Tinta Media: Ibnu Taimiyah
Tampilkan postingan dengan label Ibnu Taimiyah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ibnu Taimiyah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Februari 2024

KH. M. Shiddiq Al-Jawi: Tidak Benar Mengaitkan Kutipan Imam Ibnu Taimiyyah dengan Pemilihan Capres di Sistem Sekuler



Tinta Media - Founder Institut Muamalah Indonesia sekaligus  Pakar Fiqih Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menanggapi pertanyaan terkait pendapat seorang khatib yang mengaitkan kutipan ucapan ulama terdahulu yang berbunyi: "Lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zalim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan" dengan pemilihan capres dalam sistem sekuler adalah tidak benar. 

“Pendapat khatib tersebut tidak benar jika mengaitkan kutipan tersebut dengan pemilihan capres saat ini dalam sistem sekuler yang ada. Kutipan yang dimaksud adalah apa yang disebutnya sebagai ucapan ulama terdahulu yang bunyinya, ‘Lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zalim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan’," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (12/2/2024). 

USAJ sapaan Kiai Shiddiq menegaskan,  kutipan tersebut memang benar adanya, tetapi yang dimaksud dengan ‘pemimpin yang zalim’ adalah Khalifah (atau Imam) yang zalim, yaitu pemimpin dalam negara Khilafah. “Bukan pemimpin dalam sistem demokrasi  sekuler saat ini,” tegasnya. 

Disampaikan kutipan aslinya yang berasal dari Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' Al Fatawa berbunyi sebagai berikut : 

سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ أَصْلَحُ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلاَ سُلْطَانٍ 

"Enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim, lebih baik daripada satu malam tanpa kepemimpinan/kekuasaan." (Ibnu Taimiyah, Majmu' Al Fatawa, Juz ke-28, hlm. 391). 

Kiai menjelaskan, teks aslinya yang berbunyi : سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ seharusnya diartikan ‘enam puluh tahun di bawah seorang Imam, atau Khalifah yang zalim’, tidak boleh sama sekali diartikan ‘enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim.” Hal ini karena kata ‘Imam’ (Khalifah) merupakan kata yang bermakna khusus, sedangkan kata pemimpin (‘amiir’) merupakan kata yang lebih umum cakupannya.  

“Jadi, ketika kalimat aslinya dalam Bahasa Arab diartikan ‘’enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim’, jelas ini adalah suatu penerjemahan yang manipulatif dan keliru,” jelasnya. 

Menurutnya, perbedaan antara istilah ‘pemimpin’ dengan ‘Imam’, kata ‘pemimpin’ (bahasa Arabnya  amiir) adalah kata yang bermakna umum, mencakup setiap pemimpin dalam berbagai sistem pemerintahan. 

“Jadi kata ‘pemimpin’ bisa mencakup Khalifah atau Imam, sebagai kepala negara dari negara Khilafah, mencakup pula Presiden dalam sistem pemerintahan Republik dari Barat, mencakup pula Raja (King) dalam sistem pemerintahan kerajaan (monarchy), dan sebagainya,” bebernya. 

Adapun istilah ‘Imam’ atau ‘Khalifah’ lanjutnya, adalah istilah khusus, bukan istilah umum, yang secara spesifik merupakan istilah untuk pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah atau sistem pemerintahan Islam. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 126). 

“Perlu diketahui bahwa pemimpin dalam Islam, disebut dengan istilah Khalifah, Imam, atau Amirul Mukminin. Ketiga istilah ini merupakan sinonim (sama maknanya),” tandasnya. 

Kiai Shiddiq juga menyampaikan pendapat Imam Nawawi dalam kitabnya Raudhat Al-Thalibin

يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لِلْإِمَامِ : اَلْخَلِيْفَةُ وَاْلإِمَامُ وَأَمِيْرُالْمُؤْمِنِيْنَ 

“Boleh Imam (pemimpin dalam Islam) itu disebut dengan istilah : Khalifah, atau Imam, atau Amirul Mukminin.” (Imam Nawawi, Raudhat Al-Thalibin, Juz X, hlm. 49). 

Secara lebih khusus, lanjut USAJ, tugas pokok dan fungsi Imam (atau Khalifah) telah dijelaskan oleh para ulama, yaitu menerapkan Syariah Islam dalam kekuasaan. Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata: 

اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ اْلأُمَّةِ فِي الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ، وَفِيْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ. 

“Khalifah (Imam) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam pemerintahan dan kekuasaan, dan dalam pelaksanaan hukum-hukum Syariah Islam.” (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi Al-Islam, hlm. 49). 

“Dengan demikian jelaslah, bahwa kutipan yang ditanyakan memang ada, tetapi dengan penerjemahan yang salah atau manipulatif, akhirnya diterapkan dalam konteks yang salah, yaitu sistem sekuler saat ini,” jelasnya menegaskan kembali. 

Menurut USAJ, seharusnya terjemahan yang benar adalah ‘enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim’ bukan diterjemahkan secara salah menjadi kalimat umum ‘enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim.’ 

“Penerjemahan yang salah inilah, yang akhirnya membawa kepada kesimpulan yang sesat dan menyesatkan, bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ adalah presiden, dalam konteks sekuler sekarang ini. Padahal yang dimaksud dengan kalimat ‘imam yang zalim’ (dalam teks bahasa Arabnya yang asli), adalah Imam atau Khalifah sebagai pemimpin negara Khilafah, bukan presiden dalam sistem republik sekuler yang ada saat ini,” pungkasnya.[] Raras

Selasa, 13 Februari 2024

Penyalahgunaan Kutipan Imam Ibnu Taimiyyah untuk Melegitimasi Pemilu Sistem Sekuler



Tanya:
Tinta Media - Assalamualaikum wr wb.
Afwan Ustadz saya Raihan alumni STEI Hamfara Yogyakarta dari Sulawesi. Izin bertanya Ustadz, Jumat kemarin waktu khutbah Jumat, khotib menyerukan kepada jamaah terkait wajib memilih pemimpin mengingat dalil tentang ketika 3 orang berada di tengah gurun pasir, maka salah satu di antaranya wajib diangkat menjadi pemimpin, jika tidak ada yang baik pilih yang sedikit mudaratnya, terus khotib mengutip terkait pernyataan ulama terdahulu yaitu, "lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zalim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan" Nah, setelah dari pernyataan itu khotib menyeruhkan bahwa kita haru memilih capres nanti. Ini dalam pandangan Islam yang sebenarnya gimana Ustadz? Apakah karena pernyataan dari ulama lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zolim dari pada 1 tahun tanpa pemimpin, kita terpaksa memilih pemimpin yang kita tahu dia tidak akan menjalankan sistem Islam? (Raihan, Sulawesi). 

Jawab:
Wa 'alaikumus salam wr . wb. 

Pendapat khothib tersebut tidak benar jika beliau mengaitkan kutipan tersebut dengan pemilihan capres saat ini dalam sistem sekuler yang ada. Kutipan yang dimaksud adalah apa yang disebutnya sebagai "ucapan ulama terdahulu" yang bunyinya  : "Lebih baik 60 tahun dipimpin pemimpin yang zolim dari pada 1 tahun tanpa kepemimpinan." 

Peru diketahui bahwa kutipan tersebut memang benar adanya, tetapi yang dimaksud dengan "pemimpin yang zalim" adalah Khalifah (atau Imam) yang zalim, yaitu pemimpin dalam negara Khilafah, bukan pemimpin dalam sistem demokrasi yang sekuler saat ini. 

Kutipan aslinya berasal dari Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu' Al Fatawa yang teks Bahasa Arabnya berbunyi sebagai berikut : 

سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ أَصْلَحُ مِنْ لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ بِلاَ سُلْطَانٍ 

"Enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim, lebih baik daripada satu malam tanpa kepemimpinan/kekuasaan." (Ibnu Taimiyah, Majmu' Al Fatawa, Juz ke-28, hlm. 391). 

Perhatikan teks asli berbahasa Arab tersebut! Teks aslinya berbunyi : سِتُّوْنَ سَنَةً مِنْ إِمَامٍ جَائِرٍ seharusnya diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang Imam, atau Khalifah yang zalim", tidak boleh sama sekali diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim." Hal ini karena kata "Imam" (atau "Khalifah") merupakan kata yang bermakna khusus, sedangkan kata pemimpin ("amiir") merupakan kata yang lebih umum cakupannya.  Jadi ketika kalimat aslinya dalam Bahasa Arab diartikan "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zalim", jelas ini adalah suatu penerjemahan yang manipulatif dan keliru.  

Ada perbedaan antara istilah "pemimpin" dengan "Imam". Perbedaannya, kata "pemimpin" (Bahasa Arabnya adalah _amiir_) adalah kata yang bermakna umum, mencakup setiap-tiap pemimpin dalam berbagai sistem pemerintahan. Jadi kata "pemimpin" bisa mencakup Khalifah atau Imam, sebagai kepala negara dari negara Khilafah, mencakup pula Presiden dalam sistem pemerintahan Republik dari Barat, mencakup pula Raja (King) dalam sistem pemerintahan kerajaan (monarchy), dan sebagainya. Adapun istilah "Imam" atau "Khalifah" adalah istilah khusus, bukan istilah umum, yang secara spesifik merupakan istilah untuk pemimpin tertinggi dalam negara Khilafah atau sistem pemerintahan Islam. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 126).  

Perlu diketahui bahwa pemimpin dalam Islam, disebut dengan istilah Khalifah, Imam, atau Amirul Mukminin. Ketiga istilah ini merupakan sinonim (yaitu sama maknanya). Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya Raudhat Al-Thalibin

يَجُوْزُ أَنْ يُقَالَ لِلْإِمَامِ : اَلْخَلِيْفَةُ وَاْلإِمَامُ وَأَمِيْرُالْمُؤْمِنِيْنَ 

“Boleh Imam (pemimpin dalam Islam) itu disebut dengan istilah : Khalifah, atau Imam, atau Amirul Mukminin.” (Imam Nawawi, Raudhat Al-Thalibin, Juz X, hlm. 49). 

Secara lebih khusus, tugas pokok dan fungsi Imam (atau Khalifah) telah dijelaskan oleh para ulama, yaitu menerapkan Syariah Islam dalam kekuasaan. Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata : 

اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ اْلأُمَّةِ فِي الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ، وَفِيْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ. 

“Khalifah (Imam) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam pemerintahan dan kekuasaan, dan dalam pelaksanaan hukum-hukum Syariah Islam.” (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi Al-Islam, hlm. 49). 

Dengan demikian jelaslah, bahwa kutipan yang ditanyakan memang ada, tetapi dengan penerjemahan yang salah atau manipulatif, akhirnya diterapkan dalam konteks yang salah, yaitu sistem sekuler saat ini. Seharusnya terjemahan yang benar adalah "enam puluh tahun di bawah Imam (Khalifah) yang zalim" bukan diterjemahkan secara salah menjadi kalimat umum "enam puluh tahun di bawah seorang pemimpin yang zolim". Nah penerjemahan yang salah inilah, yang akhirnya membawa kepada kesimpulan yang sesat dan menyesatkan, bahwa yang dimaksud dengan "pemimpin" adalah presiden, dalam konteks sekuler sekarang ini. Padahal yang dimaksud dengan kalimat "imam yang zalim" (dalam teks Bahasa Arabnya yang asli), adalah Imam atau Khalifah sebagai pemimpin negara Khilafah, bukan presiden dalam sistem republik sekuler yang ada saat ini. Wallahu a'lam

Yogyakarta, 12 Februari 2024 

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

www.shiddiqaljawi.com
www.fissilmi-kaffah.com



Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Muamalah

Senin, 16 Mei 2022

Ibnu Taimiyah, Ulama Besar Sepanjang Sejarah Islam


Tinta Media  - “Salah seorang ulama besar sepanjang sejarah Islam sejak ratusan tahun yang lalu hingga saat ini adalah Al-‘Allamah Syaikh Imam Ibnu Taimiyah,” tutur Ustazah Noval Tawang dalam One Minute Boster: Jadilah Pengemban Dakwah pembela Umat, di kanal Youtube Muslimah Media Center, Ahad (15/5/2022).

Tentang kebesaran Ibnu Taimiyah, Ustazah Noval menjelaskan bahwa  beliau bukan semata-mata keilmuannya tetapi juga dari sisi ketakwaan,  kesalihan,  ketekunan dalam beribadah, kezuhudan, kewara'an, kesabaran dan keteguhan serta semangat kepahlawanan dan keberaniannya, baik di medan dakwah maupun di medan jihad fisabilillah.

Ibnu Taimiyah, lanjutnya, salah seorang ulama pembela Al -Quran dan As- Sunnah serta penentang kekufuran dan bid’ah di garda terdepan. “Beliau adalah orang yang keras pendiriannya, dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah. Beliau mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala aangannya,” tuturnya.

“Yang menarik adalah Ibnu Taimiyah bukan saja ulama besar yang wara’, zuhud dan ahli ibadah,  tetapi beliau adalah pejuang di medan jihad. Bahkan beliau adalah seorang pemberani dan seorang penunggang kuda yang ahli,” tambahnya.

Menurut Ustazah Noval,  penguasaan yang sempurna di dalam beberapa ilmu seperti tafsir, aqidah, hadis, fiqih, bahasa Arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya,  tidak pernah menyurutkan langkah Ibnu Taimiyah dalam membela agama Allah.

“Bahkan beliau adalah pembela setiap jengkal tanah umat Islam dari kezaliman  musuh dengan pedangnya, sebagaimana beliau adalah pembela akidah umat dengan lisan dan penanya,” imbuhnya.

Namun, ketegaran keberanian dan kelantangan beliau di dalam mengajak kepada al-haq ternyata menyalakan api kedengkian  dan kebencian para munafik.

Kaum munafik meniupkan racun-racun fitnah sehingga beliau harus mengalami berbagai tekanan penjara, dibuang, diasingkan dan disiksa. “Luar biasanya penjara tidak pernah menghalangi Ibnu Taimiyah untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang aqidah, tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid’ah. Bahkan beliau berhasil membuat suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada Allah berkat dakwah beliau,” ungkapnya.

 “Penjara berubah menjadi pesantren yang penuh dengan orang-orang yang mengkaji dan menuntut ilmu dari beliau,” kisahnya.

“Semoga para pengemban dakwah bisa mengambil pelajaran dari semua ini dan bisa menjadi pejuang sebagaimana beliau pada zaman ini,” harapnya menyudahi penuturan.[] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab