Tinta Media: Hutan
Tampilkan postingan dengan label Hutan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hutan. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Januari 2024

Bencana Datang Berganti Akibat Hutan Di Alih Fungsi



Tinta Media - Indonesia di sebut sebagai paru-paru dunia, dengan berbagai keragaman flora dan fauna yang hidup dan tumbuh dengan baik di dalam hutan. Banyaknya jumlah hutan lindung dan beriklim tropis menjadi nilai lebih Indonesia dari negara lain. Namun sayangnya jumlah hutan di Indonesia kini semakin berkurang, lahan yang awalnya berisikan pepohonan dan berbagai macam tanaman kini beralih fungsi menjadi lahan pertanian, perkebunan, pertambangan, industri, bahkan di jadikan objek wisata.

Dalam laman CNN Indonesia (12/01/2024) - Catatan Akhir Tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Region Sumatera menunjukkan Riau mengalami deforestasi hutan sebanyak 20.698 hektare selama tahun 2023. Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring, mengatakan bahwa angka ini lebih luas dibandingkan dengan kondisi 5 tahun terakhir.

Pada tahun 2023 hutan di Riau hanya tersisa 1.377.884 ha, sebab kurang lebih 57% daratan di Riau telah di jadikan Investasi. Tercatat pemerintah memberikan perizinan kepada 273 perusahaan kelapa sawit, 55 hutan tanaman industri, 2 hak pengusahaan hutan, dan 19 pertambangan. Walhi juga mencatat luas kebun kelapa sawit di Riau yang berada dalam kawasan hutan seluas 1,8 juta hektar. Boy menilai bahwa perizinan ini di dukung dan di fasilitasi oleh UU nomor 6 tentang Cipta kerja, sehingga bisa menjadikan kawasan hutan sebagai lahan perkebunan.

Sistem Kapitalis Yang Mengutamakan Keuntungan 

Hilangnya hutan tentu akan menimbulkan sejumlah bencana yang akan berulang, selama hutan belum berfungsi sebagai mana semestinya maka, banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya akan terus terjadi, hal ini pasti akan menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat, terutama kawasan yang sudah menjadi langganan bencana. Masyarakat akan kesulitan mendapatkan air bersih, tidak bisa bekerja dan beraktivitas seperti biasa, pembelajaran sekolah di liburkan, serta rentan terkena penyakit.

Penguasa yang sudah berulang kali menghadapi problematika ini harusnya tahu bahwa tidak ada solusi lain kecuali mengembalikan fungsi hutan seperti sedia kala. Namun mereka seakan menutup mata dengan kesulitan dan kerugian yang dialami masyarakat. Beginilah wajah asli kapitalisme yang tamak dan rakus, alih fungsi lahan seperti ini tentu menghasilkan keuntungan yang besar, bahkan demi kepentingan, mereka bisa membuat kebijakan yang juga bernilai cuan walaupun di tentang banyak orang. Ini merupakan hasil dari penerapan sistem demokrasi, yang mengutamakan kepentingan dan keuntungan dari para pemilik modal.

Islam Mengelola Lahan dan Hutan

Negara Islam menggunakan syariat Islam sebagai sumber hukum. Sebab Allah Swt sebagai pencipta tentu lebih mengerti tentang ciptaannya. Hukum buatan manusia sudah jelas dan terbukti hanya menimbulkan kerugian dan kesengsaraan, sebab hukum di buat berdasarkan kepentingan, dan keuntungan sehingga bisa berubah sesuai dengan keinginan pembuatnya. Berbeda dengan hukum Islam yang adil dan tidak merugikan manusia.

Pemimpin dalam Islam disebut Khalifah, yang bertugas sebagai pelayan umat, yang melindungi, menjamin dan memastikan segala macam kebutuhan umat terpenuhi. Khalifah tidak mengutamakan kepentingan dirinya atas masyarakat dan tidak pula membuat kebijakan yang akan memberikan dirinya banyak keuntungan.

Dalam Islam terdapat 3 sistem kepemilikan lahan, yaitu individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu memperbolehkan individu memiliki dan mengolah lahan, baik untuk pertanian, perkebunan maupun perikanan. Sedangkan kepemilikan umum merupakan sumber daya alam yang tidak terbatas, maka negara akan bertugas sebagai pengelola, dan keuntungannya akan di gunakan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat. Negara tidak akan memberikan izin untuk individu maupun swasta menguasai sumber daya alam ini.

Untuk kepemilikan negara, merupakan tanah tanpa pemilik atau yang tidak di urusi dan di olah selama 3 tahun, maka negara akan mengambil alih untuk di kelola dan di manfaatkan, hak kepemilikan juga akan hilang sebab di biarkan selama 3 tahun. Negara juga bisa memberikan lahan ini kepada orang yang membutuhkan dengan syarat harus di kelola dan di manfaatkan dengan benar.

Negara juga akan memberikan sanksi tegas terhadap pihak yang melanggar aturan, seperti penebangan hutan secara liar, membakar hutan untuk membuka lahan, atau segala hal yang akan menimbulkan kerugian pada masyarakat, maka akan di adili sesuai dengan syariat Islam. Dengan demikian kehidupan masyarakat menjadi lebih terjamin, hutan dan ekosistem alam juga tetap terjaga.

Khatimah

Syariat Islam sangat mengutamakan kemaslahatan umat, menjaga keseimbangan alam tanpa merusak atau merugikan pihak mana pun. Berbeda dengan sistem Kapitalis yang rela melakukan berbagai cara demi meraih kepentingan dan keuntungan untuk dirinya sendiri tanpa peduli kerugian yang akan di alami masyarakat. Mari kembali pada sistem Islam menuju peradaban yang mulia dan gemilang.
Wallahu A'lam Bisshowab.

Oleh: Audin Putri 
(Aktivis Muslimah Pekanbaru)

Jumat, 15 Desember 2023

Aktivis: Belum Ada Sanksi Tegas bagi Para Pelaku Pembakaran Hutan


 
Tinta Media - Aktivis Muslimah Ustadzah Herawati menilai, belum ada sanksi tegas bagi pelaku pembakaran hutan di Kalimantan Selatan.
 
“Belum ada sanksi yang tegas bagi para pelaku pembakaran hutan,” tuturnya dalam video Blusukan Kru MMC [Kalsel]: Ratusan Ribu Warga Terkena ISPA  Akibat Kebakaran Hutan, Senin (11/12/2023) di kanal YouTube Muslimah Media Center.
 
Ia menyesalkan, demi menghemat biaya, jutaan hektar hutan dan lahan dibiarkan, dirusak untuk dilakukan pembakaran dan juga diberikan konsesinya kepada swasta.
 
"Nah, besarnya dan luasnya dampak yang diakibatkan oleh bencana kabut asap ini tentu seyogyanya  menjadi perhatian kita bersama. Jangan sampai demi kepentingan bisnis," harapnya.
 
Menurutnya, pemerintah harus melakukan langkah-langkah manajemen dan kebijakan tertentu. "Seperti melakukan mitigasi pra bencana dengan menggunakan berbagai iptek yang mutakhir, juga memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan bencana yang terjadi," ujarnya.
 
Ia berharap kabut asap dapat diantisipasi dengan baik. Jika pun terjadi bencana kabut asap akibat faktor alam, tidak berlarut-larut, sehingga tidak menyebabkan dampak negatif yang besar bagi masyarakat termasuk juga bagi kesehatan masyarakat.
 
“Di dalam Islam, pengelolaan hutan sebagai milik umum seharusnya dilakukan oleh negara untuk kepentingan rakyat. Negara juga harus mendidik dan membangun kesadaran di tengah-tengah masyarakat untuk mewujudkan kelestarian lingkungan termasuk kelestarian hutan," tutupnya. [] Ajira.

Kamis, 19 Oktober 2023

Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia Butuh Solusi Sistemik

Tinta Media - Musim kemarau dan El Nino menjadi pemicu kebakaran hutan dan lahan meningkat seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Di Kalimantan Barat, yaitu tempat area PT. MTI Unit 1 Jelai (1.151 Ha), PT. CG 267 Ha, PT. SUM 168,2 Ha, dan PT. FWL 121,24 Ha. Tim pengawas dan Polisi Hutan Balai Gakkum KLHK Kawasan Kalimantan, sudah melakukan penyegelan empat tempat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Semua itu dilakukan untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan.

Melalui data hotspot, Tim Gakkum KLHK terus mengawasi secara intensif tempat-tempat yang terindikasi adanya titik api. Rasio Ridho Sani Direktur Jendral Gakkum KLHK mengatakan, sudah memerintahkan semua kantor Balai Gakkum baik di Sumatera ataupun Kalimantan untuk terus mengawasi serta melakukan verifikasi lapangan dan penyelidikan atas terjadinya karhutla pada area  konsesi perusahaan ataupun tempat yang dikuasai oleh masyarakat.  


Oleh karena itu, menurut Rasio, instrumen penegak hukum yang menjadi kewenangan KLHK akan digunakan untuk menindak tegas kepada penanggung jawab usaha atau kegiatan atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan, baik berupa sanksi administrasi sampai pencabutan izin, gugatan perdata berupa ganti rugi pemulihan lingkungan hidup ataupun penegakan hukum pidana.

Selain melakukan penyegelan kepada 4 tempat konsesi perusahaan yang terjadi kebakaran, juga dilakukan pemasangan papan larangan kegiatan dan garis PPLH, satu perusahaan dilakukan proses penyelidikan/pulbaket, dan satu perusahaan sudah direkomendasikan agar diberikan sanksi administrasi paksaan pemerintah melalui kepala daerah. 

Karena itu, Rasio menegaskan bahwa penyegelan ini harus menjadikan perhatian bagi perusahaan. Selain itu, perusahaan tempat terjadinya kebakaran dapat dikenakan sanksi administratif, termasuk pembekuan dan pencabutan izin, serta gugatan perdata terkait ganti rugi lingkungan hidup dan penegakan hukum pidana. 

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sekarang ini menyebabkan beberapa kota di Indonesia diselimuti kabut asap. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dua negara tetangga Indonesia, Malaysia dan Singapura, juga merasa terganggu dan merasa dirugikan.

Dengan meluasnya karhutla, seharusnya pemerintah bisa melakukan evaluasi terhadap usaha penanganan yang ada. Apakah semua yang dilakukan pemerintah selama ini dalam mencegah dan mengatasi karhutla sudah efektif dan antisipatif? Pertanyaan itu muncul karena kejadian karhutla terus berulang. Hal itu menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganan karhutla masih minim dan belum berhasil.

Namun, semua permasalahan karhutla sebenarnya bukan hanya permasalahan teknis semata, tetapi sudah termasuk permasalahan sistemis. Karhutla merupakan salah satu dampak kapitalisasi hutan atas nama konsesi. 

Perusakan hutan besar-besaran dimulai sejak adanya UU 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok  Kehutanan. Semenjak UU ini berlaku, penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Izin konsesi hutan inilah yang menjadi faktor utama penyebab karhutla terus terjadi.

Demi kepentingan bisnis kaum kapitalis, pembukaan lahan gambut, termasuk deforestasi ini juga masih berlangsung. Sejak adanya UU yang berlaku, korporasi boleh membakar hutan dan lahan, meski dengan ketentuan dan syarat tertentu. Semua ini makin menegaskan bahwa peran negara tidak lebih sekadar regulator dan fasilitator  bagi kepentingan korporasi.

Dampak dari penerapan sistem kapitalisme yaitu pemberian izin konsesi hutan, alih fungsi lahan melalui pembukaan lahan gambut, sampai deforestasi. UU negara juga melegalisasi eksploitasi dan pemanfaatan hutan. Sungguh paket lengkap dalam upaya mendegradasi fungsi hutan menjadi ladang bisnis korporasi, padahal tugas negara adalah memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk menjaga rakyat dari bahaya kebakaran hutan dan dampaknya.

Karena itu, selama pengelolaan hutan masih menggunakan konsep kapitalisme dan kebebasan kepemilikan masih menjadi dasar menguasai aset-aset strategis tanpa batas, maka karhutla dan perusakan hutan jangan harap bisa dihentikan.

Karhutla dapat teratasi secara tuntas jika negara menerapkan sistem Islam secara kaffah. Maka dari itu, tidak ada masalah yang tidak memiliki solusi, begitu pun karhutla.

Pengelolaan hutan dan pemanfaatannya berprinsip tidak ada kebebasan secara mutlak dalam Islam. Para individu wajib berada dalam sistem Islam. Individu boleh mempunyai lahan dengan syarat yang dibenarkan syariat. Lahan-lahan yang dimiliki harus dikelola dengan produktif dan tidak ditelantarkan lebih dari 3 tahun.

Jika lahan tersebut ditelantarkan lebih dari tiga tahun, lahan tersebut berstatus menjadi tanah mati. Lalu negara akan memberikan kepada orang yang lebih dulu menggarap dan menghidupkan tanah oahan itu. Pengelolaannya tidak boleh membakar atau cara apa pun yang dapat menghilangkan unsur hara dan merusak ekosistem.

Islam memerintahkan bahwa kepemilikan umum hanya dikelola oleh negara, lalu hasilnya diberikan sebagai hak rakyat. Salah satunya, hutan tidak boleh dikelola oleh swasta, individu, bahkan asing. Hal ini karena hutan berkepemilikam umum dan harus dikelola oleh negara.

Negara boleh melakukan konservasi hutan yang berupaya untuk melindungi hak-hak ekologi, serta SDA yang asli. Negara juga dapat memproteksi hutan untuk kawasan konversi. Ini dilakukan saat eksplorasi hutan berpotensi membahayakan dan menimbulkan bencana ekologis bagi masyarakat.

Dengan penjelasan di atas, saat sistem Islam diterapkan, negara akan menjalankan fungsinya sebagaimana semestinya, yaitu sebagai raa'in (mengurusi seluruh urusan rakyat). Maka, tidak akan ada ekploitasi hutan secara ugal-ugalan. Wallahu a'lam bish shawab.

Oleh: Aning Juningsih (Aktivitas Muslimah)

Selasa, 11 Juli 2023

Pemutihan Perkebunan Sawit Ilegal di Kawasan Hutan Bisa Didakwa Turut Merugikan Keuangan Negara

Tinta Media - Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan ada 3,3 juta hektar lahan sawit berada di dalam kawasan hutan.

Luas lahan ilegal yang sangat besar tersebut pasti sudah berlangsung sangat lama, dan terkesan ada pembiaran dari pemerintah. 

Pemerintah seharusnya segera menindak pengusaha-pengusaha nakal tersebut.

Tetapi, bukannya menindak, pernyataan pemerintah malah sebaliknya, terkesan sangat arogan, bermental tirani seperti di masa kolonial.

Pemerintah mengatakan akan “memutihkan” kebun sawit ilegal yang menyerobot kawasan hutan tersebut.

https://bisnis.tempo.co/amp/1740714/33-juta-hektare-lahan-sawit-di-kawasan-hutan-luhut-pakai-logika-saja-kita-putihkan-terpaksa

Artinya, para kriminal dan penjarah kawasan hutan tersebut bukannya dihukum, tapi malah mau diberi hadiah, dengan melegalkan tindakan kriminalnya yang merugikan keuangan negara, merugikan perekonomian negara, dan merusak lingkungan, asalkan bayar denda administratif dan menyetor pajak. Pemerintah berdalih, sudah sesuai Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja.

Pernyataan dan logika pemerintah ini sangat tidak normal. Bagaimana bisa, sebuah tindak pidana diganjar dengan hadiah?

Pemerintah tidak bisa “memutihkan” perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan. Ada beberapa alasan untuk itu.

Pertama, Pasal 110A hanya berlaku bagi mereka yang sudah mempunyai *Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan.* Sedangkan Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan pasti bukan untuk perkebunan sawit. Artinya, perkebunan sawit di dalam kawasan hutan pasti tidak mempunyai Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan, sehingga Pasal 110A tidak berlaku bagi mereka.

Kedua, Penggunaan Kawasan Hutan tidak boleh mengubah fungsi pokok Kawasan Hutan (pasal 38, ayat (2)). Sehingga Pasal 110B UU Cipta Kerja tidak bisa dijadikan alasan untuk memberi Perizinan Berusaha kepada pengusaha sawit, dengan mengubah fungsi pokok kawasan hutan menjadi perkebunan.

Pasal 105, huruf a, UU Cipta Kerja mengatakan, setiap Pejabat yang menerbitkan Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan dan/ atau Perizinan Berusaha terkait penggunaan Kawasan Hutan di dalam Kawasan Hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun, serta denda paling sedikit satu miliar rupiah dan paling banyak sepuluh miliar rupiah.

Artinya, pejabat yang memberi Perizinan Berusaha perkebunan sawit di dalam kawasan hutan dapat pidana seperti dimaksud pasal ini.
Ketiga, penggunaan Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha, atau penggunaan Perizinan Berusaha yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian Perizinan Berusaha di dalam kawasan hutan, termasuk kategori Perusakan Hutan (Pasal 1, butir 3).

Artinya, perkebunan sawit di kawasan hutan tanpa ada Perizinan Berusaha, termasuk Perusakan Hutan.

Keempat, setiap orang yang mengerjakan, menggunakan dan/atau menduduki Kawasan Hutan secara tidak sah (Pasal 50 ayat (2), huruf a), dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp7,5 miliar. 

Perkebunan sawit di kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha masuk kategori ini.

Kelima, Pasal 110A dan Pasal 110B tidak bisa menghilangkan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara seperti dimaksud UU tentang Tindak Pidana Korupsi.

Surya Darmadi, bos Duta Palma Group, divonis 15 tahun penjara (ditambah denda), karena terbukti menggunakan kawasan hutan secara ilegal untuk perkebunan sawit. Adapun luas lahan ilegal tersebut *hanya* 37.095 hektar, sangat kecil kalau dibandingkan dengan 3,3 juta hektar lahan ilegal yang mau diputihkan pemerintah.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230223140351-12-916925/surya-darmadi-divonis-15-tahun-penjara-dan-denda-rp1-miliar/amp

Vonis 15 tahun penjara kepada Surya Darmadi malah mendapat kritik dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Menurut Walhi, hukuman tersebut terlalu ringan! Karena waktu untuk memulihkan kerusakan lingkungan akibat perkebunan sawit ilegal di kawasan hutan tersebut akan lebih lama dari vonisnya. 

https://www.jawapos.com/kasuistika/amp/01438491/walhi-anggap-vonis-surya-darmadi-tidak-adil

Selain itu, Surya Darmadi juga didakwa dengan tindak pidana pencucian uang puluhan triliun rupiah.

Artinya, kasus Surya Darmadi sudah menjadi fakta hukum, bahwa penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit secara ilegal merupakan tindak pidana, sehingga tidak bisa diputihkan atau dilegalkan.

Pejabat yang melegalkan perkebunan sawit di kawasan hutan dapat didakwa ikut melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

—- 000 —-

Minggu, 02 Juli 2023

LUHUT PANJAITAN AKAN LEGALISASI PEMBALAKAN HUTAN LIAR (ILEGAL LOGGING), MENYULAP LAHAN SAWIT ILEGAL MENJADI LEGAL DENGAN DALIH AGAR BAYAR PAJAK?

Tinta Media - Luar biasa negeri ini, negeri yang menjadi surganya para maling, para perompak, koruptor dan pelaku kejahatan lainnya. Sebelumnya, duit maling, koruptor, pencuci uang, bandar narkoba, dan harta haram dari kejahatan lainnya dicuci bersih oleh rezim ini melalui program resmi negara, namanya Tax Amnesty. 

Berdalih agar mendapat tambahan pajak, agar ada objek pajak baru, agar ada tambahan pendapatan negara dari pajak, geng ekonomi Jokowi yang disetir oleh Luhut Panjaitan ini menggulirkan program pengampunan pajak. Semua harta dari manapun asalnya, tak peduli dari korupsi atau narkoba, asalkan membayar pajak baik melalui program deklarasi maupun repatriasi, semuanya menjadi legal, diakui dan dilindungi negara.

Setelah duit dari legalisasi Tax Amnesty habis, sekarang Rezim Jokowi melalui Luhut Panjaitan masuk objek baru. Mereka mendata sejumlah perkebunan sawit ilegal yang tidak membayar pajak, lalu akan dilegalisasi (diputihkan) dengan dalih agar negara mendapatkan pajak.

Sebagaimana dikabarkan media, sebanyak 3,3 juta hektare lahan perkebunan kelapa sawit ilegal yang berdiri di atas kawasan hutan bakal diputihkan (dilegalisasi). Hal itu disampaikan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. 

Menurutnya, lahan sawit yang berdiri di atas hutan ini sudah terlanjur berjalan dan tidak bisa dicopot lagi. Atas dalih itu, Luhut kemudian mencari alasan pembenar untuk melakukan legalisasi.

Dalam temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Luhut memaparkan di Indonesia ada 16,8 juta hektare lahan perkebunan sawit. Sebanyak 3,3 juta hektare di antaranya merupakan lahan ilegal yang berdiri di atas kawasan hutan. (23/6/2023).

Upaya Luhut yang akan melegalisasi lahan sawit ilegal menjadi legal, dengan dalih agar taat hukum dan membayar pajak, *jelas merupakan kejahatan negara yang dilakukan secara terstruktur dan terlembaga, yang jelas bertentangan dengan asas keadilan, melabrak konstitusi dan peraturan perundang-undangan serta berpotensi korupsi yang merugikan keuangan negara, disebabkan:*

*Pertama,* melegalisasi lahan sawit ilegal sama saja melegalisasi pembalakan hutan (ilegal logging). Mengingat, asal kebun sawit ilegal di hutan umumnya berasal dari hutan yang kaya akan hasil hutan, khususnya kayu. Rencana Luhut melegalisasi lahan sawit ilegal menjadi legal dengan dalih agar taat hukum dan membayar pajak, sama saja upaya jahat untuk menutupi kejahatan ilegal logging yang jelas-jelas merugikan keuangan negara.

*Kedua,* lahan sawit ilegal memang tidak mungkin dicopoti, seperti yang dikatakan Luhut Panjaitan. Namun, juga bukan malah dilegalisasi dengan dalih agar taat hukum dan membayar pajak.

Semestinya, lahan sawit ilegal ini disita oleh negara, dan dikelola oleh BUMN yang dengan demikian negara mendapatkan semua manfaat dari lahan sawit ilegal seluas 3,3 juta hektare, bukan sekedar dapat recehan dari pajaknya. 

Upaya melegalisasi lahan sawit ilegal, alih-alih membantu negara, justru negara kehilangan potensi pendapatan yang besar dari proses penegakan hukum dan menyita lahan sawit tersebut. Justru yang diuntungkan adalah oligarki sawit yang telah melakukan pembalakan liar, penguasaan lahan sawit legal, karena adanya ide legalisasi lahan sawit yang digulirkan Luhut Panjaitan.

*Ketiga,* proses legalisasi lahan sawit ilegal ini jelas-jelas akan merugikan keuangan negara. Karena itu, KPK harus memeriksa semua pihak yang terlibat dalam rencana jahat legalisasi lahan sawit ilegal ini, terutama pejabat publik yang berwenang khususnya Luhut Binsar Panjaitan. karena patut diduga ada penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

*Keempat,* patut diduga rencana LEGALISASI LAHAN SAWIT ILEGAL ini dilakukan Luhut Panjaitan tidak secara gratis. Karena itu, harus diperiksa seluruh perusahaan sawit ilegal yang mengelola 3,3 juta hektar lahan ini, adakah kompensasi yang mereka berikan kepada Luhut Panjaitan untuk memuluskan rencana jahat ini.

Modusnya bisa berupa share saham melalui nomine maupun perusahaan terafiliasi, kompensasi langsung maupun tak langsung, sejumlah layanan dari perusahaan kepada Luhut atau perusahaan terafiliasi lainnya, menempatkan sejumlah saham kepada perusahaan cangkang yang disepakati, atau dengan modus operandi lainnya.

Wahai rakyat Indonesia, sadarilah. Ada perampok sawit dan pembalak hutan ilegal di negeri ini, dengan luas lahan 3,3 juta hektar, bukannya pelakunya ditangkap dan lahan sawitnya disita negara, oleh Luhut Panjaitan malah mau dilegalisasi. Apakah kita akan diam dan ridlo dengan semua kezaliman ini? [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
https://heylink.me/AK_Channel/



Kamis, 11 Agustus 2022

Begini Cara Syariah Mengelola Hutan

Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer KH M Shidiq al-Jawi, S.Si., M.S.I., (USAJ)  menjelaskan delapan  ketentuan syariah Islam terpenting dalam pengelolaan hutan.

“Pertama, syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah),” tuturnya di akun telegram pribadinya, Selasa (9/8/2022).

Ketentuan ini , lanjut USAJ, didasarkan pada hadits Nabi SAW riwayat Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.”

“Kedua, pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain, misalnya swasta atau asing,” terangnya.

Ketiga, jelas USAJ, pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).

“Meskipun pengelolaan hutan menurut syariah adalah di tangan negara, tidak berarti semua urusan hutan ditangani oleh pemerintah pusat (Khalifah),” tegasnya.

USAJ menambahkan, hal-hal yang menyangkut kebijakan politik, seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan, dan kebijakan keuangan (maaliyah), ada di tangan Khalifah sebagai pemimpin pemerintah pusat.

“Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif (al-idariyah) dalam pengelolaan hutan, ditangani oleh pemerintahan wilayah (propinsi). Misalnya pengurusan surat menyurat kepegawaian dinas kehutanan, pembayaran gaji pegawai kehutanan, pengurusan jual beli hasil hutan untuk dalam negeri, dan sebagainya,” imbuhnya.

Keempat, terang  USAJ, negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam Baitul Mal (Kas Negara) dan mendistribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum-hukum syariah.

“Segala pendapatan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) dari sektor Kepemilikan Umum. Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariah Islam,” tandasnya.
 
Kelima, lanjut  USAJ, negara boleh melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk suatu kepentingan khusus.

“Hima artinya kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah,” jelasnya.

Keenam, negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan. Dan ketujuh, negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.

“Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis yang penting. Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan. Misalnya teknologi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya,” jelasnya.
 
Kedelapan, lanjutnya, negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan.

“Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan),” tandasnya.

Ta’zir ini, jelas USAJ,  dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya.

“Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal loging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan TV nasional,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 

Selasa, 09 Agustus 2022

Kebakaran Hutan Terus berulang, Dr. Erwin: Kekeliruan Paradigma

 

Tinta Media - Merespon kebakaran hutan yang terus berulang terjadi di Indonesia, Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesian Justice Monitor (IJM) Dr. Erwin Permana mengatakan, karena kekeliruan paradigma.
 
“Kebakaran hutan terus berulang karena  paradigma pengelolaan hutan Indonesia yang keliru . Paradigma pengelolaan hutan di Indonesia kapitalistik liberal, negara menyerahkan  kepemilikan hutan kepada perusahaan-perusahaan pemilik konsesi pengelolaan hutan,” ungkapnya di Kabar Petang: Adili Korporasi Pembakar Hutan dan Lahan, Rabu (3/8/2022) melalui kanal Youtube  Khilafah News.
 
Perusahaan pemilik konsesi ini, kata Erwin, melihat hutan kaya akan kayu, kayu itu ditebang kemudian dijual, selanjutnya dilakukan pembersihan dengan cara dibakar dan setalah itu ditanami sawit.
 
“Keinginan para perusahaan konsesi meraih untung sebesar-besarnya, akhirnya pembakaran hutan menjadi pilihan, karena biayanya jauh lebih murah dibanding dengan cara lain," ungkap Erwin.
 
Tidak berhenti di situ, lanjut Erwin, perusahaan-perusahaan konsesi itu ketika sudah memiliki izin konsesi, mereka memperluas lahan konsesinya dengan cara menyogok para pejabat.  “Proses berikutnya mereka membakar lagi, membakar lagi,” kesal Erwin.
 
Rugi
 
Karena itu, ungkap Erwin, berdasar catatan Bank Dunia, kerugian akibat kebakaran hutan  mencapai  72 triliun rupiah setiap tahun. “Artinya dalam waktu 10 tahun kerugian kita mencapai 720 triliun yang berbentuk rupiah, belum lagi kerugian lingkungan, kerugian  hidrolog, kerugian kesehatan dan lain-lainnya,” beber Erwin.
 
Kerugian ini semakin menggila, tambah Erwin, setelah disahkannya undang-undang Omnibus Law yang semakin memperburuk lingkungan.
 
Erwin mengatakan, Indonesia memang punya instrumen hukum semisal undang-undang no 19 tahun 1999 untuk pelaku pembakaran. “Pertanyaannya adakah catatan perusahaan-perusahaan besar itu mereka diseret ke meja hijau? Selama ini enggak pernah ada,” sesal Erwin.
 
Dalam sistem demokrasi, jelasnya, terdapat kongkalingkong  antara penguasa dan pengusaha  baik di pusat maupun daerah. “Bagi kontestan yang maju, berani menyentuh mereka, siap-siap tidak mendapatkan dukungan cuan,” cetusnya.
 
Korup
 
Faktor lain yang memperburuk kebakaran hutan adalah budaya korup, tambah Erwin. “Sektor kehutanan ini dikenal sebagai sektor yang tinggi dan rawan dengan korupsi. Mulai dari perizinan, pengawasan kehutanannya, pengadaan bibit,  angka korupsinya tinggi,” imbuhnya.
 
Jadi, simpul Erwin, kerusakan hutan ini akibat  penerapan sistem kapitalisme ditambah dengan iklim politik demokrasi sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. “Instrumen hukum pada akhirnya hanya menjadi macan kertas yang tidak  ada dampak signifikan di lapangan,” simpulnya.
 
Solusi 
 
Erwin mengatakan, problem kebakaran hutan ini problem ideologis maka solusinya juga harus ideologis yakni Islam.
 
“Dalam Islam hutan itu masuk dalam kategori kepemilikan umum. Kepemilikan umum wajib dikelola oleh negara yang hasilnya untukseluruh masyarakat siapa pun yang ada di negara itu,” jelasnya.
 
Menurut Erwin, sebuah kemaksiatan besar jika negara menyerahkan hutan kepada individu atau swasta.

“Dengan Islamlah pengelolaan sumber daya hutan akan dirasakan dampaknya bagi masyarakat sehingga rahmat semesta  bisa dirasakan,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab