Tinta Media: Honorer
Tampilkan postingan dengan label Honorer. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Honorer. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 Februari 2024

Gaji ASN Naik Vs Honorer Dihapuskan



Tinta Media - Menteri pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas menilai indeks kualitas Aparatur Sipil Negara (ASN) masih rendah. Maka dari itu reformasi birokrat sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) wajib dilaksanakan. “Pertama transformasi berbasis kinerja. Indeks kualitas ASN di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. 

Oleh karena itu, pemerintah mendorong transformasi dari segi organisasi, kepegawaian, maupun sistem kerja dalam penyelenggaraan birokrasi di Indonesia. Ke depan perlu transformasi kinerja. Supaya ke depan fungsinya hebat,” ujarnya saat memberikan pembekalan kepada jajaran Aparatur Sipil Negara (ASN) Kabupaten Blora, Aula Kantor Sekretaris Daerah Kabupaten Blora, dikutip Senin (26/9/2022) (CNBCIndonesia, 26 September 2022) Hal inilah yang menurut Anas menjadi alasan mengapa gaji ASN dan TNI/Polri sebesar 8% menjelang Pilpres 2024. 

Di sisi lain, Rancangan Undang-Undang (RUU) Aparatur Sipil Negara menetapkan penghapusan Status Tenaga Honorer pada Desember 2024. Dengan ketetapan ini, maka pembubaran tenaga kerja honorer akan diundur dari jadwal semula 28 November 2023. Dikutip dari salinan draf RUU ASN versi rapat Panja 25 September 2023, masalah tenaga honorer itu diatur dalam Pasal 67 RUU ASN. Dalam pasal itu disebutkan bahwa pegawai non-ASN atau Honorer wajib diselesaikan paling lambat Desember 2024. (CNBCIndonesia, 2 Oktober 2023) 

Apakah akar permasalahan tingkat kinerja ASN hanya karena masalah gaji? Apakah solusi untuk meningkatkan kinerja ASN hanya dengan menaikkan gaji? Di sisi lain, tenaga kerja honorer yang mungkin sudah lama mengabdi malah akan dihapuskan apakah ini juga merupakan solusi yang tepat dengan banyaknya tenaga kerja honorer yang belum diangkat menjadi ASN dan digaji dengan gaji seadanya. Hal ini bukannya menunjukkan betapa sedikitnya lapangan pekerjaan yang tersedia dan sulitnya mencari pekerjaan saat ini. 

Sistem Berstandar Materi 

Masalah kinerja pekerja/pegawai baik ASN maupun honorer bukan sekedar masalah gaji. Namun, sistem saat ini yakni sistem Kapitalis-Sekuler yang berdiri atas dasar pemisahan agama dengan kehidupan/negara yang berorientasi pada materi sehingga solusi yang diberikan adalah dengan materi (kenaikan gaji). Segala sesuatu dalam sistem ini berorientasi materi sehingga seluruh lini termasuk lini yang berkaitan dengan kemaslahatan umat. 

Menjadi pegawai ASN membutuhkan jenjang pendidikan yang telah diatur oleh UU yang tentu saja kita ketahui bahwa hari ini pendidikan merupakan barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang memiliki modal. Nah, ini menjadi salah satu kendala yang menjadi penyebab kinerja ASN yang kurang memadai. Mengapa? Untuk mengecap pendidikan harus mengeluarkan modal maka tujuan setelah diterima menjadi ASN yang pertama terpikir adalah bagaimana mengembalikan modal dengan mudah.

Selain itu, output dari pendidikan kita juga bukan individu-individu yang memiliki syakhsyiah islamiyah tapi out put yang memikirkan bagaimana mendapat pekerjaan ketika menyelesaikan jenjang pendidikan. kembali lagi orientasinya adalah materi (pekerjaan). Aturan pun diberikan hak kepada manusia yang lemah dan terbatas sehingga aturan yang lahir menyebabkan perselisihan dan tidak menjadi “problem solving”. Standar yang dimiliki bukan halal/haram tapi materi sehingga wajar saja jika ASN pun melakukan aktivitas-aktivitas haram. Contoh kasus ASN korupsi, ASN berselingkuh/Zina, dll. Kondisi kehidupan yang serba sulit saat ini terutama dalam hal ekonomi juga menjadi tekanan yang luar biasa baik ASN dan yang bukan ASN. 

Islam Mengatur Kepegawaian 

Islam telah merinci secara jelas, rinci dan tegas dalam hal kepegawaian (ijarah). Pegawai ini berada dalam struktur administratif (kemaslahatan umat) yang terdiri atas departemen-departemen yang mengatur kemaslahatan negara berupa pendidikan, kewarganegaraan, kesehatan, pertanian, jalan, dll. Masalah administratif merupakan salah satu cara atau sarana sehingga selama tidak melanggar hukum syara’ boleh diambil dari sistem mana pun. 

Strategi dalam mengatur kepentingan masyarakat dilandasi dengan kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan dan profesionalisme orang yang mengurusi. Hal ini didukung oleh sistem pendidikan Islam yang akan melahirkan generasi yang cemerlang dan tangguh sehingga menjadi individu-individu yang amanah. Selain itu, pendidikan dalam sistem Islam merupakan hak bagi seluruh rakyat baik muslim maupun non-muslim dan disediakan secara gratis. Selain itu, sistem ekonomi yang memberikan jaminan akan kebutuhan dasar manusia yang menjadi tanggung jawab negara sebagai pengurus rakyat menjadikan kinerja setiap individu tanpa tekanan ekonomi seperti pada sistem kapitalis. 

Siapa saja  yang memiliki kewarganegaraan Daulah Khilafah (sistem Islam) baik laki-laki atau perempuan, muslim maupun non-muslim boleh diangkat menjadi direktur suatu departemen. Karena statusnya di sini mereka sesuai dengan hukum kepegawaian adalah ajir (pekerja/pegawai). Dalam sistem Islam tidak ada pembagian ASN dan honorer. Pegawai/pekerja adalah orang yang digaji. 

Gaji pegawai ini akan disediakan dari pos pembelanjaan yakni pos Kemaslahatan Umat ini merupakan pos yang wajib dibiayai sehingga ketika Baitul Maal tidak mencukupi maka negara tetap harus membiayai pos ini salah satunya dengan mengambil pajak dari kaum muslim yang kaya sesuai dengan ketentuan syara’. Semua ini hanya bisa terwujud dengan adanya institusi yang menerapkan syariah secara keseluruhan (kaffah). Saatnya kita kembali pada sistem yang menyejahterakan dan sesuai fitrah kita yakni sistem Daulah Khilafah Islamiyah. 

Oleh: Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H.
Sahabat Tinta Media

Senin, 10 April 2023

Honorer Tak Dapat THR, Bukti Tak Adilnya Sistem Kapitalisme

Tinta Media - Hari raya tinggal menunggu jari. Para pegawai pemerintahan pun telah siap bersuka cita menerima Tunjangan Hari Raya (THR). Namun sayang, pegawai honorer tahun ini tak mendapatkan THR. Hal ini langsung disampaikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Abdullah Azwar Anas (CNNIndonesia.com, 31/3/2023). Dia pun mengungkapkan bahwa pihaknya hanya mengatur THR yang diberikan untuk ASN yang gajinya diambil dari APBN dan APBD. 

Meskipun demikian, Azwar menyampaikan bahwa ada perbedaan THR tahun ini bagi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) guru. Para pekerja yang sebelumnya tidak mendapatkan tunjangan kinerja, tahun ini akan mendapatkan THR berupa tunjangan profesi sebesar 50%. Menteri Keuangan Sri Mulyani, menetapkan pencairan THR ASN akan dilakukan bertahap mulai 4 April 2023. Besarannya sama seperti tahun lalu, yaitu gaji pokok, tunjangan melekat, dan tunjangan kinerja 50%.

Fakta ini tentu sangat mengecewakan bagi para pegawai honorer, terutama tenaga pengajar. Dengan jam kerja dan loyalitas yang sama, mereka tak mendapatkan perlakuan yang adil dari negara. Di bulan-bulan biasa saja, secara umum gaji honorer dapat dikatakan jauh dari kategori layak bagi seorang pengajar. Sekarang menjelang hari raya, perlakuan tak adil masih juga dirasakan para pegawai honorer.

Ketetapan tersebut mendapatkan kritikan dari berbagai pihak. Salah satunya dari Ketua DPR RI, AA La Nyalla Mahmud Mattaliti. Menurutnya, pemerintah selayaknya dapat memperhatikan rasa keadilan pada semua pegawai, tak perlu memandang statusnya sebagai pegawai tetap atau pegawai honorer. Karena jam kerja dan resiko kerjanya sama, tentu penghargaan yang diberikan pun semestinya adil (republika.co.id, 31/3/2023).

Ketidakadilan pun semakin jelas, saat pemerintah menetapkan kebijakan pemberian THR tetap diberikan kepada para pejabat negara, mulai dari menteri, presiden, hingga para anggota DPR. Segala kebijakan yang ditetapkan, tentu saja melukai masyarakat. Di tengah kondisi ekonomi yang kian sulit, gaji bulanan para honorer pun sangat tak manusiawi. Sementara di sisi lain, lapangan pekerjaan sangat sulit didapat, rakyat pun semakin terhimpit keadaan. 

Sistem kapitalisme sekuleristik semakin menampakkan watak aslinya. Segala kebijakan yang ditetapkan hanya bertumpu pada kepentingan golongan tertentu yang memiliki kekuasaan, tak peduli segala akibat yang ditimbulkan, tak peduli saat rakyatnya kesusahan. Memprihatinkan!

Selayaknya, setiap pegawai mendapatkan perlakuan dan penghargaan yang sama dari negara. Posisinya adalah sebagai pegawai dengan jam kerja dan resiko yang sama. Yang membedakan hanya bidang keahliaan masing-masing, bukan posisi sebagai tenaga tetap atau tenaga kontrak. Ini pun seharusnya mendapatkan perhatian serius dari negara. Namun, hal tersebut mustahil diterapkan dalam sistem kapitalisme. Sistem ini memang rusak dan melahirkan ketidakadilan dalam pelayanan kebutuhan masyarakat. Semua kebijakan ditetapkan sesuai pesanan penguasa yang memiliki wewenang. 

Rasulullah saw. bersabda, yang artinya,
"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR. Muslim)

Sungguh, tugas seorang pemimpin tidaklah ringan. Segala pertanggungjawabannya akan diperhitungkan di hari hisab kelak. Watak pemimpin yang terlahir dalam sistem Islam adalah pemimpin yang penuh iman takwa, dengan akhlakul karimah dan amanah dalam memenuhi seluruh kebutuhan umat. 

Setiap pelanggaran yang dilakukan penguasa, pasti mendapatkan sanksi tegas dari negara. Tak hanya itu, pagar iman dan takwa pun menjadi perisai tangguh, untuk menjaga watak pemimpin, agar senantiasa menjaga kepemimpinannya. Kepemimpinan mereka senantiasa berorientasi pada kesejahteraan dan keamanan seluruh umat, bukan sekadar asas manfaat. 

Semua konsep ini hanya dapat tersaji dalam sistem Islam yang menerapkan syariat Islam secara sempurna dan menyeluruh di setiap bidang kehidupan, sistem yang tertuang dalam bingkai khilafah manhaj an nubuwwah, sesuai metode yang diterapkan Rasulullah saw. dalam mengurusi umat.

Wallahu a'lam bisshawwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Honorer Tak Dapat THR, Mengapa?

Tinta Media - Tunjangan hari raya (THR) adalah tradisi ketika menjelang lebaran. Hal ini sangat dinantikan baik oleh ASN ataupun honorer. Namun, menurut wacana, di tahun 2023 pemerintah telah memastikan bahwasanya seluruh pegawai honorer tidak akan mendapatkan THR. Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang lain, sebab seluruh menteri, presiden, hingga DPR mendapatkan THR. Mengapa demikian?

Pasalnya, aturan tersebut tertuang dalam peraturan pemerintah nomor 15 tahun 2003 yang ditetapkan oleh presiden Jokowi pada 29 Maret 2023 pasal 2.

PP tersebut berbunyi:
"Pemerintah memberikan THR dan gaji ke-13 tahun 2023 kepada aparatur negara, pensiunan, penerima pensiun, dan penerima tunjangan sebagai wujud penghargaan atas pengabdian kepada bangsa dan negara." 

Dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara dalam daftar penerima tersebut, tenaga honorer tidak disinggung sebagai salah satu yang masuk sebagai penerima. 

Sementara itu, mengutip pasal 3 PP, THR dan gaji ke-13 tak hanya diberikan kepada aparatur sipil negara atau ASN, yakni PNS calon PNS, P3K atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau kontrak, anggota TNI, polri dan pensiunan saja, tetapi juga bagi pejabat negara. 
Dalam pasal ini, pemerintah memastikan bahwa profesi guru berstatus P3K akan mendapatkan tunjangan sebesar 50%. Kebijakan ini belum pernah terjadi sebelumnya. (Kumparan.com. 31/3/23)

Kapitalisme Menganaktirikan Honorer

Sungguh miris nasib tenaga honorer dalam sistem kapitalisme. Padahal, menurut PP nomor 48 tahun 2005 yang sekarang menjadi PP nomor 56 tahun 2012, tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian atau pejabat pemerintahan yang ditugaskan untuk melakukan sesuatu di dalam instansi pemerintah.(menpan.go.id)

Ini berarti, tenaga honorer telah banyak membantu dalam menjalankan roda pemerintahan dalam berbagai bidang. Adanya tenaga honorer dalam berbagai bidang seperti pendidikan dan lainnya membuktikan adanya sumbangsih para tenaga honorer terhadap negeri ini. Bahkan, data tahun 2022 menunjukkan bahwa jumlah tenaga honorer telah mencapai 2.360.723 orang.(cnbcindonesia.com)

Apa jadinya pemerintahan saat ini jika 2 juta lebih tenaga honorer ini mogok bekerja lantaran dianaktirikan dalam pemberian THR? Diakui atau tidak, gaji yang didapatkan oleh tenaga honorer saat ini belum sepadan dengan jerih payah yang mereka curahkan. Bukan rahasia lagi jika banyak di antara mereka yang hanya mendapatkan gaji berkisar 500.000 hingga 1 juta rupiah per bulan. Bahkan, di daerah yang kekurangan anggaran, gaji yang mereka dapatkan hanya sekitar 300.000 per bulan. Tentu saja dengan gaji yang terbilang kecil ini, merek sangat sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di tengah lonjakan harga kebutuhan pokok dan mahalnya biaya kesehatan, TDL, air, BBM, serta pajak yang makin mencekik. 

Hal ini jelas membuktikan gagalnya sistem kapitalisme sekuler dalam memberikan solusi dan jaminan kesejahteraan bagi para tenaga honorer. Sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan di negeri ini telah melahirkan kepemimpinan bercorak kapitalisme. 

Kapitalisme merupakan paham yang menjadikan keuntungan materi sebagai ukuran dan prioritas. Alhasil, ketika sistem ini digunakan mengatur rakyat, hubungan antara penguasa dan rakyat tidak ubahnya seperti pedagang dan pembeli. Rakyat hanya dipandang dengan kaca mata ekonomi semata dari sisi untung dan rugi. Karena itu wajar jika tenaga honorer pun dipandang sebelah mata, bahkan dianggap membebani negara. 

Islam Menyejahterakan Pegawai

Berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan secara kaffah. Sistem ini lahir dari aturan Allah, Sang Pencipta dan Pengatur manusia. Seluruh aturan dalam Khilafah berasal dari Al-Quran dan as-sunnah yang menjamin keberkahan hidup manusia dan akan menghilangkan setiap kezaliman antara satu makhluk dengan makhluk lainnya. 

Dalam persoalan ketenagakerjaan, Islam telah mengaturnya dengan sangat rinci. Islam telah mewajibkan negara menciptakan lapangan kerja bagi setiap laki-laki sebagai pencari nafkah yang mampu bekerja agar dapat memperoleh pekerjaan. Hal ini berkaitan dengan hadis Rasulullah saw.:

"Seorang imam adalah raa'in atau pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya."(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam sistem Islam, yakni Khilafah, rekrutmen pegawai negara tidak mengenal istilah honorer. Mereka akan direkrut sesuai dengan kebutuhan riil negara. Negara akan menghitung jumlah pekerja yang diperlukan untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi. Seluruh pegawai yang bekerja pada Khilafah diatur sepenuhnya di bawah hukum-hukum ijarah atau kontrak kerja dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaannya.

Khilafah memperbolehkan kontrak kerja dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaannya. Bahkan, Khalifah boleh mempekerjakan pekerja secara mutlak, baik berasal dari kaum muslimin atau kafir zimmi. Khilafah juga akan menjamin para pekerja mendapatkan perlakuan adil sesuai hukum syariat. Hak-hak mereka sebagai pegawai akan dilindungi oleh negara. 

Sebagai contoh, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, gaji para pegawai negara hingga ada yang mencapai 300 dinar yang mana satu dinar sama dengan 4,25 gram emas sementara 1 gram emas seharga Rp953.682 per 31 Maret 2023 atau setara dengan 1,2 miliar rupiah

Khilafah mampu menggaji dengan besaran yang fantastis. Sebab, sistem keuangan negara berbasis baitul mal. Dalam baitul mal, terdapat pos kepemilikan negara yang bersumber dari harta fa'i, kharaj, jiizyah, ghanimah, usyur, dan sejenisnya. Negara akan menghitung kebutuhan jumlah pekerja untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan. Dengan demikian, negara akan memiliki jumlah pegawai yang cukup. 

Hal ini telah terbukti pada 13 abad yang lalu ketika negara menerapkan syariat Islam secara  kaffah. Islam akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk para pegawai negara.

Wallahu àlam bisshawwab.

Oleh: Mutiara Aini
Sahabat Tinta Media

Selasa, 12 Juli 2022

Aktivis Muslimah: Rencana Penghapus Tenaga Honorer Timbulkan Masalah Baru


Tinta Media - Aktivis Muslimah Ustazah Iffah Ainur Rochmah menyatakan rencana penghapusan tenaga honorer  justru menimbulkan masalah baru.

“Rencana penghapusan tenaga honorer justru menimbulkan masalah baru,” tuturnya dalam Program Muslimah Talk: Rencana Penghapusan Tenaga Honorer. Apa Dampak dari Kebijakan Ini? Kamis (30/6/2022) di kanal Youtube Muslimah Media Center.

Dikatakannya, kebijakan (rencana penghapusan tenaga honorer) ini bukan hanya menimbulkan masalah baru tapi juga tidak menyelesaikan masalah yang ada. “Kalau dikatakan ini akan meningkatkan kesejahteraan tenaga honorer maka kesejahteraannya dimaksud hanya terbatas pada segelintir orang yang bisa diangkat sebagai aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK),” katanya.

Ia mengkritisi kebijakan ini justru memberi dampak lainnya. “Sementara ada lebih banyak lagi tenaga honorer yang justru kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran,” kritiknya.

Ia mengungkapkan dampak yang ditimbulkan dari kebijakan ini, antara lain:

Pertama, akan memberikan dampak makin bertambahnya jumlah pengangguran karena tidak diangkatnya semua tenaga honorer dan tidak ada guru honorer sehingga tentu berdampak pula pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

“Tenaga honorer selama ini mendapatkan gaji dari APBD yang dialokasikan oleh setiap pemerintah daerah, baik itu bagi tenaga kependidikan ataupun tenaga honorer lainnya di bidang administratif dan layanan publik, maka nanti bulan November tahun 2023 itu ditiadakan,” ungkapnya.

Hal ini, menurutnya, akibat dari kebijakan pemerintah untuk menghapus tenaga honorer itu maka pemerintah daerah tidak lagi mengalokasikan dana dari APBD atau pun menghidupkan dana-dana lain untuk menggaji tenaga non ASN atau non PPPK.

Kedua, kita akan menemukan kekosongan pos-pos, baik itu tenaga kependidikan atau pelayanan publik yang akan mengganggu berlangsungnya kegiatan belajar mengajar maupun berlangsungnya layanan-layanan publik yang ada.

Iffah menilai, ketika kebijakan ini diberlakukan maka sekolah yang jauh dari perkotaan dan selama ini tidak cukup mendapat perhatian dan bergantung pada guru-guru sukarelawan ataupun honorer tidak mendapat pembelajaran semestinya.

“Demikian dengan layanan-layanan publik, fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan pembuatan surat-surat ataupun layanan-layanan administratif lainnya. Itu boleh jadi ada kekosongan, dari aspek pelayanannya akan berkurang kualitasnya karena jumlah yang dibutuhkan lebih banyak dari tenaga yang diangkat sebagai ASN ataupun PPPK,” paparnya.

Ketiga, kebijakan ini memunculkan masalah-masalah baru terkait dengan kondisi sosial, politik, maupun masalah baru itu terkait dampak dari kedua aspek di atas.“Kebijakan ini menghasilkan masalah baru,” ujarnya.

Paradigma Kapitalisme

Ia menuturkan pangkal persoalan munculnya kebijakan yang justru menghasilkan masalah baru ini disebabkan paradigma pengelolaan negara berdasarkan sistem kapitalisme.

“Sistem kapitalisme pada hari ini, perekrutan tenaga kerja oleh negara bukan didasarkan pada kebutuhan tapi lebih banyak disandarkan pada ketersediaan dana yang dialokasikan untuk tenaga-tenaga yang dimaksud,” tuturnya.

Menurutnya, pemerintah seringkali beralasan anggaran negara tidak mencukupi untuk mengangkat pegawai negara yang baru atau memberikan tunjangan lebih besar pada tenaga kependidikan ataupun pegawai-pegawai negara yang lain.

Masalah klasik ini, kata Iffah, hanya dapat diselesaikan dengan perubahan pengelolaan sumber daya alam maupun pengelolaan kekayaan milik negara maupun kekayaan milik umum sesuai Islam.

“Kesejahteraan bagi tenaga kerja di negeri ini, tidaklah cukup hanya dengan kebijakan merekrut menjadi ASN dan memberikan gaji yang naik secara berkala tanpa adanya perubahan pada pemberian layanan publik yang ditanggungkan kepada negara, diberikan secara gratis oleh negara dan berkualitas kepada setiap individu rakyat,” bebernya.

“Dan setiap tenaga kerja menikmati gaji yang mereka dapatkan untuk makin meningkatkan kesejahteraan bukan terkuras habis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya saja,” urainya.

Ia menegaskan jika hukum-hukum Allah diterapkan akan memberikan hasil terbaik.
“Bukankah hukum-hukum Allah ini, kalau kita lakukan secara nyata menghasilkan kesejahteraan, keadilan, dan tidak memunculkan masalah baru,” tegasnya.

Baginya, kesejahteraan yang diberikan saat ini tidak dinikmati oleh semua tenaga kerja. Karena meskipun gaji tenaga kerja dinaikkan ataupun gaji aparatur negara terus mendapat kenaikan, tetapi harga-harga barang kebutuhan makin naik melambung.

“Demikian juga kebutuhan publik berupa kesehatan, pendidikan mengambil porsi yang tidak sedikit dari gaji yang didapatkan oleh para tenaga kerja,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Kamis, 30 Juni 2022

ISLAM SOLUSI TUNTAS ATASI POLEMIK TENAGA HONORER


Tinta Media - DPRD Kabupaten Bandung ikut bereaksi menyikapi rencana pemerintah pusat soal tenaga honorer dihapus tahun 2023 mendatang. Sekretaris Komisi A DPRD Kabupaten Bandung, Tedi Surahman berharap agar Pemkab Bandung mencari solusi terbaik dalam menindaklanjuti kebijakan pusat ini. 

“Alasannya, selama ini sangat banyak tenaga honorer yang jadi tulang punggung pelayanan di Kabupaten Bandung. Pemkab Bandung harus melihat dengan segala resiko yang akan ditanggung oleh pemerintah dalam aspek memberi layanan jika tenaga honorer dihapus,” kata Tedi. (INISUMEDANG.COM, Senin 13/06/ 2022)

Tedi meminta kepada Pemkab Bandung untuk segera melakukan langkah strategis guna menghindari keresahan PHL atau honorer yang saat ini sedang eresah. Ia berharap, Pemkab Bandung berupaya maksimal agar honorer tetap berkarya dan melaksanakan tugasnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.  

Hal ini karena pada awalnya, maksud merekrut tenaga honorer adalah untuk mengurangi pengangguran. Ketika tenaga honorer dihapus,  sudah pasti akan menimbulkan terjadinya banyak pengangguran. Mempekerjakan tenaga honorer juga bukan tanpa alasan, salah satunya adalah karena gaji yang rendah sehingga tidak memerlukan anggaran yang terlalu besar sehingga tidak menguras anggaran negara. 

Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata hal itu menjadi bumerang bagi penguasa sendiri. Tenaga honorer dituduh menjadi beban oleh negara dan membuat kacau penghitungan ANS. Alih-alih membuat tenaga honorer nyaman dan sejahtera, justru sakit hati yang dirasakan oleh mereka. 

Di tengah situasi yang serba sulit, rakyat seakan dibiarkan sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal, tenaga honorer mungkin saja merupakan tulang punggung yang harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Jadi, miris sekali ketika ada rencana kebijakan ini. Sementara, dulu pemerintah berjanji untuk menyediakan lapangan pekerjaan, tetapi nyatanya begitu susah untuk mencari pekerjaan.

Di sisi lain, lapangan pekerjaan justru terbuka lebar untuk tenaga asing. Mereka begitu mudah masuk dan ditempatkan untuk bekerja. 

Apakah ada imbasnya pada guru honorer? Ya, hal itu mungkin saja terjadi, padahal guru honorer juga sangat diperlukan untuk sektor pendidikan di berbagai daerah. Ketika menghapus tenaga honorer, seharusnya pemerintah mampu memenuhi kekurangan guru di berbagai daerah. 

Inilah realita yang terjadi ketika rakyat berada dalam aturan kapitalis-sekuler. Rakyat berdaulat kepada hukum buatan manusia. 

Manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas, bagaimana mungkin bisa membuat aturan yang benar-benar mampu memberi solusi? Karena itu, aturan buatan manusia bisa direvisi sesuai kepentingan.

Dengan kelemahannya itu, manusia tak pantas membuat suatu hukum. Itu sebabnya, sesuatu yang tadinya dianggap sebagai solusi pada akhirnya malah menjadi beban. Itulah imbas dari kapitalisme yang materialistis. Hubungan  penguasa dan rakyat dianggap tak ubahnya sebagai pedagang dan pembeli saja.

Berbeda dengan sistem khilafah yang berlandaskan akidah Islam. Semua aturan akan dilandaskan pada hukum syara', hukum buatan Allah yang sudah pasti akan membawa maslahat. Dalam Islam, negara wajib menciptakan lapangan pekerjaan agar masyarakat yang mampu bekerja bisa mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Hal ini sesuai hadis nabi Muhammad saw. yang artinya:

"Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan diminta pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR. Al- Bukhari dan Muslim)."

Dalam Islam, tidak ada istilah honorer karena semua akan direkrut dan dipekerjakan sesuai  kebutuhan negara. Semua pekerja yang diperlukan di setiap bidang akan diatur sesuai hukum Allah dan dihitung secara rinci. Mereka diperlakukan secara adil sesuai hukum syariah. Hak-haknya sebagai pekerja juga akan dilindungi oleh negara khilafah. 

Seluruh pegawai negara dalam khilafah digaji dengan akad ijarah yang layak sesuai jenis pekerjaan. Seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, gaji para pegawai negara hingga ada yang mencapai 300 dinar (1275 gram emas) atau setara Rp114.750.000. Luar biasa, nominal yang sangat fantastis. Wajar sekali kehidupan rakyat pada masa itu sangat sejahtera dan berkah.

Semua itu karena negara khilafah berbasis baitul mal yang di dalamnya terdapat pos kepemilikan negara yang bersumber dari harta fai, kharaj, ghanimah, usyur, dan jizyah. Sungguh, solusi cerdas yang mampu menyejahterakan rakyat  hanya ada di dalam negara khilafah Islamiyyah. Oleh karena itu, tidak ada cara jitu selain diterapkanya syariah Islam secara menyeluruh di setiap aspek kehidupan. Berjuang dan mengusahakan tegaknya sistem Islam (khilafah islamiyyah) adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dalam rangka ketaatan pada perintah Allah.

Wallahu'alam.

Dartem
Sahabat Tinta Media

Minggu, 12 Juni 2022

Tenaga Honorer Dihapus, Gus Uwik: Tidak Tepat, Ada Something Wrong?


Tinta Media -
Penghapusan tenaga kerja honorer dari instansi-instansi pemerintah dinilai tidak tepat oleh Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam Gus Uwik.

“Menurut saya, jelas kebijakan penghapusan tenaga honorer tidak tepat. Kelihatan ada something wrong, sesuatu yang salah,” tuturnya dalam Kabar Petang: Honorer Dihapus, Harapan Pupus? Selasa (7/6/2022) di kanal Youtube Khilafah News.

Ia berpendapat reasoning yang tepat tidak muncul atas keputusan menghapus tenaga honorer. “Sangat tidak tepat dalam konteks saat ini. Pasca pandemi di mana kebutuhan ekonomi sangat luar biasa, banyak orang mencari kerja. Tapi yang sudah bekerja tiba-tiba diresignkan sehingga menimbulkan pertanyaan,” ucapnya.

Gus Uwik meyakini kebijakan ini tidak tepat dan kontradiksi karena kebijakannya bergulir di saat pemerintah membuka lowongan pekerjaan untuk ASN tetapi tenaga honorer akan dihapuskan.

“Di satu sisi pemerintah ini membuka lowongan pekerjaan, ada pendaftaran ASN tapi di sisi lain justru tenaga yang sudah ada walaupun dalam konteks honorer mau dihapuskan, kan ini jadi kontradiksi,” bebernya.

Seorang tenaga honorer pastinya sudah memiliki tolok ukur, kriteria yang bagus dan sudah bekerja on the track.
“Ketika sudah on the track, sudah punya pengalaman bekerja, tentu dia akan lebih ahli, kenapa tenaga honorer ini yang dihapuskan,” ujarnya.

Selain kebijakan kontradiksi, Gus Uwik menyatakan tidak tepatnya karena meyakini tenaga-tenaga honorer ini memiliki potensi setelah sekian lama bekerja. Padahal pemerintah membutuhkan pegawai berpotensi.

“Ketika potensi telah ada, kemudian kompetensi bagus dan secara kinerja juga bagus. Apa alasannya kemudian diputuskan, toh kemudian pemerintah membutuhkan itu,” katanya.

Ia mempertanyakan secara reasoning, alasan yang logis memberhentikan tenaga honorer itu. Sehingga akhirnya timbul perlawanan dalam tanda kutip dari para tenaga honorer yang selama ini telah bekerja.

“Apa alasan yang logis itu untuk kemudian memberhentikan mereka, apakah negara tidak punya uang, bangkrut? Ya sudahlah sepakat, apakah itu alasannya? Subhanallah tenaga honorer ini dilihat dari gajinya jauh sekali dari standar. Oleh karena itulah saya tidak setuju,” ungkapnya.

Dampak

Gus Uwik menjelaskan dampak dari penghapusan tenaga honorer adalah pertama, penambahan pengangguran. Menurutnya, ini akan berdampak luar biasa dari sisi penambahan pengangguran.

“Mereka bukan hanya satu persen, banyak yang sudah berkeluarga. Artinya nanti dampaknya ke arah sana. Dampak sosial dari sisi keluarga, bukan satu keluarga saja tapi banyak keluarga,” bebernya.

“Kedua adalah muncul dampak multiplayer karena bukan hanya berdampak pada satu persen yang akan dinonaktifkan tapi berdampak di sisi lingkungan keluarga dan lingkungan yang lainnya,” tuturnya.

Menurutnya apabila pemutusan ini terjadi secara bersamaan, tidak ada saluran-saluran pekerjaan yang lain maka akan menimbulkan hal-hal yang lain, bisa positif, dan bisa negatif. “Ketika terjadi pemutusan bersamaan tentu akan membawa efek syok yang sangat luar biasa,” ujarnya.

“Oleh karena itulah saya memandang akan muncul banyak hal yang berefek ke sesuatu yang tidak baik, baik dari sisi sosial, masyarakatnya, dan yang lainnya,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Sabtu, 11 Juni 2022

Tenaga Honorer Dihapus, MMC: Imbas Pemerintah Kapitalisme yang Memandang Rakyat secara Ekonomi


Tinta Media - Terkait penghapusan tenaga kerja honorer yang tertuang dalam surat Menteri PANRB Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 tertanggal 31 Mei 2022, Narator Muslimah Media Center (MMC) mengungkapkan bahwa ini imbas dari Pemerintah kapitalisme yang memandang rakyat secara ekonomi, yakni untung dan rugi. 

"Sekularisme melahirkan kepemimpinan bercorak kapitalisme. Kapitalisme adalah paham yang bersifat materialistis. Imbasnya ketika sistem ini digunakan mengatur rakyat, hubungan antara penguasa dan rakyat tidak ubahnya seperti pedagang dan pembeli. Rakyat hanya dipandang secara ekonomi, yakni untung dan rugi," tuturnya pada Serba-serbi MMC: Tenaga Honorer Dihapuskan, Kapankah Derita Honorer Berakhir? Di Kanal YouTube Muslimah Media Center, Ahad (5/6/2022).

Menurutnya, inilah realita ketika rakyat hidup dalam kepemimpinan sistem sekulerisme kapitalisme. Paham sekuler membuat manusia berdaulat atas sebuah hukum. Manusia bisa membuat, menjalankan, menghapus, maupun merevisi hukum sesuai dengan kepentingannya.

"Padahal manusia adalah makhluk. Seorang makhluk tidak pantas dan tidak layak membuat aturan sendiri untuk kehidupan mereka. Karena kemampuan mereka terbatas," ujar narator.

Narator menjelaskan, pada awalnya kebijakan rekrutmen tenaga honorer dikeluarkan sebagai upaya mengurangi pengangguran. Keuntungan lain pemerintah juga mendapatkan tenaga yang mau dibayar rendah sesuai budget negara, karena mereka belum berpengalaman, atau karena janji direkrut sebagai PNS, atau aparat sipil negara.

"Namun kebijakan yang awalnya dianggap solusi kini justru jadi bumerang bagi penguasa. Keberadaan tenaga honorer dianggap pengacau hitungan ASN. Bahkan pernyataan sebelumnya tenaga honorer dituduh menjadi beban negara. Tentu saja alasan-alasan yang diberikannya justru menambah sakit hati rakyat. Rakyat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhannya. Sementara lapangan pekerjaan yang dijanjikan untuk rakyat tidak kunjung dipenuhi. Yang ada lapangan pekerjaan justru terbuka lebar untuk tenaga asing," jelasnya.

Narator pun berpendapat, oleh karena itu wajar jika tenaga honorer yang awalnya dianggap solusi, kemudian dianggap beban negara dan pengacau perhitungan ASN. Demikianlah bukti kesekian kalinya kegagalan yang dipertontonkan sistem sekulerisme kapitalisme dalam mengurus rakyat.

"Sistem ini tidak mampu menyejahterakan 400 ribu tenaga honorer, yang 120 ribu diantaranya adalah tenaga pendidik, 4000 tenaga kesehatan, dan 2000 penyuluh, berdasarkan catatan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB)," papar narator.

Narator pun menegaskan, sangat berbeda dengan kebijakan sistem Khilafah yang mampu menyelesaikan masalah tersebut. Sistem khilafah berdiri atas akidah Islam. Seluruh aturan yang dikeluarkan akan didasarkan pada hukum syariat.

"Untuk masalah tenaga kerja dan lapangan pekerjaan, Islam mewajibkan negara menciptakan lapangan kerja bagi setiap orang yang mampu bekerja, agar dapat memperoleh pekerjaan," ungkapnya.
Ini berkaitan dengan hadist, Rasulullah Saw. Bersabda : "Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan diminta pertanggung jawabannya atas urusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam khilafah, lanjutnya, rekrutmen pegawai negara tak mengenal istilah honorer. Karena mereka akan direkrut sesuai dengan kebutuhan riil negara. Negara akan menghitung jumlah pekerja yang diperlukan untuk menjalankan semua pekerjaaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi.

"Seluruh pegawai yang bekerja pada khilafah diatur sepenuhnya dibawah hukum-hukum _ijarah_, atau kontrak kerja dengan gaji yang layak sesuai jenis pekerjaan. Khilafah boleh mempekerjakan pekerja secara mutlak.  Maksudnya, para pekerja boleh dari muslim atau kafir dzimmi. Khilafah juga akan menjamin para pekerja mendapat perlakuan adil sesuai hukum syariat. Hak-hak mereka sebagai pegawai juga akan dilindungi oleh khilafah. Sebagai contoh, pada masa Khalifah bin Abdul Aziz, gaji para pegawai negara hingga ada yang mencapai 300 Dinar atau setara Rp 114.750.000," bebernya.

Narator pun menjelaskan, Khilafah mampu menggaji dengan jumlah yang fantastis, sebab sistem keuangan khilafah berbasis Baitul Mal. Dalam Baitul mal, terdapat pos kepemilikan negara yang bersumber dari harta fa'i, kharaj, jizyah, ghaninah, usyur dan sejenisnya.  Dari pos ini, khilafah bisa mengalokasikan anggaran untuk gaji para pegawai negara.

"Demikianlah cara khilafah menyelesaikan masalah honorer yang tidak akan mampu diselesaikan secara tuntas oleh sistem kapitalisme," pungkasnya. []Willy Waliah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab