Tinta Media: IRRI
Tampilkan postingan dengan label IRRI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IRRI. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Desember 2022

Rencana Impor Beras di Tengah Penghargaan IRRI, Indonesia Gagal Mandiri?

Tinta Media - Sungguh heran dengan para pemangku kebijakan di negeri ini. Baru beberapa bulan lalu, tepatnya tanggal 14 Agustus 2022, pemerintah mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atas kemampuannya mencapai swasembada beras selama tiga tahun terakhir secara berturut-turut. 

Namun di tengah prestasinya ini, pemerintah melalui Kemendag, malah kembali berencana untuk membuka keran impor beras sebesar 500.000 ton. Dalihnya dalam rangka untuk memenuhi pasokan cadangan beras pemerintah (CBP) yang kian menipis.

Mengapa tak lama setelah mengumumkan swasembada pemerintah malah memutuskan impor beras? Apa artinya penghargaan IRRI jika nyatanya negeri ini masih harus mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhannya?

Keputusan mengimpor beras di tengah penghargaan IRRI, sungguh sangat ironis. Hal ini menunjukkan, pertama, buruknya pengelolaan pangan dalam negeri sehingga gagal dalam mengoptimalkan segala potensi baik SDA maupun SDM yang dimilikinya.

Indonesia merupakan negara agraris. Negeri ini memiliki lahan pertanian yang luas dan subur, beranekaragam komoditas pertanian, dan SDM petani yang banyak. Dengan potensi tersebut, seharusnya Indonesia sangat bisa mewujudkan ketahanan pangan. 

Kedua, buruknya kinerja pemerintah dalam memastikan ketersediaan stok beras nasional dan mengoordinasi data. Pasalnya kisruh data malah sering terjadi di antara pejabat pemerintah.

Ketiga, terlalu fokus pada pemenuhan stok tapi kurang memperhatikan distribusinya ke tengah-tengah masyarakat. Realitasnya, seringkali terjadi pemusnahan stok beras dengan alasan turunnya mutu. Padahal di lapangan, rakyat masih banyak yang kelaparan.

Keempat, inkonsistensi keberpihakan pemerintah terhadap rakyat dan lebih memihak pada oligarki kapitalis. Ketika kebijakan impor digolkan, justru yang kerap dirugikan adalah petani sendiri. 

Para pemburu (mafia) rente mengambil keuntungan dari impor. Tak sedikit yang berasal dari kalangan pejabat. Mereka berperan memuluskan kebijakan yang berpihak kepada siapa saja yang bisa memberikan rente, yaitu para oligarki pemilik modal. 

Kelima, negara tak memiliki visi ideologis untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Impor kerap dijadikan solusi pamungkas untuk memenuhi ketersediaan stok pangan dalam negeri. Bukannya mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Inilah yang terjadi jika sistem demokrasi kapitalisme menjadi landasan atas setiap kebijakan dan peraturan. Tak aneh jika pemangku kebijakan jauh dari kesan memihak kepada rakyat dan justru lebih condong pada kepentingan oligarki pemilik modal. Mahalnya biaya demokrasi, menciptakan simbiosis mutualisme antara pemangku kebijakan dengan para kapitalis. 

Negara pun akhirnya gagal dalam menciptakan kemandirian dan ketahanan pangan. Penghargaan swasembada hanya sebatas klaim.

Sistem Islam Wujudkan Kemandirian Pangan

Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang memiliki aturan yang paripurna termasuk dalam mengatasi masalah pangan. Dengan kekuatan ideologinya, negara Islam (Khilafah) memiliki sejumlah mekanisme untuk mewujudkan kemandirian pangan.

Pertama, kebijakan optimalisasi produksi pangan dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi dengan menghidupkan lahan mati, misalnya. Sedangkan intensifikasi, meningkatkan produktivitas lahan dan memaksimalkan pengadaan saprodi serta sarana pertanian lainnya bagi petani.

Kedua, distribusi pangan yang adil dan merata. Negara menciptakan mekanisme pasar yang sehat, melarang praktik penimbunan, kartel, penipuan, praktik riba, dan monopoli. 

Ketiga, mengatur kebijakan ekspor impor antar negara. Ekspor boleh dilakukan jika seluruh rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri. Aspek yang dilihat dalam perdagangan luar negeri adalah pelaku perdagangan, bukan barang yang diperdagangkan. 

Semua ini, dilakukan negara berideologi Islam untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan. Sehingga tak bergantung impor, lagi dan lagi. Wallahu alam bish shawab.

Oleh: Lussy Deshanti Wulandari
Pegiat Literasi
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab