Tinta Media: Hukum
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Oktober 2024

UIY Jelaskan Perspektif Islam terkait Hukum Pidana

Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menjelaskan perspektif Islam dalam masalah hukum pidana. 

"Dalam perspektif Islam, hukum pidana terbagi menjadi dua," tuturnya dalam diskusi online bertema Jokowi Minta Maaf, Cukupkah? Senin (30/09/2024) di kanal Youtube UIY Official.

Menurutnya, hukum Islam terkait pidana terbagi menjadi dua. "Ada fungsi zawajir dan jawabir agar kesalahan tidak terus terulang," paparnya.

Ia menjelaskan bahwa zawajir itu merupakan pencegahan agar setiap manusia tidak melakukan kesalahan selanjutnya, termasuk presiden. "Dulu keluarga Rohadi, 6 orang dibantai oleh keluarga politis, hanya karena  anak kecilnya Rohadi merusak tanaman singkongnya presiden. Hal seperti ini perlunya fungsi zawajir agar tidak terjadi kesalahan yang terus berulang," ungkapnya.

Sedangkan jawabir atau penebus, lanjut UIY,  merupakan hukuman di dunia, yang akan menjadi penebus hukuman di akhirat. "Mais bin Malik Al-Aslami mengaku bahwa dia telah berzina kepada Rasulullah, karena Mais mengetahui begitu beratnya balasan di akhirat," jelasnya.

Ia mengatakan, dalam hadits yang mengatakan hukuman paling ringan di akhirat. "Hukuman paling ringan di akhirat, yaitu dipakaikan terompah alas kaki dari api neraka, dan itu cukup membuat otak mendidih," pungkasnya.[] *Novita Ratnasari*

Rabu, 03 Juli 2024

Polwan Bakar Suami, Hukum di Indonesia Lemah dan Tidak Menentramkan

Tinta Media - Hukum di Indonesia lemah dan tidak menenteramkan. Itulah salah satu kesan dari kasus Polisi Wanita (Polwan) yang membakar suaminya yang juga berprofesi sebagai polisi, gara-gara judi online. Hukum yang berlaku di negara ini tidak mampu memberantas judi online yang menjadi pemicu konflik serta tidak mampu melahirkan rasa takut yang dapat mencegah siapa pun melakukan tindak kriminal.

Kasus ini serta berbagai kasus lainnya menunjukkan bahwa hukum yang berlaku di negara ini tidak mampu mencegah warga masyarakat melakukan tindakan kriminal. Tidak ada rasa takut terhadap hukuman yang menjadi ancaman bagi para pelaku kejahatan. Termasuk dalam diri aparat penegak hukum itu sendiri.

Tidak heran jika tindakan kriminal terus bermunculan dengan berbagai bentuk seperti pembunuhan, kekerasan, pencurian, pemerkosaan, perampokan dan lain sebagainya. Termasuk maraknya tindak pidana korupsi menunjukkan minimnya rasa takut para pelaku terhadap hukum yang berlaku. Tidak terkecuali bagi mereka yang sudah pernah menjalani hukuman. Sanksi yang pernah dijalani tidak berhasil melahirkan efek jera yang dapat membuat para bekas narapidana takut mengulangi lagi perbuatannya.

Lemahnya pemberantasan penyakit masyarakat semisal judi online semakin mengganggu  ketenteraman di masyarakat. Dampaknya sangat luas. Bukan hanya berdampak pada keuangan, tetapi juga terhadap mental masyarakat, menurunkan produktivitas, merusak keharmonisan rumah tangga bahkan dapat memancing lahirnya berbagai tindakan kriminal. Apalagi, jika polisi yang harusnya memberantas judi online malah ikut menjadi pecandu. Alih-alih tertumpas, justru judi akan tumbuh subur dengan berbagai bentuknya.

Terlibatnya beberapa oknum polisi bahkan jenderal polisi sebagai pelaku tindak kejahatan seperti Ferdy Sambo semakin menampilkan wajah buruk hukum di negeri ini. Belum lagi adanya dugaan salah tangkap yang dilakukan oleh oknum polisi dalam beberapa kasus, tentunya menambah keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum maupun penegak hukum.

Pada dasarnya, kelemahan serta buruknya hukum di negeri ini berasal dari sumbernya. Bahkan dari landasan ideologi yang membangun negara ini.

Undang Undang Dasar (UUD) 1945 selaku hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia maupun peraturan lainnya pada hakikatnya merupakan hasil pemikiran manusia belaka. Hal ini sesuai dengan pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama presiden. Selanjutnya peraturan pemerintah dan peraturan presiden ditetapkan oleh presiden, peraturan daerah provinsi dibentuk oleh DPR Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama gubernur, dan seterusnya hingga ke tingkat kabupaten.

Ironisnya lagi, dalam buku yang berjudul Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia karya Dr. Fitri Wahyuni, S.H., M.H., disebutkan bahwa Hukum pidana yang berlaku sekarang ini merupakan produk hukum pidana peninggalan pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda. (Fitri Wahyuni, 2017: 26).

Jelaslah kelemahan hukum kita selama ini. Selama sumbernya murni pemikiran manusia, selama itu pula kelemahan dan kekurangan melekat pada hukum tersebut. Betapa pun tingginya kecerdasan maupun tingkat keilmuan para pembuat hukum, mereka tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kekurangan dan kelemahan sebagai manusia. Manusia tidak akan mengetahui segala persoalan secara komprehensif, sehingga solusi yang dihasilkan dari pemikiran manusia juga tidak akan pernah komprehensif.

Syaikh Manna Al-Qaththan dalam bukunya Tarikh Tasyri’ (Sejarah Legislasi Hukum Islam) menjelaskan kelemahan undang-undang buatan manusia di antaranya rentan berganti dan berubah-ubah. Sesuatu yang halal pada hari ini bisa jadi haram pada esok hari.

Undang-undang buatan manusia tidak memperhatikan masalah akhlak, serta tidak mampu mengendalikan jiwa manusia sepenuhnya. Hukuman yang ditetapkan tidak dapat membuat jera bagi pelaku kejahatan, karena para pembuat hukum sengaja membuat hukum yang diridai oleh mayoritas masyarakat dan berusaha menyesuaikannya dengan aturan-aturan yang telah berjalan dan berlaku di masyarakat.

Tentu berbeda dengan hukum Islam yang sumbernya langsung dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala Sang Maha Pencipta alam semesta. Sumber Hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah yang merupakan wahyu dari Allah, manusia hanya diberi tugas untuk memahaminya lalu berusaha semaksimal mungkin untuk menerapkannya.

Dilihat dari sumbernya tersebut, hukum Islam dapat dipastikan mampu menjawab seluruh persoalan hidup manusia dengan penyelesaian yang sempurna.

Satu hal yang juga hanya dimiliki oleh hukum Islam yaitu pembahasan aqidah atau iman yang menjadi landasan dalam menyelesaikan seluruh persoalan manusia. Bahwa manusia hakikatnya adalah hamba Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban seluruh amal perbuatannya di akhirat. Iman ini dengan berbagai konsekuensinya melahirkan kesadaran bahwa ketaatan terhadap hukum Islam merupakan bagian dari penghambaan kepada Allah serta dapat meringankan beban kita di akhirat bahkan dapat menyelamatkan kita dari siksa api neraka.

Dengan karakteristik tersebut, hukum Islam mampu mencegah terjadinya berbagai tindakan kejahatan (zawajir). Hukuman bagi para pelaku kejahatan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits dapat memberi efek jera seperti hukuman qishas bagi para pelaku pembunuhan. Mereka yang berniat jahat harus berpikir seribu kali untuk merealisasikan niatnya, karena akan mendapatkan hukuman yang sangat berat di dunia dan tentunya di akhirat jauh lebih berat lagi.

Akhirnya, hanya hukum Islam saja yang benar-benar dapat menentramkan baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, para pelaku kejahatan yang menjalani sanksi dengan hukum Islam bisa tenteram di akhirat karena hukum Islam bisa menjadi penebus (jawabir).

Oleh: Muhammad Syafi’i, Aktivis Dakwah

Sabtu, 22 Juni 2024

Saat Hukum Dipermainkan Aparat dan Pejabat

Tinta Media - Polisi atau syurthah adalah aparat penegak hukum yang melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kejahatan. Memberikan rasa aman dan keadilan di depan hukum tanpa memandang status sosial adalah tugas dari polisi. Mereka yang kaya maupun miskin, rakyat biasa maupun pejabat diperlakukan sama di depan hukum yang adil dan beradab. 

Namun fakta menunjukkan berbeda, mereka yang paham hukum dan harusnya menjadi penegak hukum malah mempermainkannya. Penyidikan perkara tidak didasarkan fakta, tapi pesanan dan skenario aparat dan pejabat adalah bentuk kejahatan yang sangat jahat.

Sungguh miris penanganan kasus Vina dan Eki  Cirebon yang carut-marut telah menghilangkan kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum. Sebuah kasus hukum yang tidak didasarkan oleh fakta, tapi  skenario yang sudah dipersiapkan berdasarkan saksi kunci yang mengaku dipaksa untuk bersaksi sesuai dengan permintaan oknum polisi, meskipun dia tidak menyaksikan kejadian secara langsung. Salah tangkap dan menghukum orang yang tidak bersalah adalah tindakan keji.

Berdasarkan pengakuan Saka Tatal yang terpaksa harus mengakui satu tuduhan kejahatan yang tidak dia lakukan karena tidak kuat dengan ancaman dan siksaan yang dilakukan oleh aparat yang harusnya melindungi masyarakat. Tidak hanya satu bahkan ada delapan yang masih diduga bersalah tapi harus mengalami hukuman meskipun tidak ada bukti dan saksi yang meyakinkan. Dan yang terakhir yang sedang viral adalah penangkapan Pegi Setiawan yang bahkan berani bersumpah demi Allah dan Rasulullah, tidak melakukan perbuatan keji yang dituduhkan.

Apakah seperti ini aparat dalam menangani kasus dengan paksaan, intimidasi dan siksaan agar orang yang masih diduga sebagai pelaku terpaksa harus mengaku bersalah. Masyarakat merasa geram  menyaksikan hukum yang dipermainkan aparat dengan menangkap dan menghukum orang yang tidak bersalah, menjadi kambing hitam untuk melindungi pelaku yang sebenarnya.

Harusnya asas praduga tidak bersalah atas tuduhan pada pelaku kejahatan diberlakukan pada semua orang termasuk pada kuli bangunan maupun anak pejabat. Tidak boleh menangkap tanpa bukti dan saksi yang meyakinkan. Dan dilarang melakukan intimidasi, ancaman ataupun siksaan agar mendapatkan pengakuan dari seseorang yang masih diduga sebagai pelaku.

Sungguh dalam sistem Islam, tidak boleh ada paksaan bagi seseorang untuk mengakui kesalahannya, apalagi dengan ancaman dan siksaan, sehingga dia terpaksa mengakui kesalahan yang dia tidak lakukan. Seperti dalam sebuah kisah seorang pezina bertobat dan menemui Rasulullah SAW. Ma'iz bin Malik Al Islami datang menghampiri Rasulullah SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah menzalimi diri saya sendiri karena saya telah berbuat zina. Oleh karena itu, saya ingin agar engkau berkenan membersihkan diri saya." Seorang muslim yakin bahwa hukuman di dunia dalam sistem Islam bisa menghapus hukuman di akhirat nanti karena syariat Islam diterapkan dalam kehidupan secara kaffah.  Seorang muslim yang bertobat minta dibersihkan dirinya, dengan dihukum sesuai dengan syariat Islam.

Namun Rasulullah tidak serta merta percaya dengan pengakuannya dan tidak langsung menghukumnya. Bisa jadi seseorang mengaku bersalah karena dalam tekanan atau ada gangguan pada kejiwaannya. Sangat bertolak belakang dengan  apa yang terjadi dalam kasus pembunuhan Vina, pelaku malah diintimidasi, diancam bahkan disiksa agar mau mengaku bersalah. Sungguh ini bertentangan dengan prinsip praduga tidak bersalah dan juga tidak sesuai dengan syariat Islam.

Sistem kapitalis telah menciptakan banyak oknum aparat yang dibutakan oleh uang dan jabatan. Hati mereka mati dan tidak peduli dengan mereka yang terzalimi oleh tangan mereka yang harusnya melindungi dan memberi rasa aman. Sungguh kita merindukan keadilan dalam sistem hukum Islam bahkan seorang Khalifah bisa dikalahkan oleh rakyat biasa dalam keputusan hakim yang adil. Mungkinkah itu terjadi dalam sistem kapitalis demokrasi?

Oleh: Mochamad Efendi, Sahabat Tinta Media 

Rabu, 15 Mei 2024

Kriminalitas Makin Kronis, Buah Sistem Kapitalis


Tinta Media - Akhir-akhir ini sejumlah kasus pembunuhan marak terjadi, kasus pembunuhan yang begitu sadis di luar nalar manusia. Seperti kasus yang terjadi di Bekasi, Ciamis dan Bali. Di Bekasi, jasad wanita berinisial RM (50) ditemukan dalam sebuah koper hitam di jalan Inspeksi Kalimalang, Cikarang, Kabupaten Bekasi pada kamis pagi (25/4). Tersangka memasukkan jasad korban ke dalam koper dengan posisi miring dan telungkup serta mengambil uang milik korban sebesar Rp 43 juta. Tidak kalah menghebohkan, kasus mutilasi yang terjadi di Ciamis  dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya. Sebelum memutilasi, pelaku sempat menganiaya sang istri menggunakan benda tumpul. Ketua RT setempat menjelaskan bahwa aksi pembunuhan itu diketahui oleh warga saat pelaku membawa baskom yang diduga berisi potongan jasad korban dan menawarkan daging korban kepada warga di sekitar lokasi kejadian. Kasus lain terjadi di Bali, korban pembunuhan adalah seorang PSK. Pelaku emosi ketika korban meminta bayaran lebih, hingga akhirnya korban dianiaya dengan cara digorok lehernya dari belakang dan menikam tubuh korban berulang-ulang sampai tewas. (cnnindonesia.com, minggu 05/05/24)

Sungguh miris, lingkungan saat  ini begitu jauh dari rasa aman, tindak kriminalitas pun semakin kronis. Sebenarnya, apa penyebab semua ini bisa terjadi?

Sistem kapitalis sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan merupakan buah terjadinya tindak kriminalitas yang semakin kronis saat ini. Dalam masyarakat sekuler, kepuasan jasmani dan materi menjadi sebuah prioritas yang akan didapatkan melalui cara apa pun. Hal ini juga berpengaruh terhadap pengendalian emosi ketika memiliki sebuah keinginan. Sulitnya mengontrol emosi, membuat seseorang dengan mudah mengambil jalan pintas yang salah. Hal ini juga terkait dengan sistem pendidikan yang salah, sehingga menghasilkan manusia-manusia yang selalu berorientasi pada materi, sehingga tamak, memaksakan kehendak dan memenuhi nalurinya dengan jalan apa pun. Hal ini tentunya memudahkan seseorang melakukan tindak kriminal atau kejahatan. Selain itu, sistem sanksi yang tidak menjerakan menjadikan kejahatan semakin merajalela, bahkan memberikan contoh pada orang lain akan solusi yang dipilih.

Hal ini tentunya berbeda dalam sistem Islam. Islam menetapkan tujuan hidup manusia untuk taat pada Allah dan terikat aturannya. Dengan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam, maka akan terbentuk pribadi mulia yang beriman kepada Allah dan pada hari akhir, sehingga akan menjaga diri dari kemaksiatan atau kejahatan. Selain itu Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan bagi pelaku tindak kriminal sesuai dengan perbuatannya, sehingga mampu mencegah orang lain dalam melakukan suatu perbuatan yang sama. Hanya sistem Islam yang mampu memberikan jaminan keamanan bagi rakyat dari tindak kriminalitas yang semakin marak terjadi. Wallahu a'lam bishowab.

Oleh: Agustriany Suangga
Muslimah Peduli Generasi

Suburnya Kriminalitas dalam Sistem Sekuler


Tinta Media - TR seorang suami yang tega memutilasi istrinya sendiri YN di Dusun Sindangjaya, Kecamatan Ciamis, telah resmi ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersebut berdasarkan pada hasil pemeriksaan saksi dan olah tempat kejadian perkara. Kapolres Ciamis AKBP Akmal memaparkan bahwa pihaknya masih menunggu hasil dari pemeriksaan kejiwaan pelaku. AKBP Akmal menambahkan, penyidik belum dapat menyimpulkan motif pelaku dikarenakan pemeriksaan yang dilakukan belum menyeluruh.

Kendati demikian, berdasarkan hasil pemeriksaan saksi kunci aksi sadis yang dilakukan pelaku diduga kuat karena latar belakang ekonomi. Hal itu didukung dengan informasi dan keterangan beberapa saksi yang menyebut bahwa usaha pelaku tengah mengalami penurunan.

Menanggapi rekaman video pelaku yang terlihat seperti sedang berhalusinasi, AKBP Akmal menuturkan banyak spekulasi yang berkembang di masyarakat. Namun, pihak kepolisian akan menunggu hasil pendalaman dari para ahli kejiwaan. (Republika.co.id Ahad 05 Mei 2024)

Lagi dan lagi, kasus pembunuhan terus berulang. Seorang suami tega melakukan pembunuhan dengan mutilasi. Nudzubillah, semua itu terjadi karena faktor ekonomi. Sejatinya seorang suami adalah pemimpin dalam keluarga. Ia bertugas memberi perlindungan bagi anggota keluarganya termasuk untuk Istrinya yang notabene adalah pendamping hidupnya. Namun nahas, dalam kehidupan abnormal seperti hari ini, tidak sedikit suami yang justru melakukan tindakan keji. Lalu mengapa semua ini bisa terjadi?

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak kriminal hari ini. Bahkan angka kejadiannya kian hari kian meningkat. Sering kita mendengar kian maraknya kasus penghilangan nyawa bahkan yang dibarengi tindak mutilasi seperti kasus di Ciamis ini. Kehidupan saat ini yang berada dalam naungan sistem kapitalis sekuler menjadikan manusia memisahkan agama dari kehidupannya. Dalam sistem ini acuan kebahagiaan seseorang diukur dari seberapa banyak materi dan kepuasan jasmani yang didapat. Materi dan kepuasan jasmani ini menjadi prioritas utama dalam masyarakat sekuler. Maka masyarakat dalam sistem ini akan mengupayakan mendapatkan kebahagiaan itu bagaimanapun caranya. Hal ini juga mempengaruhi dalam pengendalian emosi seseorang ketika memenuhi keinginannya.

Faktor pendidikan juga memberi andil besar dalam situasi salah yang terjadi saat ini, kurangnya peran keluarga dalam memberikan pengajaran mengenai akidah pada anak menjadikan seseorang tidak memiliki ketakwaan kepada Allah. Sehingga ia luput dari iman kepada Allah dan tidak mempunyai standar bahkan tidak mengetahui mana halal dan haram. Pada akhirnya ketika permasalahan menerpa, ia tidak mampu mengatasi masalah dan mengambil jalan pintas sekalipun harus melanggar ketentuan agama dan melakukan tindak kejahatan. Parahnya lagi, sistem persanksian yang diterapkan oleh negara pun tidak menjerakan. Hal ini tentu memicu tindak kejahatan semakin merajalela bahkan justru turut memberi contoh pada yang lain .

Dalam Islam, tujuan hidup manusia adalah untuk taat kepada Allah dan senantiasa terikat dengan aturan-Nya. Negara dalam Islam wajib menyediakan pendidikan yang dapat mencetak masyarakatnya menjadi pribadi yang memiliki aqliyah dan syakhsiyah Islam, ia beriman kepada Allah dan senantiasa menjaga diri dari tindak kemaksiatan dan kejahatan. Tentunya satu- satunya sistem pendidikan yang meniscayakan itu semua hanyalah pendidikan berbasis pada akidah Islam. Negara dalam sistem Islam juga memiliki sistem persanksian yang tegas dan menjerakan sehingga bisa membuat pelaku jera dan menjadi contoh bagi yang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Maka hanya dengan menerapkan sistem Islam secara keseluruhan, semua permasalahan umat saat ini dapat terselesaikan. Masyarakat Islam yang aman tenteram dan sejahtera pun bisa terwujud nyata. Wallahu’alam bishawab.

Oleh : Iskeu (Sahabat Tinta Media)

Minggu, 12 Mei 2024

Anak Berkonflik dengan Hukum, Islam Solusinya

Tinta Media - Kriminalitas semakin meningkat,  baik yang menimpa orang dewasa, remaja, atau anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Dikutip dari kompas.com (Selasa, 29/8/2023), jumlah anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia (Polri), tercatat sebanyak 3.964 ABH pada 2017. Angka tersebut melonjak hampir tiga kali lipat pada 2018, yakni 9.387 ABH. Kemudian, turun menjadi 6,963 ABH pada 2019 dan kembali naik menjadi 8.914 ABH. 

Definisi ABH sendiri diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Pasal tersebut menyebutkan bahwa ABH adalah anak yang sedang berkonflik dengan hukum atau sebagai pelaku, anak korban, dan anak saksi dalam tindak pidana. Kategori ABH mencakup usia 12 tahun hingga 18 tahun dengan tindak kriminal yang beragam. 

Dari data di atas, sudah seharusnya hal ini menjadi perhatian serius. Tingginya  kasus kriminalitas di berbagai lapisan masyarakat serta dari berbagai latar belakang pendidikan dan lingkungan semakin mengkhawatirkan.  

Sekularisme dan Kapitalisme Penyebab Utama

Berbagai peristiwa kriminal ini semakin meningkat tentunya disebabkan dari berbagai faktor. Sekularisme_memisahkan agama dari kehidupan_ dan ideologi kapitalismelah yang merupakan penyebab utama dari tindak kriminalitas yang terjadi.  Sehingga, orang tua, lingkungan, dan negara tidak bisa memberi perlindungan dan keamanan yang seharusnya menjadi hak anak, dan masyarakat.

Tidak dimungkiri, memang orang tua tidak lagi fokus mengarahkan atau mendidik anak-anak untuk mempunyai kepribadian Islam. Orang tua saat ini hanya fokus memberikan fasilitas materi semata.

Hidup dalam sistem kehidupan sekularisme kapitalis ini memang membuat manusia hidup hanya mengejar materi semata. Visi dan misi hidup seolah-olah cukup dengan mengejar kebahagiaan dunia yang jelas-jelas hanya kebahagiaan semu. Peran seorang ibu pun saat ini terkikis akibat turut membantu mencari materi.

Nyatanya, saat ini banyak laki-laki atau kepala rumah tangga yang tidak bekerja lantaran sulitnya mencari lapangan pekerjaan. Walhasil, peran ibu yang seharusnya sebagai ummun warabbaatul bait (ibu yang mengatur dan mengurus rumah tangga) harus dikesampingkan demi menjadi tulang punggung keluarga. 

Sehingga, pendidikan anak pun hanya dibebankan kepada pihak sekolah saja. Padahal, sistem pendidikan sekarang ini tidak mampu mengarahkan si anak untuk mempunyai kepribadian Islam, tetapi justru diarahkan untuk memisahkan antara urusan dunia dan agama. 

Lingkungan pun jauh dari kata peduli. Mereka lebih memilih acuh terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Semua ini terjadi karena masyarakat saat ini hanyalah terdiri dari individualis-individualis yang mementingkan diri sendiri. 

Di samping itu, buruknya sistem pergaulan hari ini pun turut menyumbang makin banyaknya kejahatan, seperti pencurian, tawuran, bullying, pemerkosaan, judi slot, mabuk, sek bebas, narkoba, dan lain sebagainya. Ini bisa jadi diakibatkan karena salah dalam bergaul. Mereka tidak bisa membentengi diri terhadap pengaruh lingkungan dan tontonan. 

Anak yang salah bergaul akan mudah terjebak dalam lingkungan yang salah. Begitu juga terkait negara yang minim perannya dalam mengedukasi masyarakat dan mengawasi tontonan anak. Selain itu, tidak ada sanksi tegas bagi pelaku, terlebih lagi bagi mereka yang dianggap masih di bawah umur, sehingga membuat situasi ini semakin parah.

Islam Solusinya

Dalam Islam, keluarga akan fokus mendidik anak-anak untuk meletakkan dasar agama. Dalam sistem Islam, kebutuhan sekunder dan primer akan terpenuhi, sehingga orang tua akan fokus berperan sesuai fungsinya berdasarkan syariat.

Maka, seorang ayah di samping berkewajiban mencari nafkah untuk keluarganya, ia tidak akan lalai dalam membimbing keluarganya. Seorang ibu berperan sebagai madrasah al-ula bagi anak anaknya. Mereka sadar sepenuhnya akan tanggung jawab utama terhadap anaknya.

Sebagaimana firman Allah, artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim: 6).

Lingkungan pun akan menjalankan perannya sebagai kontrol dalam masyarakat. Ini karena individu-individu yang bertakwa akan membentuk lingkungan dan peradaban Islam. 

Ideologi Islam yang diterapkan dalam kehidupan akan membentuk manusia yang peduli terhadap lingkungan. Kewajiban menjalankan amar makruf nahi munkar adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim. 

Setiap muslim akan menjadi manusia bertakwa karena senantiasa merasa diawasi oleh Allah Subhanahu wata'alah. Ia tahu visi hidup sesungguhnya hanya untuk meraih rida Allah semata.

Negara menerapkan syariat Islam kaffah dalam kehidupan. Pastinya negara akan bertanggung jawab terhadap kehidupan rakyat, baik urusan dunia maupun akhirat. Negara akan menjalankan tugasnya dengan memberikan jaminan kesejahteraan, pendidikan, dan perlindungan secara penuh.  

Sumber daya alam yang melimpah akan diurus dan dikelola sesuai dengan syariat Islam sehingga bisa memberi kesejahteraan pada rakyat. Dengan begitu, orang tua pun bisa menjalankan amanah terhadap keluarganya. 

Negara juga akan terus berperan dalam mengedukasi masyarakat tentang syariat Islam. Negara akan meletakkan dasar pendidikan sesuai agama Islam sehingga manusia mempunyai pola pikir dan pola sikap sesuai syariat Islam (berkepribadian Islam). 

Konten-konten sampah yang memberikan dampak buruk pun akan ditutup. Media sosial, baik online atau cetak hanya akan menyiarkan kemuliaan ajaran Islam.

Dengan demikian, insya Allah semua tindak kriminalitas ini akan diatasi dengan mudah dan tuntas. Tentu saja negara akan memberikan sanksi tegas terhadap perilaku maksiat ataupun pelaku kriminal. Tidak ada lagi istilah anak yang berkonflik dengan hukum. Ini karena umur tidak bisa dijadikan rujukan apakah pelaku masih di bawah umur sehingga mereka diberikan keringanan hukum bahkan bebas dari jeratan hukum.

Di dalam Islam, ketika sudah baligh dan berakal, maka seseorang sudah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di dalam Islam, pelaku kriminalitas akan dihukum sesuai sanksi dalam Islam. Ketika hukum Islam diterapkan, tentunya ada kemaslahatan umat. 

Hukum uqubat atau sanksi Islam terdiri dari hudud, jinayah, ta'zir dan mukhalafat yang masing-masing sudah dirinci sesuai syariat Islam.

Misalnya, di dalam hudud, yang melanggar akan dihukum sesuai kejahatan yang diperbuat. Seperti pencuri akan dihukum dengan potong tangan, pezina akan dijilid atau dirajam, dan lain sebagainya. Pembunuh akan diqishas. Pemabuk dan penjudi akan dikenakan hukuman ta' zir oleh pemimpin atau khalifah.  Sehingga, ketika hukum Islam diberlakukan, akan ada efek jera (zawajir) sekaligus penebus dosa (jawabir) bagi pelakunya. Wallahu'alam bisshawab.

Oleh: Emmy Rina Subki
Sahabat Tinta Media

 

 


Rabu, 08 Mei 2024

Hukum Lemah, Kriminalitas Merajalela


Tinta Media - Deputi Direktur Amnesty Internasional Indonesia Widya Adiwena menilai hukum di Indonesia semakin lemah karena kriminalisasi semakin meningkat, terutama dari aparat kepada masyarakat yang melakukan unjuk rasa. 

Tindakan tersebut di antaranya:

Pertama, banyak masyarakat sipil yang terus mendapat tindakan kriminalisasi dari aparat saat menggelar aksi demonstrasi. Tahun 2023, tiga aktivis Papua dihukum penjara dengan tuduhan makar, karena menyuarakan pendapat mereka secara damai.

Kedua, aparat menggunakan kekerasan untuk membubarkan aksi masa di Pulau Rempang, kepulauan Riau. Aparat polisi mengamankan gas air mata dan peluru karet pada masyarakat Rempang yang menyuarakan keberatan terkait proyek pembangunan yang mengancam tanah leluhur mereka.

Ketiga, di Papua, aparat keamanan melakukan penyiksaan terhadap tahanan, seperti kematian 6 orang tahanan di Desa Kwiyagi, Kabupaten Lanny Jaya Papua  Pegunungan pada 6 April 2023.

Lemahnya hukum yang diterapkan di Indonesia terbukti adanya. Akibatnya, kriminalitas semakin meningkat, mulai dari rakyat sipil sampai aparat negara. Kasus-kasus kekerasan yang  dilakukan aparat banyak yang tidak tuntas dan 
dialihkan ke isu lain. 

Ini menunjukkan bahwa hukum yang diterapkan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ini adalah buah penerapan sistem kapitalisme, sistem buatan manusia yang lemah dan batil, yang tidak bisa memberikan hukuman secara tegas dan menjerakan

Penyebab utama tindakan kriminalitas meningkat adalah individu yang lemah dengan adanya dominasi sekularisme-kapitalisme yang sangat kuat mencengkeram,  sementara standar agama tidak dijadikan rujukan.

Orang melakukan tindakan kekerasan atau tidak,  standarnya adalah rasa suka atau tidak, merugikan atau menguntungkan, sedangkan agama tidak boleh dibawa ke ranah publik. Agama hanya dijadikan sekadar ibadah ritual saja.  

Maka, ketika seseorang bekerja sebagai aparat negara, mereka bisa sewenang-wenang  memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan mereka. Mereka kebal terhadap hukum, tidak pernah memikirkan dosa dan pahala, tidak takut kepada Allah Swt. 

Mereka hanya takut kepada penjara. Maka, ketika melakukan tindakan kriminal, yang dipikirkan adalah bagaimana caranya agar tidak terjerat hukum, walaupun harus menyogok. Karena itu, mereka tidak pernah takut mengulangi kejahatan berikutnya. 

Ini menunjukkan bahwa negara hanya berfungsi sebagai regulator, yaitu penyambung kebijakan para pengusaha besar  (oligarki) yang menguasai sumber daya, mempunyai kekuasaan dan jabatan sehingga bisa mengendalikan kebijakan  negara.

Tidak ada kontribusi dari masyarakat dengan budaya amar ma'ruf nahi munkar. Ketika tindakan kriminal yang dilakukan aparat negara berulang kali dilakukan, disaksikan oleh masyarakat, tidak ada tindakan tegas dari negara, sehingga masyarakat pada akhirnya menjadi hilang kepercayaan. 

Rasa kepedulian masyarakat pun menjadi hilang karena aksi protes, tuntutan keadilan, dan lain sebagainya tidak dianggap oleh hukum. Ini karena negara juga menerapkan pasal karet yang bisa ditarik ulur sesuai dengan kepentingan mereka. 

Sementara, tidak ada tindakan tegas dari negara bahkan negara sendiri ikut terlibat. Negara abai terhadap sanksi yang tegas, membiarkan kriminalitas merajalela.

Saatnya masyarakat kembali kepada solusi Islam yang bisa menutup celah kejahatan  dengan penerapan hukum Islam oleh negara, seperti kriminalitas yang merajalela. 

Pertama, dengan membangun ketakwaan individu sehingga menjadikan halal haram sebagai standar. Mereka akan sadar bahwasanya setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt. Mereka yang berbuat kemaksiatan akan mendapatkan dosa dan  balasan, baik di dunia maupun di akhirat sesuai dengan kejahatan yang mereka perbuat.

Kedua, negara dalam sistem Islam akan menumbuhsuburkan budaya amar ma'ruf nahi munkar. Masyarakat akan peduli dengan keadaan sekitar ketika terjadi tindakan kemaksiatan seperti kriminalitas. Ini akan menutup celah tindakan kriminalitas merajalela di masyarakat. 

Ketiga, negara mempunyai sistem sanksi tegas yang berfungsi sebagai zawabir (penebus dosa di akhirat kelak), dan zawajir (pencegah dan epek jera). 

Negara dalam menerapkan sanksi tidak pandang bulu, baik miskin ataupun kaya, aparat ataupun rakyat biasa, termasuk mencegah adanya aparat yang tidak amanah berlaku sewenang-wenang dan kebal hukum. 

Negara akan hadir sebagai penanggung jawab, pelindung masyarakat. Sekecil apa pun tindakan kriminalitas, negara tidak akan membiarkan, karena Allah mengharamkan kemaksiatan sekecil apa pun.

Semua ini akan mencegah terjadinya pelanggaran aturan Allah. Penerapan sistem sanksi dan sistem lainnya dalam negara Islam akan menjaga nama baik hukum dan mewujudkan keadilan dan ketenteraman dalam kehidupan. Wallahu alam bishawab.


Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media 

Minggu, 28 April 2024

Putusan MK

Tinta Media - Kita telah sampai pada ujung perjuangan konstitusional. Pilpres telah kita lewati. Gugatan ke MK telah kita lalui. Lantas apa setelah ini?

Tunggu lima tahun lagi. Kita akan berjuang dalam hiruk pikuk pemilu lagi. Kemudian menggugat lagi. Kalah lagi, lagi, dan lagi. Terus begitu.

Kian hari, ketidakberesan kian telanjang di depan mata. Tapi tiap kali kita berupaya memperbaikinya di atas meja konstitusi, kata para pemegang kendali, ketidakberesan itu tidak beralasan sama sekali.

Sebenarnya di setiap pemilu, saya selalu katakan bahwa perubahan tidak akan terjadi melalui jalur konstitusi.

Sejarah membuktikan. Perubahan dari era Orde Baru ke Orde Reformasi tak lewat jalur konstitusi. Perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru tak melalui mekanisme konstitusi.
Perubahan dari era Penjajahan ke fase NKRI tidak mengikuti koridor konstitusional Hindia Belanda.

Perubahan dari era Kasultanan Islam ke era Hindia Belanda tidak melalui konstitusi Kasultanan Islam. Perubahan dari era Hindu Majapahit ke Kasultanan Islam Demak tidak lewat prosedur konstitusi Majapahit.

Begitu pun di sejarah dunia. Perubahan masa Kekristenan Eropa menuju masa Demokrasi, tak melalui jalur konstitusi Gereja.

Perubahan era Makkah Jahiliyah menjadi era Islam, tidak melalui mekanisme konstitusi Quraisy Jahiliyah.

Bukalah catatan sejarah dunia. Tidak ada satu perubahan pun yang mengikuti mekanisme konstitusi yang tengah berlaku.

Semua perubahan, selalu terjadi melalui mekanisme alternatif.

Hanya saja persoalannya, alternatif versi apa yang akan digunakan?

Apakah alternatif revolusi versi komunis? Apakah alternatif perubahan yang dicontohkan Rasulullah ﷺ dalam mengubah dunia jahiliyah menjadi dunia cemerlang peradaban Islam?

Bagi muslimin tentu mereka akan mengikuti suri tauladan perubahan yang dicontohkan Rasulullah ﷺ.

Seperti apa perubahan sesuai suri tauladan Rasulullah ﷺ itu? InsyaAllah kita bahas di tulisan berikutnya.

Jika ngotot bahwa perubahan itu harus mengikuti konstitusi yang sedang berlaku, maka ingatlah aturan ini: 1. Wanita tidak pernah salah. 2. Jika salah, lihat aturan no1.
Jogja 240424

Oleh: Doni Riw Influencer Dakwah

Kamis, 25 April 2024

Sistem Hukum Beku di Bawah Aturan Kapitalis


Tinta Media - Pada lebaran 2024, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan Remisi Khusus (RK) bagi narapidana dan Pengurangan Masa Pidana (PMP) khusus bagi anak binaan yang beragama Islam. Total berjumlah 159.557 orang. 

Yasonna H Laoly selaku Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengungkapkan bahwa remisi dan PMP merupakan wujud nyata dari negara sebagai hadiah kepada narapidana dan anak binaan yang selalu berusaha memperbaiki diri, berbuat baik, dan kembali menjadi masyarakat yang berguna. Beliau berharap, pemberian remisi dan PMP ini dapat dijadikan semangat dan tekad bagi narapidana dan anak binaan untuk memperbanyak karya dan cipta yang bermanfaat. 

Tak hanya mempercepat reintegrasi sosial narapidana, pemberian RK dan PMP Idul Fitri ini juga berpotensi menghemat biaya anggaran makan narapidana hingga Rp81.204.495.000.

Berbagai aturan terkait dengan sistem sanksi saat ini menunjukkan ketidakseriusan dalam memberikan efek jera pada pelaku kejahatan. Pasalnya, sistem sanksi ini bertumpu pada nilai sekuler-liberal yang kemudian melahirkan sistem pidana sekuler dan menafikkan peran agama dari kehidupan, meniscayakan hukum pidana dibuat oleh akal manusia yang lemah dan terbatas. 

Sistem pidana sekuler juga kosong dari unsur ketakwaan karena tidak bersumber dari wahyu Allah. Alhasil, aturan yang berasal dari manusia tersebut berpotensi sangat tinggi untuk berubah, berbeda dan berganti. 

Bahkan, sistem pidana ini berpotensi untuk disalahgunakan oleh pihak yang kuat, yakni penguasa atau pemilik modal karena tidak ada ketetapan yang baku di dalamnya. Tak heran, sistem pidana sekuler tidak memberikan keadilan sedikit pun bagi masyarakat.

Ini bertolak belakang dengan sistem sanksi Islam yang akan menimbulkan efek jera dan meniscayakan adanya keadilan karena hukumnya berasal dari Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta, Allah Swt. 

Setidaknya ada lima keunggulan sistem sanksi dalam Islam, antara lain:
 
Pertama, sistem sanksi Islam berasal dari Allah, Zat Yang Maha Mengetahui perihal manusia secara sempurna.
Ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an surah al-Maidah ayat 50.

Kedua, sistem sanksi Islam bersifat wajib, konsisten, dan tidak berubah-ubah mengikuti situasi, kondisi, waktu dan tempat. Ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an Al-An'am ayat 115.

Ketiga, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir atau membuat jera di dunia dan jawabir atau menghapus dosa di akhirat. Jadi, sistem sanksi Islam berdimensi dunia dan akhirat, sedangkan sistem pidana sekuler hanya berdimensi dunia yang sangat dangkal.

Keempat, dalam sistem sanksi Islam peluang permainan hukum dan peradilan sangat kecil. Ini terutama karena sistem sanksi Islam bersifat spiritual, yakni dijalankan atas dorongan takwa kepada Allah Swt. 

Selain itu, hakim yang curang dalam menjatuhkan hukuman atau menerima suap dalam mengadili akan diancam hukuman yang berat oleh Allah, yaitu masuk neraka atau malah bisa menjadi kafir (murtad).

Kelima, dalam sistem sanksi Islam seorang qadhi memiliki independensi tinggi, yaitu vonis yang dijatuhkannya tak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu menyalahi syariat Islam.

Sistem sanksi Islam telah terbukti mampu meminimalisir tindak kejahatan/kriminalitas. Hal ini tentu tidak akan terwujud dalam sistem demokrasi sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan dan dari negara. 

Sistem sanksi yang tegas dan adil akan ada jika hukum Allah diterapkan oleh negara khilafah. Karena sesungguhnya Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna, mengatur segala aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali. Aturan Islam bersifat baku, tak akan berubah. Di mana pun dan kapan pun, hanya sistem sanksi Islam yang mampu mencegah kriminalitas dengan tuntas. Wallahua'alam bishawab.


Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Kamis, 18 April 2024

Bantuan Sosial Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Melanggar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial

Tinta Media - Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial Beras sampai Juni 2024, dan Bantuan Langsung Tunai untuk November dan Desember 2023. Keputusan diambil dalam rapat kabinet / rapat terbatas 6 November 2023, dengan alasan ada ancaman El Nino.

Pemberian Bantuan Sosial Beras (sebelumnya dinamakan Bantuan Sosial Pangan) tersebut dikoordinasikan oleh Bapanas (Badan Pangan Nasional) dan dilaksanakan atau disalurkan oleh Perum Bulog (Badan Urusan Logistik).

Dalam penyaluran Bantuan Sosial Pangan (Beras) ini, Bapanas dan Bulog secara nyata melanggar UU tentang Kesejahteraan Sosial. Karena, pelaksanaan pemberian Bantuan Sosial Pangan (Beras) merupakan tugas dan fungsi Kementerian Sosial.

Alasannya sebagai berikut.

Pertama, Bantuan (Sosial) Langsung dalam bentuk Pangan maupun Tunai merupakan bagian dari Bantuan Sosial, yang pada gilirannya merupakan bagian dari Perlindungan Sosial, seperti diatur di Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Kedua, penyelenggaraan Perlindungan Sosial diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah No 39 Tahun 2012 (PP 39/2012) tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

Bab V tentang Perlindungan Sosial, Pasal 28 sampai Pasal 36, menyatakan, bahwa:

• Bantuan Sosial merupakan bagian dari pelaksanaan Perlindungan Sosial: Pasal 28 ayat (3) huruf a;

• Bantuan Sosial dapat diberikan secara langsung (Bantuan Langsung): Pasal 29 ayat (2) huruf a;

• Jenis Bantuan (Sosial) Langsung dapat berupa antara lain sandang, pangan, dan papan: Pasal 30 huruf a, atau uang tunai: Pasal 30 huruf e;

Ketiga, menurut Peraturan Presiden No 110 Tahun 2021 tentang Kementerian Sosial, Perlindungan Sosial merupakan salah satu tugas dan fungsi Kementerian Sosial.

Pasal 4 berbunyi: Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Pasal 5 berbunyi Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4, Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi:

a.              perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial;

Kedua Pasal ini menegaskan bahwa Kementerian Sosial juga mengemban fungsi sebagai pelaksana kebijakan perlindungan sosial, termasuk penyaluran Bantuan Sosial Pangan (Beras).

Untuk itu, Kementerian Sosial dilengkapi dengan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan, pemberian Bantuan Sosial Pangan (Beras) maupun Bantuan (Sosial) Langsung Tunai merupakan bagian dari Perlindungan Sosial, yang merupakan tugas dan fungsi dari Kementerian Sosial.

Artinya, Bapanas dan Bulog tidak berwenang melaksanakan atau menyalurkan Bantuan Sosial Pangan (Beras).

Dengan kata lain, penyaluran Bantuan Sosial Pangan (Beras) dari Bapanas dan Bulog melanggar UU tentang Kesejahteraan Sosial, melanggar tugas dan fungsi Kementerian Sosial, dan karena itu dapat didakwa penyimpangan kebijakan APBN dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.

Selain itu, keempat, dasar pembentukan Badan Pangan Nasional merupakan perintah Bab XII, Pasal 126 sampai Pasal 129, UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bahwa: Badan Pangan Nasional adalah Lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan. Sekali lagi, menangani bidang pangan, bukan bidang sosial, atau bantuan sosial.

Pasal 126 berbunyi, tugas Lembaga Pemerintah di bidang Pangan, untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan Nasional.

Pasal 127 menegaskan, Lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.

Pasal 128 mengatur wewenang Lembaga Pemerintah bidang pangan tersebut: yaitu antara lain dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang Pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Artinya, Pasal 128 menegaskan Lembaga Pemerintah bidang Pangan (yang kemudian bernama Badan Pangan Nasional) tidak bisa menugaskan Bulog untuk melaksanakan atau menyalurkan Bantuan Sosial Pangan.

Pasal 129 kemudian memberi payung hukum pembentukan Lembaga Pemerintah bidang pangan melalui Peraturan Presiden, dan lahirlah Peraturan Presiden No 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional atau Bapanas.

Dalam butir menimbang huruf a Perpres 66/2021 secara eksplisit menyebut: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 129 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan.

Oleh karena itu, tugas dan fungsi Badan Pangan Nasional wajib taat pada ketentuan UU tentang Pangan khususnya Pasal 126 sampai Pasal 128.

Dalam hal ini, penyaluran bantuan pangan oleh Badan Pangan Nasional melanggar UU tentang Pangan dan juga melanggar UU tentang Kesejahteraan Sosial.

Dengan demikian, perpanjangan Bantuan Sosial dengan alasan El Nino, yang diputus secara sepihak oleh Presiden Joko Widodo, tanpa persetujuan DPR, tanpa ditetapkan dengan UU, disalurkan melalui Bapanas dan Bulog, beserta Presiden, Menteri Zulkifli Hasan dan Menko Airlangga Hartarto, secara nyata melanggar Konstitusi, UU Keuangan Negara, UU APBN, UU Kesejahteraan Sosial, UU Pangan.

Apakah sejumlah pelanggaran berat tersebut akan dibiarkan terjadi tanpa ada konsekuensi hukum, dan menandakan Indonesia menjadi negara tirani, atau ditindak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk mewujudkan perintah Pasal 1 ayat (3) UUD, bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Semoga Mahkamah Konstitusi dapat benar-benar menjaga Konstitusi Indonesia, dan memutus perkara seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku.

Oleh: Anthony BudiawanManaging Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

—- 000 —-

Jubah Arogansi Hakim MK: Hanya Mahkamah Kata-Kata, Hilang Substansi Keadilan yang Didambakan


Tinta Media - Allah Subhanahu Wa Taa'la berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦

"Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."

[ QS: Al Isro (17): 36 ]

Saya tidak lagi berharap akan ada putusan yang berkeadilan dari lembaga MK, itu sudah clear. Karena mustahil, MK sebagai lembaga hukum di bawah otoritas politik, bisa mengadili kecurangan politik pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Pada akhirnya, MK akan memutus menolak permohonan dan melegitimasi kecurangan.

Namun, dalam proses mengadili perkara, saya merasa lebih kecewa lagi. MK telah menunjukkan sikap jumawa/arogan, bukan sebagai lembaga pengadilan, tapi lembaga superior yang merasa lebih dan berada di atas kedudukan para pihak (pemohon, termohon, pihak terkait).

MK telah mendudukkan ruang sidang sengketa Pilpres sebagai ruang MK, bukan ruang para pihak untuk menggali dan menemukan keadilan. MK telah melawan hukum acara persidangan, dengan memberikan hak eksklusif pada hakim MK untuk mendalami fakta persidangan, dan menghalangi pihak lainnya untuk menggali dan menemukan fakta keadilan.

Contoh: saat MK akhirnya memanggil 4 orang Menteri Jokowi (Muhadjir Efendi, Risma Triharini, Sri Mulyani dan Airlangga Hartanto). Empat orang menteri ini dihadirkan atas permintaan Pemohon dari kubu 01 dan 03. Kedudukan menteri ini sebagai saksi. Tapi mengapa hanya hakim MK yang boleh bertanya dan menggali keterangan dari para menteri? Kenapa kuasa hukum pemohon, baik dari 01 dan 03, tidak diperkenankan mendalami keterangan saksi dari para menteri tersebut?

Kepentingan dihadirkannya 4 menteri, adalah untuk membuktikan adanya kecurangan Pemilu melalui politik penyalahgunaan wewenang  Presiden . Yakni, penggelontoran dana bansos untuk kepentingan elektabilitas Prabowo Gibran, sebanyak 560.360.000.000.000.

Fakta adanya hubungan bansos dengan meningkatnya suara atau dukungan ke Prabowo Gibran, itu harus digali. Suara Prabowo Gibran itu besar karena bansos, itu harus didalami. Yang berkepentingan untuk menggali dan mendalami tentu saja kubu 01 dan 03 selaku Pemohon yang juga membuat posita dan petitumnya .

Bagaimana fakta bisa terungkap, kalo kuasa hukum pemohon 01 dan 03 tidak boleh bertanya pada saksi 4 menteri? Sejak kapan, hukum acara persidangan tidak membolehkan para pihak menggali keterangan saksi dan hanya menjadi hak eksklusif hakim MK ? Ini sudah melampaui hukum acara dalam persidangan .

Oleh karena itu terbukti, saat pertanyaan itu hanya dari MK, materi pertanyaannya ya datar-datar saja , normatif tidak substantif juga tidak ada pertanyaan yang punya tujuan untuk mengungkap fakta politik gentong babi yang menjadi salah satu dasar posita permohonan pemohon. Ini kan sama aja sandiwara MK hanya memanggil menteri untuk formalitas, seolah MK bertindak adil. Faktanya, pemanggilan menteri hanya untuk melengkapi sandiwara atau DRAKOR = Drama Kotor  persidangan di MK, karena yang boleh memeriksa menteri hanya hakim MK. Ini benar-benar dagelan persidangan yang mendown great pihak Advokat 01 dan 03 jadi nothing , kalau pihak termohon dan terkait mah malah senanglah .

Belum lagi Hakim Arif Hidayat, membuat dikotomi kepala pemerintahan dan kepala Negara, sebagai dalih untuk tidak memanggil Jokowi. Lebih lucunya, berdalih Presiden simbol negara maka MK tak layak memanggil Presiden untuk diambil keterangannya di persidangan.

Sejak kapan Presiden adalah simbol negara? Apakah, sekelas hakim MK Arif Hidayat tidak pernah membaca Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan? Kalau pernah membaca, apa dasarnya Arif Hidayat mengklasifikasi Presiden sebagai simbol Negara?

Soal Jokowi tidak dihadirkan sebagai saksi juga aneh, seolah Jokowi hanya berstatus Presiden. Padahal, selain Presiden Jokowi juga berstatus warga negara, karena untuk menjadi Presiden haruslah WNI.

Dalam hal ini, konstitusi Pasal 27 ayat 1 UUD 45 tegas menyatakan:

"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Berdasarkan pasal ini, harusnya Jokowi diseret ke pengadilan oleh MK. Karena materi keterangan menteri soal bansos, harus pula dikonfirmasi oleh atasannya, yakni Presiden Jokowi.

Kenapa MK memosisikan Jokowi spesial atau di kecualikan ? Atau, sudah ada pesanan spesial dari Jokowi kepada MK, bagaimana Kita mau berharap pada MK sebagai penjaga konstitusi , untuk yang sudah jelas tertulis di pasal 27 ayat 1 UUD 45 saja tak mampu MK menegakkannya , tapi Aneh yang merasa jago/ pendekar hukum yang jadi Advokat nya 01 dan 03 tidak ada yang protes , malah dalam keterangan persnya merasa bahagia dan senang banget dengan kondisi obyektifnya sesungguh melecehkan jati diri mereka sebagai Advokat Jagoan . Sisi lain apakah cara seperti ini sudah di rancang oleh MK , karena terhadap pemeriksaan DKPP juga Sama , para advokat jagoan tadi tidak boleh bertanya juga ??? Apakah hal demikian sudah ada deal  agar Gibran bisa dilantik menjadi Wapres ? Jika ikuti pendapat Hakim Ketua MK , Suhartoyo bila ada publik / WNI yang bertanya tentang persidangan maka Hakimnya HARUS MENJAWAB UNTUK MENJELASKAN YANG DITANYAKAN ORANG ITU !

Sedih saya melihat Para Kuasa Hukum pemohon, baik 01 dan 03 juga mau tunduk pada kejumawan / Arogan Hakim MK. Bahkan, diam saja ketika Bambang Widjoyanto mau diusir oleh Arif Hidayat. Harusnya, tunjukan persamaan kedudukan sebagai penegak hukum di hadapan hakim MK. Tunjukan, advokat juga penegak hukum seperti hakim MK, sehingga hakim MK jangan sok paling hebat seenaknya mau usir advokat dari ruangan persidangan lihat pasal 5 Jo pasal 16 dari UU No 18 thn 2003 tentang Advokat .

Saya benar-benar kecewa, jauh sebelum putusan MK dikeluarkan. Karena proses sidang di MK, sudah dapat dijadikan dasar keyakinan, bahwa akhirnya putusan MK hanya akan melegitimasi kecurangan.

Proses di MK, mungkin saja hanya jadi sandiwara  untuk meredam kemarahan rakyat terhadap kecurangan/ kriminal  pemilu dan Pilpres dan akhirnya saya  gondok banget , karena Rakyat pula yang kembali ditipu dan dikhianati, dengan suguhan dagelan sidang di MK ini, persis seperti yang di tuliskan dalam Wahyu ALLAAH SUBHAANNAHU WA TA ALA , yaitu : 

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا فِيْ كُلِّ قَرْيَةٍ اَكٰبِرَ مُجْرِمِيْهَا لِيَمْكُرُوْا فِيْهَا ۗ وَمَا يَمْكُرُوْنَ اِلَّا بِاَ نْفُسِهِمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ

"Dan demikianlah pada setiap negeri Kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri itu. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya."

(QS. Al-An'am 6: Ayat 123) . 

Namun demikian, dari sudut ajaran Islam kita diajarkan untuk tidak menentukan keadaan akan datang yang belum terjadi. Kita sadar hanya ALLAH lah yang tahu dan menentukan  dalam PHPU di MK sekarang ini hingga tgl 22 April 2024: ada putusan MK yang menyatakan pilpres harus diulang tanpa Gibran dan diskualifikasi terhadapnya. Untuk itu, kita perlu munajat dan Istighotsah Akbar mulai tgl 16 April 2024 depan MK. Idealnya AMIN dan Ganjar Mahfud mengajak pendukung masing2 dan membersamai para relawan masing-masing. Juga ormas-ormas Islam yang sejalan memilih 01. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha membolak-balik hati manusia menggerakkan hati nurani para Hakim MK untuk memutus perkara yang kita maksudkan itu, aamiin aamiin aamiin yaa Mujibas Saa'iliin...

Salam optimis, ES.

Oleh : Prof. Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si.
Ketua Umum TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis)

Senin, 26 Februari 2024

Hukum Menerima Hadiah dari Rekening Wadiah di Bank Syariah



Tanya :
Tinta Media - Assalamu'alaykum. Ustadz mau tanya. Saya titip uang ke BSI (Bank Syariah Indonesia) dengan akad wadiah murni. Nah pas BSI ulang tahun saya dikasih Rp 25.000. Halal tidak itu Ustadz? (Ratna, Lampung).

Jawab :
Wa ‘alaykumus salam wr . wb.

Haram hukumnya seorang penabung dengan rekening wadiah di sebuah bank syariah menerima hadiah atau bonus dari bank tersebut. Hal ini karena akad wadiah (titipan) di bank syariah tersebut sesungguhnya tidak memenuhi kriteria-kriteria wadiah secara syariah. Jadi tabungan wadiah itu sebenarnya bukan wadiah secara syariah, melainkan pinjaman (qardh). Ketika akad tabungan wadiah di bank syariah itu berubah menjadi qardh (pinjaman), maka setiap tambahan atau hadiah dari bank syariah kepada para penabungnya, tiada lain adalah riba yang diharamkan dalam Islam. 

Dalil haramnya hadiah yang muncul dari akad qardh (pinjaman), adalah sabda Rasulullah SAW :

إِذَا أَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذْ هَدِيَةً

“Jika kamu memberi pinjaman (qardh) maka janganlah kamu mengambil suatu hadiah.” (HR. Bukhari, dalam At-Tārīkh Al-Kabīr, 4/2/231; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, V/530).

Dalil lainnya, sabda Rasulullah SAW :

‏إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ ‏

“Jika salah seorang dari kamu memberi pinjaman (qardh) (kepada orang lain), lalu yang meminjam memberi dia hadiah, atau menaikkannya di atas tunggangannya, maka janganlah dia menaiki tunggangan itu, dan jangan pula menerima hadiahnya, kecuali hal itu sudah biasa terjadi sebelumnya antara yang memberi pinjaman dan yang meminjam.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 2432).

Dalil lainnya, sabda Rasulullah SAW :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا

“Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh), maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan, 5/530).

Dari hadits-hadits di atas jelas bahwa hadiah yang muncul dari adanya pinjaman (qardh), hukumnya adalah haram secara mutlak, baik dipersyaratkan maupun tidak dipersyaratkan pada saat akad pinjaman (qardh) di awal.

Adapun mengapa akad wadiah (titipan) di bank syariah itu berubah menjadi pinjaman (qardh)? Hal ini karena wadiah (titipan) di bank syariah, tidak memenuhi kriteria syariah yang seharusnya ada pada akad wadiah, dengan dua bukti atau argumen sebagai berikut; 

Pertama, dalam akad wadiah (titipan), seharusnya pihak yang dititipi (dalam hal ini bank syariah) hanya menyimpan uang dari penabung (nasabah), tidak menggunakan uang yang dititipkan. Jadi bank syariah tidak boleh melakukan isti’māl (penggunaan/pemanfaatan) terhadap uang itu, misalnya digunakan untuk membayar gaji pegawai, digunakan untuk membayar berbagai macam tagihan, digunakan untuk membayar nasabah yang melakukan tarik tunai, dsb. Faktanya, bank syariah melakukan tindakan yang disebut isti’māl, yaitu penggunaan/pemanfaatan terhadap uang tersebut. (‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42).

Kedua, dalam akad wadiah (titipan), seharusnya bank syariah tidak memberikan penjaminan (al-dhoman) atas uang yang dititipkan oleh penabung (nasabah), kecuali jika bank syariah melakukan tafrīth (kelalaian) atau melakukan ta’addiy (melampaui batas kewenangan). (Nazīh Hammād, ‘Aqad Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 45). 

Faktanya, bank syariah memberikan penjaminan (al-dhoman) secara mutlak atas titipan uang dari nasabah, dalam segala keadaan, baik karena bank syariah melakukan maupun tidak melakukan _tafrīth_ atau ta’addiy. (‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42).
Karena akad wadiah di bank syariah itu tidak memenuhi kriteria wadiah dalam syariah, maka akad wadiah di bank syariah itu sebenarnya tidak mungkin dipertahankan lagi sebagai wadi’ah (titipan) secara syariah, melainkan sudah berubah sifat menjadi akad pinjaman (qardh). 

Syaikh Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, dalam kitabnya Ar-Riba wa Al-Mu’amalat Al-Mashrifiyyah fi Nazhar Al-Syari’ah Al-Islamiyah, setelah meneliti fakta apa yang disebut wadiah di bank (al-wadi’ah al-bankiyah), menyimpulkan dengan tepat :

وَأَنَّ حَقِيْقَتَهاَ قَرْضٌ لاَ وَدِيْعَةٌ

“Sesungguhnya dana titipan di bank itu hakikatnya adalah pinjaman (qardh), bukan wadi’ah (titipan).” (Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, Ar-Ribā wa Al-Mu’āmalāt Al-Mashrifiyyah fī Nazhar Al-Syarī’ah Al-Islāmiyah, Madinah : Darul ‘Ashimah, 1415, hlm. 347).

Nah, maka dari itu, jelaslah bahwa dikarenakan akad tabungan wadiah di bank syariah itu sudah berubah menjadi qardh (pinjaman), maka setiap tambahan atau hadiah dari bank syariah kepada para penabungnya yang mempunyai rekening wadiah, sesungguhnya adalah riba. Wallāhu a’lam.

Bandung, 22 Februari 2024

Oleh: KH Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Kontemporer

Referensi :
www.fissilmi-kaffah.com
www.shiddiqaljawi.com

Minggu, 18 Februari 2024

LBH Pelita Umat: Pejabat yang Hilang Etika dan Rasa Malu, Cenderung Koruptif



Tinta Media - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H, menuturkan, pejabat yang kehilangan etika dan rasa malu, dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung berperilaku koruptif.

"Etika di atas hukum. Hilang etika, maka akan hilang rasa malu. Hilang etika dan rasa malu dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung menjadi perilaku koruptif terhadap kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki," ujarnya dalam tulisan di akun Instagram @ChandraPurnaIrawan, Rabu (14/2/2024).

Ia mengutip adagium yang cukup terkenal oleh Lord Acton yang berkata, "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)." 

"Pejabat negara dan penegak hukum yang menjalankan kekuasaan dan kewenangan tanpa kontrol etika, dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat," ungkapnya.

Menurutnya, ini akan menghasilkan pembangkangan publik yang dapat berakibat runtuhnya atau bubarnya negara. 

"Sejarah telah mencatat banyaknya negara yang bubar akibat perilaku pejabatnya yang tidak memiliki etika dan malu," simpulnya.

Ia menilai, politik sebagai seni menggunakan kekuasaan. Karena kekuasaan politik itu harus diberikan kepada orang-orang bijak atau orang-orang yang punya etika moral yang baik. "Penggunaan kekuasaan tepat dan tidaknya, bergantung dari siapa yang memegang kekuasaan," ujarnya.

Chandra mengungkap, para pendukung moral-etis menjadikan ini tolak ukur persoalan kebangsaan. Bahkan moral politikus yang pada kenyataannya berkorelasi dengan persoalan kemiskinan yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. "Moral dan mental politisi yang korup berkontribusi pada kemiskinan rakyat," tegasnya.

Chandra menyitir sindiran dari seorang Filosof Immanuel Kant, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik; merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya memangsa merpati.

Celakanya sesalnya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. 

"Bahkan ekstremitas watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Sabtu, 17 Februari 2024

Etika dan Moral di Atas Hukum


Tinta Media - Etika dan hukum menjadi marak diperbincangkan. Hal ini setidaknya disebabkan dua hal. Pertama, maraknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh pejabat negara, khususnya terkait Ketua Mahkamah Konstitusi yang mendapat sorotan akibat pelanggaran etiknya. Kedua, putusan DKPP terhadap KPU terkait pencalonan Gibran. 

Secara teoretis ataupun filosofis, etika dan hukum (dalam pendekatan nonpositivis) adalah dua entitas yang sangat berkaitan, tetapi berbeda dalam penegakannya. Etika adalah ladang tempat hukum ditemukan dan hukum sendiri merupakan pengejawantahan hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan. 

Dalam filsafat hukum, kita mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang. Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. 

Implikasinya, pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum. 

Etika turut berpengaruh terhadap penegakan hukum. Penegakan etika ini dapat mendorong keberhasilan penegakan hukum. Tegaknya etika di suatu negara, maka tegak pula hukum yang berlaku di sana. 

Etika di atas hukum, hilang etika maka akan hilang rasa malu, hilang etika dan rasa malu dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung menjadi perilaku koruptif terhadap kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki. Sebagaimana adagium "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)." 

Pejabat negara dan penegak hukum yang menjalankan kekuasaan dan kewenangan tanpa kontrol etika, dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat, kemudian menghasilkan pembangkangan publik yang dapat saja berakibat runtuhnya atau bubarnya negara. Sejarah telah mencatat banyaknya negara yang bubar akibat perilaku pejabatnya yang tidak memiliki etika dan malu. 

Banyak yang mengatakan politik sebagai seni menggunakan kekuasaan. Karenanya kekuasaan politik harus diberikan kepada orang-orang bijak atau orang-orang yang punya etika moral yang baik. Penggunaan kekuasaan tepat dan tidaknya bergantung dari siapa yang memegang kekuasaan. Pijakan berpikir inilah yang digaungkan oleh para pendukung moral-etis sebagai tolak ukur mendiskusikan persoalan kebangsaan. Bahkan moral politikus yang pada kenyataannya terhubung dengan persoalan kemiskinan yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. Moral dan mental politisi yang korup berkontribusi pada kemiskinan rakyat. 

Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik; merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstrimitas watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”. 

Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami kehancuran. Fungsi pelindung rakyat tidak berjalan sesuai komitmen. Keadaban publik yang hancur inilah yang sering kali merusak wajah hukum, budaya, pendidikan dll. 

Demikian
IG@chandrapurnairawan


Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
(Ketua LBH PELITA UMAT dan Mahasiswa Doktoral) 

Rabu, 14 Februari 2024

Aturan Terbaik Hanya Hukum Islam



Tinta Media - Judical review (uji materi)  terhadap ketentuan pasal 201 Ayat (7), (8), dan (9) Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh 11 kepala daerah  disambut baik oleh Bupati Bandung Dadang Supriatna, Jum'at (26/1/2024, REPUBLIKA.CO.ID) 

Kerugian akan dirasakan oleh sekitar 270 kepala daerah, yaitu dengan terpangkasnya masa jabatan secara signifikan akibat dari desain keserentakan pilkada serentak 2024. Padahal, masa jabatan kepala daerah menurut UU adalah lima tahun.

Ada sekitar 11 kepala daerah yang bertindak sebagai pemohon di MK. Jika pilkada 2024 diadakan secara serentak dalam satu gelombang, maka masa jabatan kepala daerah ada yang hanya 1,5 tahun karena pelantikannya baru di pertengahan tahun 2021. Dengan demikian, kerugian akan dirasakan oleh sekitar 270  dari jumlah total 546 kepala daerah kepala daerah tingkat kabupaten/kota, maupun kepala daerah tingkat provinsi.

Para pemohon meminta MK untuk membagi keserentakan Pilkada 2024 daerah otonomi untuk dibagi menjadi dua gelombang. Bupati Bandung dan Bupati Bedas pun menyetujui dan mendukungnya, agar kepala daerah tetap menjabat selama 5 tahun sesuai dengan amanat konstitusi.

Fakta mengenai pilkada serentak di atas akan berimbas pada kurangnya masa jabatan ratusan kepala daerah dari seluruh Indonesia.

Begitulah lemahnya aturan buatan manusia yang justru akan merugikan sebagian yang lainnya. Terbukti dengan adanya aturan atau kebijakan yang dibuat oleh sistem hari ini selalu menimbulkan kegaduhan dan pertentangan di tengah manusia karena berlandaskan kepentingan masing-masing individu atau kelompok. Pertentangan selalu ada akibat munculnya ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat, termasuk dalam hal judicial review tersebut. Akan tetapi, begitulah memang tabiat dari sistem sekuler kapitalis. Negara hanya menjadi regulator saja. 

Maka, semua kebijakan yang dibuat sudah tentu akan menimbulkan pro dan kontra, dan itu sudah dirasakan dan terlihat jelas dari berbagai fakta. Kekuasaan dan jabatan dalam sistem demokrasi sejatinya bukan untuk kepentingan rakyat, karena penguasa atau negara hanya sebagai regulator saja. Mereka tidak mempunyai kekuatan untuk membuat kebijakan yang pro kepada rakyat. Yang ada justru pro kepada pihak yang punya kepentingan. 

Kelemahan dari hukum konstitusi lainnya adalah bahwasanya hukum (undang-undang) bisa diubah dan di otak-atik sesuai hawa nafsu manusia, sehingga tidak bisa dijadikan landasan atau tolok ukur kebenaran. 
Itu karena cara pandang kapitalisme hanya berlandaskan keuntungan dan materi belaka.

Sedangkan dalam pandangan Islam, masa jabatan pengusaha atau pejabat diatur berlandaskan pada syariat yang baku, tidak berubah-ubah. Jabatan penguasa adalah sebuah tanggung jawab yang berat dan filosofi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk pengaturan urusan rakyat.

Syariat Islam bersifat baku dan tidak bisa dipermainkan dan diubah-ubah seperti halnya aturan buatan manusia. Jadi, tidak ada kepentingan individu atau kelompok yang dapat mengatur dengan seenaknya terkait masalah perundang-undangan.

Dalam Islam, kepemimpinan utama dalam negara adalah Khalifah/Amirul mukminin yang tidak ada batasan masa jabatannya. Akan tetapi, ketentuan syariatlah yang akan menentukan apakah Khalifah melakukan sesuatu yang melanggar syariat atau tidak.

Selama masih memimpin sesuai jalur syariat, maka tidak ada yang bisa memberhentikan masa jabatannya. Selama badan masih sehat dan kuat untuk beraktivitas dan tidak sakit keras yang membahayakan jiwanya, maka Khalifah ataupun pejabat pengusaha masih tetap bisa menjabat. Sedangkan pejabat di bawah Khalifah, akan berakhir jika akad wakalah akan selesai. 

Jabatan dalam Islam adalah sebagai pengabdian kepada rakyat dalam mengurus urusan rakyat di bawah akad. Tidak ada kepentingan selain hanya menggapai rida Allah semata. 

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?

Oleh karena itu, hanya  hukum Islamlah satu-satunya  aturan yang tetap dan adil, karena bersumber dari Allah Swt.  Semoga penerapan syariat Islam segera terwujud dalam kehidupan agar kesejahteraan dan keadilan tersebar luas ke penjuru dunia, insya Allah.

Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Kamis, 08 Februari 2024

KPU Langgar Kode Etik: Pencalonan Gibran Cacat Moral, Etika dan Hukum, Mengakibatkan Ketidakpastian Politik



Tinta Media - Pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden 2024-2029 diwarnai pelanggaran etika lagi. Untuk yang kedua kalinya. Pencalonan ini sangat dipaksakan, dengan menentang demokrasi.

Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) juga memutuskan, Ketua Mahkamah konstitusi Anwar Usman, yang juga paman Gibran, atau adik ipar Joko Widodo, melanggar kode etik berat, terkait uji materi batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Kali ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan, seluruh anggota komisioner KPU melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, terkait pendaftaran Gibran sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Untuk itu, DKPP menjatuhkan sanksi Peringatan Keras kepada seluruh anggota komisioner KPU. Khusus kepada Hasyim Asy’ari, Ketua KPU, DKPP memberi sanksi Peringatan Keras Terakhir.

Peringatan Keras Terakhir? Sungguh aneh. Memang ada berapa banyak Peringatan Keras?

Sanksi dari DKPP ini terkesan main-main. Tidak serius. DKPP seharusnya memberhentikan, setidak-tidaknya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari.

Karena, pelanggaran kode etik komisioner KPU kali ini bukan masalah kode etik semata, yang hanya menyangkut persoalan pribadi, seperti pelanggaran moral dan etika Ketua KPU dengan “wanita emas” Hasnaeni, yang tidak mempunyai dampak langsung terhadap suksesi kepemimpinan nasional.

Tetapi, pelanggaran Kode Etik para komisioner KPU kali ini sangat serius, karena menyangkut pelanggaran peraturan dan undang-undang, dengan dampak sangat serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan persidangan DKPP, KPU terbukti melanggar Peraturan KPU No 19 Tahun 2023, Pasal 13 ayat (1) huruf q, tentang Persyaratan Calon yang berbunyi, calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia paling rendah 40 tahun. Pada saat pendaftaran bakal calon Wakil Presiden, Gibran tidak memenuhi Persyaratan Calon, sehingga KPU seharusnya tidak menerima pendaftaran Gibran. Dengan kata lain, pendaftaran Gibran menjadi cacat hukum, alias tidak sah.

Pelanggaran terhadap Peraturan KPU secara otomatis juga melanggar UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Karena, Peraturan KPU merupakan pelaksanaan Undang-Undang Pemilu, seperti diatur di Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2):

(1) Untuk menyelenggarakan Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan Keputusan KPU.

(2) Peraturan KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

Semua alasan KPU untuk membenarkan pendaftaran pencalonan Gibran, terbantahkan dalam persidangan DKPP. Alasan, Putusan MK “bersifat final”, juga tidak bisa menjadi alasan untuk melanggar Peraturan KPU dan Undang-Undang Pemilu.

Karena, Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023, yang meloloskan Gibran menjadi calon Wakil Presiden, masih bermasalah hukum. Putusan tersebut digugat masyarakat ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) karena juga (terindikasi) melanggar moral, etika dan hukum.

Majelis Kehormatan MK mulai memeriksa para hakim Konstitusi pada 31 Oktober 2023, dan membacakan hasil pemeriksaan atau putusan Majelis Kehormatan MK pada 7 November 2023.

Selama periode pemeriksaan (31 Oktober – 7 November 2023), nasib Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 menjadi tidak pasti. Karena, menurut Jimly Asshiddiqie, Ketua Majelis Kehormatan MK, Putusan MK tersebut bisa (masuk akal) dibatalkan. Hal ini disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie pada 2 November 2023, seperti dimuat di berbagai media, antara lain cnnindonesia dot com di bawah ini.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231102064044-12-1018912/jimly-anggap-masuk-akal-jika-putusan-mk-syarat-cawapres-dibatalkan

Berdasarkan fakta ini, tindakan KPU menerima pendaftaran bakal calon Presiden dan Wakil Presiden pada 25 Oktober 2023, dan mengubah Peraturan KPU pada 3 November 2023 jelas melanggar peraturan perundang-undangan.

Termasuk melanggar Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum No 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, yang bersumber dari Undang-Undang tentang Pemilihan Umum dan juga Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Putusan KPU menerima pencalonan Gibran dengan menggunakan Peraturan KPU No 19 Tahun 2023, dan kemudian diubah dengan Peraturan KPU No 23 Tahun 2023, sebelum ada Putusan sidang Majelis Kehormatan MK (pada 7 November 2023), merupakan pelanggaran hukum yang sangat serius, karena mengakibatkan ketidakpastian hukum terkait Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Karena, tidak tertutup kemungkinan Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 tersebut bisa dibatalkan, seperti diucapkan oleh Ketua Majelis Kehormatan MK pada 2 November 2023.

Karena itu, sanksi Peringatan Keras yang diberikan kepada para komisioner KPU sangat tidak adil. Mereka seharusnya diberhentikan dengan tidak hormat, karena tidak mempunyai legitimasi lagi sebagai Penyelenggara Pemilu.

Selain itu, pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden menjadi cacat moral, cacat etika, dan juga cacat hukum. Cacat di Mahkamah Konstitusi, dan cacat di KPU.

Semua ini akan memicu ketidakpastian politik. Legitimasi pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden akan selalu dipertanyakan dan dipertentangkan.

—- 000 —-


Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Jumat, 22 Desember 2023

Pakar: Wajib Hukumnya Menolong Muslim Rohingya


 
Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer Kiai Shiddiq Al-Jawi menegaskan wajib hukumnya menolong muslim Rohingya.
 
“Hukumnya wajib sebenarnya menolong muslim Rohingya,” ujarnya dalam kajian: Wajib Hukumnya Menolong Muslim Rohingya, di kanal Youtube Khilafah Channel Reborn, Jumat (15/12/2023).
 
Alasannya, menurut Kiai Shiddiq adalah orang-orang Rohingya itu tertindas di negaranya, tidak diakui sebagai warga negara, dianggap ilegal kemudian diperlakukan secara buruk, disiksa, dipenjara, dan ada yang dibunuh.
 
“Maka dari itu mereka lari dari negerinya itu, ada yang lewat jalur darat sampai ke Bangladesh, ada yang larinya lewat jalur laut sebagian di Aceh di bagian negara kita, jadi mereka dalam kondisi tertindas,” tuturnya.
 
Muslim Rohingya ini, terangnya, tertindas karena di bawah rezim Budha Myanmar yang memprioritaskan warganya yang beragama Budha.
 
 
“Warga negara Budha mendapatkan hak-hak sebagai warga negara di Myanmar, tapi hak Muslim ini berusaha untuk ditiadakan, dibunuh, disiksa, dan sebagainya,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi.

Pakar: Hukumnya Berdosa Menolak Pengungsi Rohingya


 
Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer Kiai Shiddiq Al-Jawi menegaskan, berdosa hukumnya jika menolak pengungsi Rohingya.
 
“Kalau menolak ya berdosa, tidak boleh, hukumnya berdosa,” ujarnya dalam kajian: Wajib Hukumnya Menolong Muslim Rohingya, di kanal Youtube Khilafah Channel Reborn, Jumat (15/12/2023).
 
Kiai Shiddiq beralasan, menolong sesama muslim itu wajib hukumnya. “Bagaimana kalau kewajiban tidak dilakukan, berdosa atau enggak? Itu berdosa!” tegasnya.
 
Ia mengumpamakan seperti halnya shalat yang menjadi kewajiban sebagai muslim, jika meninggalakan maka berdosa.
 
“Ini menolong sesama muslim itu wajib hukumnya secara syariat, ketika tidak dilakukan suatu kewajiban itu ya berdosa,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi.
 

Selasa, 12 Desember 2023

Predator Anak Belum Tuntas, Islam yang Akan Memberantas




Tinta Media - Predator Seksual Hendri Cahaya Putra (26) akhirnya ditangkap. Terkuak pengakuan tersangka kasus pencabulan terhadap anak laki-laki di kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah tersebut dihadapan polisi. Saat konferensi pers yang dipimpin Kapolres Tapanuli Tengah AKBP Basa Emden Banjarnahor dan Kasat Reskrim AKP Arlin Perlindungan, pria yang bekerja sebagai montir ini menyatakan telah mencabuli 27 anak laki-laki. (TribunMedan.com, 7 Desember 2023) 

Dalam pengakuannya tidak semua disodomi, melainkan 20 hanya diraba-raba alat kelaminnya dan 7 anak dirudapaksa. Jumlah ini diperkirakan dilakukan oleh predator seksual tersebut selama kurun waktu setahun belakangan. Modus tersangka ialah memanfaatkan keahliannya bermain game online yang sehari-hari di bengkel. Sehingga anak-anak berdatangan di tempatnya. Setelah korban terhanyut bermain game menggunakan handphone tersangka yang dipinjamkan, ia pun beraksi mulai meraba hingga menyodomi korban. (TribunMedan.com, 7 Desember 2023) 

Kasus Predator anak (pedofil) ini terus berulang terjadi. Rentetan kasus pedofilia bikin para orang tua semakin kawatir bukan kepalang soal keselamatan anak-anak mereka yang merupakan generasi penerus bangsa ini diincar dari segala lini oleh predator-predator pedofilia. 

Penegak hukum didesak untuk menjadikan kejahatan seksual terhadap anak ini sebagai kejahatan pidana luar biasa (extraordinary crime). Pelakunya pantas dihukum berat. Pelaku pedofilia harus diganjar hukuman dengan sanksi pemberatan sesuai Perppu 1 tahun 2016 yang telah disahkan menjadi UU Nomor 17 Tahun 2016. Dalam revisi UU No.35/2014, pelaku kena tambahan pemberatan hukuman, 1/3 dari maksimal pokok pidana yakni 20 tahun dengan tambahan kebiri kimiawi, pemasangan Chip dan pengumuman di ruang publik. Namun, apakah sanksi-sanksi ini cukup untuk memberantas kasus pedofilia ini? Apakah pelaku akan jera dengan melihat kasus ini berulang kembali terjadi. 

Predator Merajalela di Sistem Kapitalis-Liberal 

Kasus pedofil semakin marak dan meningkat merupakan buah  sistem yang ada di tengah-tengah masyarakat saat ini adalah sistem sekuler-kapitalis demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan dan HAM. Sistem yang menghilangkan rasa kasih sayang manusia karena tujuan utama dalam kehidupan adalah kepuasan jasmani. Jika dengan melakukan hal tersebut terpuaskan maka sah-sah saja. Pelaku semakin leluasa bergerak juga karena sistem. 

Di dalam masyarakat sistem sekuler-kapitalis demokrasi, masyarakat tidak di setting untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana kejahatan. Sebagai contoh kasus perselingkuhan dan zina, tak pernah dianggap sebagai tindakan kriminal manakala tidak ada pengaduan dari pasangan yang sah dan dilakukan suka sama suka. Akibatnya, zina terjadi dimana-mana, bahkan dilegalkan, dan dilokalisasikan, dijadikan bagian dari retribusi pendapatan daerah.  

LGBT yang merupakan penyimpangan seksual pun tidak dapat dimasukkan ke dalam tindak kriminal karena dianggap HAM. Setiap orang berhak untuk menyalurkan birahinya ke siapa saja. Selain itu, situs-situs yang mengumbar pornografi dan pornografi yang sangat mudah diakses pun menjadi pemicu untuk semakin menggeloranya rangsangan  untuk menyalurkan birahi. Belum lagi, narkoba, minuman keras yang sampai saat ini masih menjadi kasus yang belum terselesaikan tapi semakin menjadi marak. Semua hal ini, bisa menjadi faktor para pelaku pedofil semakin merajalela dan menunjukkan lemahnya sistem untuk menjaga masyarakat. Kapitalisme demokrasi inilah sejatinya yang harus menjadi perhatian karena dialah akar permasalahannya. 

Islam Memberantas Predator Secara Tuntas 

Sistem sekuler kapitalis demokrasi yang diterapkan ditengah-tengah masyarakat saat ini tidak akan pernah memberikan kebaikan dan kemajuan, karena sistem itu adalah sistem rusak dan bertentangan dengan akidah Islam. Penerapan Islam secara menyeluruh merupakan kewajiban. Syariat Islam akan menjadi problem solving buat seluruh masalah yang ada ditengah-tengah masyarakat. Tidak hanya problem solving tapi juga mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan diluar fitrahnya termasuk pedofilia. 

Dalam kasus pedofilia tentu penanaman pendidikan berbasis akidah Islam sangat penting untuk masing-masing individu. Ketika keimanan dan ketakwaan tertanam dan tertancap kuat pada diri individu maka minimal individu telah memiliki “benteng” yaitu konsekuensi keimanan. Ini merupakan benteng pertahanan pertama dan mendasar. 

Islam juga mewajibkan adanya amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat. Maka dari itu, dalam masyarakat iklim ketakwaan dan kepedulian sesama muslim sangat kental. Secara tidak langsung, individu pun akan terjaga dan terbentengi oleh kontrol masyarakat yang menjadikan akidah Islam sebagai rujukannya. Begitu pula peran Negara juga tidak kalah penting. Negara wajib memblokir konten-konten porno dan memberikan hukuman yang adil untuk pelaku pedofilia. Tentu saja definisi adil dikembalikan kepada syariat Islam. 

Ketegasan hukum oleh Negara juga dilaksanakan untuk memutus mata rantai pedofilia yang berpotensi mencetak pedofil-pedofil baru. Inilah solusi Islam yang komprehensif dan sangat sesuai diterapkan di mana pun dan kapan pun manusia berada. Karena sejatinya, seluruh alam semesta termasuk Indonesia adalah kepunyaan Allah. Jika hukuman yang diberikan hanya dengan penangkapan dan pemberian sanksi, maka tidak akan memberi efek jera. Sumber hukum yang berdasarkan sistem kufur tak akan memberi keadilan karena hanya hukum Allah lah yang paling adil. Hanya dengan Syariat Islam, kebahagiaan anak-anak akan dijamin perlindungannya. 

Oleh : Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H. 
(Dosen Fakultas Hukum UMA)

Kamis, 30 November 2023

Tragedi Bitung, IJM: Pelaku Kriminal Wajib di Proses Hukum



Tinta Media - Menanggapi tragedi yang terjadi di Bitung Sulawesi Utara tanggal 25 November 2023, Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana mengungkapkan pelaku kriminal wajib diproses secara hukum. "Pelaku kriminal wajib diproses secara hukum," tuturnya dalam video Usut Aktor Intelektualnya Dan Tangkap Pelaku Kekerasan di Bitung, melalui kanal Youtube Justice Monitor, Ahad (26/11/2023).

"Pelaku penyerangan yang melakukan kekerasan di Bitung tidak boleh dibiarkan," tegasnya.

Menurutnya, pembiaran terhadap perilaku kejahatan di wilayah Indonesia melanggar konstitusi nasional, yang ini juga sangat berbahaya.

Oleh karena itu kepada umat Islam, himbaunya, agar tidak terpancing oleh propaganda murahan dari gerombolan pro zionis Yahudi yang menggunakan jalur hukum untuk menghenti aksi dimana diduga premanisme dan kepada aparat kepolisian agar menangkap aktor intelektual di balik penyerangan tersebut.

"Tangkap dan usut tuntas para aktor intelektual di belakang layar," tandasnya.

Agung mensinyalir perlunya mewaspadai setiap upaya Apapun untuk menciptakan  kerusuhan, sekali lagi ini penting untuk segera dilakukan. 

Menurutnya, Pemerintah Indonesia harus bertindak tegas dalam menyikapi agresi biadab dari Zionis Yahudi ini terhadap rakyat Palestina.
 
"Yang paling penting salah satunya adalah memutus hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat sebagai sekutu yang mendukung Zionis Yahudi melakukan pembantaian terhadap rakyat Palestina," ujarnya.

Ia menekankan, sudah tiba saatnya,  pemerintah Indonesia meminta dubes Amerika Serikat untuk hengkang dari wilayah Indonesia sebagai protes keras atas dukungan tanpa batas Amerika kepada kebiadaban dan genosida yang dilakukan oleh Zionis Yahudi terhadap rakyat Palestina.

 "Keberadaan Amerika Serikat dan sekutu lainnya menguatkan Zionis Yahudi dalam melakukan agresi terhadap rakyat sipil di Palestina," simpulnya.

 "Sesungguhnya tanpa dukungan penuh Amerika Serikat dan sekutu negara Barat, Zionis dapat dikalahkan, ingat setiap penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan sekali lagi setiap penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan," pungkasnya.[] Muhammad Nur
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab