Tinta Media: Identitas
Tampilkan postingan dengan label Identitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Identitas. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 November 2022

IJM: Larangan Politik Identitas Tertuju Pada Islam

Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardhana menilai bahwa larangan politik identitas ditujukan pada Islam.

“Larangan politik identitas ditujukan pada Islam. Istilahnya kalau membawa politik identitas apalagi konteks Islam dalam politik itu dianggap menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat,” tuturnya dalam Justice Monitor Bergerak Bersama Rakyat: Menguak di Balik Seruan Larangan Politik Identitas, Kamis (3/11/2022) di kanal Youtube Justice Monitor. 

Himbauan tidak melakukan politik identitas menjelang 2024 (pemilihan capres-cawapres), diungkapkan oleh Agung bahwa politik identitas itu dimaknai sebagai nuansa agama atau suku atau ras masuk ke dalam politik dan dianggap akan bisa menimbulkan perpecahan.

“Istilah politik identitas kini sering didengungkan dengan narasi yang dibangun bernada buruk, tercela, negatif, dan cenderung harus dijauhi, bahkan ada yang berpendapat bahwa politik identitas yang berbasis agama hanya untuk merusak tatanan kerukunan dan harmonisasi umat beragama,” ungkapnya 

Menurutnya, anggapan tersebut ditujukan pada Islam dengan alasan sebagai kelompok mayoritas akan merasa memiliki hak istimewa dari kelompok lainnya yang dianggap minoritas.

“Ketika nanti politik Islam itu dikedepankan seperti ada penindasan mayoritas kepada minoritas. Itu logika yang didengung-dengungkan oleh rezim hari ini, termasuk para pendukungnya,” bebernya.
 
“Bila ditelaah mungkin identitas yang dimaksudkan adalah Islam,” tegasnya. 

Islam sebagai mayoritas di negeri ini dan perkembangan politik Islam mulai bangkit menjadikan alasan Islam sedang memainkan politik identitas ketika orang yang membawa agama lagi konteks Islam adalah politik. “Begitu pula saat ada orang yang menyerukan penerapan syariah Islam untuk kemaslahatan bersama itu sering dimaknai sebagai puritan, sebagai pemikiran yang memecah belah bangsa,” katanya.

“Hal lain saat orang yang menyampaikan ajaran Islam tentang haram memilih pemimpin kafir, itu akan bisa dituduh pula tengah menggunakan politik identitas,” lanjutnya. 

Ia menguraikan dampak ke depannya dari hal tersebut. “Mungkin ada kekuatan dan tokoh Islam lain terlihat tidak berani muncul karena khawatir jadi sasaran kampanye anti politik identitas. Padahal mereka bukan bagian dari politik identitas yang sering dituduhkan anti kebhinekaan dan menyerupai perpecahan,” urainya. 

Menurutnya, stempel politik identitas ini adalah tuduhan yang sengaja untuk menyamaratakan seolah Islam sama dengan politik identitas yang mengajak kepada perpecahan. “Padahal sebenarnya bukan seperti itu,” tuturnya. 

Politik Islam

Ia memaparkan bahwa politik Islam adalah politik yang justru mengedepankan persatuan dan keadilan. Hanya saja persatuan hari ini belum menyampaikan pandangan-pandangan Islam.

“Begitu ada orang muslim menunjukkan jati diri muslimnya, dianggaplah kemudian ide-ide puritan, ide-ide yang membangun disharmoni. Ini persoalan, menurut saya ada pemikiran, ada problem pikiran, mindset yang cenderung sudah tertutup,” ujarnya. 

Kampanye-kampanye tersebut (ide-ide puritan, ide-ide yang membangun disharmoni) menurut Agung, menyebabkan kekutaan-kekuatan politik Islam semakin memudar.

“Karena orang Islam jadi ragu menunjukkan identitas Islamnya, termasuk ragu untuk menyampaikan pandangan tentang syariat Islam yang rahmatan lil’alamin, ditambah dengan kekuatan media sosial maka semakin terfragmentasi kekuatan politik dan tokoh Islam,” ungkapnya. 

Ia pun membeberkan bahwa ada tokoh Islam yang istiqamah menyampaikan Islam tetapi ada pula pihak-pihak lain dengan alasan strategilah atau dengan alasan pendekatan yang lebih pas sehingga  cenderung menghilangkan identitas-identitas Islamnya.
 
“Menghilangkan opini-opini pandangan tentang Islam sehingga terjadilah perpecahan, maka wajar jika ada potensi kekuatan politik Islam dan tokoh Islam muncul maka langsung diserang dengan berbagai isu politik untuk meredam kekuatan Islam tersebut,” bebernya. 

Ia mengkritisi bahwa wajar belaka ketika pandangan masyarakat menyatakan tujuan politik identitas itu hanya ditujukan kepada umat Islam yang memperjuangkan ajaran agamanya.

“Nyaris tidak terdengar tudingan politik identitas yang bernada menyudutkan pihak selain Islam, itu jarang sekali atau suku itu jarang sekali,” kritiknya. 

Kondisi hari ini politik identitas ditempatkan untuk kepentingan pragmatis dalam kepentingan capres-cawapres. Ia menyampaikan bahwa ruang capres-cawapres yang sekarang ada itu dalam ruang sistem kapitalisme yang mengarah pada oligarki juga.

“Jadi peluang setiap capres, siapa pun dia dalam lingkaran sistem kapitalisme itu, pasti tidak bisa mengelak dari kepentingan-kepentingan politik,” ucapnya. 

Berbeda dengan politik Islam yang hakikatnya adalah pengurusan umat berdasarkan kebenaran dan keadilan Islam.

“Islam telah menjadikan politik atau siyasah sebagai sarana untuk mewujudkan terlaksananya perintah Allah dan Rasul-Nya. Politik bagi umat Islam merupakan bagian dari aktivitas dakwah dalam upaya memperjuangkan Islam agar terjadi implementasi perintah Allah dan Rasul-Nya,” paparnya. 

“Saya sebagai muslim mengajak umat Islam secara keseluruhan hari ini, selayaknya kita bicara tentang Islam, tentang politik Islam, tentang riayah ummah, pengaturan urusan umat dengan Islam,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Rabu, 09 November 2022

MELAWAN POLITIK IDENTITAS BERSENJATA IDENTITAS POLITIK

Tinta Media - Identitas berasal dari kata identity yang artinya memiliki tanda, ciri atau jati diri yang melekat pada suatu individu, kelompok atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Identitas menurut Stella Ting Toomey merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita.


Identitas diri di Indonesia ditandai dengan apa yang melekar dalam dirinya juga ditandai dengan kartu identitas seperti KTP, ijazah, SIM, akta lahir, paspor, visa, kartu anggota dan sejenisnya. Dalam kartu identitas biasanya tercantum data diri seperti nama, tanggal lahir, tempat asal, tempat tinggal, agama, golongan darah dan kewarganegaraan. Artinya, secara sederhana hal-hal terkait primordial adalah identitas. Dengan demikian, tidak mungkin orang atau organisasi tak beridentitas. Bahkan, orang yang mengaku tak beridentitas adalah identitasnya ya tak beridentitas itu.

 

Dengan demikian setiap individu atau kelompok pasti memiliki identitas, apalagi partai atau ormas. Secara filosofis, identitas politik sama artinya dengan politik identitas. Jika ada orang yang teriak-teriak mau melawan politik identitas artinya dia sedang menggunakan identitas politiknya. Dalam bahasa jawa : yo podo wae. Jadi terasa aneh jika orang hendak melawan politik identitas, padahal pada saat yang sama dia juga sedang menggunakan politik identitas. Bisa jadi orang yang berpolitik dengan identitas Islam dilawan dengan politik dengan identitas kebangsaan, keduanya sama-sama identitas politik atau politik identitas.

 

Demokrasi sekuler adalah identitas politik dan politik identitas, yakni orang atau partai yang beridentitas tanpa agama. Jika agama adalah identitas, maka tak beragama juga identitas. Ormas yang anti agama dalam berpolitik adalah ormas yang memiliki identitas anti agama. Sebab saat ormas itu anti agama, sementara secara pribadi beragama, maka sesungguhnya dia sedang menjadikan ajaran agama sebagai pijakan pikirannya. Mungkin dalam pikiran dia, bahwa agama adalah urusan pribadi, bukan urusan publik, nah itulah identitas dia.

 

Adalah absurd dan pembodohan publik saat seorang tokoh teriak-teriak anti politik identitas, sementara dirinya sedang meneriakkan identitas politiknya. Teriakan anti politik identitas adalah teriakan identitas politik. Tanpa dia sadari, teriakannya adalah teriakan politik. Melawan politik identitas adalah bentuk perlawanan politik dengan senjata identitas politik. Padahal jika dia paham soal tata negara, maka identitas politik dan politik identitas yang merujuk kepada dasar-dasar normatif tidaklah terlarang sama sekali. Tak ada satupun pasal yang melarang identitas politik maupun politik identitas. Yang ada justru sebaliknya, semua partai di negeri ini memiliki identitasnya masing-masing. Identitas politik sama artinya dengan politik identitas.

 

Dalam sejarah pemilu di negeri ini selalu diramaikan dengan partai politik yang memiliki identitas. Sistem pemerintahan liberal berlaku antara tahun 1949 sampai 1959 ditandai dengan tumbuhnya partai politik dan berlakunya kabinet parlementer. Beberapa partai dengan identitasnya masing-masing yang muncul pada masa itu diantaranya : Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

 

Partai lainnya adalah : Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Buruh, Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS), Partai Rakyat Indonesia (PRI), Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI), Murba, Baperki, Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro, Grinda, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai), Persatuan Daya (PD), PIR Hazairin 114.644 0,30 1 23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI), AKUI, Persatuan Rakyat Desa (PRD), Partai Republik Indonesia Merdeka (PRIM) dan Angkatan Comunis Muda (Acoma).

 

Namun jika yang dimaksud politik identitas adalah dilarangnya Islam sebagai motivasi, inspirasi dan ideologi perjuangan partai, maka istilah politik identitas adalah sebuah kejahatan intelektual sekaligus diskriminasi atas Islam politik. Sebab secara filosofis, partai nasionalis adalah politik identitas. Partai nasionalis religius adalah politik identitas. Lantas kenapa, politik identitas secara tendensius hanya disasarkan kepada Islam politik atau politik Islam. Secara umum identitas politik hanya didasarkan oleh tiga ideologi yang akan melahirkan politik identitas, pertama kapitalisme sekuler, kedua komunisme ateis dan ketiga Islam.

 

Karena itu, teriakan akan melawan politik identitas adalah sia-sia belaka, karena tak ada pijakan intelektualitasnya. Secara praksis, teriakan perlawanan ini hanya akan melahirkan kegaduhan tersendiri, jika tidak hendak dikatakan hanya sebatas dagelan politik belaka. Coba lihat, disaat kampanye tiba, simbol-simbol Islam seperti kerudung, peci, tasbih akan laris dibeli para calon untuk mengidentikkan dirinya sebagai muslim dan berpihak kepada muslim.

 

Padahal sebelumnya mereka adalah para pembenci Islam, sebelumnya juga tidak pernah menggunakan atribut itu. Setelah jadi, maka atribut muslim akan dibuang dan kembali memusuhi Islam. Begitulah politik identitas demokrasi yang hanya menjadi ajang perjudian para oligarki, sementara muslim hanya menjadi sasaran dan sapi perah belaka.

 

(AhmadSastra,KotaHujan,01/11/22 : 11. 23 WIB)

 Dr. Ahmad Sastra Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Rabu, 02 November 2022

IDENTITAS POLITIK ATAU POLITIK IDENTITAS?

Tinta Media - Identitas berasal dari kata identity yang artinya memiliki tanda, ciri atau jati diri yang melekat pada suatu individu, kelompok atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Identitas menurut Stella Ting Toomey merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita.

Identitas diri di Indonesia ditandai dengan apa yang melekar dalam diririnya juga ditandai dengan kartu identitas seperti KTP, ijazah, SIM, akta lahir, paspor, visa, kartu anggota dan sejenisnya. Dalam kartu identitas biasanya tercantum data diri seperti nama, tanggal lahir, tempat asal, tempat tinggal, agama, golongan darah dan kewarganegaraan.


Sementara itu, Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap. Secara teoritis, istilah identitas ini melekat pada banyak aspek, seperti identitas seksual, identitas budaya, identitas pribadi, identitas agama, identitas ideologi, identitas politik atau identitas nasional.
 

Identitas pribadi merupakan karakteristik unik yang membedakannya dengan orang lain. Setiap orang mempunyai identitas pribadinya masing-masing sehingga tidak akan sama dengan identitas orang lain. Pengaruh keyakinan, budaya dan lingkungan juga turut mempengaruhi identitas pribadi seseorang.

Orang yang berasal dari budaya individualistis seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat berusaha untuk menunjukkan perbedaan dirinya dengan orang lain. Sementara itu, orang yang berasal dari budaya kolektif cenderung menonjolkan keanggotaan mereka kepada orang lain. Identitas pribadi juga bisa diartikan sebagai aturan moral pribadi atau prinsip moral yang digunakan seseorang sebagai kerangka normatif dan panduan dalam bertindak.

Identitas agama merupakan dimensi yang penting dalam identitas seseorang. Identitas tersebut merupakan pemberian secara sosial dan budaya, bukan hasil dari pilihan individu. Hanya pada era modern, identitas agama menjadi hal yang bisa dipilih, bukan identitas yang diperoleh saat lahir. Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh pemeluk agama tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan busana yang dipakai.

Sementara pengertian identitas nasional merujuk pada kebangsaan seseorang. Mayoritas dari masyarakat mengasosiasikan identitas nasional mereka dengan negara di mana mereka dilahirkan. Akan tetapi, identitas nasional dapat juga diperoleh melalui imigrasi dan naturalisasi. Identitas nasional biasanya menjadi sering diucapkan saat seseorang berada di negara lain.

Identitas diri kemudian berkembang menjadi identitas kelompok atau organisasi seperti partai dan ormas. Partai-partai yang berkembang di Indonesia selalu mengidentikan dirinya dengan tujuan mendapatkan simpati dan dukungan dari rakyat. Identitas partai misalnya partai nasionalis, partai komunis, partai agamis dan partai nasionalis religius. Identitas partai bahkan seringkali juga disematkan pada nama partainya tersebut.

Sistem pemerintahan liberal berlaku antara tahun 1949 sampai 1959 ditandai dengan tumbuhnya partai politik dan berlakunya kabinet parlementer. Beberapa partai dengan identitasnya masing-masing yang muncul pada masa itu diantaranya : Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Partai lainnya adalah : Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Buruh, Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS), Partai Rakyat Indonesia (PRI), Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI), Murba, Baperki, Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro, Grinda, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai), Persatuan Daya (PD), PIR Hazairin 114.644 0,30 1 23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI), AKUI, Persatuan Rakyat Desa (PRD), Partai Republik Indonesia Merdeka (PRIM) dan Angkatan Comunis Muda (Acoma).

Semua partai tentu saja memiliki identitas, tidak mungkin partai tak memilikinya. Sebenarnya secara filosofis istilah identitas politik dengan politik identitas itu sama, yakni bahwa politik itu membawa identitas tertentu. Sementara menurut Agnes Heller mendefinsikan, politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. Sedangkan, pakar politik dari Universitas Duke, Donald L Morowitz (1999), mendefinisikan politik identitas adalah pemberian garis tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak.

Karena garis-garis penentuan tersebut tampat tidak dapat diubah, maka status sebagai anggota dan bukan anggota akan bersifat permanen. Baik Agnes Heller dan Donald L Morowitz memerlihatkan sebuah benang merah dari politik identitas yang dimaknai sebagai politik perbedaan. Kemala Chandakirana (1999) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan mengatakan, politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai sebuah retorika politik. Singkatnya, politik identitas sekadar dijadikan alat untuk memanipulasi dan menggalang politik guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya (Muhtar Haboddin: 2012). Dengan demikian, pada asalnya, kata politik identitas masih bersifat umum.

Wikipedia memaknai politik identitas sebagai sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Jelang Pemilu 2024 yang lalu, Presiden Jokowi di Pidato Kenegaraannya pada 16 Agustus lalu, di Gedung DPR/MPR RI mengingatkan agar tidak ada kampanye yang menggunakan politik identitas, karena dapat memperuncing polarisasi yang telah ada. Nah ungkapan ini tentu saja akan menjadi masalah karena terbaca lebih tendensius politis dibandingkan normatif intelektual.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam pernyataannya di media massa pada 7 Agustus 2022, menyatakan agar masyarakat waspada terhadap pihak-pihak yang menggunakan politik identitas dalam kampanye politiknya di Pemilu 2024. Kapolri Listyo juga menyatakan perpecahan atau polarisasi akibat politik identitas pada Pemilu 2019 telah terjadi di mana-mana. Bahkan, sampai saat ini suasana tersebut masih ada.


Merebaknya Politik Identitas, Tantangan Demokrasi. Demikian salah satu kesimpulan Direktorat Pengkajian Ideologi dan Politik Kedeputian Pengkajian Strategik Lemhannas RI dalam Focus Group Discussion (FGD). FGD tersebut berisi tentang kajian strategik jangka panjang dengan judul, “Pengaruh Politik Identitas Terhadap Demokrasi di Indonesia”. Diselenggarakan pada Rabu (03/03/21).

“Kehidupan bangsa Indonesia menghadapi tantangan. Salah satunya adalah merebaknya politik identitas,” kata Deputi Pengkajian Strategik Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P. Politik identitas yang merebak adalah adanya sikap yang mengedepankan golongan atau simbol tertentu guna mendapatkan pengaruh politik.


Pada tanggal 15 Juli 2022 lalu, Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI) dideklarasikan sejumlah tokoh dan aktivis lintas ormas Islam, di Aula Buya Hamka Masjid Al-Azhar. Gerakan ini untuk melawan isu Islamofobia di dunia yang digambarkan media Barat. Senada dengan itu 15 Maret 2022 dicanangkan sebagai hari anti-Islamofobia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Apa respon orang-orang yang selama ini menuding umat Islam sebagai menggunakan politik identitas? “Isu Islamofobia itu merupakan politik identitas baru kadrun,” ujar salah seorang yang tampaknya mengidap islamofobia.

Karena itu wajar belaka apabila sebagian masyarakat memandang bahwa tuduhan politik identitas itu hanya ditujukan kepada umat Islam yang memperjuangkan ajaran agamanya. Nyaris tak terdengar tudingan ‘politik identitas’ yang bernada menyudutkan pihak selain Islam. “Kalau jujur, bukankah orang-orang yang menyerukan nasionalisme itu menggunakan politik identitas? Identitas kebangsaan? Bukankah orang-orang yang menyerukan ‘jangan bawa-bawa Islam ke politik’, bahkan non-Muslim memakai peci datang ke pesantren-pesantren menjelang pemilihan umum, Itu politik identitas?.   

Bukankah tudingan kepada orang lain menggunakan politik identitas merupakan politik identitas yang digunakan oleh si penuduh itu? Bukankah ketika seseorang menuding pihak yang memperjuangkan syariah Islam sebagai menggunakan politik identitas sebenarnya ia sedang menggunakan politik identitas? Ya, identitasnya sekulerisme. Bukankah orang yang teriak-teriak pro wong cilik sedang memainkan politik identitas juga?

Islam adalah agama sekaligus menjadi identitas bagi seorang muslim. Islam merupakan konsepsi ideal bagi upaya penyelesaian semua permasalahan kehidupan manusia. Islam datang dari Allah yang maha sempurna dan maha mengetahui permasalahan yang dihadapi manusia. Rasulullah adalah sosok sempurna yang telah mendapat garansi dari Allah sang Pengutus. Secara normatif Islam adalah konsepsi ideal bagi upaya kebaikan kehidupan, dengan kata lain rahmatan lil alamin. Secara historis Rasulullah telah mengukir sejarah peradaban cemerlang melalui revolusi agung yang belum pernah ada catatan sejarah menyamainya.

Bagi Michael D Hart yang notabene non muslim menilai sosok Rasulullah sebagai peletak peradaban agung. Sebagaimana dinyatakan " …kesatuan tunggal yang tidak ada bandingannya dalam mempengaruhi sektor keagamaan dan duniawi secara bersamaan, merupakan hal yang mampu menjadikan Muhammad untuk layak dianggap sebagai sosok tunggal yang mempengaruhi sejarah umat manusia.."

Islam tidak anti politik. Kesempurnaan Islam justru diindikasikan oleh luasnya cakupan ajaran Islam yang meliputi semua dimensi kehidupan manusia. Keluasan cakupan dimensi Islam tidak dimiliki oleh agama apapun di dunia. Termasuk dalam kontek ini adalah masalah politik dan ketatanegaraan. Politik dalam pandangan Islam sangat berbeda dengan pandangan sekuler. Islam memandang politik sebagai bagian dari ibadah kepada Allah dalam mengurus urusan umat. Sedangkan paradigma sekuler mengganggap politik sekedar cara untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan cara-cara yang dilarang agama.

Islam adalah ritual, politik sekaligus peradaban. Kekuasaan adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah kelak. Politik dan kekuasaan dalam Islam tidak terlepas dari dimensi spiritual sebagaimana yang terjadi di Indonesia hari ini. Sekulerisme dan liberalisme yang merasuk dalam jantung sistem ketatanegaraan negeri ini telah menyeret pada kehampaan akan nilai-nilai spiritual dalam praktek berbangsa dan bernegara. Hubungan sosiologis di negeri ini lebih banyak dilandaskan pada paradigma sosialis dibandingkan Islam. Muaranya adalah adanya saling membinasakan antar persaingan kepentingan, meskipun satu agama.

Inilah paradoks Indonesia sekaligus rendahnya tingkat intelektual bangsa ini. Mempersoalkan politik identitas hanya untuk menyasar Islam adalah sebuah kebodohan sekaligus kejahatan. Benar kata Mohammad Iqbal bahwa kebodohan adalah sebuah kejahatan. Apakah orang yang menuduh politik identitas kepada Islam artinya dia tidak punya identitas?

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 27/10/22 : 11.10 Wib)

Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Jumat, 02 September 2022

SENTIMENTALITAS NARASI POLITIK IDENTITAS

Tinta Media - Identitas berasal dari kata identity yang artinya memiliki tanda, ciri atau jati diri yang melekat pada suatu individu, kelompok atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Identitas menurut Stella Ting Toomey merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita.

Sementara itu, Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap. Secara teoritis, istilah identitas ini melekat pada banyak aspek, seperti identitas seksual, identitas budaya, identitas pribadi, identitas agama, identitas ideologi, identitas politik atau identitas nasional.

Identitas pribadi merupakan karakteristik unik yang membedakannya dengan orang lain. Setiap orang mempunyai identitas pribadinya masing-masing sehingga tidak akan sama dengan identitas orang lain. Pengaruh keyakinan, budaya dan lingkungan juga turut mempengaruhi identitas pribadi seseorang. Orang yang berasal dari budaya individualistis seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat berusaha untuk menunjukkan perbedaan dirinya dengan orang lain. Sementara itu, orang yang berasal dari budaya kolektif cenderung menonjolkan keanggotaan mereka kepada orang lain. Identitas pribadi juga bisa diartikan sebagai aturan moral pribadi atau prinsip moral yang digunakan seseorang sebagai kerangka normatif dan panduan dalam bertindak.

Identitas agama merupakan dimensi yang penting dalam identitas seseorang. Identitas tersebut merupakan pemberian secara sosial dan budaya, bukan hasil dari pilihan individu. Hanya pada era moderm, identitas agama menjadi hal yang bisa dipilih, bukan identitas yang diperoleh saat lahir. Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh pemeluk agama tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan busana yang dipakai.

Sementara pengertian identitas nasional merujuk pada kebangsaan seseorang. Mayoritas dari masyarakat mengasosiasikan identitas nasional mereka dengan negara di mana mereka dilahirkan. Akan tetapi, identitas nasional dapat juga diperoleh melalui imigrasi dan naturalisasi. Identitas nasional biasanya menjadi sering diucapkan saat seseorang berada di negara lain.

Sementara menurut Agnes Heller mendefinsikan, politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama. Sedangkan, pakar politik dari Universitas Duke, Donald L Morowitz (1999), mendefinisikan politik identitas adalah pemberian garis tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak.

Karena garis-garis penentuan tersebut tampat tidak dapat diubah, maka status sebagai anggota dan bukan anggota akan bersifat permanen. Baik Agnes Heller dan Donald L Morowitz memerlihatkan sebuah benang merah dari politik identitas yang dimaknai sebagai politik perbedaan. Kemala Chandakirana (1999) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan mengatakan, politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai sebuah retorika politik. Singkatnya, politik identitas sekadar dijadikan alat untuk memanipulasi dan menggalang politik guna memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya (Muhtar Haboddin: 2012). Dengan demikian, pada asalnya, kata politik identitas masih bersifat umum.

Wikipedia memaknai politik identitas sebagai sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Definisi politik identitas menurut wikipedia di atas menunjukkan pemahaman sekuler atas hakikat politik. Bahkan pada perkembangannya, politik identitas hanya ditujukan kepada Islam, terutama saat muncul berbagai narasi kebangkitan Islam politik. Padahal secara filosofi, seluruh aliran politik adalah politik identitas. Sentimentalitas politik berindentitas sekuler kemudian membangun narasi bahwa Islam politik dianggap tak sejalan dengan modernisme.

Tengah terjadi politisasi istilah politik identitas dengan membangun sentimentalitas Islam politik. Narasi politik identitas tidak lagi mengacu kepada ontologi, namun telah masuk pada aksiologis yang dipengaruhi oleh sekulerisme. Narasi politik identitas di negeri ini diwarnai oleh sentimentalitas politik sekuler atas Islam politik. Narasi islamophobia diduga kuat sebagai perwujudan dari sentimentalitas ini. bahkan secara lebih fundamental, narasi politik identitas yang ditujukan ke Islam politik adalah upaya untuk menghalangi kebangkitan Islam politik di negeri ini.

Padahal secara filosofis, politik sekuler demokrasi adalah politik identitas juga, lantas mengapa hanya Islam yang disebut politik identitas dan dikonotasikan sebagai identitas yang buruk. Benar kata Socrates bahwa disaat kalah berdebat, maka fitnah adalah senjata akhir seorang pecundang. Narasi politik identitas yang dituduhkan kepada Islam adalah bentuk kekalahan dan ketakutan intelektual ideologi sekuler. Kebangkitan Islam politik sebagai respon atas keterjajahan umat Islam di seluruh belahan dunia adalah sebuah keniscayaan. Terbukti politik beridentitas ideologi kapitalisme sekuler sebagai penjajah di negeri-negeri muslim pasca runtuhnya daulah Islam.

Dalam kurun waktu  1602 sampai 1799, Indonesia di bawah persekutuan dagang Belanda. Persekutuan dagang itu dibentuk pada tahun 1602 dan merupakan hasil penyatuan atau merger beberapa serikat dagang di Belanda. Serikat dagang  ini bernama Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Setelah VOC secara resmi dibubarkan dan dialihkan kepada Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda pada tahun  1800 sampai 1942.

Sekarang, mirip dengan VOC, hak istimewa tersebut tampaknya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Beberapa perusahaan asing tersebut ketika akan berinvestasi, menteri luar negerinya didatangkan ke Indonesia untuk melakukan negosiasi. Indikasi ini menunjukkan bahwa beberapa perusahaan asing tersebut  benar-benar di-support oleh negara asalnya. Ada juga perusahaan asing di Indonesia yang mempunyai tentara bayaran. Terjadi pula kesenjangan gaji pribumi dengan ekspatriat atau bule.

Menurut Hariyono (2012), melalui sistem verlichte leveranties dan contingenten elit pribumi makin terjebak dalam sistem kolonial. Bila mereka berhasil mengumpulkan hasil bumi melebihi target, mereka akan mendapatkan hadiah yang lebih dikenal dengan istilah batig slot (saldo lebih). Kondisi tersebut menyebabkan ketergantungan elit pribumi terhadap Pemerintah Kolonial menjadi makin tinggi. Posisi para pejabat pribumi tidak ubahnya tengah bergeser menjadi komprador atau centeng.

Bandingkan dengan perusahaan multinasional saat ini yang ada di Indonesia.  Mirip dengan sistem verlichte leveranties dan contingenten, mekanisme penentuan harga minyak dan gas bumi yang berlaku di Indonesia mengabdi pada sistem pasar. Padahal pasar terindikasi dikuasai oleh perusahaan multinasional. Jika zaman dulu harga ditentukan oleh VOC secara langsung, kini harga ditentukan secara tidak langsung oleh perusahaan multinasional atas nama pasar bebas. Untuk memperlancar investasi pertambangan di Indonesia dengan sistem mirip contingenten pada masa VOC, beberapa oknum pejabat terindikasi mendapatkan “upeti” atau saham perusahaan multinasional tersebut.

Dengan jebakan utang luar negeri berbunga dan kurs dolar, Indonesia merasa rendah diri. Para donor (pemberi utang) dipandang superior. Akibatnya, ketika mereka memberikan arahan UU Penanaman Modal, misalnya, maka dengan lancar UU tersebut diasahkan. Akibat selanjutnya, pihak asing makin menguasai perekonomian Indonesia. Padahal UU tersebut merupakan payung liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik. Perusahaan multinasional asing seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Newmount, Freepot dan lainnya makin mudah mengekploitasi kekayaan alam Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada. Akibatnya, konstribusi SDA Migas dan Non-Migas terhadap APBN makin lama makin kecil.

Islam merupakan konsepsi  ideal bagi upaya penyelesaian semua permasalahan kehidupan manusia. Islam datang dari Allah yang maha sempurna dan maha mengetahui permasalan yang dihadapi manusia. Rasulullah adalah sosok sempurna yang telah mendapat garansi dari Allah sang Pengutus. Secara normatif Islam adalah konsepsi ideal bagi upaya kebaikan kehidupan, dengan kata lain rahmatan lil alamin. Secara historis Rasulullah telah mengukir sejarah peradaban cemerlang melalui revolusi agung yang belum pernah ada catatan sejarah menyamainya.

Bagi Michael D Hart yang notabene non muslim menilai sosok Rasulullah sebagai  peletak peradaban agung. Sebagaimana dinyatakan  " …kesatuan tunggal yang tidak ada bandingannya dalam mempengaruhi sektor keagamaan dan duniawi secara bersamaan, merupakan hal yang mampu menjadikan Muhammad untuk layak dianggap sebagai sosok tunggal yang mempengaruhi sejarah umat manusia.."

Islam tidak anti politk. Kesempurnaan Islam justru  dindikasikan oleh luasnya cakupan ajaran Islam yang meliputi semua dimensi kehidupan manusia. Keluasan cakupan dimensi Islam tidak dimiliki oleh agama apapun di dunia. Termasuk dalam kontek ini adalah masalah politik dan ketatanegaraan. Politik dalam pandangan Islam sangat berbeda dengan pandangan sekuler. Islam memandang politik sebagai bagian dari ibadah kepada Allah dalam mengurus urusan umat. Sedangkan paradigma sekuler mengganggap politik sekedar cara untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan cara-cara yang dilarang agama.

Islam adalah ritual, politk sekaligus peradaban. Kekuasaan adalah amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah kelak. Politik dan kekuasaan dalam Islam tidak terlepas dari dimensi spiritual sebagaimana yang terjadi di Indonesia hari ini. Sekulerisme dan liberalisme yang merasuk dalam jantung sistem ketatanegaraan negeri ini telah menyeret pada kehampaan akan nilai-nilai spiritual dalam praktek berbangsa dan bernegara. Hubungan sosiologis di negeri ini lebih banyak dilandaskan pada paradigma sosialis dibandingkan Islam. Muaranya adalah adanya saling membinasakan antar persaingan kepentingan, meskipun satu agama.

Kepemimpinan negara dalam pandangan Islam adalah amanah dari Allah. Jika seseorang pemimpin negara berkhianat terhadap suatu urusan yang telah diserahkan kepadanya maka ia telah terjatuh pada dosa besar dan akan dijauhkan dari surga. Penelantaran itu bisa berbentuk tidak menjelaskan urusan-urusan agama kepada umat, tidak menjaga syariah Allah dari unsur-unsur yang bisa merusak kesuciannya, mengubah-ubah makna ayat-ayat Allah dan mengabaikan hudûd (hukum-hukum Allah). Penelantaran itu juga bisa berwujud pengabaian terhadap hak-hak umat, tidak menjaga keamanan mereka, tidak berjuang untuk mengusir musuh-musuh mereka dan tidak menegakkan keadilan di tengah-tengah mereka.  Setiap orang yang melakukan hal ini dipandang telah berkhianat kepada umat.”

Sikap amanah seorang penguasa terlihat dari tatacaranya dalam mengurusi masyarakat berdasarkan aturan-aturan Allah. Ia juga berusaha dengan keras untuk menghiasi dirinya dengan budi pekerti yang luhur dan sifat-sifat kepemimpinan. Penguasa amanah tidak akan membiarkan berlakunya sistem yang akan merusak masyarakat karena bertentangan dengan syariat Islam. Sebab pengabaian terhadap sistem hukum Allah akan mengakibatkan kesempitan dan kesengsaraan hidup. Hal ini sejalan dengan firman Allah, “ Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta". (QS Thahaa : 124).

Sejak diutusnya Rasulullah SAW, tidak ada sistem kemasyarakatan yang mampu melahirkan para penguasa yang amanah, agung dan luhur, kecuali dalam masyarakat Islam. Kita mengenal Khulafaur Rasyidin yang terkenal dalam kearifan, keberanian dan ketegasannya dalam membela Islam dan kaum Muslim. Mereka adalah negarawan-negarawan ulung yang sangat dicintai oleh rakyatnya dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Mereka juga termasyhur sebagai pemimpin yang memiliki budi pekerti yang agung dan luhur.   

Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq adalah sosok penguasa yang terkenal sabar dan lembut.  Namun, beliau juga terkenal sebagai pemimpin yang berani dan tegas.  Tatkala sebagian kaum Muslim menolak kewajiban zakat, beliau segera memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi mereka. Meskipun pendapatnya sempat disanggah oleh Umar bin al-Khaththab, beliau tetap bergeming dengan pendapatnya. Stabilitas dan kewibawaan Negara Islam harus dipertahankan meskipun harus mengambil risiko perang.  

Khalifah Umar bin al-Khaththab sendiri terkenal sebagai penguasa yang tegas dan sangat disiplin. Beliau tidak segan-segan merampas harta para pejabatnya yang ditengarai berasal dari jalan yang tidak benar.

Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah berkata kepada Abu Hurairah ra yang saat itu menjadi gubernur di Bahrain, “Bagaimana engkau bisa menduduki jabatan ini?” Ia menjawab, “Engkau telah menugaskan saya, sedangkan saya tidak menyukainya, dan engkau menghentikan saya, sedangkan saya mencintainya.”

Pada saat itu, Abu Hurairah membawa 400 ribu dirham dari Bahrain.  Selanjutnya, Umar bertanya kepadanya, “Apakah engkau berlaku aniaya terhadap seseorang?” “Tidak.”  “Dari jumlah itu, berapa yang menjadi milikmu?”  “Dua puluh.”  “Dari mana engkau memperolehnya?” tanya Umar lagi.“Saya berdagang.” Umar pun menukas, “Hitunglah modalmu dan milikmu. Lalu serahkanlah yang lainnya ke Baitul Mal.” (Thabaqât Ibnu Sa'ad, II/4/60; Târîkh al-Islâm, II/388; dan Tahdzîb at-Tahdzîb, XII/267).

Bandingkan fragmen agung diatas dengan fenomena praktek kenegaraan di negeri ini. Para penguasa tak lagi peduli dengan nilai-nilai Islam. Alih-alih melaksanakan hukum Allah menata kehidupan berbangsa dan bernegara, sekedar untuk mengikuti nilai dan norma dalam bersikap dan berperilaku saja tidak terbersit dalam benak mereka.

Akhirnya kondisi keterpurukan di hampir semua bidang kehidupan di negeri ini adalah akibat dari penerapan politik identitas sekuler yang abai terhadap hukum Allah. Islam hanya dibawa saat mereka di masjid, sedangkan saat mereka mengurus ekonomi negara menggunakan sistem ribawi. Saat mereka mengurus urusan pendidikan menggunakan sistem beridentitas kapitalisme sekuler. Saat mereka mengurus urusan budaya mereka mengabaikan nilai-nilai Islam. Saat menata sistem sosial, mereka menggunakan sistem sosialis. Dan aspek-aspek kenergaraan lain yang sekulerisitik.

Politik beridentitas sekuler pada intinya adalah bentuk pengabaian nilai-nilai Islam dalam mengatur urusan negara dan mengatur urusan rakyat. Sebaliknya mereka menggunakan logika dan konsensus manusia atas nama demokrasi. Suara terbanyak dijadikan acuan kebenaran meskipun jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Padahal Allah melarang umat Islam menggunakan pertimbangan suara terbanyak sebagai tolok ukur kebenaran. Sebab kebenaran hanyalah miliki Allah bukan suara rakyat yang terbanyak.

Dengan demikian, ketika jalan sekulerisme dan demokrasi tak lagi menjanjikan perubahan yang lebih baik dan terus akan menjadikan Indonesia sebagai negeri terjajah oleh kapitalisme global. Saatnya kita menjadi orang-orang cerdas yang yakin akan Islam. Islam menjadi paradigma politik alternatif setelah tumbangnya sosialisme komunis dan sekaratnya kapitalisme sekuler sekarang ini. Masihkan kita mempertahankan hukum jahiliyah ini, sementara Allah telah memberikan alternatif terbaiknya. Islam secara normatif dan historis telah menjadi cahaya kebaikan bagi manusia. Islam telah menjadi rahmat bagi alam semesta. Mungkinkah hari ini Islam menjadi rahmat bagi dunia jika tidak diterapkan.

Allah dengan tegas telah menjanjikan kekuasaan bagi orang-orang yang beriman dan beramal sholeh : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS Annur : 55)

 
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,17/07/22 : 21.05 WIB)

Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB)

Referensi: https://www.ahmadsastra.com/2022/07/sentimentalitas-narasi-politik-identitas.html?m=1


Rabu, 31 Agustus 2022

FDMPB: Sentimentalitas Politik Sekuler atas Islam Warnai Politik Identitas


Tinta Media - Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra menilai, narasi politik identitas di negeri ini diwarnai oleh sentimentalitas politik sekuler atas Islam politik.

“Narasi politik identitas di negeri ini diwarnai oleh sentimentalitas politik sekuler atas Islam politik,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (30/8/2022).

Menurutnya, narasi politik identitas tersebut berupa narasi islamofobia. Dan secara lebih fundamental, narasi politik identitas ditujukan ke Islam politik.

“Narasi islamofobia diduga kuat sebagai perwujudan dari sentimentalitas ini. Bahkan secara lebih fundamental, narasi politik identitas yang ditujukan ke Islam politik adalah upaya untuk menghalangi kebangkitan Islam politik di negeri ini,” bebernya.

Hal ini disebabkan karena tengah terjadi politisasi, istilah politik identitas dengan membangun sentimentalitas Islam politik.
“Narasi politik identitas tidak lagi mengacu kepada ontologi namun telah masuk pada aksiologis yang dipengaruhi sekulerisme,” ujarnya.

Ahmad Sastra menyatakan bahwa politik beridentitas sekuler pada intinya adalah bentuk pengabaian nilai-nilai Islam dalam mengatur urusan negara dan mengatur urusan rakyat.

“Para penguasa tak lagi peduli dengan nilai-nilai Islam. Alih-alih melaksanakan hukum Allah menata kehidupan berbangsa dan bernegara, sekedar untuk mengikuti nilai dan norma dalam bersikap dan berperilaku saja tidak terbersit dalam benak mereka,” katanya.

Akhirnya kondisi keterpurukan di hampir semua bidang kehidupan di negeri ini adalah akibat dari penerapan politik identitas sekuler yang abai terhadap hukum Allah. Ia mengutarakan Islam hanya dibawa saat mereka di masjid.

“Sedangkan saat mereka mengurus ekonomi negara menggunakan sistem ribawi. Saat mereka mengurus urusan pendidikan menggunakan sistem pendidikan menggunakan sistem beridentitas kapitalisme sekuler,” urainya.

“Saat mereka mengurus urusan budaya mereka mengabaikan nilai-nilai Islam, saat menata sistem sosial mereka menggunakan sistem sosialis, serta aspek-aspek kenegaraan lain yang sekuleristik,” lanjutnya.

Ahmad Sastra mengungkapkan demokrasi menggunakan logika dan konsesus manusia, suara terbanyak dijadikan acuan kebenaran meskipun jelas-jelas bertentangan dengan Islam.

“Padahal Allah melarang umat Islam menggunakan pertimbangan suara terbanyak sebagai tolok ukur kebenaran, sebab kebenaran hanyalah milik Allah bukan suara rakyat yang terbanyak,” ungkapnya.

Ia mempertanyakan mengapa hanya Islam yang disebut politik identitas dan dikonotasikan sebagai identitas yang buruk. “Padahal secara filosofis, politik sekuler demokrasi adalah politik identitas juga, mengapa hanya Islam yang dikonotasikan identitasnya buruk?” tanyanya.

Ahmad Sastra membenarkan pendapat Socrates bahwa di saat kalah berdebat maka fitnah adalah senjata akhir seorang pecundang. “Maka narasi politik identitas yang dituduhkan kepada Islam adalah bentuk kekalahan dan ketakutan intelektual ideologi sekuler,” ucapnya.

Baginya kebangkitan Islam politik sebagai respon atas keterjajahan umat Islam adalah sebuah keniscayaan.“Terbukti politik beridentitas ideologi kapitalisme sekuler sebagai penjajah di negeri-negeri muslim pasca runtuhnya daulah Islam,” tuturnya.

Sebagaimana tahun 1602 Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dibentuk sebagai persekutuan dagang Belanda yang memiliki hak istimewa dan Indonesia ada di bawah VOC tersebut. Ia mengatakan sekarang kondisinya sama di mana perusahaan-perusahaan asing tersebut memiliki hak istimewa.

“Beberapa perusahaan asing tersebut berinvestasi di Indonesia, setelah negosiasi dengan menteri luar negerinya. Indikasi ini menunjukkan bahwa beberapa perusahaan asing tersebut benar-benar disupport oleh negeri asalnya, terjadi pula kesenjangan gaji pribumi dengan ekspatriat (bule),” katanya.

Ia memaparkan pendapat Hariyono (2012) bahwa terjadi ketergantungan elit pribumi terhadap kolonial barat tinggi. Akibatnya posisi para pejabat pribumi tidak ubahnya tengah bergeser menjadi komprador atau centeng.

“Melalui sistem verlichte leveranties dan contingenten elit pribumi makin terjebak dalam sistem kolonial. Bila mereka berhasil mengumpulkan hasil bumi melebihi target, mereka akan mendapatkan hadiah yang dikenal dengan istilah batig slot (saldo lebih),” paparnya.

Ahmad Sastra menilai bahwa perusahaan multinasional saat ini, yang ada di Indonesia memiliki kemiripan dengan sistem verlichte leveranties dan contingenten, di mana mekanisme penentuan harga minyak dan gas bumi mengabdi pada sistem pasar.

“Padahal pasar terindikasi dikuasai oleh perusahaan multinasional, harga ditentukan secara tidak langsung oleh perusahaan multinasional atas nama pasar bebas. Untuk memperlancar investasi pertambangan, beberapa oknum pejabat terindikasi mendapatkan upeti atau saham perusahaan multinasional tersebut (mirip contingenten masa VOC),” ujarnya.

Demikian dengan jebakan utang luar negeri berbunga kurs dolar, ia mengkritisi Indonesia merasa rendah diri dan memosisikan para donor (pemberi utang) dipandang sebagai superior.

“Akibatnya pihak asing menguasai perekonomian Indonesia, misalnya mereka memberikan arahan UU Penanaman Modal, maka dengan lancar UU tersebut disahkan. Padahal UU tersebut merupakan payung liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik,” kritiknya.

Ia mengungkapkan perusahaan multinasional asing, seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Newmount, Freepot, dan lainnya makin mudah mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada.

“Akibatnya kontribusi SDA Migas dan Non-Migas terhadap APBN makin lama makan kecil,” ungkapnya.

Maka ketika jalan sekulerisme dan demokrasi tak lagi menjanjikan perubahan yang lebih baik dan terus menjadikan Indonesia sebagai negeri terjajah oleh kapitalisme global. Islam menjadi paradigma politik alternatif setelah tumbangnya sosialisme komunis dan sekaratnya kapitalisme sekuler sekarang ini.

“Islam merupakan konsepsi ideal bagi upaya penyelesaian semua permasalahan kehidupan manusia. Sudah saatnya orang-orang memilih Islam,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Minggu, 28 Agustus 2022

Menyadari Identitas Keislaman

Tinta Media - Suatu Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri maupun persepsi orang lain terhadap diri kita. Identitas Anda menceritakan siapa diri Anda, bagaimana cara Anda berpikir tentang diri Anda sendiri, bagaimana Anda dilihat oleh dunia, serta segala karakteristik yang mendefinisikan kepribadian Anda. Anda tidak rela bila ada yang berusaha mengancam identitas tersebut. Anda akan berusaha keras untuk menjaga agar identitas Anda tidak hilang.

Sebagai seorang muslim, tentu saja Anda ingin nilai-nilai keislaman tercermin pada diri Anda, bahkan Anda juga ingin orang lain mengenali dan mendefinisikan Anda sebagai seorang muslim. Anda tentu tidak akan mengadopsi sesuatu yang tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman yang akan mencemari identitas Anda sebagai seorang muslim.

Sementara itu, Islam didefinisikan sebagai agama samawi yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah Muhammad saw. untuk mengatur segala aspek kehidupan, baik berupa keyakinan, peribadatan, makanan, pakaian, pergaulan, maupun penerapan hukum.

Oleh karena itu, seseorang akan diidentifikasi sebagai seorang muslim yang baik bila kesehariannya mencerminkan nilai-nilai keislaman. Dia bisa disebut kafir bila tidak meyakini rukun iman. Identitas keislamannya juga bisa tercemar ketika dia tidak melakukan salat wajib, misalnya.

Namun, tidak semua identitas disadari oleh orang yang bersangkutan. Hal ini karena kesadaran berkaitan dengan kepekaan dan kesiagaan seseorang terhadap eksistensi atau keberadaan sesuatu dan peristiwa dengan segala perubahannya. Sebagai contoh, seseorang disebut sadar ketika mengetahui adanya bahaya yang mengancam, serta meresponnya dengan benar.

Dalam konteks keislaman, tidak semua muslim menyadari eksistensinya sebagai seorang muslim. Apabila seorang muslim tidak menyadari identitasnya, maka dia bisa dengan mudah melakukan sesuatu yang menodai keislamannya. Di sisi lain, ketika ada ancaman terhadap agamanya, sangat mungkin baginya untuk tidak merespon perubahan tersebut dengan benar.

Ketika kesadaran akan identitas keislaman tidak disadari oleh banyak orang, maka keberadaan masyarakat muslim menjadi terancam dan hilang dari peredaran. Segala bentuk gangguan tidak akan direspon dengan benar karena anggota masyarakat tidak memiliki kesadaran untuk menjaganya.

Agar umat Islam menyadari Identitas keislamannya, maka perlu disegarkan kembali pemahamannya terhadap dirinya sendiri, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan akan ke mana setelah kehidupan ini berakhir. Segala konsekuensi dari pemahaman itu baik berupa hubungan penciptaan, hubungan peribadahan, maupun hubungan penghisaban harus disadari secara benar.

Ketika seorang muslim tidak menyadari bahwa dirinya adalah mahluk Allah yang hidup di dunia ini sebagai hamba, dan kelak dimintai pertanggungjawaban terhadap segala perbuatannya, maka dia tidak akan menyadari identitasnya sebagai seorang muslim.

Karena itu, harus ada upaya penyadaran di tengah masyarakat. Peran orang tua untuk memberikan pendidikan agama yang layak terhadap anak-anak sangatlah menentukan. Di samping itu, harus ada upaya amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh seseorang. Negara juga harus menjaga dengan penerapan hukum atas segala bentuk pelanggaran.

Namun, ketika berada dalam kehidupan sekuler yang tidak menerapkan Syari'at Islam secara formal, maka kita harus menjaga keluarga dan masyarakat dengan amar makruf nahi mungkar. Ketika umat secara umum memiliki kesadaran akan identitas keislamannya, maka mereka akan berusaha agar Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara.

Di sinilah peran penting dari jama'ah dakwah ideologis yang akan menyatukan pemikiran dan perasaan umat Islam dalam bentuk pembinaan dan kajian. Dengan pembinaan, umat bisa mendapatkan edukasi, artikulasi, dan agregasi terkait kemaslahatan hidupnya secara keseluruhan.

Kita tentu saja tidak ingin ada pihak-pihak yang melakukan politisasi Islam, serta menjadikan umat Islam sebagai batu loncatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun golongan. Oleh karena itu, dengan merevitalisasi pemahaman umat terhadap Identitas keislaman, kita akan menemukan momentum yang tepat dalam kehidupan politik
yang penuh pencitraan saat ini. Wallahu a'lam bishshowwab. [dsh]

Oleh: Trisyuono Donapaste
Sahabat Tinta Media



Kamis, 04 Agustus 2022

Aktivis Muslimah: Inilah Penyebab Remaja Muslim Kehilangan Identitas

Tinta Media - Aktivis Muslimah Ustazah Dedeh Wahidah mengungkap penyebab para remaja kehilangan identitas sebagai seorang muslim dan muslimah.

"Kalau saya melihat, kenapa mereka kehilangan identitas sebagai muslim dan muslimah?" tuturnya dalam acara Tsaqafah Islam : Melindungi keluarga dari Tasyabuh Bil Kuffar, di kanal YouTube Muslimah Media Center, Sabtu (30/7/2022).

Menurutnya, hal ini karena mereka tidak tahu sebagai seorang Muslim itu harusnya seperti apa. "Sekarang itu banyak yang hanya sekedar merasa bangga ketika di KTP-nya dituliskan agama Islam, tetapi agama Islam itu tidak diikuti. Bagaimana seharusnya sebagai seorang muslim?," tanyanya.

"Yang pertama, karena memang dari internal, pribadi muslim, keluarga muslim juga hanya mencukupkan diri bahwa Islam itu hanya sebagai keyakinan semata, minim keterikatan kepada syari'at islam," ungkapnya.

Ia menambahkan, kemudian yang kedua, terlihat juga adanya skenario, adanya sesuatu yang diaruskan secara masif, tersistem. Bagaimana menggerus identitas karakter generasi muslim itu. "Ini ada upaya-upaya Ghazwul Fikri, perang pemikiran, perang kebudayaan dimana budaya muslim, pemikiran muslim, ingin diganti dengan budaya sekuler tanpa agama, budaya liberal tanpa aturan, budaya kapitalis. Yaitu yang penting saya suka, yang penting saya enak, saya senang," tambahnya.

"Nah, ini yang sekarang terjadi, sahabat. Karena itu, ini tidak boleh kita biarkan. Kita harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan masa depan umat. Jangan sampai mereka mengaku muslim, tapi tidak mencerminkan sebagai karakter muslim," ujarnya.

Ia pun menceritakan, mencermati fenomena sekarang. "Masya Allah luar biasa banyak sekali kejadian-kejadian yang yang sangat mengiris hati kita sebagai orang tua, sebagai keluarga muslim. Bagaimana tidak, kejadian-kejadian yang menurut kita itu tidak mencerminkan identitas sebagai seorang muslim, namun ternyata menjadi panutan, bahkan menjadi idola dan menjadi viral khalayak umum," ungkapnya.

"Contoh yang akan saya angkat misalkan fenomena kemarin viral itu adalah Citayam Fashion Week . Kalau kita lihat disitu mereka melakukan sesuatu yang diluar dari identitas seorang muslim. Mereka berpakaian mengumbar aurat, sekalipun ada yang memakai kerudung mungkin, tapi kebanyakan mereka bergaya seperti artis-artis. Terbuka auratnya, kemudian mereka laki-laki dan perempuan bercampur baur," jelasnya.

Disitu tidak ada lagi batas-batas mahram, atau kemudian mungkin makanan mereka ada yang halal dan haram. Kemudian pergaulan berikutnya, mereka campur sampai tidur di jalanan, mereka mengganggu, dan lain sebagainya. "Bahkan akhir-akhir ini kita mendapatkan berita tidak sedikit disitu diramaikan oleh para pelaku LGBT. Bahkan mereka eksis, memiliki keberanian memviralkan pilihan dari gaya hidupnya. Kalau dulu LGBT dianggap sesuatu yang namanya menakutkan, membahayakan, tapi sekarang itu sesuatu yang biasa," bebernya.

Inilah yang Rasulullah Saw wanti-wanti kepada kita. Banyak haditsnya, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yang artinya, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (HR. abu Daud)

"Kalau yang diikuti gaya kafir, maka mereka termasuk orang kafir. Kalau yang diikuti gaya orang liberal, maka termasuk orang liberal. Na'udzubillah himindzalik," jelasnya. 

Ia pun menambahkan, bahkan di dalam riwayat Imam Tirmidhi, dikatakan Rasullullah, "Barangsiapa yang mengikuti bukan dari kami, maka bukan dari golongan kami." Berarti dicoret dari kaum muslimin. Na'udzubillah himindzalik. 

"Karena itu sahabat, karena kita fokus pada faktor yang kedua tadi, mereka kehilangan identitas karena tidak paham bagaimana identitas muslim. Berarti yang harus kita lakukan, bagaimana mendidik mengajarkan anak kita, keluarga kita. Mereka harus paham bagaimana identitas sebagai seorang muslim itu. Syakhsiyah Islamiyah itu seperti apa, berkepribadian Islam itu seperti apa. Bukan hanya sebagai agama, tapi Islam itu harus menjadi standar ketika berfikir, ketika berperilaku, nafsiyahnya. Maka standar untuk melakukan atau tidak melakukan itu, adalah standar hukum syara," bebernya.

Ia menyimpulkan, berarti bagaimana menghadirkan Syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam) ini pada anak-anak kita, pada generasi kita, menghadirkan idolanya. Yang menjadi rujukan sosoknya itu bukan sosok K-Pop, sosok artis, sosok siapapun yang sedang viral. Tapi sosok siapa? Yaitu Rasulullah Saw, sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya, "Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah." (Al-Ahzab :21).

"Nah ini yang harus kita pahami bagi diri kita, juga anak-anak kita, keluarga kita, generasi muslim kita, bahwa contoh ideal panutan yang akan membahagiakan di dunia juga menyelamatkan nanti di akhirat, siapa Uswatun Hasanah kita? Rasulullah Saw," tegasnya.

Ia pun menegaskan, karena itu berarti kita juga harus mengenalkan kepada mereka, siapa Rasulullah itu? Jangan sampai hanya kenal namanya, tapi harus tahu karakter Rasulullah seperti apa, kehidupan Rasulullah itu seperti apa. Bahwa beliau itu hari-harinya penuh dengan ibadah, penuh dengan perjuangan. Rasulullah itu bukan hanya fokus ibadah untuk dirinya sendiri. Tapi dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali, Rasulullah memikirkan umat Islam. Rasulullah melakukan dakwah, bagaimana menyebarkan Islam ke tengah-tengah masyarakat yang pada saat itu sedang didominasi oleh jahiliyah. Rasulullah melakukan perubahan di masyarakat. 

"Nah anak-anak kita harus kenal bahwa rakyat Rasulullah itu bukan hanya rajin shalat, rajin ngaji, rajin shaum saja. Tapi Rasulullah melakukan ibadah mahdhoh, juga aktif berdakwah. Hari-harinya tidak lepas dari belajar Islam. Mengajarkan Islam, memperjuangkan Islam. Nantinya akan menjadikan karakter anak-anak kita itu secara pribadi rajin beribadah, secara sosial mereka pun berani, tangguh untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar, melanjutkan perjuangan Rasulullah. Meninggikan ajaran Allah, meninggikan kalimat Allah," jelasnya.

"Dari mana tahu karakter Rasulullah? Tentu saja kita juga harus tahu Sirah Rasulullah Saw," tambahnya.

Ia bersyukur, Alhamdulillah sekarang sudah banyak sekalian bertebaran kitab-kitab, dan ini sudah diterjemahkan, baik secara tertulis dalam kitab-kitab fisik, maupun di Maktabah syamilah dan lain sebagainya. Kita banyak mendapatkan asupan bacaan yang berkualitas untuk lebih mengenal karakter dan kepribadian Rasulullah Saw. 

"Nah kemudian, tadi Allah SWT menyebutkan bahwa bisa mengikuti Rasulullah sebagai Uswatun Hasanah (idola) itu syaratnya apa?," tanyanya lagi.

"Bagi mereka yang berharap kepada ridho Allah, ini juga masalah akidah. Nah Bagi mereka yang tidak mengharap ridho Allah, bagi mereka yang tidak percaya kepada Allah, tentu akan sulit. Karena itu memang kita harus menghadirkan bagaimana keimanan yang kuat pada generasi kita. Bahwa ketika kita mengatakan, "Allah tujuan kami, Al-Qur'an pedoman kami." Harus menjadi realita sesuai dengan wujudnya. Dibuktikan bahwa kita berharap Ridha Allah sehingga semua amal kita itu memang semata-mata ikhlas karena Allah," tegasnya.

"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, matiku, hidupku, semata karena Allah. Inilah yang harus kita ajarkan kepada keluarga kita, juga generasi umat. Yang kemudian, akan bisa menjadikan Rasulullah sebagai idola," pungkasnya.*[]Willy Waliah*

Minggu, 24 Juli 2022

Analis: Citayam Fashion Week Perlihatkan Dua Krisis

Tinta Media - Analis Sosial Media Rizqi Awal mengatakan, viralnya Citayam Fashion Week (CFW) di media sosial memperlihatkan adanya dua krisis.

“Sebenarnya ada dua krisis yang diperlihatkan," tuturnya dalam Kabar Petang: Sisi Gelap Citayam Fashion Week, Sabtu (23/7/2022) di Kanal Youtube Khilafah News. 

Pertama, krisis identitas. "Anak-anak muda kita, remaja-remaja ini pada akhirnya kekurangan identitas. Bagaimana membangun sikap mental yang baik,” ungkapnya.

Menurutnya, ada dua serangan utama yang dilakukan kapitalisme yaitu kehidupan sekuler dan Islamofhobia yang membuat wajah remaja saat ini menjadi suram. “Kenapa bisa begitu? Sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan anak-anak remaja kita nantinya tidak mau tunduk pada aturan agama. Sehingga, norma-norma kehidupan mereka banyak terjadi penyimpangan. Kedua, wacana Islamofhobia ini akan muncul terus menerus,” ungkapnya. 

Bung Rizky, sapaan akrabnya membuat pengandaian, jika di kawasan Sudirman, Citayam, Bojong Gede dan Depok (SCBD) itu ada pembacaan Al Qur’an serentak, seperti halnya di Jogja dan bebarapa daerah yang sempat heboh sebelumnya, tentu akan dituding sebagai radikalisme. “Akan dituding sebagai gerakan intoleran yang bisa membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegasnya.
 
Padahal, menurutnya, seharusnya kawasan SCBD jika digeneralisai bisa dihidupkan wacana syariah, bisa dihidupkan dengan kajian, dengan baca Al Quran dan segala macam. “Lagi-lagi, kehidupan negara kita itu tertekan dengan baca-baca yang saya bilang tadi,” jelasnya.  

Kedua, krisis moral. Menurutnya, jika mengharapkan anak-anak muda punya persepsi yang berbeda, moralnya harus dibenerin dulu. 

“Kenapa? Karena antara identitas dan moral tidak ada dasar yang menjadi penopang anak-anak muda ini memiliki eksistensi yang baik. Harusnya, anak-anak muda saat ini kita dorong dengan dasar beragama yang bagus. Sehingga ketika mereka menampilkan aktualisasi, menjadi aktualisasi yang positif. Aktualisasi yang membanggakan bagi orang tuanya, masyarakat dan negara,” pungkasnya. [] Ikhty

Kamis, 07 Juli 2022

Ahmad Khozinudin Ajak Umat Islam Berpolitik dengan Identitas Islam


Tinta Media - Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin mengajak umat Islam agar berpolitik dengan identitas Islam.

"Wahai umat Islam, tegakkan politik identitas Islam, buang identitas sekularisme, liberalisme, kapitalisme dan demokrasi," tuturnya kepada Tinta Media, Selasa (5/7/2022).

Ia menilai, umat Islam wajib berpolitik yang terikat dengan identitas Islam. Menurutnya, tujuan digembar-gemborkannya narasi politik identitas adalah untuk menjauhkan bahkan melepaskan umat Islam dari identitas politik yang berbasis pada akidah Islam, yakni politik yang berorientasi pada penerapan syariat Islam dan melawan segala bentuk identitas dan nilai yang bertentangan dengan Islam.

"Mereka takut, umat Islam menuntut hukum yang lahir dari identitas Islam yakni hukum Islam. Mereka tak ingin hukum Al Qur'an, mereka menginginkan sistem demokrasi sekuler agar mereka bebas maksiat dan dapat terus menindas rakyat," ujarnya.

Oleh karena itu, kata Ahmad, umat Islam  harus mengambil jalan politik yang ditakuti musuhnya. "Mereka tak ingin syariat Islam. Sementara umat Islam wajib menerapkan syariat Islam sebagai orientasi dan tujuan politik, bukan semata kekuasaan," ungkapnya. 

Ia juga melihat bahwa politik identitas Islam ini akan dituding memecah belah, menyelisihi kesepakatan, bahkan bertolak. "Katakan saja pada mereka, merekalah yang tertolak karena menolak syariat Allah SWT," bebernya.

Ia lantas mengingatkan, bagaimana junjungan dan teladan Nabi Muhammad SAW yang dahulu membawa politik identitas Islam di tengah kekufuran dan kejahilan. "Rasulullah dituding memecahkan belah, menyelisihi kesepakatan kakek moyang, menebar hoax, menyebar kebencian dan permusuhan, dan seterusnya," ungkapnya.

"Namun, Rasulullah Saw tetap tenang, qona'ah dalam dakwah dan tetap memperjuangkan syariat Islam. Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan identitas Islam dan perjuangan untuk menegakkan hukum Allah SWT," paparnya.

Ia menyeru agar umat Islam terus berdakwah, menyampaikan risalah Islam baik dalam urusan ibadah hingga politik. Tidak perlu lagi merasa ragu apalagi takut untuk menyampaikan amanah dakwah Islam. "Mereka yang zalim dan khianat saja terus berkoar sebagai penyelamat, klaim melakukan perbaikan. Padahal mereka terus berbuat kerusakan," jelasnya.

Karenanya, lanjutnya, umat Islam harus lebih yakin dengan kebenaran Islam dan mendakwahkannya dengan penuh percaya diri. Tidak perlu peduli dengan celaan orang yang suka mencela, nyinyiran orang yang suka nyinyir. 

"Percayalah hanya kepada janji Allah SWT dan kabar gembira dari Rasulullah Saw tentang kembalinya sistem politik Islam yakni daulah Khilafah," tegasnya.

"Berhentilah berbuat syirik dengan mempercayai janji-janji politisi, partai dan capres. Yakinlah sabda Nabi, bukan kepada politisi," tandasnya.[] Ajira

Selasa, 05 Juli 2022

WAHAI UMAT ISLAM, TEGAKKAN POLITIK IDENTITAS ISLAM, BUANG IDENTITAS SEKULERISME, LIBERALISME, KAPITALISME DAN DEMOKRASI

Tinta Media - Tujuan digembar gemborkannya narasi politik identitas adalah untuk menjauhkan bahkan melepaskan, umat Islam dari identitas politik yang berbasis pada akidah Islam, yakni politik yang berorientasi pada penerapan syariat Islam dan melawan segala bentuk identitas dan nilai yang bertentangan dengan Islam.

Narasi anti politik identitas, itu tujuannya agar umat Islam tak bikin acara pengajian dalam berpolitik, tak bikin acara sholat tahajud kolosal, tak mewajibkan muslimah menutup aurat dalam kampanye politik, tak menghentikan kampanye saat waktu sholat tiba, dll. Mereka ingin, umat Islam saat berpolitik ikut dangdutan, tour motor bikin berisik, sibuk dengan pencitraan dari tukang bakso hingga baju koko, dan melebur bersama nilai nilai sekuler liberal yang mereka anut.

Mereka takut, umat Islam menuntut hukum yang lahir dari identitas Islam yakni hukum Islam. Mereka tak ingin hukum al-Qur'an, mereka menginginkan sistem demokrasi sekuler agar mereka bebas maksiat dan dapat terus menindas rakyat.

Karena itu, kita harus mengambil jalan politik yang mereka takutkan. Kita wajib berpolitik yang terikat dengan identitas Islam. Mereka, tak ingin syariat Islam. Sementara kita wajib menerapkan syariat Islam sebagai orientasi dan tujuan politik, bukan semata kekuasaan.

Politik identitas Islam ini akan mereka tuding memecah belah, menyelisihi kesepakatan, bahkan tertolak. Katakan saja pada mereka, merekalah yang tertolak karena menolak syariat Allah SWT.

Ingatlah, junjungan dan teladan kita Nabi Muhammad SAW yang dahulu membawa politik identitas Islam di tengah kekufuran dan kejahilan. Rasulullah dituding memecah belah, menyelisihi kesepakatan kakek moyang, menebar hoax, menyebar kebencian dan permusuhan, dan seterusnya.

Namun Rasulullah tetap tenang, qona'ah dalam dakwah dan tetap memperjuangkan syariat Islam. Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan identitas Islam dan perjuangan untuk menegakkan hukum Allah SWT.

Teruslah berdakwah, menyampaikan risalah Islam baik dalam urusan ibadah hingga politik. Tidak perlu lagi merasa ragu apalagi takut, untuk menyampaikan amanah dakwah Islam.

Mereka yang zalim dan khianat saja terus berkoar sebagai penyelamat, klaim melakukan perbaikan. Padahal, mereka terus berbuat kerusakan.

Karenanya, Umat Islam harus lebih yakin dengan kebenaran Islam dan mendakwahkannya dengan penuh percaya diri. Tidak perlu peduli dengan celaan orang yang suka mencela, nyinyiran orang yang suka nyinyir.

Percayalah hanya kepada janji Allah SWT dan kabar gembira dari Rasulullah SAW tentang kembalinya sistem politik Islam yakni daulah Khilafah. Berhentilah berbuat sirik dengan mempercayai janji-janji politisi, partai dan Capres. Yakinlah pada sabda Nabi, bukan kepada politisi. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/

Jumat, 01 Juli 2022

POLITIK IDENTITAS ISLAM, TUMBANGKAN SISTEM SEKULER DEMOKRASI


Tinta Media - Sejak tumbangnya Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2016 lalu, juga seiring kesadaran kaum muslimin yang menyandarkan politik pada identitas Islam, politik yang berbasis nilai Islam, para politisi sekuler dan munafik ketakutan. Mereka, ketakutan tidak mendapatkan dukungan rakyat karena mengadopsi nilai-nilai sekulerisme yang bertentangan dengan Islam.

Mulailah, dipersoalkan preferensi politik berdasarkan Islam. Memilih karena akidah Islam dipersoalkan, karena dianggap menggunakan politik identitas.

Mereka, berusaha menjauhkan umat Islam dari akidah Islam dalam berpolitik. Mereka, ingin menjauhkan politik Islam dengan narasi anti politik identitas.

Karena itu, kaum muslimin harus melakukan apa yang mereka takutkan. Yakni, selalu membawa akidah Islam, nilai-nilai Islam dalam setiap aktivitas politik.

Politik Islam adalah mengurusi segala persoalan umat dengan aturan/hukum Islam. Politik Islam adalah penerapan syariat Islam dalam mengelola Negara.

Saat ini, Negara diurus dengan sekulerisme demokrasi bukan dengan syariat Islam. Karena itu, politik identitas Islam wajib menolak itu, dan mengajak kaum Muslimin untuk meninggalkan Demokrasi dengan seluruh pernak perniknya.

Politik Islam jelas, menerapkan Syariah dan melaksanakannya dalam Institusi Khilafah. Sehingga, saat ini kaum muslimin harus keluar dari politik sekuler, sibuk dengan copras capres, dan berkonsentrasi dengan dakwah untuk menegakkan sistem Islam yakni Khilafah.

Demokrasi hanya melahirkan perpecahan dan penguasaan Negara oleh oligarki. Demokrasi, dengan prinsip sekulerisme menjauhkan Islam dari Negara.

Mari kita mencontoh Nabi kita, yang konsisten dan percaya diri dengan identitas Islam, berdakwah menyeru kepada Islam hingga akhirnya Allah SWT turunkan pertolongan melalui karunia kekuasaan Islam. Nabi Muhammad Saw tidak pernah melepaskan identitas Islam atau melebur dengan identitas kufur dan jahil ketika itu.

Nabi Muhammad SAW berpolitik dengan identitas Islam, konsisten mendakwahkan risalah Islam, meskipun dituduh pemecah belah, menyelisihi kesepakatan nenek moyang, dan dimusuhi oleh seluruh kafir quraisy. Dakwah, adalah satu-satunya jalan politik Islam, bukan dengan berbaur dalam sistem demokrasi sekuler yang akan menggerus bahkan menghilangkan identitas Islam dan syariatnya. 

Politik identitas Islam adalah memilih Islam sebagai dasar berpolitik, menolak dan melawan segala bentuk politik yang tidak berdasarkan Islam dan berupaya menjadikan syariat Islam sebagai asas mengelola kehidupan bernegara. Politik yang dengan bangga dan penuh percaya diri mengatakan : YA SAYA ISLAM, MENANG KENAPA? [].
.
Follow Us Ahmad Khozinudin Channel
https://heylink.me/AK_Channel/

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Selasa, 28 Juni 2022

POLITIK IDENTITAS ISLAM, WAJIB!

Tinta Media - Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama, partai, atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut. Dalam berbagai kasus, tidak ada politik tanpa identitas. 

Misalnya, PDIP selalu membawa identitas partainya, menunjukan ciri atribut partainya, dan dalam kampanye politik selalu meminta masyarakat untuk menjatuhkan preferensi politik pada identitas PDIP. Jargonnya pasti, pilihlah PDIP.

Partai Golkar selalu membawa identitas partainya, menunjukan ciri atribut partainya, dan dalam kampanye politik selalu meminta masyarakat untuk menjatuhkan preferensi politik pada identitas Golkar Jargonnya pasti, pilihlah Partai Golkar.

Partai Gerindra selalu membawa identitas partainya, menunjukan ciri atribut partainya, dan dalam kampanye politik selalu meminta masyarakat untuk menjatuhkan preferensi politik pada identitas Gerindra. Jargonnya pasti, pilihlah Partai Gerindra.

Partai NASDEM selalu membawa identitas partainya, menunjukan ciri atribut partainya, dan dalam kampanye politik selalu meminta masyarakat untuk menjatuhkan preferensi politik pada identitas NASDEM. Jargonnya pasti, pilihlah Partai NASDEM.

Partai Demokrat selalu membawa identitas partainya, menunjukan ciri atribut partainya, dan dalam kampanye politik selalu meminta masyarakat untuk menjatuhkan preferensi politik pada identitas Demokrat. Jargonnya pasti, pilihlah Partai Demokrat.

PPP selalu membawa identitas partainya, menunjukan ciri atribut partainya, dan dalam kampanye politik selalu meminta masyarakat untuk menjatuhkan preferensi politik pada identitas PPP. Jargonnya pasti, pilihlah PPP.

PKB selalu membawa identitas partainya, menunjukan ciri atribut partainya, dan dalam kampanye politik selalu meminta masyarakat untuk menjatuhkan preferensi politik pada identitas PKB. Jargonnya pasti, pilihlah PKB.

PKS selalu membawa identitas partainya, menunjukan ciri atribut partainya, dan dalam kampanye politik selalu meminta masyarakat untuk menjatuhkan preferensi politik pada identitas PKS. Jargonnya pasti, pilihlah PKS.

Semua partai politik pasti menjalankan politik identitas. Mereka memiliki lambang dan simbol partai, sebagai identitas partai yang berbeda-beda. Kalau mau tidak ada politik identitas, seharusnya semua lambang partai sama.

Tidak mungkin juga, politik identitas ini dihilangkan. Misalnya, orang PDIP meminta Pilihlah PKS. orang PKS meminta Pilihlah GOLKAR. orang GOLKAR meminta Pilihlah PKB. Dan seterusnya.

Semua partai punya identitas masing-masing dan pasti akan menerapkan politik identitas dalam Pemilu nanti.

Namun, ketika politik itu mulai membawa identitas Islam, lambang Islam, orientasi Islam yakni ingin menerapkan sistem Islam, syariat Islam kenapa dipersoalkan ? Semenrara Rasulullah Muhammad Saw diutus, berdakwah, berjuang atas identitas Islam.

Coba bayangkan, kalau Rasulullah Saw tidak membawa politik identitas. Pastilah, Rasulullah Saw tidak perlu menyatakan identitas diri sebagai Nabi, tidak pula perlu menyeru kepada Islam dan membiarkan masyarakat arab dengan identitas kejahiliahannya.

Soal ada benturan, selamanya al haq dan al batil berbenturan. Tidak mungkin, haq dan batil berdampingan dengan damai.

Antara pendukung partai saja bisa berbenturan, padahal tidak menyeru kepada Islam. Partai yang hanya menyeru kepada identitas partai juga sering berbenturan antara partai dan memakan korban hanya karena identitas partai.

Saat PDIP Kubu Suryadi dan Megawati bentrok, ini karena politik identitas partai yang berbeda. Makanya, banyak yang menjadi korban, bahkan mati konyol karena membela partai.

Ketika umat Islam membawa identitas Islam, berpolitik atas dasar Islam, kenapa dipersoalkan?

Belum lama ini, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menerima kunjungan Dewan Pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa, membahas kerja sama dan memperkuat kemitraan mencegah politik identitas jelang Pemilu 2024.

“Jadi ini yang tadi kami bahas dan sepakat, ke depan kami harus menjaga ini semua sehingga kami bisa memberikan literasi pendidikan tentang bagaimana bersama-sama menjaga politik yang sehat yang tentunya ini menjadi perhatian kami bersama,” kata Sigit. (21/6).

Jenderal bintang empat itu mengingatkan sejak tahapan Pemilu 2024 dimulai, ke depan menjadi tantangan bagi Polri dan juga media bagaimana menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia, mencegah polarisasi dan penggunaan politik identitas.

Kalau begitu, siapa yang disasar? Umat Islam? Apakah umat Islam nanti akan dipersoalkan jika menolak pemimpin kafir seperti saat menolak Ahok, dengan dalih menganut politik identitas? 

Kalau konsisten politik identitas dilarang, lebih baik bubarkan seluruh partai politik. Agar tidak ada lagi friksi politik. Selama ini, segala kegaduhan politik saat Pemilu bersumber dari partai politik.

Sementara kami umat Islam akan konsisten berpolitik dengan identitas Islam. Berpolitik berdasarkan Islam dan memiliki orientasi politik untuk menerapkan hukum Islam, menegakkan hukum Allah SWT. Itulah, politik identitas Islam yang dahulu juga diemban tauladan kami, Rasulullah Muhammad Saw. []

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik


Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab