Tinta Media: Ibunda
Tampilkan postingan dengan label Ibunda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ibunda. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 April 2022

Inilah Batu Bata Pertama Pembentuk Masyarakat


 “Kehidupan rumah tangga itu adalah batu bata pertama dalam membentuk suatu masyarakat,” tutur Mubalighah Nasional Ustazah Ratu Erma, dalam acara Taman Ibunda: Muasyarah bil Ma’ruf vs KDRT, Senin (25/4/2022) melalui kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.

Sayangnya, menurut Ustazah Ratu, tantangan yang dihadapi saat ini sudah bukan hitungan jari. Dari tahun ke tahun  kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin bertambah. “Ini menjadi keresahan dan kepedihan tersendiri,” tuturnya sedih.

Solusi yang ditawarkan pun seperti nasehat pranikah, training, kajian-kajian  tak banyak mengubah situasi. “Semacam ada situasi yang membuat kondisi buruk ini terus terjadi,” tukasnya.

Ia menjelaskan persoalan mendasar pernikahan dalam Islam itu adalah satu hukum syara yang punya strategi penting. Karena suami istri membuat komitmen akan menjadi batu bata pengisi peradaban yang akan melahirkan generasi. Yang akan menumbuhsuburkan kehidupan dunia dengan kebaikan, meneruskan generasi orang-orang yang  baik, yang menjaga kehormatan, mengurus bumi, memberi kebaikan pada kehidupan manusia.  “Inilah fungsi rumah tangga atau keluarga dalam Islam,” jelasnya.

“Saking pentingnya posisi keluarga, Allah telah  menggariskan aturan bagaimana keluarga ini, termasuk kehidupan suami istri, dan  interaksi di antara mereka,” ungkapnya.

Harapannya, lanjut Ustazah Ratu, dengan aturan itu tidak ada persengketaan, perselisihan, saling menyakiti, saling menggugat. Karena digariskan sejak awal bahwa  syariat pernikahan itu menjadi tempat untuk merasakan dan mendapatkan  ketenangan.

Menurutnya, kunci untuk mendapatkan ketenangan itu adalah membangun ‘alaqot syar’iyah’ (hubungan yang berlandaskan hukum Islam) pada saat berkeluarga.

“Saat mengarungi kehidupan keluarga hadirkan kesadaran ruhiyah bahwa pergaulan yang baik di antara suami istri itu adalah wasiat dari Allah dan Rasul-Nya. Kalau ruh ini tidak dihadirkan maka keluarga tidak akan memiliki pijakan utama yang telah digariskan Islam,” tegasnya.

Ustazah Ratu lalu menjelaskan wasiat dari Allah dan Rasul-Nya itu.   

Pertama, perjanjian pernikahan itu dalam al-Quran disebut mitsaqan ghalidza (perjanjian yang  besar tanggung jawabnya). "Ghalidz disitu ada penekanan yang sangat besar dari Allah untuk menjaga keharmonisan rumah tangga  dan memenuhi hak dan kewajiban,” paparnya.

Kedua, mencari pasangan tidak boleh asal-asalan. "Harus memperhatikan faktor agama dan pemahaman terhadap hukum syariat," tegasnya.

Ketiga, hubungan suami istri bukan hubungan atasan dan bawahan. "Perlakukanlah mereka para istri itu dengan  baik sebagaimana yang dicontohkan Rasul SAW,” bebernya.

Ia mempertanyakan atas dalih apa para suami itu membentak istri, siapa yg ngasih izin menampar mereka. Apalagi kalau sekarang sampai membunuh. Apa karena sudah memberi mahar lantas berhak istri diperlakukan semaunya, Tidak ada dalilnya. “Yang ada adalah pergaulilah mereka dengan makruf,” katanya.

“Sebaliknya kepada perempuan, siapa yang memberi izin pada kalian untuk  bersikap sombong pada suami, tidak taat pada suami, enggak ada juga dalilnya,” imbuhnya.  

Termasuk situasi sekarang, sesalnya, solusi keburukan itu yaitu gambaran dominasi laki-laki atas perempuan harus dilawan dengan menjadikan perempuan berdaya. “Siapa yang mengizinkan ini? enggak ada. Karena wasiat Allah itu pergaulilah mereka dengan makruf," ucapnya.

Keempat, tumakninah. "Tumakninah ini harus ditegakkan berdasarkan  kesadaran keduanya dengan berkomitmen menegakkan batas-batas (had) hukum Allah,” terangnya.

Hukum Syara Untuk Semua

Menurut Ustazah Ratu, hukum Allah atau hukum syara merupakan titah Allah SWT yang harus ditegakkan oleh seluruh hamba-Nya.  “Bukan semata mata kesadaran atau kepintaran terhadap hukum syara  secara individual, tapi hukum syara ini harus ditegakkan oleh seluruh umat Islam dan harus ada edukasi masal terhadap hal tersebut.

“Agar seluruh umat Islam memahami seluruh hukum syara, edukasi masal bisa dilakukan secara merata memerlukan sistem kenegaraan yang bisa menjalankan fungsi itu,” tuturnya.

Negaralah yang berkewajiban memperhatikan apakah seluruh keluarga yang menjadi rakyatnya itu faham dalam menerapkan hukum-hukum  Allah. Karena pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. "Banyaknya masalah yang menimpa rumah tangga  saat ini  seperti banyaknya perceraian maka negara akan ditanya di hadapan Allah SWT,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
 




Sabtu, 23 April 2022

Dukungan Suami kepada Istri untuk Mengkaji Islam Harus Disyukuri


Tinta Media - Dukungan suami kepada istrinya untuk mengkaji lslam meskipun ia sendiri enggan saat diajak untuk mengkaji lslam, dinilai Pemerhati Keluarga dan Generasi Ustazah Dra. Zulia Ilmawati harus disyukuri.

"Jadi, yang pertama harus disyukuri punya suami yang mendukung kita untuk melakukan aktivitas, mendukung kita untuk mengkaji lslam, mendukung kita untuk melakukan aktivitas dakwah," tuturnya dalam Taman Ibunda: Wahai Pasutri Waspada Toxic Relationship di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Kamis (21/4/2022).

Kemudian, lanjutnya, yang kedua adalah mengajak suami agar sama-sama mengkaji Islam. "Dan caranya tentu diri kita masing-masing yang mengetahuinya," ujarnya.

"Agar satu frekuensi, satu persepsi, satu cara pandang bagaimana kemudian membangun keluarga," beber Zulia.

Menurutnya, semua itu membutuhkan proses dan kesabaran. "Untuk membangun sebuah keinginan yang ingin diciptakan bersama-sama," pungkasnya []Wafi

Selasa, 19 April 2022

IMuNe: Islamofobia Subur di Habitat Sekuler


Tinta Media - Ahli Geostrategi dari Institut Muslimah negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara menilai Islamofobia subur di habitat sekuler.

“Virus ini semakin subur di tengah habitat sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan yang berakibat pada  hilangnya pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama," tuturnya dalam acara Taman Ibunda: Keluarga Melawan Islamofobia, Selasa (12/4/2022) melalui kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.

Menurutnya, agama bagi masyarakat sekuler cukup dibicarain di masjid, cukup  diomongin sama Ustaz atau cukup didengar saat khutbah Jumat. Bukan untuk dipelajari apalagi diterapkan dan diperjuangkan. 

Dalam mengukur sebuah keluarga itu sekuler atau tidak, bisa dilihat dari visi misi saat menikah. “Tujuan pernikahan itu mereka maknai seperti apa? Bagaimana menerjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari (daily life),” jelasnya.

 “Kita bisa melihat tujuan pendidikan anak di keluarga sekuler hanya untuk mengantarkan mereka mencapai jenjang pendidikan tertinggi,  sukses karir, menikahkan mereka dengan jodoh yang juga tidak kalah punya status sosial,”simpulnya.

Dr. Fika mengatakan, yang lebih menyedihkan dari gaya hidup keluarga sekuler ini adalah merasa kesuksesan sudah  dicapai ketika mereka sukses memenuhi berbagai kebutuhan keluarga tapi dengan  cara meminjam uang ke bank. Kemudian praktek-praktek  profesionalisme. Kalau bicara Ayah hanya sekedar mencari nafkah. Ibu didapur. ”Jadi  literasi peran berbasis panduan agama itu sama sekali tidak terbangun,” tandasnya.

Level hidupnya rendah, lanjut Dr. Fika, hanya untuk konsumtif. Standar sukses itu kalau sudah bisa mengonsumsi barang-barang  bermerk, bergengsi.

“Literasi agama minim tapi mudah menjust, kalau dengar info tentang paham radikal mudah menilai sesat. Ujaran kebencian dianggap paham sesat tanpa ada upaya mengkonfirmasi. Ini memang ciri keluarga sekuler yang gampang terkena Islamofobia,” bebernya.

Menurutnya,  pemisahan agama sebagai otoritas termasuk dalam mewarnai pendidikan anak, sering memunculkan efek buruk. Konflik antar anggota keluarga, hilangnya birul walidain, hartanya tidak barokah. Padahal  dalam Islam hubungannya antara ruh dan materi itu sangat erat. “Itu akan mempengaruhi kesakinahan kemawadahan  dan warohmah  sebuah keluarga,” tandasnya.

Untuk menangkal Islamofobia, menurut Dr. Fika, bisa merujuk pada kisah Lukman yang diabadikan dalam al-Quran surat Lukman ayat 12.

“Luqman telah diberikan hikmah oleh Allah SWT  sebagai role model  bagi  orang tua dalam memberikan pendidikan keimanan yang luar biasa pada anaknya,” terangnya.

Ia mengungkap di dalam tafsir al Muyasar bahwa hikmah itu ada 3 kualifikasi.

Pertama, sebagai orang tua harus faqih fiddiin. "Harus menguasai agama agar memiliki kapasitas menjawab tantangan zaman termasuk menyiapkan anak-anak," ujarnya.

Kedua, aqlu/berpikir dalam arti ketika dia beriman, imannya harus conect dengan tantangan zaman. "Imannya harus produktif, bukan iman untuk ibadah ritual saja,” tegasnya.
 
Ketiga integritas yaitu menjadikan Islam sebagai otoritas dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup.

“Jadi, bahaya ketika orang tua tidak faqih fiddin, tidak berusaha meningkatkan diri untuk mendalami agama, tidak punya kesadaran iman untuk menjawab tantangan zaman dan tidak punya integritas sebagaimana yang dicontohkan oleh Luqman,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab