Tinta Media: Idul Adha
Tampilkan postingan dengan label Idul Adha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Idul Adha. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 Juni 2023

Perbedaan Penetapan Idul Adha Akibat Tidak Adanya Pemimpin Islam

Tinta Media - Salah satu hari raya besar umat Islam adalah hari raya Idul Adha, yaitu memperingati peristiwa ketika Nabi Ibrahim as. diperintah oleh Allah Swt. untuk menyembelih putranya, yaitu Nabi Ismail as.

Nabi Ibrahim as. bersedia mengorbankan putranya sebagai bentuk ketaatan terhadap Tuhan Sang Pencipta alam semesta, yaitu Allah Swt. Begitu pun dengan putra-nya, Nabi Ismail as. Nabi Ismail menyetujuinya, tetapi kemudian Allah Swt. menggantikannya dengan domba. 

Umat Islam di seluruh dunia merayakannya setiap tahun, dengan cara menunaikan salat Ied di pagi hari, kemudian dilanjutkan dengan menyembelih hewan kurban dan dibagikan kepada masyarakat sekitarnya. 

Perayaan Idul Adha bertepatan dengan pelaksanaan ibadah haji di tanah suci dan yang berkesempatan melaksanakan ibadah haji, berkurban adalah salah satu bagian dari prosesi haji. Di Indonesia dan negara lain, tanggal 10 Dzulhijah adalah parayaan Idul Adha.

Penentuan hari raya Idul Adha 1444 H di Indonesia sudah ditetapkan oleh Kementrian Agama, yaitu jatuh pada hari Kamis, 29 Juni 2023. Berdasarkan hisab, posisi hilal di seluruh Indonesia sudah di atas ufuk dan tidak memenuhi kriteria Mabims, sidang isbat pemufakatan 1 Zulhijah tahun 1444 H, jatuh pada selasa, tanggal 20 juni 2023, sehingga Idul Adha jatuh pada hari Kamis, 29 juni 2023.

Menurut Wakil Mentri Agama Zainut Tauhid Sa'adi, keputusan pemerintah berbeda dengan ormas Islam Muhammadiyah yang menetapkan bahwa tanggal 1 Zulhijah 1444 H jatuh pada 19 juni 2023, sehingga Hari Raya Idul Adha jatuh pada tanggal 28 Juni 2023. 

Perbedaan penetapan hari raya besar bagi umat Islam, sebenarnya sudah sering terjadi, antara pemerintah dan ormas Islam. Salah satunya adalah Muhammadiyah. Menurut Muhammadiyah, penetapan Hari Raya Idul Adha ini berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh tarjih dan tarjdid PP Muhammadiyah. Hal ini telah ditandatangani oleh Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir beserta sekertarisnya, Mohammad Sayuti, pada 21 januari 2023 lalu di Yogyakarta tentang penetapan hasil hisab ramadhan, Syawal dan Zulhijah. Ini tertuang dalam maklumat, Muhammadiyah Nomor 1/MLM/1.0/E/2023.

Sementara, Pemerintah dan NU menggelar rukyatul hilal yang merupakan salah satu rujukan dalam penetapan waktu Idul Adha. Pihaknya akan menggelar rukyatul hilal di 99 lokasi, sementara sidang isbat dilakukan pada hari Minggu, 18 juni 2023.

Perbedaan pendapat atau khilafiyah pada penentuan perayaan Idul Adha sebenarnya tidak ada. Seluruh ulama madzhab telah sepakat untuk mengamalkan rukyat yang sama, yaitu rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal Zulhijah yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Rukyat ini berlaku untuk umat Islam di seluruh dunia.

Alhasil, kaum muslimin di seluruh dunia senantiasa akan merayakan Idul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh banyak pihak yang mustahil sepakat bohong), sejak masa kenabian dan diteruskan pada masa Khulafaurrasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin hingga masa sekarang.

Indonesia adalah salah satu negara yang tidak mengikuti Hijaz dalam ber-Idul Adha, sebab Idul Adha di Indonesia jatuh pada hari Tasyrik (11 Zulhijah), bukan hari penyembelihan kurban (yaumun-nahr), pada 10 Zulhijah. Padahal, seharusnya umat Islam di seluruh dunia wajib serentak merayakan Idul Adha pada saat jemaah haji sedang melakukan penyembelihan hewan kurban dan juga ketika jemaah haji sedang melakukan wukuf di Padang Arafah, yaitu hari ke-9 Zulhijah.

Disunahkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji untuk berpuasa sunnah, sementara hari arafah itu satu, tidak boleh berbilang. Jadi, sangat tidak mungkin apabila merayakan Idul Adha sekaligus melakukan salat Ied pada saat jemaah haji sudah memasuki awal Hari Tasyrik.

Kewajiban kaum muslimin untuk ber-Idul Adha juga ber-Idul Fitri pada hari yang sama, telah ditunjukan oleh banyak nas syarak. Sehingga, di masa Rasulullah saw. dan para khulafaurrasyidin, juga pada masa ke khilafahan bani Ummayah, bani Abbassiyah, dan Turki Utsamani, perayaan Idul Adha maupun perayaan Idul Fitri dirayakan pada hari yang sama.

Sementara, setelah runtuhnya kepemimpinan Islam yang memimpin umat Islam di seluruh dunia, banyak sekali perbedaan termasuk dalam penetapan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Begitulah pentingnya pemimpin dalam Islam, yang akan mempersatukan seluruh umat Islam dunia, menghilangkan sekat-sekat di antara kaum muslimin. Seorang pemimpin dalam Islam yang menegakan Islam secara kaffah akan mencegah berbagai perbedaan yang akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam, menjaga dan melindungi umat dari berbagai kezaliman, menuntun umat pada jalan yang diridai-Nya, agar selamat dunia dan akhirat. Wallahu'alam bisshawab.

Oleh: Enung Sopiah
Sahabat Tinta Media 

Selasa, 27 Juni 2023

Bantahan Syari'e, Idul Adha Hanya Manut Saja Ke asal Penguasa

Tinta Media - Makna Hadits “Iedul Adlha Adalah Hari Ketika Umat Manusia Menyembelih Korban”

Imam Tirmidziy menuturkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda: 

اَلْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَاْلأَضْحى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ

“Idul Fitri adalah hari saat umat manusia berbuka, dan Idul Adlha adalah hari ketika umat manusia menyembelih kurbannya.” [HR. Imam Tirmidzi dari ‘Aisyah ra]

Imam Tirmidzi juga meriwayatkaadits Nabi SAW dengan lafadz berbeda :

اَلصَّوْمُ يَوْمَ يَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحى يَوْمَ يُضَحُّوْنَ

“Berpuasa (Ramadlan) adalah saat mereka berpuasa, Idul fitri adalah saat mereka berbuka, dan Idul Adlha adalah saat mereka menyembelih (hewan kurban).” [HR. Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah ra]

Sebagian orang berdalil dengan hadits ini, bahwa penetapan hari Iedul Adlha harus disandarkan kepada ketetapan yang digariskan pemerintah negara bangsa.  Masih menurut mereka, apabila mayoritas masyarakat –berdasarkan ketetapan pemerintah—ber-Iedul Adlha pada hari Selasa, misalnya, maka hari Iedul Adlha juga jatuh pada hari Selasa. Pendapat seperti ini keliru dan tidak tepat.  Sebab, ia belum mengakomodir keseluruhan hadist yang berbicara tentang Iedul Adlha dan puasa ‘Arafah.   Bantahan atas pendapat ini adalah sebagai berikut:

Pertama, ‘ulama menegaskan bahwa yang dimaksud hadits di atas adalah berpuasa dan berbuka mengikuti mayoritas kaum Muslim.  Adapun yang dimaksud “mayoritas kaum Muslim” tidak hanya mayoritas kaum Muslim yang hidup dalam sebuah negara bangsa (nation state).  Mayoritas kaum Muslim di sini adalah keseluruhan kaum Muslim yang hidup di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.  Hanya saja, sejak tahun 1924, kaum Muslim tidak lagi memiliki pemimpin tunggal (amirul mukminin) yang bisa menyatukan kaum Muslim serta melenyapkan khilaf di tengah-tengah kaum Muslim.  Namun, ketiadaan Khilafah tentu tidak bisa dijadikan alasan untuk berpuasa mengikuti mayoritas kaum Muslim di sebuah negara bangsa saja, atau mengikuti ketetapan penguasa negara-negara bangsa,  tanpa memperhatikan kaum Muslim di negeri-negeri lain.  Bukankah seluruh kaum Muslim di dunia adalah satu dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain? Di samping itu kata al naas termasuk lafadh umum, yang seluruh manusia yang tidak dibatasi dengan wilayah, bangsa, ras, negara, dan warna kulit tertentu.

Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Thabraniy:

يَوْمُ عَرَفَةَ يَوْمُ يُعرِّفُ الإِمَامُ، وَالأَضْحَى يَومَ يُضَحِّى الإمَامُ، والفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ الإِمَامُ

“Bahwa hari Arafah (yaitu tanggal 9 Dzulhijjah) itu adalah hari yang telah ditetapkan oleh Imam (Khalifah), dan hari berkurban itu adalah saat Imam (Khalifah) menyembelih kurban.” [HR. Thabrani dalam kitab al-Ausath, dengan sanad hasan].

Tentu yang dimaksud imam di sini adalah Khalifah, Amirul Mukminin, atau Imam.  Sebab, lafadh imam jika digunakan dalam bentuk muthlaq, harus dimaknai dengan Khalifah atau Amirul Mukminin.  Imam Nawawiy menyatakan:

والمراد بالامام الرئيس الاعلى للدولة، والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا. والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا. ويرى ابن حزم أن الامام إذا أطلق انصرف إلى الخليفة، أما إذا قيد انصرف إلى ما قيد به من إمام الصلاة وإمام الحديث وإمام القوم.

Yang dimaksud dengan Imam adalah pemimpin tertinggi negara.  Imamah, Khilafah, dan Imaratul Mukminin adalah sinonim.  Yang dimaksud Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kata “al-Imam”, jika disebut, maka pengertiannya dipalingkan kepada al-khalifah. Adapun jika disebut dengan taqyid (pembatasan) maka maknanya adalah sesuai dengan batasan tersebut, misalnya, imam sholat, imam al-hadits, dan imam suatu kaum.”. [Imam An Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 19/191]

Kedua, syariat Islam mengkaitkan kaum Muslim yang tengah wukuf di ‘Arafah dengan kaum Muslim di seluruh dunia yang tidak melaksanakan manasik haji.  Hal ini menunjukkan bahwa kaum Muslim di seluruh dunia terhubung satu dengan yang lain, dan merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisah-pisahkan, termasuk dalam urusan penetapan puasa ‘Arafah dan Iedul Adlha.  Rasulullah saw melarang puasa ‘Arafah bagi jama’ah haji yang berada di padang ‘Arafah, dan menyunahkan berpuasa bagi orang yang tidak melaksanakan manasik haji.  Imam Abu Dawud menuturkan:

  أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَةَ
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada hari Arafah (bagi jamaah haji yang ada) di padang Arafah.” [HR. Imam Abu Daud, Nasa`i, dan Ibnu Khuzaimah].

Imam Ibnu ‘Abdil Barr di dalam kitab al-Tahmid menukilkan adanya ijma’ ulama atas disyariatkan puasa ‘Arafah bagi kaum Muslim yang tidak melaksanakan manasik haji di Mekah.[Al-Tamhid, Juz 21/164].  Di dalam kitab al-Ifshaah, juz 3/170 dinyatakan:

وقد اتَّفقت المذاهبُ الفِقهيةُ الأربعةُ (الحنَفيةُ، والمالكيَّة، والشافعيَّة، والحنابِلةُ) على استحبابِ صومِ يومِ عَرفةَ، وممَّن نقَل الاتِّفاقَ على ذلك: ابنُ هُبيرةَ؛ قال: "واتَّفقوا على أنَّ صومَ يومِ عَرفةَ مُستحبٌّ لمَن لم يكُنْ بعرَفةَ"

“Madzhab-madzhab fikih yang empat (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) sepakat atas sunnahnya puasa hari ‘Arafah.  Dan di antara orang yang menukilkan (meriwayatkan) adanya kesepakatan dalam masalah ini adalah Ibnu Hubairah.  Beliau berkata, “Mereka sepakat bahwa puasa hari ‘Arafah disunnahkan bagi orang yang tidak berada di ‘Arafah”.

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat :

أَنَّ عُمَيْرًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ الْفَضْلِ - رضى الله عنها - تَقُولُ شَكَّ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى صِيَامِ يَوْمِ عَرَفَةَ وَنَحْنُ بِهَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَرْسَلْتُ إِلَيْهِ بِقَعْبٍ فِيهِ لَبَنٌ وَهُوَ بِعَرَفَةَ فَشَرِبَهُ.

“Sesungguhnya, ‘Umair, maulanya Ibnu ‘Abbas ra, telah menuturkan bahwasanya ia mendengar Ummu al-Fadl ra berkata, “Para shahabat Nabi saw ragu dalam puasa hari ‘Arafah, sedangkan kami sedang di ‘Arafah bersama Rasulullah saw.  Lalu, aku mengirimkan kepada beliau saw gelas besar yang berisi susu, sedangkan beliau saw saat itu di ‘Arafah.  Lalu beliau meminumnya”. [HR Imam Muslim].

Imam Asy Syafi’iy dalam Musnadnya menuturkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

فطركم يوم تفطرون و أضحاكم يوم تضحون و عرفة يوم تعرفون

“Hari Iedul Fithriy kalian adalah hari saat kalian berbuka, dan Iedul Adlha kalian adalah hari saat kalian menyembelih korban, sedangkan hari ‘Arafah adalah hari saat kalian melaksanakan wuquf di Arafah”.[HR Imam Syafi’iy dan Imam Baihaqiy dari ‘Atha’ secara mursal]  Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Asy Syafi’iy dalam Kitab al-Umm, Juz 1/230; Imam Baihaqiy, Juz 5/176, hadits no:9610. 

Di dalam Kitab Faidl al-Qadiir, juz 4/441, Imam al-Munawiy berkata, “al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Imam Tirmidziy meriwayatkan hadits ini dan menggharibkannya.  Imam Daruquthniy menshahihkannya dari ‘Aisyah ra, dan memarfu’kannya dan meluruskan kesamarannya”.

Imam Daruquthniy menuturkan sebuah riwayat dari ‘Abd al-‘Aziiz bin ‘Abd Khalid bin Usaid, bahwasanya ia berkata:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يوم عرفة اليوم الذي يعرف الناس فيه
“Rasulullah saw bersabda, “Hari ‘Arafah adalah hari saat manusia melaksanakan wuquf di ‘Arafah”. [HR Imam Daruquthniy dalam sunannya; Imam Baihaqiy dalam al-Sunan al-Kubra, dan beliau berkata, “Hadits ini mursal jayyid, Imam Abu Dawud mengeluarkannya dalam Kitab al-Maraasiil]

Ketiga, para ‘ulama telah menggariskan sebuah kaedah “mengamalkan dua dalil lebih utama dibandingkan mengabaikan salah satunya”.   Hadits yang bertutur tentang puasa 9 Dzulhijjah dan puasa ‘Arafah bisa dipadukan dengan cara bahwa yang dimaksud puasa tanggal 9 Dzulhijjah adalah puasa ‘Arafah saat jama’ah haji melaksanakan wuquf di ‘Arafah.  Jika puasa ‘Arafah dimaknai puasa tanggal 9 Dzulhijjah, tanpa harus dikaitkan dengan wuqufnya manusia di ‘Arafah, niscaya ia akan menelantarkan hadits-hadits yang mengkaitkan puasa 9 Dzulhijjah dengan wuquf ‘Arafah.  Adapun jika puasa ‘Arafah dimaknai dengan puasa tanggal 9 Dzulhijjah saat jama’ah haji sedang wuquf di ‘Arafah, maka kompromi seperti ini bisa memadukan dalil-dalil yang berbicara tentang puasa ‘Arafah, 9 Dzulhijjah, dan lain sebagainya.   Dengan demikian, puasa ‘Arafah dan Iedul Adlha wajib ditetapkan berdasarkan manasik haji di Mekah, dan hal itu mengikat seluruh kaum Muslim di seluruh dunia tanpa terkecuali.  

Inilah pendapat yang lebih kuat, mengumpulkan semua hadits, menyatukan kaum Muslim, serta tidak memperkokoh negara-negara bangsa yang dilarang di dalam Islam, serta mengarahkan umat Islam untuk mewujudkan kembali Khilafah Islamiyyah yang dipimpin seorang Imam atau Khalifah.

Oleh: Ustadz Syamsudin Ramadhan
Cendekiawan Muslim

Rabu, 21 Juni 2023

Sambut Idul Adha dengan Ketaatan Sepenuh Jiwa

Tinta Media - Dalam hitungan hari kita akan segera memasuki bulan Dzulhijjah. Umat Islam pada tanggal 10 Dzulhijjah akan merayakan hari raya Idul Adha. Meskipun pandemi telah berlalu, Idul Adha tahun ini akan dirayakan saat bangsa dirundung oleh ragam ujian dan nestapa.

Di kalangan elit politik tampak nyata hasrat dan nafsu untuk saling berebut jabatan dan terus mempertahankan kekuasaan. Menyambut tahun politik 2024 aroma pemilu lebih didominasi oleh ego pribadi, kehendak golongan, dan kepentingan partai. 
Memperebutkan kursi empuk kekuasaan masing-masing, siap mengorbankan apa saja, demi meraih jabatan dan kekuasaan yang diinginkan.

Di saat yang sama, rakyat terus ditimpa nestapa yang tiada berkesudahan. Meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan, harga kebutuhan pokok yang terus meningkat, serta tingginya angka kriminalitas, bahkan masalah moral anak bangsa yang terus tergilas, masih menjadi masalah yang tak kunjung ada solusi tuntas.

Ironisnya semua masalah kesempitan ekonomi yang dialami oleh rakyat di negeri ini, terjadi di tengah berlimpahnya kekayaan alam negeri ini. Namun, semua kekayaan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, bukan rakyat di negeri kita. Terbukti sistem ekonomi kapitalis membawa rakyat pada jurang nestapa.

Nestapa yang terjadi saat ini memang tidak harus diratapi, tetapi mencari solusi hakiki dari Allah Yang Maha Suci. Sehingga dalam menyambut Idul Adha tahun ini, hendaklah kita bisa mengambil hikmahnya. Kita jadikan momen Idul Adha ini sebagai intropeksi diri untuk menjadi umat yang bisa meraih ketaatan sepenuh jiwa. Sebagaimana yang telah Nabi Ibrahim contohkan.

Sudah tertulis dalam Al-Qur’an, selain Rasulullah SAW. yang wajib kita amalkan seluruh ajarannya dan semua nasihatnya, ada sosok penting lain yang tidak bisa dipisahkan dari momen Idul Adha yakni Nabiyullah Ibrahim a.s. dan putranya Ismail a.s. Kisah Ibrahim dengan sepenuh keimanan tanpa keraguan menunaikan perintah Allah. Menyembelih putra tercinta Ismail, kedua hamba yang saleh itu tersungkur dalam ketaatan total dan kepasrahan kepada Allah SWT. Contoh terbaik dalam ketaatan kepada Allah ini kemudian diabadikan menjadi bagian dari ritual Idul Adha, yaitu berkurban dan pelaksanaan ibadah haji.

Ketika perintah itu berasal dari Allah SWT. Nabi Ibrahim dengan patuh dan taat melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah. Tanpa protes apalagi melakukan penolakan, bahkan ketika setan berusaha menggagalkan proses penyembelihan, justru Nabi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar berupaya menghalau dan mengusir setan itu dengan melempari setan memakai batu. Ini yang kemudian dijadikan ritual melempar jumrah oleh jamaah haji.

Ketaatan sepenuh jiwa dan raga kepada Allah ini, seharusnya menjadi teladan bagi seluruh umat Muslim. Agar bersegera melakukan ketaatan secara totalitas. Menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. Ketika Allah memerintahkan untuk melakukan ketaatan berdasarkan syariat Islam, maka bersegeralah untuk melaksanakan. Jika Allah mengharamkan sesuatu segera tinggalkan. Jika Allah memerintahkan untuk menerapkan hukum-hukum-Nya maka tidak ada kata lain yang terucap dari lisan kita kecuali ungkapan sami’na wa atho’na, kami dengar dan kami taat. Sehingga aturan dan hukum Allah SWT. Bisa diterapkan secara kaffah di muka bumi. Berkorban dan berjuang agar Islam kaffah segera diterapkan.

Jika kita bisa bersegera dan bisa memenuhi perintah berkurban, maka semestinya kita lebih bisa bersegera dalam menerapkan syariat Islam secara kaffah, sebagai wujud ketaatan kita kepada Allah SWT.
Karena itu pada peringatan Idul Adha kali ini, selayaknya kita sebagai umat Islam bisa mengambil ibrah dari keteladanan Nabi Ibrahim, yang mempunyai cinta, ketaatan, dan pengorbanan yang besar kepada Allah SWT. yang kemudian diteruskan secara istimewa kepada Nabi Muhammad, dengan kadar yang istimewa. Beliau menjadi uswatun hasanah untuk umat manusia.

Oleh karena itu marilah sambut Idul Adha dengan persiapan ketakwaan sepenuh jiwa. Meneladani Nabiyullah Ibrahim Alaihissalam dan Nabi Muhammad SAW. Mari kita hadapi segala masalah yang terjadi di negeri kita saat ini dengan totalitas ketakwaan kepada Allah SWT. Menjadi pengemban dakwah Islam kaffah. Kita songsong kembali masa depan peradaban umat manusia di bawah naungan Islam. Sehingga akan menghadirkan keridaan Allah SWT. Wallahu’lam bishawab.[]

Oleh: Isty Da’iyah
Analis Mutiara Umat Institute

Kamis, 30 Juni 2022

PENENTUAN IDUL ADHA WAJIB BERDASARKAN RUKYATUL HILAL PENDUDUK MAKKAH

Tinta Media - “Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.

Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia.Karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.

Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata: “Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :

“Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,’Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)

Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru’yat.

Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah), harus ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya. Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum Muslim, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada Yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.

Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata : 

“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).

Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi’i berkata, “Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah haji.”

Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum Muslim. Sebab, jika disyari’atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (=hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.

Hal ini juga tersirat dalam Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 189:

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”

Dalam ayat diatas, Allah seakan sengaja menampakkan bahwa munculnya hilal (bulan sabit) adalah tanda permulaan dimulainya ibadah haji. Ibadat haji berada dimana? Ibadat haji berpusat di Ka’bah, Makkah. Jadi, dalam melihat hilal untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah, maka kita harus berpedoman terhadap hilal yang berada di Makkah, tempat Ka’bah berada; sebab pelaksanaan Puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) serta Idul Qurban (tanggal 10 Dzulhijjah) berkaitan erat dengan ritual ibadah haji. Lagipula, saya belum melihat satu hadits pun yang mengatakan bahwa jika kita melihat hilal pada akhir bulan Dzulqa’dah dimanapun kita berada, maka keesokan harinya kita boleh mulai berhaji. Ini berbeda dengan penentuan awal dan akhir Ramadhan, dimana hadits yang menyiratkan tentang hal itu ada.

Berkiblat ke Ka’bah dalam beribadah dan suatu urusan sebenarnya juga merupakan anjuran dari Allah swt. Firman Allah:

Orang-orang yang kurang akalnyadiantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".{QS. 2:142}

Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. {QS. 5:97}

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. {QS. 3:96-97}

Oleh: KH Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab