Tinta Media: Idul Fitri
Tampilkan postingan dengan label Idul Fitri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Idul Fitri. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 April 2024

Idul Fitri dan Spirit Perubahan

Tinta Media - Sebulan sudah umat muslim seluruh dunia menjalankan ibadah di bulan Ramadhan, termasuk di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Ramadhan bulan suci bagi umat muslim nyatanya bukan hanya memberikan keberkahan bagi muslim sendiri namun juga umat agama lainnya. Utamanya menjelang perayaan Idul Fitri atau lebaran, beberapa pedagang non muslim seperti penjual pakaian dan sebagainya mendapatkan kelimpahan berkah dengan naiknya pendapatan penjualan menjelang hari raya Idul Fitri.

Bulan Ramadhan menjadi momentum bagi umat muslim melatih diri, bukan hanya sekedar menahan lapar dan dahaga namun juga berusaha menjauhkan diri dari segala perbuatan yang tidak diridhoi Allah. Sehingga hari raya Idul Fitri menjadi salah satu momen kemenangan bagi umat muslim yakni kemenangan mengendalikan hawa nafsu. Tentunya ini menjadi pendidikan penting bagi umat muslim untuk menuju perubahan yang lebih baik menuju ketakwaan bagi setiap individu masyarakat. Ramadhan dan Idul Fitri sudah semestinya bukan hanya menumbuhkan ketakwaan bagi setiap individu namun juga bagi seluruh kaum muslimin.

Di sisi lain nyatanya umat muslim belum sepenuhnya dapat melaksanakan ketakwaan secara total, dengan belum diterapkan aturan syariat Islam secara menyeluruh. Sistem kapitalis yang masih dijunjung tinggi, menjadikan umat muslim terbatas dalam menerapkan aturan syariat dalam kehidupan. Hampir segala aspek kehidupan mulai sistem pendidikan, kesehatan, ekonomi sampai aturan bernegara. Sistem kapitalis yang memisahkan aturan kehidupan dengan agama, membuat segala aktivitas agama hanya berputar pada ibadah spiritual saja seperti sholat, puasa dan sebagainya. Sehingga spirit membangun keimanan dan ketakwaan belum sepenuhnya mampu diraih oleh umat muslim saat ini. 


Maka sudah seharusnya adanya perubahan terhadap aturan yang ada, aturan yang mampu menghantarkan umat menuju perubahan. Perubahan terhadap aturan kehidupan yang bersinergi dengan aturan agama. Sehingga hal menjadikan umat muslim melaksanakan segala aktivitas kehidupan yang berlandaskan dengan aturan syariat secara keseluruhan. Perubahan yang bukan hanya menghantarkan terbatas pada individu ataupun masyarakat namun juga negara ke arah yang lebih baik. 

Oleh: Putri YD
Sahabat Tinta Media 

Bolehkah Sholat dan Berkhutbah Idul Fitri pada Tanggal 2 Syawal?

Tanya :

Tinta Media - Ustadz, bolehkah seseorang yang sudah sholat Idul Fitri tanggal 1 Syawal, lalu sholat lagi, atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal?

Jawab :

Tidak boleh hukumnya sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena batas akhir sholat dan khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal itu.

Dalil bahwa batas akhir sholat Idul Fitri adalah waktu zawal, ditunjukkan oleh hadits berikut ini :

عن أبي عُميرِ بنِ أنسِ بنِ مالكٍ، قال: حدَّثني عُمومتي، من الأنصارِ من أصحابِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قالوا: أُغْمَي علينا هلالُ شوال، فأصبحنا صيامًا، فجاءَ ركبٌ من آخِر النهار، فشهِدوا عندَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّهم رأوُا الهلالَ بالأمس، فأمَرَهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يُفطِروا، وأنْ يَخرُجوا إلى عيدِهم من الغدِ

Dari Abu 'Umair bin Anas bin Malik RA, dia berkara,"Telah meriwayatkan kepadaku paman-pamanku dari golongan Anshar dari para shahabat Rasulullah SAW, bahwa mereka berkata,'Telah tertutup awan bagi kami hilal Syawal, maka pada pagi harinya kami tetap berpuasa. Datanglah kemudian satu rombongan pada sore hari, dan mereka pun bersaksi kepada Nabi SAW bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk berbuka, dan juga memerintahkan untuk sholat Idul Fitri pada keesokan harinya." (HR Ahmad, no. 20.603; Al Baihaqi, dalam _As-Sunan Al-Kubra_, 3/316; hadits ini dinilai shahih oleh Imam Syaukani dalam _As-Sailul Jarrar_, 1/291; dan oleh Syekh Al-Albani dalam _Shahih Sunan Ibnu Majah_, no. 1348).

Lihat : https://dorar.net/feqhia/1716/

Hadits tersebut menunjukkan bahwa jika informasi rukyatul hilal datangnya pada waktu sore hari _(akhir an nahar),_ yakni berarti sudah melampaui waktu zawal (awal waktu Zhuhur), maka sholat Idul Fitrinya tidak dapat lagi dilaksanakan pada hari itu (tanggal 1 Syawal), melainkan dilaksanakan pada keesokan harinya (tanggal 2 Syawal).

Ini berarti batas akhir sholat Idul Fitri adalah tibanya waktu zawal (waktu awal Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal.

Demikianlah menurut kesepakatan (ijma') para ulama, yakni tak ada khilafiyah di antara mereka dalam masalah ini.

Imam Ibnu Hazm berkata :

واتَّفقوا أنَّ من صفاء الشمس إلى زوالها وقتٌ لصلاة العيدين على أهل الأمصار ((مراتب الإجماع)) (ص: 32).

"Para ulama sepakat bahwa sejak matahari bersinar terang hingga zawal-nya matahari (awal waktu Zhuhur) adalah waktu untuk sholat Idul Fitri dan Idul Adha bagi penduduk kota." (Ibnu Hazm, _Maratibul Ijma',_ hlm. 32).

Ibnu Rusyd berkata :

واتَّفقوا على أنَّ وقتها... إلى الزوال . ((بداية المجتهد)) (1/229).

"Para ulama sepakat bahwa waktu sholat Idul Fitri dan Idul Adha...adalah hingga waktu zawal (awal waktu Zhuhur)." (Ibnu Rusyd, _Bidayatul Mujtahid,_ 1/229).

Imam Syarbaini Khathib berkata :

وأمَّا كون آخر وقتها- أي: صلاة العيد- الزوال، فمُتَّفق عليه ((مغني المحتاج)) (1/310).

"Adapun bahwa batas akhir sholat Idul Fitri dan Idul Adha itu adalah waktu zawal (waktu awal Zhuhur), maka itu sudah disepakati ulama." (Syarbaini Khathib, __Mughni al-Muhtaj,_ 1/310).

Imam Syaukani berkata :

وقال بعضُ العلماء: وهي من بعد انبساطِ الشَّمس إلى الزوال، ولا أعرِف فيه خلافًا ((الدَّراري المضية)) (1/118).

"Sebagian ulama berkata,'[waktu sholat Idul Fitri dan Idul Adha] adalah sejak terangnya sinar matahari hingga zawal (awal waktu Zhuhur), dan saya tidak melihat ada khilafiyah dalam masalah ini." ( _Ad-Darari al-Mudhi'ah,_ 1/118).

(Lihat : https://dorar.net/feqhia/1716/).

Dari kutipan-kutipan tersebut, jelaslah bahwa batas akhir waktu sholat Idul Fitri adalah tibanya waktu zawal (waktu awal Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal.

Jadi, kalau seseorang meyakini hari Ahad kemarin adalah tanggal 1 Syawal, maka tidak boleh pada hari Senin ini, yakni tanggal 2 Syawal, dia sholat atau berkhutbah Iedul Fitri. Yang demikian itu karena berarti dia telah sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada waktu yang telah melampaui waktu yang disyariatkan, yaitu sejak matahari bersinar terang (waktu Dhuha) hingga waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal.

Kecuali jika dia memperoleh info rukyatul hilal yang datang terlambat melampaui waktu zawal (waktu awal Zhuhur) tanggal 1 Syawal, misal pukul 14.00 WIB atau pukul 17.00 WIB tanggal 1 Syawal, maka dia boleh sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal.

Dalil kebolehannya adalah hadits dari Abu 'Umair bin Anas bin Malik RA yang sudah kami kutip di atas, bahwa Nabi SAW memperoleh kesaksian rukyatul hilal baru pada sore hari tanggal 1 Syawal. Maka kemudian Nabi SAW lalu memerintahkan untuk berbuka saat itu juga, dan juga memerintahkan untuk sholat Idul Fitri pada keesokan harinya (tanggal 2 Syawal). (https://dorar.net/feqhia/1716/).

Kesimpulannya, tidak boleh hukumnya sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena batas akhir sholat dan khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal.

Memang ada sebagian ulama yang membolehkan sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, dengan alasan ada hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya melaksanakan shalat yang sama dua kali.

Di antara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:

Dalil pertama, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, dia berkata, telah menceritakan kepada kami Ghundar berkata, dia telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Amru berkata, Aku mendengar Jabir bin ‘Abdullah berkata, "Mu’adz bin Jabal pernah shalat bersama Nabi SAW dia lalu kembali pulang dan mengimami kaumnya shalat ‘Isya “ (HR Bukhari, no. 660).

Dalil kedua, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ibnu ‘Ajlan, dia telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah Bin Muqsim dari Jabir bin Abdullah, "Sesungguhnya Muadz bin Jabal sholat Isya’ bersama Rasulullah SAW, kemudian mendatangi kaumnya lalu sholat menjadi imam mereka sholat Isya’ juga”. (HR Ahmad, no. 13723)

Dalil ketiga, telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Ma’n bin Isa dari Sa’id bin As-Sa`ib dari Nuh bin Sha’sha’ah dari Yazid bin Amir dia berkata,"Saya pernah datang ke Masjid sementara Nabi SAW dalam keadaan shalat. Saya lalu duduk dan tidak shalat bersama mereka. Lalu Rasulullah SAW pergi dan melihat Yazid sedang duduk. Beliau bersabda: “Apakah kamu belum masuk Islam wahai Yazid?” Dia menjawab,"Tentu wahai Rasulullah, saya telah masuk Islam." Rasulullah SAW bersabda,“Lalu apa yang menghalangimu untuk shalat bersama jama’ah?” Dia menjawab,"Saya telah shalat di rumahku dan saya menyangka kalian telah selesai shalat. Maka beliau bersabda: “Apabila kamu datang ke shalat jama’ah, lalu kamu mendapati orang-orang sedang shalat, maka shalatlah bersama mereka, meskipun kamu telah shalat, shalatmu itu sebagai nafilah (shalat sunnah) bagimu, dan yang ini (yang sebelumnya) menjadi yang wajib.” (HR Abu Daud, no. 489; Ahmad, no. 18209).

Demikianlah sebagian dalil yang dikemukakan ulama yang membolehkan sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, dengan alasan dari hadits-hadits itu dapat diistinbath hukum syara' umum, yaitu boleh hukumnya melaksanakan shalat yang sama dua kali.

Jawaban kami adalah, dalil-dalil tersebut tidak dapat menjadi dalil bolehnya sholat Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena hadits-hadits tersebut topiknya (maudhu'-nya) khusus berkaitan dengan *sholat wajib lima waktu*, bukan berkaitan dengan sholat Idul Fitri atau sholat Idul Adha.

Tidak dapat diistinbath dari hadits-hadits tersebut suatu hukum umum bahwa boleh hukumnya sholat yang sama dilakukan dua kali, kecuali sholat lima waktu, karena maudhu' (topik) hadits-hadits tersebut berkaitan dengan *sholat wajib lima waktu*, seperti sholat Isya', sebagaimana nampak jelas pada _sababul wurud_ untuk hadits pertama dan hadits kedua.

Adapun generalisasi hadits-hadits tersebut dari lafal-lafal umumnya hingga mencakup sholat di luar sholat waktu, seperti sholat Idul Fitri dan Idul Adha, tidak dapat diterima.

Kaidah ushul fiqih dalam masalah ini menyebutkan :

عموم اللفظ في خصوص السبب هو عموم في موضوع الحادثة و السؤال وليس عموما في كل شيء

"Keumuman kata (lafal) berdasarkan sebab yang khusus, hanyalah berlaku umum untuk topik (maudhu') dalam peristiwa dan pertanyaan (yang menjadi sababul nuzul ayat atau sababul wurud hadits), tidak dapat diambil kesimpulan hukum umum untuk segala sesuatu." (Taqiyuddin An-Nabhani, _al-Syakhshiyah Al-Islamiyah,_ 3/243).

Dengan demikian, hadits-hadits di atas hanya dapat diberlakukan untuk sholat wajib yang lima waktu, tidak dapat diberlakukan untuk sholat Idul Fitri atau Idul Adha.

Maka dari itu, kalau seseorang meyakini hari Ahad kemarin adalah 1 Syawal, tidak boleh pada hari Senin ini yakni 2 Syawal, dia sholat atau berkhutbah Iedul Fitri.

Kecuali jika dia memperoleh info rukyatul hilalnya terlambat melampaui waktu zawal (awal waktu Zhuhur) tanggal 1 Syawal, misal pukul 14.00 atau 17.00 tanggal 1 Syawal, maka dia boleh sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal. Wallahu a'lam.

Yogyakarta, 2 Syawal 1443 / 2 Mei 2022

M. Shiddiq Al Jawi

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi (Pakar Fikih Muamalah)

Senin, 01 Mei 2023

MMC: Idul Fitri adalah Hari yang Istimewa

Tinta Media- Narator Muslimah Media Center (MMC) mengatakan bahwa Idul Fitri, hari Istimewa jika dirayakan bersama seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia.

"Idul Fitri sesungguhnya merupakan hari yang istimewa, terlebih jika dirayakan bersama oleh seluruh kaum muslimin di seluruh dunia secara serentak," tuturnya dalam History Insight: Perayaan IdulFitri di Masa Abbasiyah di kanal YouTube Muslimah Media Center, Ahad (23/4/2023).

"Sesungguhnya akan tampak umat Islam di seluruh dunia bersatu," imbuhnya.

Menurutnya, lebih istimewa lagi jika semua ini terjadi ketika hukum-hukum syariat diterapkan secara sempurna dalam naungan Khilafah. Maka akan semakin nyata terwujud persatuan Islam.

"Namun di tengah sukacita perayaan hari raya, duka masih tetap mengikuti umat muslim hari ini. Tentara Israel menyerang dan menangkap sejumlah warga Palestina yang sedang berada di Masjid Al Aqsa, Yerusalem. Muslim di Xinjiang hidup terlunta-lunta dan selalu disiksa," ujarnya.

Ia menyatakan bahwa rentetan penderitaan menghujam kaum muslimin. Pemikiran-pemikiran liberal pun melemahkan kondisi umat Islam. Isu pluralisme melalui teori moderasi Islam dimasukkan untuk mengotori pemahaman kaum muslimin. Islamofobia sengaja disebar agar timbul benih-benih ketakutan dan permusuhan. Ide kesetaraan gender atau feminisme nasionalisme dan demokrasi terus didengungkan agar kapitalisme tetap mencengkram seluruh umat Islam. 

Demikianlah, kondisi umat Islam saat ini dalam menyambut hari raya Idul Fitri. Sungguh menyiksa lahir dan batin, Sangat jauh berbeda ketika khilafah ada ditengah mereka. "Maka, tidakkah kita merindukan hadirnya kembali khilafah di muka bumi ini?" tandasnya.[] Ajira

Minggu, 30 April 2023

Ustadz Boni: Momentum Idul Fitri 1444 H Banyak Melahirkan Kesadaran dan Ketaqwaan

Tinta Media - "Momentum Idul Fitri 1444 H in syaa Allah banyak melahirkan kembali umat yang memiliki kesadaran dan ketaqwaan yang tinggi kepada Allah SWT," tutur Master dan Coaching Trainer dan Pengasuh Masjid Dakwah Imam Al Mahdi Bogor, Ustadz Boni Shallehudin, Lc. di Bogor, Jumat (21/4/2023).

Menurutnya, ini menjadi modal kemenangan Islam, Allah telah berjanji kepada orang-orang shaleh dan beriman, ia mengutip firman Allah SWT, Qs.Al-Ahzāb : 47 yang artinya dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.

"Orang bertaqwa sejatinya ia akan berupaya menghindari kemusyrikan dan menyekutukan Allah baik dalam bentuk aqidah, ibadah termasuk meyakini hukum dalam segala bentuknya termasuk dalam menetapkan hukum," ujarnya. 

Ia mengatakan, orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menjadikan pendeta dan rahib - rahib mereka sebagai penyembah tuhan selain Allah SWT. Peristiwa menarik hadits at thabari, adiy bin Hatim, bukankah mereka para pendeta dan para Rahib kalian yang telah menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah aku halalkan, saat ini posisi pendeta dan para Rahib itu dipandang sebagai tuhan oleh para penguasa di negeri ini maupun wakil rakyat di dalam demokrasi, pasalnya merekalah saat ini para pembuat hukum yang telah menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan. Contohnya di negeri ini riba yg telah mereka halalkan atau legalkan, bahkan pemerintah menjadi pelaku riba yg utama. Diantaranya bunga hutang yang begitu tinggi," ungkapnya.

Padahal jelas riba telah diharamkan oleh Allah, ustadz Boni mengutip, QS.Al-Baqarah ayat 275 yang artinya Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

"Satu dirham riba sungguh lebih berat dosanya daripada berzina 36 kali, tentu lebih banyak contoh-contoh lain yang dilakukan pemerintah dalam penerapan UUD yang bertentangan dengan ketentuan syariat Islam. Padahal akibat dari penerapan hukum buatan manusia yg nyata - nyata menolak syariat Islam terjadi kemerosotan dan kerugian," terangnya. 

Menurutnya, imbas dari diterapkannya hukum buatan manusia dan menolak syariat Islam ini sudah lama dirasakan oleh rakyat. "Hutang ribawi yang keterlaluan ini jika dibagi rata kepada seluruh rakyat indonesia masing - masing menanggung hutang negara sekitar 24 juta rupiah per orangnya. Sementara pajak semakin mengancam, juga skandal triliunan rupiah membelit di badan keuangan negara, serta kekayaan negeri ini tidak pernah memberikan kesejahteraan yang adil kepada rakyatnya, bahkan hanya sekedar memenuhi kesehariannya saja sudah sangat sulit," pungkasnya.[] Pakas Abu Raghib

Sabtu, 29 April 2023

UIY: Takwa Penentu Kemuliaan di Hadapan Allah

Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan bahwa takwa adalah sesuatu yang amat sangat penting karena menentukan posisi dan kemuliaan seorang muslim di hadapan Allah. 

"Takwa adalah sesuatu yang amat sangat penting. Takwa yang akan menentukan posisi kita di hadapan Allah, kemuliaan kita di hadapan Allah," tuturnya dalam pesan singkat Idul Fitri 1444 H:
“تهنئة أ. إسماعيل يوسانطو بمناسبة عيد الفطر المبارك 1444 ه”, Sabtu (22/4/2023) di kanal Youtube ALWaqiyahTV.

Menurutnya, Takwa pula yang akan menentukan posisi umat Islam di akhirat kelak. "Memastikan kita akan menjadi bagian dari ashabul yamin atau ashabul jannah. Dan takwa pula yang akan memberikan kebaikan dalam kehidupan di dunia baik dalam kehidupan pribadi, keluarga terlebih dalam kehidupan masyarakat dan negara,” ujarnya.

Betapa pentingnya takwa ini, Ustadz Ismail Yusanto, mengingatkan melalui firman Allah yang tersebut dalam surat Al-A’raf ayat 96 bahwa jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa pastilah Allah akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Allah itu, maka Allah siksa mereka disebabkan perbuatannya.

“Pada akhirnya kita berdoa memohon kepada Allah agar diberi kesempatan umur panjang untuk berjumpa kembali dengan bulan yang sangat istimewa ini, insya Allah,” pungkasnya.[] Hanafi 

Jumat, 28 April 2023

Kebahagiaan Hakiki Idul Fitri

Tinta Media - Idealnya setelah ibadah Ramadan selesai, kaum muslimin dalam kebahagiaan, karena  tidak ada lagi kewajiban yang tidak tertunaikan dan tidak ada keharaman yang dipertahankan. Hal itu bisa dipahami, sebab ibadah shaum adalah medium untuk meraih takwa, yaitu menjalankan seluruh kewajiban dan meninggalkan seluruh larangan.

Namun, faktanya masih banyak keharaman yang  tetap dilakukan, dipertahankan, sebagaimana masih sangat banyak kewajiban yang ditinggalkan. Lebih mengkhawatirkan lagi, saat ini muncul fenomena orang-orang yang hendak melakukan ketaatan malah dijuluki radikal, teroris, dan sebutan buruk lainnya.

Ini jelas menunjukkan cara pandang yang lepas dari  ketakwaan. Bisa jadi orang yang menjuluki demikian dia menjalankan puasa, ikut berlebaran, tetapi puasanya tidak membimbing dia untuk menjadikan takwa sebagai cara pandang.

Andai takwa dijadikan sebagai cara pandang, niscaya akan suport terhadap segala sesuatu yang bersifat takwa, dan sebaliknya tidak suport terhadap sesuatu yang tidak bersifat takwa.

Puasa memang  ibadah fisik, menahan lapar, haus, dan segala hal yang membatalkan puasa. Namun, ibadah yang bersifat fisik itu dalam rangka meraih sesuatu yang bersifat substansial berupa ketundukan terhadap seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Ketundukan ini merupakan esensi dari takwa.

Ketika orang lupa menghayati bahwa seluruh ibadah yang bersifat fisik ini adalah untuk meraih yang bersifat substansial, maka dia kehilangan pijakan dalam memandang suatu masalah, berpikir, menilai, dan bersikap.

Akibatnya, ia menjadi muslim yang aneh, benci terhadap ajaran agamanya sendiri, menjadi oposan terhadap sesama muslim yang berusaha mewujudkan takwa. Bukan hanya dalam kehidupan pribadi, tetapi juga dalam kehidupan bernegara.

Kehidupan bernegara yang sekuler memperparah kondisi ini. Dalam kehidupan sekuler,  Islam hanya ada dalam aspek spiritual. Puasa dengan Islam, idul fitri dengan Islam, tetapi begitu masuk ke dalam politik, ekonomi, dan budaya, Islam ditinggalkan. Padahal, kebahagiaan idul fitri yang  hakiki adalah manakala umat Islam hidup dalam keselarasan, baik spiritual, politik, ekonomi, maupun sosial budaya.

Kehidupan sekuler inilah yang membuat kaum muslimin hidup dalam kesusahan, penderitaan, kemiskinan, tekanan politik, budaya yang merusak generasi, serta sederet keburukan lainnya. 

Kehidupan Islam

Umat Islam akan meraih kemenangan dan kebahagiaan hakiki hanya jika hidup secara Islami dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam spiritual maupun nonspriritual. Hal itu bisa terwujud ketika umat Islam berada dalam kehidupan Islami,  yaitu kehidupan yang menerapkan Islam kafah.

Sebenarnya, hasil berbagai survey menunjukkan bahwa umat ini mayoritas menghendaki diterapkan syariat Islam kafah. Hanya saja, kebijakan elit politik tidak sejalan dengan kehendak umat.

Rezim ini begitu kuat menahan kebangkitan umat dengan Islam kafah. Perjuangan Islam kafah justru dilabeli radikal, teroris dan sebutan buruk lainnya.

Dalam kondisi seperti ini, menjadi urgen untuk menjaga umat agar terus memiliki semangat berislam kafah, serta mewujudkan Islam dalam kehidupan. Semangat ini harus terus dijaga dan ditingkatkan agar pada titik tertentu menjadi kekuatan perubahan.

Perubahan inilah yang mampu mengubah level mana pun, termasuk level kekuasaan. Kekuasaan tidak akan mampu menahan desakan perubahan yang digerakkan oleh umat ini. Di sinilah pentingnya dakwah.

Para pemimpin umat, baik ulama, dai, ustaz, ustazah adalah aktivis dari berbagai level masyarakat harus bersinergi membangun semangat keberislaman, semangat keimanan dan ketakwaan, serta keyakinan akan pertolongan Allah untuk kehidupan lebih baik dengan diterapkannya Islam kaffah dalam kehidupan. Saat itulah ketakwaan akan mudah terealisasi dan terjaga hingga umat bahagia dunia akhirat.

Oleh: Irianti Aminatun
Jurnalis 

Kamis, 27 April 2023

UIY: Umat akan Terus Bahagia jika...

Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan bahwa umat Islam akan terus bahagia jika terjadi keselarasan dalam kehidupannya baik secara spiritual, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

“Kapan umat Islam itu bahagia di sepanjang waktunya? Itu hanya akan tercapai kebahagiaan yang terus menerus jika umat Islam itu hidup di dalam sebuah keselarasan, baik itu secara spiritual maupun secara politik, ekonomi, sosial dan budaya,” ujarnya dalam Topik on the Spot: Menyambut Idul Fitri dengan Kebahagiaan di kanal YouTube UIY Official, ahad (23/4/2023).

UIY menanggapi hal tersebut karena momen kebahagiaan biasanya hanya berlangsung pada bulan Ramadhan dan Syawal saja. Selepas itu umat Islam akan menghadapi persoalan-persoalan yang penuh dengan penderitaan, yakni kemiskinan, penindasan dan penjajahan.

“Hari ini kita ber-Islam hanya dalam aspek spiritualisme ibadah puasa, Idul Fitri. Tapi begitu masuk ke ekonomi, politik, sosial, budaya, kita itu berada pada sesuatu yang bukan Islam,” ungkapnya menyayangkan.

Dan hal tersebut tentunya tidak akan terjadi apabila umat Islam berada dalam kehidupan yang Islami. “Kapan kita bisa hidup Islami dalam seluruh aspek kehidupan? Ketika kita berada dalam kehidupan Islam. Itu artinya syariat Islam diterapkan secara Kaffah,” jelasnya dengan optimis.

Ia menyoroti sikap pemimpin negara yang mempreteli semua hal yang berbau Islam, seperti misalnya larangan buka bersama dan peringatan Nuzulul Qur’an. Padahal itu merupakan momen penting untuk membangkitkan optimisme. Jika sudah demikian, maka yang bisa diharapkan bagi umat dalam membangkitkan optimisme adalah pemimpin umat.

“Jika pemimpin negara tidak melakukan itu, maka tersisalah pemimpin umat, para ulama, dai, ustadz-ustadzah di berbagai levelnya berbagai tempat terus membangun semangat keberislaman, semangat ketakwaan dan keimanan serta keyakinan akan pertolongan Allah bagi kehidupan yang lebih baik di masa akan datang,” pungkasnya. [] Langgeng W Hidayat

Ketakwaan Kaum Muslim Sejatinya Terlihat di Luar Ramadhan

Tinta Media - Mubaligh Kota Unaaha Ustadz Syahru Ramadhan mengatakan, ketakwaan kaum Muslim sejatinya terlihat di luar bulan Ramadhan dalam seluruh tataran kehidupan. 

“Ketakwaan kaum Muslim sejatinya terlihat juga di luar bulan Ramadhan sepanjang tahun, juga dalam seluruh tataran kehidupan mereka," tuturnya dalam Khutbah Idul Fitri 1444 Hijriah di Kota Unaaha, Jumat (21/4/2023). 

Dia mengatakan, hikmah dari puasa adalah takwa dan idealnya kaum Muslim menjadi orang-orang yang taat kepada Allah SWT tidak hanya pada bulan Ramadhan saja dan dalam tataran ritual dan individual semata. Ia mengutip hadis Riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi yang artinya bertakwalah kamu dalam segala keadaanmu.

“Karena itu bukan takwa namanya jika seseorang biasa melakukan shalat, melaksanakan shaum Ramadhan atau bahkan menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Namun, di sisi lain ia biasa memakan riba, melakukan suap dan korupsi, mengabaikan urusan masyarakat, menzalimi rakyat dan enggan terikat dengan syariah Islam di luar yang terkait dengan ibadah ritual,” jelasnya.

Ia mengatakan, orang bertakwa pun akan selalu berupaya menjauhi kesyirikan. Ia tidak akan pernah menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya, baik dalam konteks ‘aqidah maupun ibadah. 

Syahru mengatakan, dalam Al Qur’an Surah At-Taubah ayat 31, bahwa Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Terkait ayat ini, ia menuturkan, ada sebuah peristiwa menarik sebagaimana dinukil oleh Imam ath-Thabari di dalam Jaami’ al-Bayaan fii Ta’wiil al-Qur’an (10/210). Juga oleh Imam al-Baghawi di dalam Ma’aalim atTanziil (4/39), diriwayatkan bahwa saat Baginda Rasulullah SAW. membaca ayat ini, datanglah Adi bin Hatim kepada Rasulullah SAW dengan maksud hendak masuk Islam. 

"Saat Adi bin Hatim yang ketika itu masih beragama Nasrani, mendengar ayat tersebut, Adi bin Hatim kemudian berkata, 'Wahai Rasulullah, kami (kaum Nasrani) tidak pernah menyembah para pendeta kami.' Namun, Baginda Nabi SAW. membantah pernyataan Adi bin Hatim sembari bertanya, 'Bukankah para pendeta kalian biasa menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan? Lalu kalian pun menaati mereka?' Jawab Adi bin Hatim, 'Benar, wahai Rasulullah.' Rasulullah SAW tegas menyatakan, 'Itulah bentuk penyembahan mereka kepada para pendeta mereka'," jelasnya. 

Syahru mengatakan, saat ini posisi para pendeta dan para rahib itu diperankan pula oleh para penguasa maupun wakil rakyat dalam sistem demokrasi. Pasalnya, merekalah saat ini yang biasa membuat hukum. 

"Mereka telah banyak menghalalkan apa yang telah Allah haramkan. Merekapun telah banyak mengharamkan apa yang telah Allah halalkan " pungkasnya. [] Rohadianto

Selasa, 18 April 2023

MERUKYAT GERHANA

Tinta Media - Kamis, 20 April 2023, akan terjadi gerhana matahari di atas Indonesia.  Gerhana ini hibrida, di sebagian wilayah adalah total, di tempat lain cincin atau sebagian.  Gerhana ini bertepatan 29 Ramadan 1444 H.   Di dunia secara umum memulai Ramadan serentak Kamis 23 Maret 2023. 

Gerhana ini seolah pembenaran bagi yang akan berlebaran Jum’at.  Sedangkan pemerintah masih menunggu hasil rukyatul hilal Kamis sore.  Ada kemungkinan lebaran Sabtu.  

Penentuan awal Ramadhan dan Iedul Fitri masih menjadi kontroversi.  Timbul pertanyaan, apakah hari raya muslim tidak bisa dipastikan jauh-jauh hari, dan satu saja untuk semua, seperti kejadian gerhana?

Di zaman Nabi, sudah ada kalender urfi yang tetap.  Bulan selang-seling 30-29.  Sya’ban normalnya 29 hari, sampai turun perintah Nabi untuk rukyatul hilal.  Walhasil, Sya’ban jadi sering istikmal (30 hari).  Akibatnya Ramadhannya sering 29 hari.  Dari 9 kali Ramadhan di masa Nabi, 7 kali 29 hari.

Perintah rukyatul hilal itu sekaligus indikasi, bahwa bulan lainnya tidak dirukyat.  Namun pada perkembangannya, kebutuhan perencanaan, mendorong umat Islam mempelajari astronomi.  Muncullah kalender hisab dengan ragam kriteria, yang dapat memunculkan perbedaan hari.   

Ilmu hisab tahu bahwa rata-rata sebulan terdiri dari 29,53 hari. Maka perlu 11 tahun kabisat dalam periode 30 tahun. Tambahan hari per bulan adalah 0,03 hari untuk mencapai durasi bulan yang tepat 29,53 hari.  Bukan angka bulat.  Padahal hari itu harus bulat.  Dalam Islam, hari dimulai dari Maghrib ke Maghrib.  Akibatnya, batas hari kalender Islam, setiap bulan bergeser terhadap batas tanggal internasional.

Hisab imkan rukyat yang tersederhana adalah Ijtimak Qobla Ghurub. Jika ijtimak terjadi sebelum maghrib, maka diasumsikan hilal sudah muncul. Kriteria ini pernah digunakan Persis tahun 1990-an.  Belakangan muncul Hisab Wujudul Hilal, lalu Imkanur Rukyat 238, lalu 364.  Semuanya Hisab.

Persoalannya, prediksi hilal tidak sama dengan gerhana.  Sekalipun Astronomi menunjukkan hilal sudah jaiz terlihat, keterlihatannya masih tergantung Baiknya pengamatan dan Cuaca.  Syarat ABC.  

Kalau pengamat memiliki masalah visibilitas, atau posisinya ke barat terhalang gunung, maka Hakim bisa menolak.  Demikian juga bila ternyata di ufuk barat ada awan tebal, sekalipun di atas lokasi cuaca cerah.

*Ijtima’ bulan Syawal kali ini jatuh pada Kamis 20 April 2023 pukul 11:13 WIB.  Karena sudah 29 Ramadhan, Kamis sore itulah rukyatul hilal dilakukan*.  Adaikata pengamatan dipersiapkan baik dan cuaca mendukung, keterlihatan hilal tinggal tergantung faktor A.  Jadi hisab ini hanya akan menentukan tempat mana hilal jaiz dan mana mustahil terlihat.  Tidak menentukan mana hilal wajib terlihat, karena masih ada faktor B dan C.

Persoalannya, wilayah jaiz inipun ikhtilaf kriterianya.  Dulu Indonesia pakai kriteria 238 (2 derajat tinggi, 3 derajat elongasi, 8 jam umur bulan).  Sebenarnya kriteria ini kurang ilmiah, karena mengandalkan klaim kesaksian masa lalu, ketika ada hilal syari (disahkan hakim) saat tingginya baru 2 derajat.  Sekarang yang diadopsi 364 (3 derajat tinggi dan 6,4 derajat elongasi).  Kriteria ini lebih ilmiah, karena mempertimbangkan kontras cahaya bulan yang lemah.

Karena kali ini masih di bawah 3 derajat, maka klaim keterlihatan hilal kemungkinan akan ditolak, dan sidang itsbat akan memutuskan lebaran Sabtu.  Sedang Muhammadiyah memang dari awal hanya memakai hisab wujudul hilal, jadi sudah memutuskan lebaran Jum’at.

Itsbat lokal (matla) ini secara fiqih sesuai madzhab Syafii.  Dulu berabad-abad, karena [masalah] telekomunikasi, semua rukyat praktis lokal.  Walaupun tiga madzhab besar yang lain tidak membatasi matla, namun cakupannya baru menjangkau satu wilayah kekuasaan hukum, belum seluruh dunia.  Untuk seluruh dunia masih ada persoalan 24 zona waktu, yang di ujungnya tetap akan berbeda hari, sekalipun melihat matahari di sore yang sama.

Namun untuk setengah dunia di Timur Atlantik, ketika hisab lokal Indonesia masih di wilayah mustahil, sedang di Timur Tengah di wilayah jaiz, akan ada kemungkinan penganut rukyat yang mengikuti hasil rukyat Timur Tengah.  Walhasil yang berlebaran Jum’at akan lebih banyak dari sekedar pengikut Muhammadiyah.

Oleh: Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Pengamat kebumian dan keantariksaan, Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)

Sumber: Kedaulatan Rakyat, 18 April 2023

Sabtu, 07 Mei 2022

Ustazah Ratu Erma: Pahami Makna Takwa dengan Benar


Tinta Media - Untuk menjaga ibadah pasca Ramadhan, Mubalighah Nasional Ustazah Ratu Erma menyampaikan pesan, "Pahami makna takwa dengan benar dan wujudkan," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (7/5/2022).

Menurutnya, banyak ayat dan hadis yang memerintahkan kita untuk takwa. "Kata takwa disebut Allah SWT dalam tiga puluh sembilan ayat, lebih banyak lagi dalam hadis, sulit untuk menghitungnya," ungkapnya.

Simpulan dari makna takwa, lanjutnya,  adalah takut dan khawatir terhadap Allah SWT dengan cara menjalankan seluruh perintah dan menjauhi semua larangan Allah SWT.

Diantara ayat yang memerintahkan takwa adalah surat al Maidah ayat 8:

{وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ}

"Dan bertakwalah kepada Allah, karena Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Sedangkan dalam hadis, kata Ustazah Ratu, diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Dzar dan Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Saya mewasiatkan Anda untuk bertakwa kepada Allah dalam segala urusanmu, baik secara rahasia dan terbuka."

Dari Muadz radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku berkata, ya Rasulullah, beri aku wasiat, Rasul bersabda: "Kamu harus takut kepada Allah sebanyak yang kamu bisa." (Al-Mu`jam Al- Kabir).

"Orang-orang yang bertakwa akan mendapat dua kebaikan, di dunia dan di akhirat. Di akhirat Allah SWT menjanjikan bagi mereka kemenangan di surga dan pembebasan dari api neraka dan yang lebih besar dari itu, yaitu keridhaan Allah pada hari perhitungan di akhirat," jelasnya.

Sedangkan kebaikan di dunia, tambahnya,  Allah memberikan banyak hal, yaitu rizki yang tidak disangka-sangka, jalan keluar dari kesulitan (QS. Ath-thalaq 2-3), selamat dari kejahatan musuh-musuh Islam. 

"Allah juga memberi keberkahan bagi penduduk bumi jika mereka menaati perintah dengan menerapkan syari’ah-Nya dan menjauhi larangan-Nya," terangnya.

Ia mengutip firman Allah Quran surat Al-A'raf ayat 96: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi."

Dalam surat Al-Hadid ayat 28, lanjutnya, Allah akan memberi rahmat dua kali lipat, menjadikan cahaya untuk berjalan, yang berarti memberi petunjuk  dalam hidup.

"Dan banyak lagi kebaikan di dunia bagi umat Islam yang bertakwa.  Karena pada prinsipnya, Allah menciptakan umat manusia dan jin di dunia itu, adalah untuk beribadah kepada-Nya," tegasnya.

Dan ibadah itu, menurutnya, diwujudkan dalam bentuk ketaatan dengan semua perintah Allah SWT dalam aspek kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan kehidupan bernegara. "Karena hukum-hukum Allah itu mencakup semua urusan hidup manusia. Yang dengan hukum-hukum itulah keberkahan dunia akan dirasakan," tandasnya.

Ustazah Ratu menegaskan bahwa ibadah yang paling utama dilakukan dalam situasi hukum-hukum Allah tidak ditegakkan, yang menyebabkan kondisi kehidupan umat manusia jauh dari keberkahan adalah dakwah. 

"Dakwah adalah ibadah yang dicontohkan para Rasul Allah,  yang dengannya kehidupan umat manusia berubah dari jahiliyah dengan perilakunya yang buruk kepada perilaku baik sesuai syari'at Allah," pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Nasihat Ustaz Iwan Januar Pasca Ramadhan: Ibadah Itu karena Allah


Tinta Media - Agar ibadah tetap semangat sebagaimana di bulan Ramadhan, Direktur Siyasah Institute Iwan Januar memberi nasihat bahwa ibadah itu karena Allah.

"Umat harus ingat bahwa ibadah itu adalah karena Allah, dan Allah terus hadir kapan saja, bukan semata di bulan Ramadhan," nasihat Ustaz Iwan Januar kepada Tinta Media, Sabtu (7/5/2022).

"Para ulama ingatkan kun Rabbaniyan wa laa takunu Ramadhaniyyan, Jadilah kamu Rabbani yakni orang yang menghamba Pada Allah, jangan menghamba pada Ramadhan," lanjutnya.

Menurutnya, dengan mengingat wajibnya ibadah pada Allah setiap saat, insya Allah kaum muslimin bisa istiqomah dalam ketaatan.

Ia menyampaikan beberapa hal yang perlu dilakukan umat di tengah semakin zalimnya rezim saat ini. "Ada beberapa hal yang penting dilakukan umat di masa penuh fitnah ini," ujarnya.

Pertama, menjaga diri dalam ketaatan sekalipun dibenci banyak orang. "Kedua, berjuang untuk menegakkan dienullah hingga tegaknya Syariat dan Khilafah sebagai mahkota kewajiban," jelasnya.

"Inilah dua perkara yang amat penting di masa sekarang," pungkasnya.[] Raras

Idul Fitri Simbol Persatuan Umat


Tinta Media - “Hari Raya Idul Fitri merupakan salah satu syiar dalam Islam dan simbol persatuan umat Islam, ” tutur narator video MMC  dalam Serba-serbi MMC: Hari kemenangan Tiba, Kesengsaraan Umat tak Kunjung Usai, Senin (2/5/2022) melalui kanal Youtube Muslimah Media Center.

Oleh karena itu, lanjutnya,  penentuan awal dan akhir Ramadhan bukan hanya masalah ibadah tetapi merupakan syiar Islam.

“Dalam tanya jawab Syeikh  Atha  bin Khalil Abu  ar-Rasytah beliau berijtihad bahwa berdasarkan dalil-dalil yang ada, yang menjadi sandaran dalam puasa Ramadhan adalah rukyat hilal yakni melihat hilal,” jelasnya.

Di antara dalilnya hadis  dari Abu Hurairah R.A.  Rasulullah SAW bersabda: “Berpuasalah kamu karena melihat dia (hilal) dan berbukalah kamu karena melihat hilal.” (HR. Bukhari, Muslim, At- Tirmidzi dan Nasa'i).

Dari Ibnu Umar R.A., Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu melihat hilal maka berpuasalah kamu dan jika kamu melihat hilal maka berbukalah.  Jika pandangan kamu terhalang mendung maka perkirakanlah atau genapkanlah.” (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasai dan Ahmad).

“Hadis-hadis di atas mengandung pengertian yang jelas bahwa sebab syar'i untuk puasa Ramadhan dan Idul Fitri tiada lain adalah rukyat hilal,” simpulnya mengutip pendapat Muhammad Husein Abdullah dalam Kitab Mafahim Islamiyah juz 2 halaman 157.

Menurut Narator,  rukyat hilal yang dimaksud  bukanlah rukyat lokal yang berlaku dalam suatu matla (batas geografis keberlakuan rukyat) seperti dalam Mazhab Syafii, melainkan rukyat yang berlaku secara global. Artinya  rukyat hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh penjuru dunia seperti dalam mazhab jumhur yaitu mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali.

 “Karena itu Islam telah menunjukkan metode  untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan yakni dengan rukyat atau melihat hilal bukan yang lain,” ujarnya.

Dan alhamdulillah, tambahnya, pada 1 Mei 2022 umat Islam bergembira menyambut hari raya Idul Fitri 1443 Hijriyah sebab sehari sebelumnya telah dilakukan rukyat hilal global.

“Hasilnya di beberapa negara yaitu Afghanistan, Nigeria, Mali, dan Yaman, hilal syar'i telah terlihat. Ini berarti Ramadhan telah dilalui dan dijalani oleh umat Islam selama sebulan dengan berbagai ketaatan di dalamnya,” paparnya.

Sebagaimana dipahami lanjut narator, bahwa Allah mensyariatkan puasa Ramadhan agar umat Islam bertakwa. Para ulama telah menjelaskan makna takwa sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim bahwa takwa adalah melaksanakan perintah perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah.

“Sementara perintah dan larangan Allah ini termaktub di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Itulah akidah dan syariah. Dengan ungkapan lain takwa adalah menaati dan menjalankan syariat atas dasar akidah Islam,” jelasnya.

Rasulullah SAW menjamin bahwa siapa saja yang mengambil dan melaksanakan Al-Quran dan As-Sunnah ia tidak akan tersesat selama-lamanya. Sahabat Abu Hurairah R.A menuturkan bahwa Rasulullah SAW  bersabda saat Haji Wada,  “Aku tinggalkan dua perkara yang jika  kalian berpegang  teguh kepada keduanya kalian tidak akan tersesat selamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. (Hadis riwayat Al Hakim).

Allah SWT juga telah memberikan jaminan di dalam Quran Surat Thaha ayat 123,  “Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku maka ketahuilah dia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.”

Narator menjelaskan bahwa yang dimaksud petunjuk adalah Al-Kitab Al-Quran dan syariah. Maka ayat ini sebagaimana dinyatakan Ibnu Abbas R.A.  yakni Allah menjamin orang yang mengikuti Al-Quran tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.

Menurut narator, umat Islam memahami dan merasakan dengan jelas bahwa pengaturan kehidupan bermasyarakat saat ini telah salah arah dan menuju arah yang salah, berjalan tidak sesuai dengan petunjuk Allah SWT di dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

“Memang benar sebagian ajaran Islam dapat dijalankan khususnya dalam hal pribadi, keluarga dan sebagian transaksi ekonomi. Namun syariat yang berkaitan dengan pengelolaan politik pemerintahan, ekonomi, sosial, pergaulan semuanya dicampakkan,” ungkapnya.

Semua itu lanjutnya,  menunjukkan bahwa pengaturan kehidupan bermasyarakat saat ini telah salah arah. Secara faktual banyak undang-undang dan peraturan hukum yang lebih dirasakan menguntungkan oligarki atau bisa dikatakan atas pesanan oligarki.

“Sebagai contoh saat ini sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit dikuasai swasta. Kementerian Pertanian mencatat bahwa 55,8% perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh perkebunan swasta.  Alhasil minyak goreng menjadi langka dan mahal. Demikian pula utang pemerintah pusat telah mencapai 7.014,58 triliun rupiah atau 40,7% dari PDB pada akhir Februari 2022. Alhasil pajak terus mengalami kenaikan.

Allah SWT telah memperingatkan akibat dari pengaturan kehidupan yang salah arah dan menuju arah yang salah ini dalam Quran surat Thaha ayat 124, “Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku maka sungguh ia akan diberikan kehidupan yang sempit. Dan Kami mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”

“Dalam kondisi seperti ini tentu umat Islam tidak boleh meratapi nasib dan berdiam diri. Sebaliknya  umat Islam harus segera mengubahnya menjadi aturan yang benar arahnya dan menuju arah yang benar. Hal ini tidak lain adalah segera kembali kepada petunjuk Allah SWT. yakni menerapkan  Al- Quran dan As-Sunnah secara total di bawah sistem Khilafah Rasyidah 'Ala min Haj An-Nubuwah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Jumat, 06 Mei 2022

TELADAN DAN NASIHAT IBRAHIM BIN ADHAM


Tinta Media  - IBRAHIM BIN ADHAM rahimahulLaah adalah seorang ulama besar yang tsiqah, wara' dan zuhud (Al-Khathib al-Baghdadi, Taariikh Baghdaad, 3/219).

Ia dikenal sebagai salah seorang Sulthaan al-Awliyaa'. Bahkan menisbatkan Sulthaan al-Awliyaa' kepada Ibrahim bin Adham (w. 206 H) telah amat populer (Al-Muradi, Khulashaat al-Atsar, 2/18; Muhammad bin Abu Bakar bin Khilkan, Wafiyaat al-A'yaan, 1/32).

Banyak kisah menarik yang menggambarkan keluhuran kepribadian  Ibrahim bin Adham. Demi menjaga keikhlasan, jika ia ikut terlibat dalam peperangan (jihad), misalnya, usai perang ia tidak mengambil ghaniimah (rampasan perang) yang menjadi haknya. Hal itu ia lakukan demi meraih kesempurnaan pahala jihad (Ibn al-Jauzi, Talbîis Iblîis, 1/180).

Suatu saat Ibrahim bin Adham pergi safar untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah (Makkah). Saat itu ia berpapasan dengan seorang Arab dusun yang mengendarai seekor unta. Orang itu berkata, “Syaikh, mau kemana?”

Ibrahim bin Adham menjawab, “Ke Baitullah.”

Orang itu bertanya lagi, “Anda ini seperti tak waras. Saya tidak melihat Anda membawa kendaraan, juga bekal, sementara perjalanan sangat jauh.”

Ibrahim kembali berkata, “Sebetulnya saya memiliki beberapa kendaraan. Hanya saja, engkau tidak melihatnya.”

Orang itu bertanya, “Kendaraan apa gerangan?”

Ibrahim bin Adham berkata, “Jika di perjalanan aku tertimpa musibah, aku menaiki kendaraan sabar. Jika di perjalanan aku mendapatkan nikmat, aku menaiki kendaraan syukur. Jika di perjalanan Allah SWT menetapkan suatu qadhâ untukku, aku menaiki kendaraan ridha.”

Orang Arab dusun itu lalu berkata, “Jika demikian, dengan izin Allah, teruskan perjalanan Anda, Syaikh. Anda benar-benar berkendaraan. Sayalah yang tidak berkendaraan.” (Fakhruddin ar-Razi, Mafaatîh al-Ghayb, 1/234).

Ibrahim bin Adham amat terkenal dengan nasihat-nasihatnya yang bernas dan amat menyentuh kalbu.

Pernah seorang sufi, misalnya, datang kepada Ibrahim bin Adham dan bertanya, “Abu Ishaq, mengapa hatiku seperti terhijab dari Allah 'Azza wa Jalla?”

Ibrahim bin Adham menjawab, “Karena hatimu mencintai apa yang Allah benci. Kamu lebih mencintai dunia dan kehidupan yang penuh tipuan, senda-gurau dan permainan (daripada kehidupan akhirat, pen).” (Abu Bakr al-Khathib al-Baghdadi, Taariikh Baghdaad, 6/47).

Suatu saat Ibrahim bin Adham berjalan melewati sebuah pasar di Bashrah, Irak. Tiba-tiba ia dikelilingi oleh banyak orang. Ia ditanya oleh mereka tentang firman Allah SWT (yang artinya): Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan doa kalian. (QS Ghafir [40]: 60).

Mereka mengatakan, "Kami telah berdoa kepada Allah, namun mengapa belum juga dikabulkan?"

Lalu Ibrahim bin Adham menjawab, "Karena hati kalian telah mati oleh sepuluh perkara: (1) Kalian mengklaim mengenal Allah, tetapi tidak menunaikan hak-hak-Nya; (2) Kalian membaca Kitab-Nya, tetapi tidak mengamalkan isinya; (3) Kalian mengaku memusuhi setan, tetapi mengikuti ajakannya; (4) Kalian mengaku mencintai Rasulullah saw., tetapi meninggalkan sunnah-sunnahnya; (5) Kalian mengklaim merindukan surga, tetapi tidak melakukan amalan-amalan penduduk surga; (6) Kalian mengaku takut neraka, tetapi justru banyak melakukan perbuatan penduduk neraka; (7) Kalian mengatakan kematian itu pasti, tetapi tidak menyiapkan bekal untuk menghadapi kematian itu; (8) Kalian sibuk mencari aib orang lain, sedangkan aib kalian sendiri tidak kalian perhatikan; (9) Kalian makan dari rezeki Allah, tetapi tidak pernah bersyukur kepada-Nya; (10) Kalian sering menguburkan orang mati, tetapi tidak pernah mengambil pelajaran dari kematian mereka.”

Mendengar nasihat itu, orang-orang itu pun menangis (Ibn Rajab al-Hanbali, Rawai at-Tafsiir, 2/230; Jaami' Bayaan al-'Ilmi wa Fadhlihi, 12/2).

Ibrahim bin Adham juga pernah berkata, “Ada tiga perkara yang paling mulia di akhir zaman: (1) teman dekat di jalan Allah; (2) mengusahakan harta yang halal; (3) menyatakan kebenaran di hadapan penguasa.” (Abu al-Hajjaj al-Mizzi, Tahdziib al-Kamaal, 2/35).

Ibrahim bin Adham pun pernah mengingatkan, “Amal terberat di dalam timbangan amal di akhirat adalah yang paling memberatkan badan (dilakukan dengan susah-payah, pen.).” (Al-Asbahani, Hilyah al-Awliyaa' wa Thabaqaat al-Ashfiyaa', 8/16).

Semoga kita bisa meneladani Ibrahim bin Adham dan mengamalkan nasihat-nasihatnya.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah, 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.[]

060522

Hikmah Idul Fitri:

‏قِيل *للإمام الشافعي : ما لك تكثر من إمساك العصا ولست بضعيف؟ قال: لأذكر أني مسافر (الذهبي، سيرأعلام_النبلاء، ٩٧/١٠)

Imam Syafi'i rahimahulLaah pernah ditanya, "Mengapa Anda sering tidak lepas dari--atau selalu bertumpu pada--tongkat, padahal Anda bukan orang yang lemah?" Beliau menjawab, "(Hal ini aku lakukan) agar aku selalu ingat bahwa diri ini hanyalah seorang musafir (yang sedang melakukan perjalanan di dunia yang fana menuju akhirat yang kekal abadi, pen.)."
(Adz-Dzahabi, Siyar A'lam an-Nubalaa, 10/97).[]

Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor

SISI LAIN ORANG BERTAKWA


Tinta Media - RAMADHAN memang telah berakhir. Puasanya juga telah lewat. Namun, sejatinya puasa Ramadhan membekas dalam jiwa setiap Muslim. Meninggalkan takwa dalam dirinya. Takwa yang sebenar-benarnya. Sebabnya, itulah hikmah dari pelaksanaan kewajiban puasa (QS al-Baqarah [2]: 183).

Menurut Ibn Abi Dunya dalam Kitaab at-Taqwaa mengutip pernyataan Umar bin Abbdul Aziz ra., "Takwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan."

Inilah hakikat takwa menurut para ulama. Para ulama pun banyak yang menjelaskan ciri-ciri takwa. Di antaranya dengan mengutip pernyataan Imam Ali ra. Kata Imam Ali ra.

التقوى هي الخوف من الجليل، والعمل بالتنزيل، والقناعة بالقليل، والإستعداد ليوم الرحيل

Takwa itu adalah: (1) Al-Khawf min al-Jaliil (Memiliki rasa takut kepada Zat Yang Mahaagung [Allah SWT]); (2) Al-‘Amal bi at-Tanzîil (Mengamalkan apa yang telah Allah turunkan [al-Quran]); (3) Al-Qanaa’ah bi al-Qalîil (Merasa cukup dengan [harta] yang sedikit); (4) Al-Isti’daad li Yawm ar-Rahiil (Mempersiapkan bekal [amal] untuk menghadapi Hari Penggiringan [Hari Kiamat]) (Muhammad Shaqr, Daliil al-Waa’izh ilaa Adillath al-Mawaa’izh, 1/546).

Sisi Lain Orang Bertakwa

Selain itu, orang bertakwa memiliki sisi lain. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama: Makin zuhud terhadap dunia. Pertanyaannya: Apa itu zuhud? Imam Hanbali rahimahulLah berkata, “Zuhud itu ada tiga jenis. Pertama: Meninggalkan keharaman. Ini adalah zuhud orang awam. Kedua: Meninggalkan perkara mubah/halal yang tak bermanfaat. Ini adalah zuhud orang istimewa. Ketiga: Meninggalkan segala perkara yang menyibukkan dari upaya mengingat Allah SWT. Ini adalah zuhud orang arif (yang makrifat kepada Allah SWT, pen.).” (Ibnu al-Qayyim, Madârij as-Sâlikîn, II/14).

Kedua: Senantiasa bersemangat untuk bersaing dengan orang lain dalam perkara akhirat. Bukan dalam perkara dunia. Ini sebagaimana juga kata  Imam Hasan al-Bashri rahimahulLaah, “Jika engkau menyaksikan orang-orang berlomba/bersaing dalam urusan dunia, maka berlombalah/bersainglah dengan mereka dalam urusan akhirat. Sebabnya, dunia mereka itu bakal pergi, sementara akhirat itu kekal abadi.” (Imam Ahmad, Az-Zuhd, hlm. 1634).

Ketiga: Tetap istiqamah dalam beribadah kepada Allah SWT. Seorang yang bertakwa, misalnya, tak hanya rajin dan ber-mujahadah pada saat Ramadhan saja. Apalagi hanya pada sepuluh malam terakhir Ramadhan karena berharap keutamaan Lailatul Qadar. Sebaliknya, ia akan terus istiqamah beribadah dan ber-mujahadah meski di luar Ramadhan, sepanjang tahun. Terkait ini, seorang ulama berkata, “Bagi seorang arif (orang yang mengenal Allah SWT), setiap malam kedudukannya sama dengan Lailatul Qadar.” (Abu Thalib al-Makki, Quut al-Quluub, 1/119).

Maknanya, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Abu al-'Abbas rahimahulLaah, “Seluruh waktu kami adalah Lailatul Qadar. Artinya, ibadah kami setiap waktu senantiasa berlipat ganda.” (Abul Abbas, Iqazh al-Himam Syarh Matan al-Hikam, 1/62).

Keempat: Tidak menunda-nunda untuk melakukan amal shalih. Dalam hal ini Sufyan ats-Syauri rahimahulLaah pernah berkata, “Jika engkau berkeinginan untuk bersedekah, atau melakukan suatu kebajikan, atau beramal shalih maka segerakanlah untuk ditunaikan pada waktunya sebelum engkau dipisahkan dengan keinginan tersebut oleh setan." (Al-Ashbahani, Hilyah al-Awliyaa', 7/62).

Kelima: Makin peduli terhadap urusan Islam dan kaum Muslim. Sebabnya, dia sangat memahami Hadis Nabi saw. yang menyatakan, _“Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, dia tidak termasuk golongan mereka.” (HR ath-Thabrani, Al-Mu'jam al-Awsaath, 7/270; Al-Mundziri, At-Targhiib wa at-Tarhiib, 3/35).

Generasi salafush-shaalih begitu tinggi kepeduliannya terhadap Islam dan kaum Muslim. Salah satunya Imam al-Muhasibi rahimahulLaah. Kepeduliannya yang tinggi terhadap Islam dan kaum Muslim tercermin antara lain dalam kata-katanya,

“Demi Allah. Andai waktu bisa dibeli dengan uang, aku akan membelanjakan semua hartaku—tanpa merasa rugi—untuk membeli waktu agar aku bisa lebih leluasa melayani Islam dan kaum Muslim." (Ali bin Nayf asy-Syuhud, Al-Waqt wa Ahammiayatuhu fi Hayaah al-Muslimiin, 1/160).

Semoga semua poin di atas ada pada diri kita sehingga kita layak menyandang gelar muttaqiin.

Wa ma tawfiiqii illaa bilLaah, 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.[]

Hikmah Idul Fitri:

‏قال *الإمام الحافظ ابن رجب رحمه الله تعالى:
والإستغفار ختام الأعمال الصالحة كلها فيختم به الصلاة والحج وقيام الليل ويختم به المجالس...فكذلك ينبغي أن تختم صيام رمضان بالاستغفار

(إبن رجب، لطائف المعارف، ص ٢١٤)

Imam al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahulLaah berkata: "Istighfar adalah penutup segala amal shalih. Shalat, ibadah haji, qiyamullail sejatinya ditutup dengan istighfar. Majelis ilmu juga selayaknya ditutup dengan istighfar...Demikian pula shaum Ramadhan hendaknya ditutup dengan istighfar." (Ibnu Rajab, Lathaa'if al-Ma'aarif, hlm. 214).

Oleh: Arief B. Iskandar
Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor


Selasa, 03 Mei 2022

KH M. Shiddiq Al-Jawi: Khutbah dan Sholat Idul Fitri Itu Satu Rangkaian Hukum


Tinta Media - Founder Institut Muamalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan bahwa khutbah dan sholat Idul Fitri itu satu rangkaian hukum.

"Titik tolaknya, khutbah Idul Fitri itu merupakan satu cabang hukum atau satu rangkaian hukum dari sholat Idul Fitrinya itu sendiri," jelasnya pada Tinta Media, Selasa (3/4/2022).

Maka dari itu, waktu khutbah Idul Fitri itu tidaklah terpisah dari waktu Sholat Idul Fitri, melainkan mengikuti waktu sholat Idul Fitrinya itu sendiri. "Bukan bebas dilakukan kapan saja," tegasnya.

Memang para ulama tidak merinci secara eksplisit bahwa batas akhir untuk waktu khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur). Yang mereka jelaskan, memang hanya batas akhir untuk waktu Sholat Idul Fitri (dan Idul Adha), seperti misalnya yang diterangkan oleh Imam Syarbaini Khathib:

وأمَّا كون آخر وقتها- أي: صلاة العيد- الزوال، فمُتَّفق عليه ((مغني المحتاج)) (1/310).

Artinya: "Adapun batas akhir untuk waktu sholat Idul Fitri dan Idul Adha itu adalah waktu zawal (waktu awal Zhuhur), maka itu sudah disepakati ulama." (Syarbaini Khathib, _Mughni al-Muhtaj,_ 1/310). "Tetapi apakah, dari penjelasan para ulama itu, kita kemudian bebas berkhutbah Idul Fitri kapan saja?" Tanya Ustaz Shiddiq.

Kiai menjawabnya dengan memberi contoh, misalnya sholat Idul Fitrinya tanggal 1 Syawal, tapi kemudian berkhutbah Idul Fitri tanpa sholat tanggal pada 2 Syawal. Menurutnya, khutbah Idul Fitri tidak bisa bebas dilakukan kapan saja seperti itu, terlepas dari waktu sholat Idul Fitrinya. “Sesungguhnya khutbah Idul Fitri itu dari segi waktu, mengikuti waktu Sholat Idul Fitri, bukan bebas dilakukan kapan saja, misalnya tanggal 2 Syawal, atau tanggal 3 Syawal, atau tanggal 4 Syawal, atau tanggal 5 Syawal, dan seterusnya,” paparnya.

Dasar waktu khutbah Idul Fitri itu mengikuti waktu sholat Idul Fitri adalah kaidah fiqih yang berbunyi: At taabi’u taabi’un (perkara cabang itu hukumnya mengikuti perkara pokoknya). (M. Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, 2/158).

Dengan demikian, jika sudah sholat Idul Fitri pada tanggal 1 Syawal, tidak boleh hukumnya berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, meski hanya khutbah dan tidak mengulangi sholat Idul Fitrinya. Hal ini dikarenakan waktu Khutbah Idul Fitrinya sudah lewat, yakni paling lambat tanggal 1 Syawal pada waktu zawal, mengikuti waktu sholat Idul Fitrinya itu sendiri.

Jelaslah bahwa waktu khutbah Idul Fitri itu dari segi waktunya, mengikuti waktu Sholat Idul Fitri itu sendiri, bukan bebas dilakukan kapan saja. Maka, pendapat yang membolehkan berkhutbah Idul Fitri tanggal 2 Syawal, dengan dalih para ulama hanya menentukan batas akhir waktu untuk sholat Idul Fitri, tidak menentukan batas akhir untuk waktu khutbah Idul Fitri itu tidak benar.

“Pendapat tersebut sungguh tidak benar, karena pendapat itu telah memisahkan khutbah Idul Fitri dengan sholat Idul Fitrinya. Padahal khutbah Idul Fitri itu merupakan satu rangkaian hukum atau cabang hukum yang tidak terpisahkan dari pokok hukumnya, yaitu sholat Idul Fitrinya itu sendiri,” jelasnya.

Menurut Ustaz Shiddiq, pendapat tersebut juga berbahaya. Karena akan muncul konsekuensi logis ( muqtadha al qaul) berupa pendapat bolehnya khutbah Idul Fitri kapan saja, tidak hanya boleh pada tanggal 2 Syawal, tapi juga boleh pada tanggal 3, 4, atau 5 Syawal. Hal ini juga berlawanan dengan Sabda Rasulullah SAW: “Man ‘amila ‘amalan  laysa ‘alaihi amruna fahuwroddu.” Artinya, "Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka perbuatan itu tertolak." (HR Bukhari no. 2697; Muslim no. 1718).

“Tentu pendapat seperti ini adalah pendapat yang batil dan tidak ada nilainya menurut hukum syara',” tandasnya.[] Raras

Ini Alasan Tidak Boleh Sholat atau Berkhutbah Idul Fitri di Tanggal 2 Syawal


Tinta Media  - Menjawab pertanyaan boleh atau tidak seseorang yang sudah sholat Idul Fitri tanggal 1 Syawal, lalu sholat lagi, atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, Founder Institut Muamalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan tidak boleh sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal karena batas akhir adalah awal waktu zhuhur.

“Tidak boleh hukumnya sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena batas akhir sholat dan khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal itu,” tutur Ustaz Shiddiq kepada Tinta Media, Senin (2/4/2022).

Kiai menyampaikan dalil bahwa batas akhir sholat Idul Fitri adalah waktu zawal pada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Baihaqi:

عن أبي عُميرِ بنِ أنسِ بنِ مالكٍ، قال: حدَّثني عُمومتي، من الأنصارِ من أصحابِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قالوا: أُغْمَي علينا هلالُ شوال، فأصبحنا صيامًا، فجاءَ ركبٌ من آخِر النهار، فشهِدوا عندَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّهم رأوُا الهلالَ بالأمس، فأمَرَهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يُفطِروا، وأنْ يَخرُجوا إلى عيدِهم من الغدِ

Artinya: Dari Abu 'Umair bin Anas bin Malik RA, dia berkara, “Telah meriwayatkan kepadaku paman-pamanku dari golongan Anshar dari para shahabat Rasulullah SAW, bahwa mereka berkata, 'Telah tertutup awan bagi kami hilal Syawal, maka pada pagi harinya kami tetap berpuasa. Datanglah kemudian satu rombongan pada sore hari, dan mereka pun bersaksi kepada Nabi SAW bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk berbuka, dan juga memerintahkan untuk sholat Idul Fitri pada keesokan harinya." (HR Ahmad, no. 20.603; Al Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra, 3/316; hadits ini dinilai shahih oleh Imam Syaukani dalam As-Sailul Jarrar, 1/291; dan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 1348).

Ustaz Shiddiq menjelaskan hadits tersebut menunjukkan bahwa jika informasi rukyatul hilal datangnya pada waktu sore hari  (akhir an nahar), yakni berarti sudah melampaui waktu zawal (awal waktu Zhuhur), maka sholat Idul Fitrinya tidak dapat lagi dilaksanakan pada hari itu (tanggal 1 Syawal), melainkan dilaksanakan pada keesokan harinya (tanggal 2 Syawal). “Ini berarti batas akhir sholat Idul Fitri adalah tibanya waktu zawal (waktu awal Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal,” jelasnya.

“Demikianlah menurut kesepakatan (ijma') para ulama, yakni tak ada khilafiyah di antara mereka dalam masalah ini,” tambahnya.

Selain itu, Kiai juga menyampaikan pendapat beberapa ulama, diantaranya   Imam Ibnu Hazm berkata bahwa "Para ulama sepakat bahwa sejak matahari bersinar terang hingga zawal-nya matahari (awal waktu Zhuhur) adalah waktu " sholat Idul Fitri dan Idul Adha bagi penduduk kota." (Ibnu Hazm, Maratibul Ijma', hlm. 32).

Kemudian, menurut Ibnu Rusyd, para ulama sepakat bahwa waktu sholat Idul Fitri dan Idul Adha... adalah hingga waktu zawal (awal waktu Zhuhur)." (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1/229).

Begitu pula menurut Imam Syarbaini Khathib dan Imam Syaukani yang memiliki pendapat senada. Sehingga, dari kutipan-kutipan tersebut, jelaslah bahwa batas akhir waktu sholat Idul Fitri adalah tibanya waktu zawal (waktu awal Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal. “Jadi, kalau seseorang meyakini hari Ahad kemarin adalah tanggal 1 Syawal, maka tidak boleh pada hari Senin, yakni tanggal 2 Syawal, dia sholat atau berkhutbah Idul Fitri,” paparnya.

“Yang demikian itu karena berarti dia telah sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada waktu yang telah melampaui waktu yang disyariatkan, yaitu sejak matahari bersinar terang (waktu Dhuha) hingga waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal,” lanjutnya.

Namun demikian, menurut kiai Shiddiq ada kecuali jika dia memperoleh info rukyatul hilal yang datang terlambat melampaui waktu zawal (waktu awal Zhuhur) tanggal 1 Syawal. “Misal pukul 14.00 WIB atau pukul 17.00 WIB tanggal 1 Syawal, maka dia boleh sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal,” terangnya.

Disampaikan dalil kebolehannya adalah hadits dari Abu 'Umair bin Anas bin Malik RA di atas, bahwa Nabi SAW memperoleh kesaksian rukyatul hilal baru pada sore hari tanggal 1 Syawal. Maka kemudian Nabi SAW lalu memerintahkan untuk berbuka saat itu juga, dan juga memerintahkan untuk sholat Idul Fitri pada keesokan harinya (tanggal 2 Syawal). (https://dorar.net/feqhia/1716/).

“Kesimpulannya, tidak boleh hukumnya sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena batas akhir sholat dan khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal,” pungkasnya.[] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab