadap ilmu.

Suatu ketika, Khalifah Harun Ar-Rasyid melaksanakan ibadah haji di Kota Mekah. Setelah menunaikan ibadah haji, dia mengunjungi Kota Madinah untuk menemui Imam Malik yang telah terkenal dengan kealimannya.

Pertemuannya dengan Imam Malik, dimulai ketika Harun Ar-Rasyid mengirimkan utusan kepada Imam Malik untuk memanggilnya ke istana guna mendengarkan ilmunya.  Akan tetapi, Imam Malik berkata kepada utusan Harun Ar-Rasyid, "Katakanlah kepada Amirul Mukminin, sesungguhnya orang yang mencari ilmu harus mendatangi ilmu itu, dan bukan ilmu yang mendatanginya."

Mendengar hal itu, Amirul Mukminin Khalifah Harun Ar-Rasyid mengalah dan mengunjungi Imam Malik di rumahnya. Namun, Harun Ar-Rasyid memerintahkan agar mengosongkan majelis dari orang-orang.

Akan tetapi, Imam Malik menolak kecuali jika orang-orang tetap berada pada posisinya semula. Imam Malik mengatakan, "Jika ilmu itu dihalangi dari manusia secara umum, maka tidak ada kebaikan padanya untuk orang yang khusus."

Harun Ar-Rasyid menerimanya dengan penuh keridhoan, dan ia pun mendatangi Imam Malik untuk belajar meski ia seorang khalifah. Harun Ar-Rasyid mencari ilmu dengan cara mendatangi para ulamanya.
 
Ketika Harun Ar-Rasyid hendak melanjutkan perjalanan, dia memberikan harta sebanyak 400 dinar kepada Imam Malik seraya berucap, "Wahai Abdu Abdillah ini adalah hadiah."

Imam Malik menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, saya tidak berhak mendapatkan sedekah dan tidak pula mendapatkan hadiah."

Harun Ar-Rasyid bertanya, "Mengapa engkau tidak mau menerima hadiah, sementara nabi saya menerima hadiah?"

Imam Malik menjawab, "Saya bukan nabi."

Tidak hanya terhadap Imam Malik, Sang Khalifah juga menjaga ketawadhuan di hadapan guru-guru para putranya. Suatu saat ia pernah mengundang para ulama hadis agar mengajar hadis di istananya.  Namun tidak ada yang merespon undangan itu kecuali dua ulama yaitu Abdullah bin Idris dan Isa bin Yunus.

Mereka bersedia mengajarkan hadis dengan syarat pembelajaran harus dilaksanakan di rumah mereka, tidak di istana.  Akhirnya kedua putranya Al-Amin dan Al-Makmun mendatangi rumah Abdullah bin Idris dan Isa bin Yunus.

Dari Abdullah bin Idris, dua putra khalifah itu  memperoleh pengajaran 100 hadis. Sebagai ucapan terima kasih Al-Makmun memberikan 10.000 dirham. Namun Isa bin Yunus menolak dan mengatakan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak untuk mendapatkan apa-apa walau hanya segelas  air untuk diminum. []

Oleh: Irianti Aminatun 
Sahabat Feature News

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab