Tinta Media: Ilmu
Tampilkan postingan dengan label Ilmu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 September 2022

Ajengan YRT Berikan Dua Kunci Penting bagi Penuntut Ilmu

Tinta Media - Mudir Ma’had Khodimus Sunnah Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) memberikan dua kunci bagi penuntut ilmu.
 
“Yang pertama himmah yang kedua tanggung jawab,” tuturnya di acara Bincang Hangat: Mengkaji Tsaqofah Islam, Penting dan Perlu, Ahad (25/9/2022), melalui kanal Youtube UIY Official.
 
YRT lalu menjelaskan tentang himmah. Himmah adalah cita-cita, harapan dan terkait dengan niat yang benar. “Imam Ibnu Jama’ah dalam kitab Tadzkirah al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim, menjelaskan hal penting yang harus ditanamkan oleh pelajar itu adalah benarnya niat diawal, yaitu mengharap ridha Allah Swt. dan mengamalkan ilmu. Bukan sekedar disimpan dibenak yang tidak lahir dalam bentuk amal,” jelasnya.
 
Ia mencontohkan ilmu yang tersimpan dibenak dan tidak lahir dalam bentuk amal. “Ada mahasiswi yang ditugasi mentakhrij hadis tentang  haramnya kholwat. Dalam mengerjakan tugas itu dia kerja bareng dengan laki-laki (khalwat). Ini bukti ilmu yang tidak diamalkan. Padahal ilmu itu untuk menghidupkan syariah, untuk dekat dengan Allah di yaumil qiyamah nanti,” tandasnya.
 
Manfaat dari menuntut ilmu, jelas YRT, adalah terus menyebarkan ilmu itu. Ini masalahah himmah, dan tanggung jawab menyebarkan dakwah untuk kebaikan umat.
 
Metode Memahami Tsaqofah
 
Konsekuensinya, kata YRT,  penuntut ilmu harus mengerahkan segenap kemampuan dalam belajar.  Dalam kitab Sakhsiyyah Islamiyyah jilid  l dalam judul metode Islam dalam belajar  Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memberikan gambaran metode memahami tsaqofah Islam.
 
“Pertama sesuatu dipelajari dengan mendalam hingga difahami hakikatnya dengan pemahaman yang benar dengan mencurahkan seluruh kemampuan dalam belajar. Kedua, meyakini apa yang dipelajarinya sampai dia mengamalkannya. Ketiga, mempelajari tsaqofah Islam itu harus praktis untuk diterapkan dalam kehidupan,” urainya.
 
Ia kembali menegaskan bahwa seseorang mengkaji tsaqofah itu untuk menyelesaikan realitas kehidupan yang  dapat diindera dan dirasakan, bukan kajian yang bersifat teoritik.
 
“Di masa mendatang kita akan membangun kehidupan Islam yang dibangun berdasar tsaqofah Islam (akidah dan syariah). Karenanya mesti ada kefahaman yang cukup terhadap tsaqofah tadi serta bagaimana menerapkan dalam kehidupan. Bagaimana mungkin kita akan membangun kehidupan Islam kalau tidak ada kaum muslimin yang mengambil peran untuk terus belajar hingga kehidupan Islam yang hendak dibangun itu benar-benar berdasarkan akidah dan syariah Islam,” ungkapnya.
 
Tidak Memberikan Solusi
 
YRT menyayangkan banyak kaum muslimin yang belajar di fakultas syariah, fakultas ushuluddin, fakultas dakwah tapi tidak memberikan solusi pada persoalan umat hari ini. “Menurut mereka Islam itu sesuatu dan masalah sesuatu yang lain, Islam bukan untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Maka harus ada reformasi bahwa belajar tsaqofah Islam itu untuk menyelesaikan masalah,” harapnya.
 
YRT mengungkap sebab lain mengapa sebagian ulama yang menguasai tsaqofah Islam tidak mendakwahkan tsaqofahnya. “Ini masalah politik. Begitu kuat arus penolakan syariah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sehingga membuat tidak semua person berani menampakkan  tsaqofah islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jadi ini tantangan secara politik,” bebernya.
 
Ia lalu menyimpulkan, kenapa banyak alumni syariah tapi tidak tergerak mendakwahkan penerapan syariah karena metode belajar yang tidak tepat dan tekanan politik. “ Inilah dua faktor utama penyebabnya, tsaqofah hanya menarik untuk dibicarakan tapi tidak menarik untuk diterapkan,” tegasnya.
 
Menentang Syariah
 
Terkait fakta banyaknya ulama yang menentang syariah, YRT mengatakan setidaknya ada dua sebab,  pertama terjadi pembaratan dan kedua diperalat.
 
“Banyak sarjana muslim terbawa arus taghrib (pembaratan). Apa yang mereka sebut dengan tajdid, modernisasi, konstektualisasi itu kata lain dari taghrib (Westernisasi) sebagai muara dari sekularisasi. Bahkan bukan hanya sekularisasi tapi sudah mengarah pada pembaratan,” sesalnya.
 
Ia menyontohkan taghrib yang terjadi di Mesir. “Kalau di Mesir itu ada Pembaharuan Seruan Agama (Tajdid khitob ad-diin)  itu diseminarkan berkali-ali dan disponsori oleh Kementerian Agama di Mesir, serta mengundang dari berbagai negara termasuk Indonesia  dalam berbagai macam seminar untuk merumuskan Pembaharuan Seruan agama,” ungkap YRT.
 
Selain taghrib, kata YRT,  tidak  banyak kaum muslimin yang memahami peta politik terkait bagaimana membangun kekuatan umat, sehingga akhirnya mereka  diperalat oleh kekuatan penguasa.
 
“Tidak sedikit mereka mendukung  program-program yang dibawa oleh pemerintah. Ini persoalannya. Mereka menikmati kekuasaan dan akhirnya dibeli. Ada ulama yang awalnya baik tapi berhasil dibeli dan diadudomba dengan  umat yang lain,” tuturnya sedih.
 
Jadi, simpul YRT, yang pertama bersifat ideologi sementara yang kedua bersifat pragmatis. Termasuk sebab ideologis yang berbahaya,  kata YRT, adalah faham wasatiyah yang mengkompromikan Islam dengan peradaban lain yang terjadi di hampir seluruh negeri Islam tak terkecuali Indonesia.
 
Meski demikian YRT tidak khawatir karena masih banyak ulama yang diam ketimbang yang terbaratkan atau terbeli. “Ulama yang faham tapi diam ini menjadi peluang untuk konsolidasi kekuatan kaum Muslimin. Mereka adalah mutiara umat yang  faham fikih, hadis, dan lain-lain yang bersembunyi di pesantren, madrasah,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun 
 

Minggu, 21 Agustus 2022

Memuliakan Ilmu dan Adab terhadap Ilmu

Tinta Media - Sobat. Dengan Ilmu, hujjah ditegakkan dan tujuan pun diketahui. Cukuplah Ilmu memiliki kemuliaan bahwa kata pertama yang turun dari langit kepada Rasulullah SAW adalah “ Iqra’ – Bacalah “ , kata ini menjadi bukti terbesar tentang keutamaan ilmu dan nilai pengetahuan. Allah SWT memerintahkan Nabi untuk berdoa memohon tambahkan Ilmu.

فَتَعَٰلَى ٱللَّهُ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡحَقُّۗ وَلَا تَعۡجَلۡ بِٱلۡقُرۡءَانِ مِن قَبۡلِ أَن يُقۡضَىٰٓ إِلَيۡكَ وَحۡيُهُۥۖ وَقُل رَّبِّ زِدۡنِي عِلۡمٗا 

“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan". ( QS. Thaha (20) : 114 ).

Sobat. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw ketika Jibril membacakan kepadanya beberapa ayat yang diturunkan, dia cepat-cepat membacanya kembali padahal Jibril belum selesai membacakan seluruh ayat yang akan disampaikan pada Nabi. Hal ini karena Nabi takut kalau dia tidak cepat-cepat mengulanginya, mungkin dia lupa dan tidak dapat mengingat kembali. 

Oleh sebab itu Allah melarangnya bertindak seperti itu, karena tindakan seperti itu mungkin akan lebih mengacaukan hafalannya sebab di waktu dia mengulangi membaca apa yang telah dibacakan kepadanya perhatiannya tertuju kepada pengulangan bacaan itu tidak kepada ayat-ayat selanjutnya yang akan dibacakan jibril padahal Allah menjamin akan memelihara Al-Qur'an dengan sebaik-baiknya, jadi tidak mungkin Nabi Muhammad lupa atau dijadikan Allah lupa kalau dia mendengarkan baik-baik lebih dahulu semua ayat-ayat yang dibacakan Jibril kemudian bila Jibril telah selesai membacakan seluruhnya, barulah Nabi membacanya kembali.

Ayat ini menegaskan bahwa Allah Yang Mahatinggi, Mahabesar amat Luas Ilmu-Nya yang dengan Ilmu-Nya itu Dia mengatur segala sesuatu dan membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan kepentingan makhluk-Nya, tidak terkecuali peraturan-peraturan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Dialah yang mengutus para nabi dan para rasul dan menurunkan kitab-kitab suci seperti Zabur, Taurat dan Injil serta Dia pulalah yang menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw. Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan berangsur-angsur bukan sekaligus sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya. Kadang-kadang diturunkan hanya beberapa ayat pendek saja atau surah yang pendek pula dan kadang-kadang diturunkan ayat-ayat yang panjang sesuai dengan keperluan dan kebutuhan pada waktu itu.

Mengenai hal ini Allah berfirman:

Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur'an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya. (al-Qiyamah/75: 16-19)

Mengenai jaminan Allah dan terpeliharanya Al-Qur'an tersebut dalam ayat:

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. (al-hijr/15: 9)

Kemudian Allah menyuruh Nabi Muhammad saw agar berdoa supaya Dia memberikan kepadanya tambahan ilmu. Diriwayatkan oleh at-Tirmizi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah berdoa seperti berikut:

Ya Allah. Jadikanlah ilmu yang Engkau ajarkan kepadaku bermanfaat bagiku, ajarkanlah kepadaku ilmu yang berguna untukku dan berikanlah kepadaku tambahan ilmu. Segala puji bagi Allah atas segala hal, aku berlindung kepada Allah dari keadaan dan segala hal yang dilakukan oleh penghuni neraka. (at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Bazzar)

Sobat. Berikut ini adalah adab terhadap ilmu :

1. Mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu. Semata-mata hanya mengharap wajah Allah Ta’ala, bukan tujuan duniawi. Seorang yang menuntut ilmu dengan tujuan duniawi diancam dengan adzab neraka Jahannam.

2. Senantiasa menunjukkan pengaruh rasa takut kepada Allah dalam gerak-geriknya, pakaiannya dan seluruh cara hidupnya.

3. Membersihkan dirinya dari akhlak-akhlak tercela, seperti: Hasad (dengki), riya, ujub (kagum pada diri sendiri), meremehkan orang lain, dendam dan benci, marah bukan karena Allah, berbuat curang, sum’ah (ingin didengar kebaikannya), pelit, bicaranya kotor, sombong enggan menerima kebenaran, tamak, angkuh, merasa tinggi, berlomba-lomba dalam perkara duniawi, mudahanah (diam dan ridha terhadap kemungkaran demi maslahat dunia), menampakkan diri seolah-olah baik di hadapan orang-orang, cinta pujian, buta terhadap aib diri, sibuk mengurusi aib orang lain, fanatik golongan, takut dan harap selain kepada Allah, ghibah, namimah (adu domba), memfitnah orang, berdusta, berkata jorok.

4. Menjauhkan diri dari segala hal yang rawan mendatangkan tuduhan serta tidak melakukan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah (kehormatan diri).

5. Senantiasa menjaga syiar-syiar Islam dan hukum-hukum Islam yang zahir. Contohnya shalat berjamaah di masjid, menebarkan salam kepada yang dikenal maupun tidak dikenal, amar ma’ruf nahi mungkar, dan bersabar ketika mendapatkan gangguan dalam dakwah.

6. Zuhud terhadap dunia dan menganggap dunia itu kecil; tidak terlalu bersedih dengan yang luput dari dunia; sederhana dalam makanannya, pakaiannya, perabotannya, rumahnya. Menurut Abu Dzar al-Ghifari:

7. “Zuhud terhadap dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan bukan juga menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau begitu yakin terhadap apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Zuhud juga berarti ketika engkau tertimpa musibah, engkau lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada kembalinya dunia itu lagi padamu.” (Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Yang tepat riwayat ini mauquf (hanya perkataan Abu Dzar) sebagaimana dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Az Zuhd.” (Lihat Jaami’ul Ulum wal Hikam, hal. 346)

8. Menurut Abu Sulaiman Ad Daroni:
“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.” 
(Disebutkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Awliya’, 9/258, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut, cetakan keempat, 1405 H)

9. Menghormati Ulama perintah Allah SWT : Allah Ta’ala berfirman:

 وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ

“Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al Hajj, 78:30)

Rasulullah saw bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَم ْيُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama.” (HR. Ahmad) 

Sobat. Peninggalan Nabi Muhammad SAW untuk umatnya bukanlah sesuatu yang terdapat di gelas, mangkuk, pakaian, ataupun tongkat. Namun peninggalan beliau ada di dalam syariat yang suci, sunnah yang mudah, dan agama yang toleran. Oleh sebab itu Allah SWT menghubungkan pengikutan Nabi SAW dengan peneladanan ajarannya dan pengamalan sunnahnya.

ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ ٱلنَّبِيَّ ٱلۡأُمِّيَّ ٱلَّذِي يَجِدُونَهُۥ مَكۡتُوبًا عِندَهُمۡ فِي ٱلتَّوۡرَىٰةِ وَٱلۡإِنجِيلِ يَأۡمُرُهُم بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَىٰهُمۡ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنۡهُمۡ إِصۡرَهُمۡ وَٱلۡأَغۡلَٰلَ ٱلَّتِي كَانَتۡ عَلَيۡهِمۡۚ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُواْ ٱلنُّورَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ 

“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” ( QS. Al-A’raf (7) : 157 )

Sobat. Allah menerangkan cara-cara mengikuti Rasul yang telah disebutkan ciri-cirinya, agar bahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti, ialah beriman kepadanya dan kepada risalah yang dibawanya, menolongnya dengan rasa penuh hormat, menegakkan dan meninggikan agama yang dibawanya, mengikuti Al-Qur'an yang dibawanya.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Sabtu, 04 Juni 2022

Keutamaan Menuntut Ilmu


Tinta Media - Sobat. Abu Darda’ pernah berkata,” Belajar satu masalah (agama) bagiku lebih baik daripada sholat tahajud semalam suntuk.” Abdullah bin Mas’ud  berkata, ”Sekarang kalian hidup di zaman ‘Amal lebih baik daripada Ilmu, tetapi di masa datang ‘Ilmu lebih utama daripada amal’.

Sobat. Dari Sa’id Musayyab, dari Abu Sa’id Khudry, Rasulullah SAW bersabda,” Di dunia ini amal yang paling utama tiga yaitu : 

1. Menimba Ilmu, karena orang yang selalu menimba ilmu menjadi kekasih Allah.

2. Jihad  atau perang sabil, karena orang yang jihad adalah waliyullah.

3. Mencari penghidupan (kasab), karena pengusaha yang takwa adalah shiddiqullah.

Sobat. Ilmu adalah kawan di saat sunyi atau di tengah pengasingan, ia sebagai penunjuk jalan kegembiraan, dan penolong saat  kesukaran, penghias diantara kawan, dan senjata penghalau  musuh, Allah mengangkat derajat bangsa  atau masyarakat dunia dengan ilmu, sehingga menjadi pimpinan  yang  dapat dicontoh, malaikat senang bersahabat dengan mereka, bahkan mengusap-usap mereka dengan sayapnya, segala benda basah-kering mendoakan mereka yang berilmu, sampai  ikan-ikan di laut , serangga dan hewan-hewan buas darat-laut, apalagi ternak. Sebab Ilmu adalah penghidup hati dari kebodohan, pelita kegelapan, kekuatan dari segala kelemahan, dan alat menempuh derajat Abrar (baik) dunia dan akherat. Demikian penjelasan Abu Laits dalam Tanbihul Ghafilin.

Sobat. Muadz bin Jabal berpesan, “ Belajarlah Ilmu, sebab belajar itu adalah suatu kebaikan, dan menimbanya adalah ibadah, sedang mengingatnya adalah tasbih, lalu mengadakan penyelidikan padanya berarti jihad, kemudian mengajarkannya berarti sedekah, dan memberikannya kepada  orang  yang  berhak  adalah taqarrub, karena ilmu itu adalah  cara  untuk menempuh tingkatan  atau derajat surga.

كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ 
(٢٩)

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” ( QS. Shad (38) : 29 ).

Sobat. Allah menjelaskan bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur'an kepada Rasulullah saw dan para pengikutnya. Al-Qur'an itu adalah kitab yang sempurna mengandung bimbingan yang sangat bermanfaat kepada umat manusia. Bimbingan itu menuntun manusia agar hidup sejahtera di dunia dan berbahagia di akhirat. 

Sobat. Dengan merenungkan isinya, manusia akan menemukan cara-cara mengatur kemaslahatan hidup di dunia. Tamsil ibarat dan kisah dari umat terdahulu menjadi pelajaran dalam menempuh tujuan hidup mereka dan menjauhi rintangan dan hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan hidup.

Sobat. Al-Qur'an itu diturunkan dengan maksud agar direnungkan kandungan isinya, kemudian dipahami dengan pengertian yang benar, lalu diamalkan sebagaimana mestinya. Pengertian yang benar diperoleh dengan jalan mengikuti petunjuk-petunjuk rasul, dengan dibantu ilmu pengetahuan yang dimiliki, baik yang berhubungan dengan bahasa ataupun perkembangan masyarakat. 
Begitu pula dalam mendalami petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam kitab itu, hendaknya dilandasi tuntunan rasul serta berusaha untuk menyemarakkan pengalamannya dengan ilmu pengetahuan hasil pengalaman dan pemikiran mereka.

Sobat. Al-hasan al-Bashri menjelaskan pengertian ayat ini dengan mengatakan, "Banyak hamba Allah dan anak-anak yang tidak mengerti makna Al-Qur'an, walaupun telah membacanya di luar kepala. Mereka ini hafal betul hingga tak satu pun huruf yang ketinggalan. Namun mereka mengabaikan ketentuan-ketentuan Al-Qur'an itu hingga salah seorang di antara mereka mengatakan, 

"Demi Allah saya telah membaca Al-Qur'an, hingga tak satu huruf pun yang kulewatkan." 
Sebenarnya orang yang seperti itu telah melewatkan Al-Qur'an seluruhnya, karena pengaruh Al-Qur'an tidak tampak pada dirinya, baik pada budi pekerti maupun pada perbuatannya. Demi Allah, apa gunanya ia menghafal setiap hurufnya, selama mereka mengabaikan ketentuan-ketentuan Allah. Mereka itu bukan ahli hikmat dan ahli pemberi pengajaran. Semoga Allah tidak memperbanyak jumlah orang yang seperti itu."

Sobat. Ibnu Mas'ud mengatakan: Orang-orang di antara kami apabila belajar sepuluh ayat Al-Qur'an, mereka tidak pindah ke ayat lain, sampai memahami kandungan sepuluh ayat tersebut dan mengamalkan isinya. (Riwayat Ahmad)

Sobat. Allah  menurunkan kitab-Nya untuk mendidik hamba-Nya dengan adab-Nya, berakhlak dengan akhlak-Nya, dan merenungkan kandungannya berupa pujian kepada Allah. Jika tidak direnungkan  hingga  dipahami, ajarannya  tidak bisa  diamalkan . Sesungguhnya ayat-ayat suci  itu merupakan risalah yang Allah sampaikan kepada para hamba-Nya agar mereka menunaikannya. Bukan hanya untuk dibaca tetapi tidak dipahami dan tidak dilaksanakan.

Allah SWT berfirman :

وَإِذَا مَآ أُنزِلَتۡ سُورَةٞ فَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ أَيُّكُمۡ زَادَتۡهُ هَٰذِهِۦٓ إِيمَٰنٗاۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَزَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَهُمۡ يَسۡتَبۡشِرُونَ 
(١٢٤)

“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” ( QS. at-Tawbah (9): 124 ).

Sobat. Sikap kaum munafik di masa Nabi Muhammad saw di antaranya adalah apabila ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan kepada beliau dan disampaikan kepada mereka, maka di antara mereka itu ada yang bertanya kepada teman-temannya baik dari kalangan munafik sendiri maupun teman-teman mereka dari kaum Muslimin yang lemah imannya bahwa siapakah di antara mereka yang bertambah imannya dengan turunnya surah ini. Ini meyakinkan bahwa Al-Qur'an ini benar-benar dari Allah bahwa Muhammad itu benar-benar pesuruh Allah, bahwa tiap-tiap ayat Al-Qur'an merupakan mukjizat bagi Muhammad, dan bahwa Al-Qur'an itu bukan buatan Muhammad.

Sobat. Jika diperhatikan pertanyaan orang munafik yang tersebut dalam ayat-ayat ini, dirasakan bahwa pertanyaan itu bukanlah maksudnya untuk menanyakan sesuatu yang tidak diketahui, tetapi menunjukkan apa yang menjadi isi hati mereka; yaitu mereka belum percaya kepada Rasulullah, sekalipun mulut mereka telah mengakuinya. Bahkan mereka ingin agar orang-orang Islam yang lemah imannya menjadi seperti mereka pula. Seandainya tidak ada penyakit di dalam hati orang-orang munafik itu, pasti mereka mengetahui bahwa iman yang sesungguhnya yang disertai dengan ketundukan dan penghambaan diri kepada Allah, karena telah merasakan dan meyakini kekuasaan-Nya, pasti akan bertambah dengan mendengar dan membaca ayat-ayat Al-Qur'an, apalagi jika langsung mendengarnya dari Rasulullah saw sendiri.

Sifat-sifat munafik ini diterangkan dalam firman-Nya:

Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta. (al-Baqarah/2: 9-10)

Mengenai kesan terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dalam hati orang-orang yang beriman diterangkan dalam firman Allah:
Sebenarnya, (Al-Qur'an) itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu. Hanya orang-orang yang zalim yang mengingkari ayat-ayat Kami. (al-'Ankabut/29: 49)

Sobat. Pertanyaan orang-orang munafik itu dijawab Allah dengan ungkapan yang tersebut pada akhir ayat ini yang maksudnya adalah orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya dan mereka merasa gembira.

DR.Nasrul Syarif M.Si.
Ceo Educoach dan Penulis Buku Goreskan Tinta Emas. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Jumat, 27 Mei 2022

Ilmu Itu Didatangi Bukan Mendatangi


Tinta Media - Namanya Harun Ar-Rasyid. Khalifah kelima dari kekhilafahan Abbasiyah yang tinggal di pusat Pemerintahan Islam di Baghdad ini adalah sosok yang mencintai ilmu dan menyukai orang-orang yang berilmu. Video MMC dalam History Insight: Dikala Harun Ar-Rasyid Mendatangi Ilmu,  melukiskan bagaimana kecintaan Sang Khalifah terhadap ilmu.

Suatu ketika, Khalifah Harun Ar-Rasyid melaksanakan ibadah haji di Kota Mekah. Setelah menunaikan ibadah haji, dia mengunjungi Kota Madinah untuk menemui Imam Malik yang telah terkenal dengan kealimannya.

Pertemuannya dengan Imam Malik, dimulai ketika Harun Ar-Rasyid mengirimkan utusan kepada Imam Malik untuk memanggilnya ke istana guna mendengarkan ilmunya.  Akan tetapi, Imam Malik berkata kepada utusan Harun Ar-Rasyid, "Katakanlah kepada Amirul Mukminin, sesungguhnya orang yang mencari ilmu harus mendatangi ilmu itu, dan bukan ilmu yang mendatanginya."

Mendengar hal itu, Amirul Mukminin Khalifah Harun Ar-Rasyid mengalah dan mengunjungi Imam Malik di rumahnya. Namun, Harun Ar-Rasyid memerintahkan agar mengosongkan majelis dari orang-orang.

Akan tetapi, Imam Malik menolak kecuali jika orang-orang tetap berada pada posisinya semula. Imam Malik mengatakan, "Jika ilmu itu dihalangi dari manusia secara umum, maka tidak ada kebaikan padanya untuk orang yang khusus."

Harun Ar-Rasyid menerimanya dengan penuh keridhoan, dan ia pun mendatangi Imam Malik untuk belajar meski ia seorang khalifah. Harun Ar-Rasyid mencari ilmu dengan cara mendatangi para ulamanya.
 
Ketika Harun Ar-Rasyid hendak melanjutkan perjalanan, dia memberikan harta sebanyak 400 dinar kepada Imam Malik seraya berucap, "Wahai Abdu Abdillah ini adalah hadiah."

Imam Malik menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, saya tidak berhak mendapatkan sedekah dan tidak pula mendapatkan hadiah."

Harun Ar-Rasyid bertanya, "Mengapa engkau tidak mau menerima hadiah, sementara nabi saya menerima hadiah?"

Imam Malik menjawab, "Saya bukan nabi."

Tidak hanya terhadap Imam Malik, Sang Khalifah juga menjaga ketawadhuan di hadapan guru-guru para putranya. Suatu saat ia pernah mengundang para ulama hadis agar mengajar hadis di istananya.  Namun tidak ada yang merespon undangan itu kecuali dua ulama yaitu Abdullah bin Idris dan Isa bin Yunus.

Mereka bersedia mengajarkan hadis dengan syarat pembelajaran harus dilaksanakan di rumah mereka, tidak di istana.  Akhirnya kedua putranya Al-Amin dan Al-Makmun mendatangi rumah Abdullah bin Idris dan Isa bin Yunus.

Dari Abdullah bin Idris, dua putra khalifah itu  memperoleh pengajaran 100 hadis. Sebagai ucapan terima kasih Al-Makmun memberikan 10.000 dirham. Namun Isa bin Yunus menolak dan mengatakan hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak untuk mendapatkan apa-apa walau hanya segelas  air untuk diminum. []

Oleh: Irianti Aminatun 
Sahabat Feature News

Senin, 21 Maret 2022

Ahmad Sastra: Ilmu Harus Bersifat Radikal

https://drive.google.com/uc?export=view&id=14boQ0WmbhyRmRjIimPUU6TSxH0EtloeS

Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra, M.M menuturkan, ilmu itu harus bersifat radikal, jika tidak, akan menjadi lemah dan hanya sekedar informasi.

"Ilmu itu harus bersifat radikal, kalau tidak maka ilmu itu menjadi lemah, bisa jadi bersifat persepsi, atau bersifat informasi dan mungkin bisa jadi hoax," tuturnya dalam acara FGD#29 Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa: Radikalisme dan Terorisme dalam Kontruksi Kebijakan dan Kajian Sabtu (19/03/2022) di kanal YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.

Ia mengatakan, dari sudut pandang filsafat, ilmu itu sendiri bersifat radikal, “Bahwa kita mengkaji ilmu itu memang harus bersifat radikal. Dalam artian tersusun dari akarnya apa? Rantingnya apa? Dan daunnya apa? Jadi suatu ilmu itu harus mengakar,” ujarnya.

Menurutnya, ilmu-ilmu itu bisa dibedakan yang berkaitan dengan alam semesta, manusia dan kehidupan. Karena itu dari konteks ini maka istilah radikalisme itu baik, positif kalau dalam ilmu. Dari aspek filsafat dapat dilihat dari beberapa sisi.

Pertama, dari sisi Otologis. “Bahwa bicara tentang objek apa yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud objek hakiki dari ilmu tersebut. Maka kita bisa melihat secara etimologis radikal itu artinya netral, karena digali dari sisi bahasa dan secara etimologis radikal itu mengacu kepada akar, mengakar dan hal-hal yang sifatnya mengakar berarti radikal," bebernya.

"Jika secara terminologi, radikalisme itu berkaitan dengan upaya mencapai tujuan politik dengan cara kekerasan," imbuhnya.

Kedua, dari sisi epistemologi. "Kata radikalisme kalau dalam timbangan epistemologi itu cara mendapatkan pengetahuan, bagaimana proses munculnya pengetahuan yang berupa ilmu, bagaimana prosedurnya. Kalau didalam Islam sumber ilmu itu dari wahyu dan akal, kalau di Barat itu sumbernya filsafat. Karena filsafat sumber kebenaran itu dari akal saja," jelasnya.

Ia mengutip pendapat dari Profesor Syarif Basuni bahwa justru sulit membuat suatu pengertian yang identik dan dapat diterima secara Universal. "Sulit melakukan atas pengawasan terorisme, oleh karena itu menurut Profesor Bryan Jenkins, terorisme itu merupakan pandangan yang objektif dalam konteks akademik dalam istilah terorisme belum ditemukan titik persamaan definisi hingga sekarang. Jadi di dalam konteks akademik istilah ini sebenarnya masih the bed table," jelasnya.

Ketiga, dari sisi Metodologi. "Filsafat itu sendiri juga bagian dari metodologi berpikir, observasi, analisa, sintesis, pengalaman dan sebagainya. Kemudian filsafat itu metode berpikir tentang pembentukan, penilaian, pembahasan juga berkaitan dengan sistem pemikiran dengan pendekatan ilmiah, maka kita lihat misalnya Studi Islam yang dikaji di barat," terangnya.

"Jadi, kalau dilihat dari sisi etimologis maka radikalisme dan terorisme berasal dari epistemologi barat, ini penting sekali dilihat dari awal karena di kemudian hari dikaitkan dengan agama, itu problem atau masalahnya," ungkapnya.

Keempat, dari sisi Aksiologi. "Hubungan dengan nilai, manfaat, orientasi dan motif maka perkembangannya sampai hari ini maka kita perhatikan dengan baik maka radikalisme dan terorisme lebih mengarah kepada motif politik bukan motif akademik lagi," pungkasnya. [] Emalia
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab