Rabu, 09 Oktober 2024
Rabu, 03 Juli 2024
Polwan Bakar Suami, Hukum di Indonesia Lemah dan Tidak Menentramkan
Tinta Media - Hukum di Indonesia lemah dan tidak menenteramkan. Itulah salah satu kesan dari kasus Polisi Wanita (Polwan) yang membakar suaminya yang juga berprofesi sebagai polisi, gara-gara judi online. Hukum yang berlaku di negara ini tidak mampu memberantas judi online yang menjadi pemicu konflik serta tidak mampu melahirkan rasa takut yang dapat mencegah siapa pun melakukan tindak kriminal.
Kasus ini serta berbagai kasus lainnya menunjukkan bahwa hukum yang berlaku di negara ini tidak mampu mencegah warga masyarakat melakukan tindakan kriminal. Tidak ada rasa takut terhadap hukuman yang menjadi ancaman bagi para pelaku kejahatan. Termasuk dalam diri aparat penegak hukum itu sendiri.
Tidak heran jika tindakan kriminal terus bermunculan dengan berbagai bentuk seperti pembunuhan, kekerasan, pencurian, pemerkosaan, perampokan dan lain sebagainya. Termasuk maraknya tindak pidana korupsi menunjukkan minimnya rasa takut para pelaku terhadap hukum yang berlaku. Tidak terkecuali bagi mereka yang sudah pernah menjalani hukuman. Sanksi yang pernah dijalani tidak berhasil melahirkan efek jera yang dapat membuat para bekas narapidana takut mengulangi lagi perbuatannya.
Lemahnya pemberantasan penyakit masyarakat semisal judi online semakin mengganggu ketenteraman di masyarakat. Dampaknya sangat luas. Bukan hanya berdampak pada keuangan, tetapi juga terhadap mental masyarakat, menurunkan produktivitas, merusak keharmonisan rumah tangga bahkan dapat memancing lahirnya berbagai tindakan kriminal. Apalagi, jika polisi yang harusnya memberantas judi online malah ikut menjadi pecandu. Alih-alih tertumpas, justru judi akan tumbuh subur dengan berbagai bentuknya.
Terlibatnya beberapa oknum polisi bahkan jenderal polisi sebagai pelaku tindak kejahatan seperti Ferdy Sambo semakin menampilkan wajah buruk hukum di negeri ini. Belum lagi adanya dugaan salah tangkap yang dilakukan oleh oknum polisi dalam beberapa kasus, tentunya menambah keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum maupun penegak hukum.
Pada dasarnya, kelemahan serta buruknya hukum di negeri ini berasal dari sumbernya. Bahkan dari landasan ideologi yang membangun negara ini.
Undang Undang Dasar (UUD) 1945 selaku hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun peraturan lainnya pada hakikatnya merupakan hasil pemikiran manusia belaka. Hal ini sesuai dengan pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama presiden. Selanjutnya peraturan pemerintah dan peraturan presiden ditetapkan oleh presiden, peraturan daerah provinsi dibentuk oleh DPR Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama gubernur, dan seterusnya hingga ke tingkat kabupaten.
Ironisnya lagi, dalam buku yang berjudul Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia karya Dr. Fitri Wahyuni, S.H., M.H., disebutkan bahwa Hukum pidana yang berlaku sekarang ini merupakan produk hukum pidana peninggalan pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda. (Fitri Wahyuni, 2017: 26).
Jelaslah kelemahan hukum kita selama ini. Selama sumbernya murni pemikiran manusia, selama itu pula kelemahan dan kekurangan melekat pada hukum tersebut. Betapa pun tingginya kecerdasan maupun tingkat keilmuan para pembuat hukum, mereka tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kekurangan dan kelemahan sebagai manusia. Manusia tidak akan mengetahui segala persoalan secara komprehensif, sehingga solusi yang dihasilkan dari pemikiran manusia juga tidak akan pernah komprehensif.
Syaikh Manna Al-Qaththan dalam bukunya Tarikh Tasyri’ (Sejarah Legislasi Hukum Islam) menjelaskan kelemahan undang-undang buatan manusia di antaranya rentan berganti dan berubah-ubah. Sesuatu yang halal pada hari ini bisa jadi haram pada esok hari.
Undang-undang buatan manusia tidak memperhatikan masalah akhlak, serta tidak mampu mengendalikan jiwa manusia sepenuhnya. Hukuman yang ditetapkan tidak dapat membuat jera bagi pelaku kejahatan, karena para pembuat hukum sengaja membuat hukum yang diridai oleh mayoritas masyarakat dan berusaha menyesuaikannya dengan aturan-aturan yang telah berjalan dan berlaku di masyarakat.
Tentu berbeda dengan hukum Islam yang sumbernya langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala Sang Maha Pencipta alam semesta. Sumber Hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah yang merupakan wahyu dari Allah, manusia hanya diberi tugas untuk memahaminya lalu berusaha semaksimal mungkin untuk menerapkannya.
Dilihat dari sumbernya tersebut, hukum Islam dapat dipastikan mampu menjawab seluruh persoalan hidup manusia dengan penyelesaian yang sempurna.
Satu hal yang juga hanya dimiliki oleh hukum Islam yaitu pembahasan aqidah atau iman yang menjadi landasan dalam menyelesaikan seluruh persoalan manusia. Bahwa manusia hakikatnya adalah hamba Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban seluruh amal perbuatannya di akhirat. Iman ini dengan berbagai konsekuensinya melahirkan kesadaran bahwa ketaatan terhadap hukum Islam merupakan bagian dari penghambaan kepada Allah serta dapat meringankan beban kita di akhirat bahkan dapat menyelamatkan kita dari siksa api neraka.
Dengan karakteristik tersebut, hukum Islam mampu mencegah terjadinya berbagai tindakan kejahatan (zawajir). Hukuman bagi para pelaku kejahatan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits dapat memberi efek jera seperti hukuman qishas bagi para pelaku pembunuhan. Mereka yang berniat jahat harus berpikir seribu kali untuk merealisasikan niatnya, karena akan mendapatkan hukuman yang sangat berat di dunia dan tentunya di akhirat jauh lebih berat lagi.
Akhirnya, hanya hukum Islam saja yang benar-benar dapat menentramkan baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, para pelaku kejahatan yang menjalani sanksi dengan hukum Islam bisa tenteram di akhirat karena hukum Islam bisa menjadi penebus (jawabir).
Oleh: Muhammad Syafi’i, Aktivis Dakwah
Sabtu, 22 Juni 2024
Saat Hukum Dipermainkan Aparat dan Pejabat
Tinta Media - Polisi atau syurthah adalah aparat penegak hukum yang melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kejahatan. Memberikan rasa aman dan keadilan di depan hukum tanpa memandang status sosial adalah tugas dari polisi. Mereka yang kaya maupun miskin, rakyat biasa maupun pejabat diperlakukan sama di depan hukum yang adil dan beradab.
Namun fakta menunjukkan berbeda, mereka yang paham hukum dan harusnya menjadi penegak hukum malah mempermainkannya. Penyidikan perkara tidak didasarkan fakta, tapi pesanan dan skenario aparat dan pejabat adalah bentuk kejahatan yang sangat jahat.
Sungguh miris penanganan kasus Vina dan Eki Cirebon yang carut-marut telah menghilangkan kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum. Sebuah kasus hukum yang tidak didasarkan oleh fakta, tapi skenario yang sudah dipersiapkan berdasarkan saksi kunci yang mengaku dipaksa untuk bersaksi sesuai dengan permintaan oknum polisi, meskipun dia tidak menyaksikan kejadian secara langsung. Salah tangkap dan menghukum orang yang tidak bersalah adalah tindakan keji.
Berdasarkan pengakuan Saka Tatal yang terpaksa harus mengakui satu tuduhan kejahatan yang tidak dia lakukan karena tidak kuat dengan ancaman dan siksaan yang dilakukan oleh aparat yang harusnya melindungi masyarakat. Tidak hanya satu bahkan ada delapan yang masih diduga bersalah tapi harus mengalami hukuman meskipun tidak ada bukti dan saksi yang meyakinkan. Dan yang terakhir yang sedang viral adalah penangkapan Pegi Setiawan yang bahkan berani bersumpah demi Allah dan Rasulullah, tidak melakukan perbuatan keji yang dituduhkan.
Apakah seperti ini aparat dalam menangani kasus dengan paksaan, intimidasi dan siksaan agar orang yang masih diduga sebagai pelaku terpaksa harus mengaku bersalah. Masyarakat merasa geram menyaksikan hukum yang dipermainkan aparat dengan menangkap dan menghukum orang yang tidak bersalah, menjadi kambing hitam untuk melindungi pelaku yang sebenarnya.
Harusnya asas praduga tidak bersalah atas tuduhan pada pelaku kejahatan diberlakukan pada semua orang termasuk pada kuli bangunan maupun anak pejabat. Tidak boleh menangkap tanpa bukti dan saksi yang meyakinkan. Dan dilarang melakukan intimidasi, ancaman ataupun siksaan agar mendapatkan pengakuan dari seseorang yang masih diduga sebagai pelaku.
Sungguh dalam sistem Islam, tidak boleh ada paksaan bagi seseorang untuk mengakui kesalahannya, apalagi dengan ancaman dan siksaan, sehingga dia terpaksa mengakui kesalahan yang dia tidak lakukan. Seperti dalam sebuah kisah seorang pezina bertobat dan menemui Rasulullah SAW. Ma'iz bin Malik Al Islami datang menghampiri Rasulullah SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah menzalimi diri saya sendiri karena saya telah berbuat zina. Oleh karena itu, saya ingin agar engkau berkenan membersihkan diri saya." Seorang muslim yakin bahwa hukuman di dunia dalam sistem Islam bisa menghapus hukuman di akhirat nanti karena syariat Islam diterapkan dalam kehidupan secara kaffah. Seorang muslim yang bertobat minta dibersihkan dirinya, dengan dihukum sesuai dengan syariat Islam.
Namun Rasulullah tidak serta merta percaya dengan pengakuannya dan tidak langsung menghukumnya. Bisa jadi seseorang mengaku bersalah karena dalam tekanan atau ada gangguan pada kejiwaannya. Sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam kasus pembunuhan Vina, pelaku malah diintimidasi, diancam bahkan disiksa agar mau mengaku bersalah. Sungguh ini bertentangan dengan prinsip praduga tidak bersalah dan juga tidak sesuai dengan syariat Islam.
Sistem kapitalis telah menciptakan banyak oknum aparat yang dibutakan oleh uang dan jabatan. Hati mereka mati dan tidak peduli dengan mereka yang terzalimi oleh tangan mereka yang harusnya melindungi dan memberi rasa aman. Sungguh kita merindukan keadilan dalam sistem hukum Islam bahkan seorang Khalifah bisa dikalahkan oleh rakyat biasa dalam keputusan hakim yang adil. Mungkinkah itu terjadi dalam sistem kapitalis demokrasi?
Oleh: Mochamad Efendi, Sahabat Tinta Media
Rabu, 15 Mei 2024
Kriminalitas Makin Kronis, Buah Sistem Kapitalis
Suburnya Kriminalitas dalam Sistem Sekuler
Tinta Media - TR seorang suami yang tega memutilasi istrinya sendiri YN di Dusun Sindangjaya, Kecamatan Ciamis, telah resmi ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersebut berdasarkan pada hasil pemeriksaan saksi dan olah tempat kejadian perkara. Kapolres Ciamis AKBP Akmal memaparkan bahwa pihaknya masih menunggu hasil dari pemeriksaan kejiwaan pelaku. AKBP Akmal menambahkan, penyidik belum dapat menyimpulkan motif pelaku dikarenakan pemeriksaan yang dilakukan belum menyeluruh.
Kendati demikian, berdasarkan hasil pemeriksaan saksi kunci aksi sadis yang dilakukan pelaku diduga kuat karena latar belakang ekonomi. Hal itu didukung dengan informasi dan keterangan beberapa saksi yang menyebut bahwa usaha pelaku tengah mengalami penurunan.
Menanggapi rekaman video pelaku yang terlihat seperti sedang berhalusinasi, AKBP Akmal menuturkan banyak spekulasi yang berkembang di masyarakat. Namun, pihak kepolisian akan menunggu hasil pendalaman dari para ahli kejiwaan. (Republika.co.id Ahad 05 Mei 2024)
Lagi dan lagi, kasus pembunuhan terus berulang. Seorang suami tega melakukan pembunuhan dengan mutilasi. Nudzubillah, semua itu terjadi karena faktor ekonomi. Sejatinya seorang suami adalah pemimpin dalam keluarga. Ia bertugas memberi perlindungan bagi anggota keluarganya termasuk untuk Istrinya yang notabene adalah pendamping hidupnya. Namun nahas, dalam kehidupan abnormal seperti hari ini, tidak sedikit suami yang justru melakukan tindakan keji. Lalu mengapa semua ini bisa terjadi?
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak kriminal hari ini. Bahkan angka kejadiannya kian hari kian meningkat. Sering kita mendengar kian maraknya kasus penghilangan nyawa bahkan yang dibarengi tindak mutilasi seperti kasus di Ciamis ini. Kehidupan saat ini yang berada dalam naungan sistem kapitalis sekuler menjadikan manusia memisahkan agama dari kehidupannya. Dalam sistem ini acuan kebahagiaan seseorang diukur dari seberapa banyak materi dan kepuasan jasmani yang didapat. Materi dan kepuasan jasmani ini menjadi prioritas utama dalam masyarakat sekuler. Maka masyarakat dalam sistem ini akan mengupayakan mendapatkan kebahagiaan itu bagaimanapun caranya. Hal ini juga mempengaruhi dalam pengendalian emosi seseorang ketika memenuhi keinginannya.
Faktor pendidikan juga memberi andil besar dalam situasi salah yang terjadi saat ini, kurangnya peran keluarga dalam memberikan pengajaran mengenai akidah pada anak menjadikan seseorang tidak memiliki ketakwaan kepada Allah. Sehingga ia luput dari iman kepada Allah dan tidak mempunyai standar bahkan tidak mengetahui mana halal dan haram. Pada akhirnya ketika permasalahan menerpa, ia tidak mampu mengatasi masalah dan mengambil jalan pintas sekalipun harus melanggar ketentuan agama dan melakukan tindak kejahatan. Parahnya lagi, sistem persanksian yang diterapkan oleh negara pun tidak menjerakan. Hal ini tentu memicu tindak kejahatan semakin merajalela bahkan justru turut memberi contoh pada yang lain .
Dalam Islam, tujuan hidup manusia adalah untuk taat kepada Allah dan senantiasa terikat dengan aturan-Nya. Negara dalam Islam wajib menyediakan pendidikan yang dapat mencetak masyarakatnya menjadi pribadi yang memiliki aqliyah dan syakhsiyah Islam, ia beriman kepada Allah dan senantiasa menjaga diri dari tindak kemaksiatan dan kejahatan. Tentunya satu- satunya sistem pendidikan yang meniscayakan itu semua hanyalah pendidikan berbasis pada akidah Islam. Negara dalam sistem Islam juga memiliki sistem persanksian yang tegas dan menjerakan sehingga bisa membuat pelaku jera dan menjadi contoh bagi yang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Maka hanya dengan menerapkan sistem Islam secara keseluruhan, semua permasalahan umat saat ini dapat terselesaikan. Masyarakat Islam yang aman tenteram dan sejahtera pun bisa terwujud nyata. Wallahu’alam bishawab.
Oleh : Iskeu (Sahabat Tinta Media)
Minggu, 12 Mei 2024
Anak Berkonflik dengan Hukum, Islam Solusinya
Rabu, 08 Mei 2024
Hukum Lemah, Kriminalitas Merajalela
Minggu, 28 April 2024
Putusan MK
Kamis, 25 April 2024
Sistem Hukum Beku di Bawah Aturan Kapitalis
Kamis, 18 April 2024
Bantuan Sosial Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Melanggar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial
Tinta Media - Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial Beras sampai Juni 2024, dan Bantuan Langsung Tunai untuk November dan Desember 2023. Keputusan diambil dalam rapat kabinet / rapat terbatas 6 November 2023, dengan alasan ada ancaman El Nino.
Pemberian Bantuan Sosial Beras (sebelumnya dinamakan Bantuan Sosial Pangan) tersebut dikoordinasikan oleh Bapanas (Badan Pangan Nasional) dan dilaksanakan atau disalurkan oleh Perum Bulog (Badan Urusan Logistik).
Dalam penyaluran Bantuan Sosial Pangan (Beras) ini, Bapanas dan Bulog secara nyata melanggar UU tentang Kesejahteraan Sosial. Karena, pelaksanaan pemberian Bantuan Sosial Pangan (Beras) merupakan tugas dan fungsi Kementerian Sosial.
Alasannya sebagai berikut.
Pertama, Bantuan (Sosial) Langsung dalam bentuk Pangan maupun Tunai merupakan bagian dari Bantuan Sosial, yang pada gilirannya merupakan bagian dari Perlindungan Sosial, seperti diatur di Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Kedua, penyelenggaraan Perlindungan Sosial diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah No 39 Tahun 2012 (PP 39/2012) tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Bab V tentang Perlindungan Sosial, Pasal 28 sampai Pasal 36, menyatakan, bahwa:
• Bantuan Sosial merupakan bagian dari pelaksanaan Perlindungan Sosial: Pasal 28 ayat (3) huruf a;
• Bantuan Sosial dapat diberikan secara langsung (Bantuan Langsung): Pasal 29 ayat (2) huruf a;
• Jenis Bantuan (Sosial) Langsung dapat berupa antara lain sandang, pangan, dan papan: Pasal 30 huruf a, atau uang tunai: Pasal 30 huruf e;
Ketiga, menurut Peraturan Presiden No 110 Tahun 2021 tentang Kementerian Sosial, Perlindungan Sosial merupakan salah satu tugas dan fungsi Kementerian Sosial.
Pasal 4 berbunyi: Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Pasal 5 berbunyi Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial;
Kedua Pasal ini menegaskan bahwa Kementerian Sosial juga mengemban fungsi sebagai pelaksana kebijakan perlindungan sosial, termasuk penyaluran Bantuan Sosial Pangan (Beras).
Untuk itu, Kementerian Sosial dilengkapi dengan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan, pemberian Bantuan Sosial Pangan (Beras) maupun Bantuan (Sosial) Langsung Tunai merupakan bagian dari Perlindungan Sosial, yang merupakan tugas dan fungsi dari Kementerian Sosial.
Artinya, Bapanas dan Bulog tidak berwenang melaksanakan atau menyalurkan Bantuan Sosial Pangan (Beras).
Dengan kata lain, penyaluran Bantuan Sosial Pangan (Beras) dari Bapanas dan Bulog melanggar UU tentang Kesejahteraan Sosial, melanggar tugas dan fungsi Kementerian Sosial, dan karena itu dapat didakwa penyimpangan kebijakan APBN dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
Selain itu, keempat, dasar pembentukan Badan Pangan Nasional merupakan perintah Bab XII, Pasal 126 sampai Pasal 129, UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bahwa: Badan Pangan Nasional adalah Lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan. Sekali lagi, menangani bidang pangan, bukan bidang sosial, atau bantuan sosial.
Pasal 126 berbunyi, tugas Lembaga Pemerintah di bidang Pangan, untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan Nasional.
Pasal 127 menegaskan, Lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.
Pasal 128 mengatur wewenang Lembaga Pemerintah bidang pangan tersebut: yaitu antara lain dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang Pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Artinya, Pasal 128 menegaskan Lembaga Pemerintah bidang Pangan (yang kemudian bernama Badan Pangan Nasional) tidak bisa menugaskan Bulog untuk melaksanakan atau menyalurkan Bantuan Sosial Pangan.
Pasal 129 kemudian memberi payung hukum pembentukan Lembaga Pemerintah bidang pangan melalui Peraturan Presiden, dan lahirlah Peraturan Presiden No 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional atau Bapanas.
Dalam butir menimbang huruf a Perpres 66/2021 secara eksplisit menyebut: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 129 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan.
Oleh karena itu, tugas dan fungsi Badan Pangan Nasional wajib taat pada ketentuan UU tentang Pangan khususnya Pasal 126 sampai Pasal 128.
Dalam hal ini, penyaluran bantuan pangan oleh Badan Pangan Nasional melanggar UU tentang Pangan dan juga melanggar UU tentang Kesejahteraan Sosial.
Dengan demikian, perpanjangan Bantuan Sosial dengan alasan El Nino, yang diputus secara sepihak oleh Presiden Joko Widodo, tanpa persetujuan DPR, tanpa ditetapkan dengan UU, disalurkan melalui Bapanas dan Bulog, beserta Presiden, Menteri Zulkifli Hasan dan Menko Airlangga Hartarto, secara nyata melanggar Konstitusi, UU Keuangan Negara, UU APBN, UU Kesejahteraan Sosial, UU Pangan.
Apakah sejumlah pelanggaran berat tersebut akan dibiarkan terjadi tanpa ada konsekuensi hukum, dan menandakan Indonesia menjadi negara tirani, atau ditindak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk mewujudkan perintah Pasal 1 ayat (3) UUD, bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Semoga Mahkamah Konstitusi dapat benar-benar menjaga Konstitusi Indonesia, dan memutus perkara seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
—- 000 —-
Jubah Arogansi Hakim MK: Hanya Mahkamah Kata-Kata, Hilang Substansi Keadilan yang Didambakan
Tinta Media - Allah Subhanahu Wa Taa'la berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦
"Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."
[ QS: Al Isro (17): 36 ]
Saya tidak lagi berharap akan ada putusan yang berkeadilan dari lembaga MK, itu sudah clear. Karena mustahil, MK sebagai lembaga hukum di bawah otoritas politik, bisa mengadili kecurangan politik pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Pada akhirnya, MK akan memutus menolak permohonan dan melegitimasi kecurangan.
Namun, dalam proses mengadili perkara, saya merasa lebih kecewa lagi. MK telah menunjukkan sikap jumawa/arogan, bukan sebagai lembaga pengadilan, tapi lembaga superior yang merasa lebih dan berada di atas kedudukan para pihak (pemohon, termohon, pihak terkait).
MK telah mendudukkan ruang sidang sengketa Pilpres sebagai ruang MK, bukan ruang para pihak untuk menggali dan menemukan keadilan. MK telah melawan hukum acara persidangan, dengan memberikan hak eksklusif pada hakim MK untuk mendalami fakta persidangan, dan menghalangi pihak lainnya untuk menggali dan menemukan fakta keadilan.
Contoh: saat MK akhirnya memanggil 4 orang Menteri Jokowi (Muhadjir Efendi, Risma Triharini, Sri Mulyani dan Airlangga Hartanto). Empat orang menteri ini dihadirkan atas permintaan Pemohon dari kubu 01 dan 03. Kedudukan menteri ini sebagai saksi. Tapi mengapa hanya hakim MK yang boleh bertanya dan menggali keterangan dari para menteri? Kenapa kuasa hukum pemohon, baik dari 01 dan 03, tidak diperkenankan mendalami keterangan saksi dari para menteri tersebut?
Kepentingan dihadirkannya 4 menteri, adalah untuk membuktikan adanya kecurangan Pemilu melalui politik penyalahgunaan wewenang Presiden . Yakni, penggelontoran dana bansos untuk kepentingan elektabilitas Prabowo Gibran, sebanyak 560.360.000.000.000.
Fakta adanya hubungan bansos dengan meningkatnya suara atau dukungan ke Prabowo Gibran, itu harus digali. Suara Prabowo Gibran itu besar karena bansos, itu harus didalami. Yang berkepentingan untuk menggali dan mendalami tentu saja kubu 01 dan 03 selaku Pemohon yang juga membuat posita dan petitumnya .
Bagaimana fakta bisa terungkap, kalo kuasa hukum pemohon 01 dan 03 tidak boleh bertanya pada saksi 4 menteri? Sejak kapan, hukum acara persidangan tidak membolehkan para pihak menggali keterangan saksi dan hanya menjadi hak eksklusif hakim MK ? Ini sudah melampaui hukum acara dalam persidangan .
Oleh karena itu terbukti, saat pertanyaan itu hanya dari MK, materi pertanyaannya ya datar-datar saja , normatif tidak substantif juga tidak ada pertanyaan yang punya tujuan untuk mengungkap fakta politik gentong babi yang menjadi salah satu dasar posita permohonan pemohon. Ini kan sama aja sandiwara MK hanya memanggil menteri untuk formalitas, seolah MK bertindak adil. Faktanya, pemanggilan menteri hanya untuk melengkapi sandiwara atau DRAKOR = Drama Kotor persidangan di MK, karena yang boleh memeriksa menteri hanya hakim MK. Ini benar-benar dagelan persidangan yang mendown great pihak Advokat 01 dan 03 jadi nothing , kalau pihak termohon dan terkait mah malah senanglah .
Belum lagi Hakim Arif Hidayat, membuat dikotomi kepala pemerintahan dan kepala Negara, sebagai dalih untuk tidak memanggil Jokowi. Lebih lucunya, berdalih Presiden simbol negara maka MK tak layak memanggil Presiden untuk diambil keterangannya di persidangan.
Sejak kapan Presiden adalah simbol negara? Apakah, sekelas hakim MK Arif Hidayat tidak pernah membaca Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan? Kalau pernah membaca, apa dasarnya Arif Hidayat mengklasifikasi Presiden sebagai simbol Negara?
Soal Jokowi tidak dihadirkan sebagai saksi juga aneh, seolah Jokowi hanya berstatus Presiden. Padahal, selain Presiden Jokowi juga berstatus warga negara, karena untuk menjadi Presiden haruslah WNI.
Dalam hal ini, konstitusi Pasal 27 ayat 1 UUD 45 tegas menyatakan:
"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Berdasarkan pasal ini, harusnya Jokowi diseret ke pengadilan oleh MK. Karena materi keterangan menteri soal bansos, harus pula dikonfirmasi oleh atasannya, yakni Presiden Jokowi.
Kenapa MK memosisikan Jokowi spesial atau di kecualikan ? Atau, sudah ada pesanan spesial dari Jokowi kepada MK, bagaimana Kita mau berharap pada MK sebagai penjaga konstitusi , untuk yang sudah jelas tertulis di pasal 27 ayat 1 UUD 45 saja tak mampu MK menegakkannya , tapi Aneh yang merasa jago/ pendekar hukum yang jadi Advokat nya 01 dan 03 tidak ada yang protes , malah dalam keterangan persnya merasa bahagia dan senang banget dengan kondisi obyektifnya sesungguh melecehkan jati diri mereka sebagai Advokat Jagoan . Sisi lain apakah cara seperti ini sudah di rancang oleh MK , karena terhadap pemeriksaan DKPP juga Sama , para advokat jagoan tadi tidak boleh bertanya juga ??? Apakah hal demikian sudah ada deal agar Gibran bisa dilantik menjadi Wapres ? Jika ikuti pendapat Hakim Ketua MK , Suhartoyo bila ada publik / WNI yang bertanya tentang persidangan maka Hakimnya HARUS MENJAWAB UNTUK MENJELASKAN YANG DITANYAKAN ORANG ITU !
Sedih saya melihat Para Kuasa Hukum pemohon, baik 01 dan 03 juga mau tunduk pada kejumawan / Arogan Hakim MK. Bahkan, diam saja ketika Bambang Widjoyanto mau diusir oleh Arif Hidayat. Harusnya, tunjukan persamaan kedudukan sebagai penegak hukum di hadapan hakim MK. Tunjukan, advokat juga penegak hukum seperti hakim MK, sehingga hakim MK jangan sok paling hebat seenaknya mau usir advokat dari ruangan persidangan lihat pasal 5 Jo pasal 16 dari UU No 18 thn 2003 tentang Advokat .
Saya benar-benar kecewa, jauh sebelum putusan MK dikeluarkan. Karena proses sidang di MK, sudah dapat dijadikan dasar keyakinan, bahwa akhirnya putusan MK hanya akan melegitimasi kecurangan.
Proses di MK, mungkin saja hanya jadi sandiwara untuk meredam kemarahan rakyat terhadap kecurangan/ kriminal pemilu dan Pilpres dan akhirnya saya gondok banget , karena Rakyat pula yang kembali ditipu dan dikhianati, dengan suguhan dagelan sidang di MK ini, persis seperti yang di tuliskan dalam Wahyu ALLAAH SUBHAANNAHU WA TA ALA , yaitu :
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا فِيْ كُلِّ قَرْيَةٍ اَكٰبِرَ مُجْرِمِيْهَا لِيَمْكُرُوْا فِيْهَا ۗ وَمَا يَمْكُرُوْنَ اِلَّا بِاَ نْفُسِهِمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ
"Dan demikianlah pada setiap negeri Kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri itu. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya."
(QS. Al-An'am 6: Ayat 123) .
Namun demikian, dari sudut ajaran Islam kita diajarkan untuk tidak menentukan keadaan akan datang yang belum terjadi. Kita sadar hanya ALLAH lah yang tahu dan menentukan dalam PHPU di MK sekarang ini hingga tgl 22 April 2024: ada putusan MK yang menyatakan pilpres harus diulang tanpa Gibran dan diskualifikasi terhadapnya. Untuk itu, kita perlu munajat dan Istighotsah Akbar mulai tgl 16 April 2024 depan MK. Idealnya AMIN dan Ganjar Mahfud mengajak pendukung masing2 dan membersamai para relawan masing-masing. Juga ormas-ormas Islam yang sejalan memilih 01. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha membolak-balik hati manusia menggerakkan hati nurani para Hakim MK untuk memutus perkara yang kita maksudkan itu, aamiin aamiin aamiin yaa Mujibas Saa'iliin...
Salam optimis, ES.
Oleh : Prof. Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si.
Ketua Umum TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis)