Analis: Hilirisasi Menguntungkan Pengusaha dan Investor
Tinta Media - Terkait adanya program hilirisasi di era presiden Jokowi yang merupakan suatu program unggulan dan dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan produk-produk nikel mentah, faktanya menguntungkan investor.
"Ya itulah kondisi real hilirisasi saat ini (di era presiden Jokowi) yang sebenarnya lebih banyak menguntungkan bagi pengusaha atau investor tambang tersebut," ujar Analis senior Forum Kajian Kebijakan Energi Indonesia (FORKEI) Lukman Noerrochim, Ph.D. dalam acara Kabar Petang: Hilirisasi Jokowi, Mengembalikan RI ke Zaman VOC, di kanal Youtube Khilafah News, Kamis (15/2/2024).
Ia menyesalkan, hilirisasi di era presiden Jokowi ini menyebabkan kerusakan lingkungan yang untuk memperbaikinya membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang luar biasa.
"Justru masalah besar bagi kita dan penerus 10 sampai 20 yang akan datang," imbuhnya.
Memang tambang nikel itu ungkapnya, memiliki jangka waktu. "Mungkin tidak sampai 15 tahun sudah habis, namun kalau dieksploitasi secara besar-besaran seperti kondisi sekarang maka 15 tahun sudah habis," ungkapnya.
Royalti
Lukman membeberkan, hilirisasi di era Jokowi ini negara hanya mendapatkan royalti saja. "Yaitu penerimaan pemajakan dari Perseroan Terbatas (PT) yang diatur di Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2022 tarifnya itu hanya 2% dari harga. Tapi untuk kursnya karena ada revisi UU No. 3 tahun 2020 itu cuman 1,5%," ungkapnya.
Sedangkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kata Lukman, sangat kecil bahkan bisa mencapai angka nol. Terhadap smelter mendapatkan fasilitas free pajak hampir 20 tahun. "Artinya mereka (investor nikel) bebas tidak membayar pajak sama sekali," keluhnya.
Jadi sebenarnya ungkapnya, dari angka 515 triliun dari hilirisasi ekspor nikel itu, negeri ini hanya menerima 8 triliun. "Ini sangat-sangat kecil sekali," ungkapnya.
Nilai tersebut menurutnya, tidak berbanding dengan kesejahteraan atau peningkatan ekonomi penduduk di daerah penambangan.
"Nah pertambahan ekonomi di daerah penambangan itu naik sampai beberapa persen karena investasi dan ekspor, tapi pertumbuhannya terjadi kesenjangan baru, karena sebagian besar pertumbuhannya itu hanya dinikmati oleh para investor di pertambangan tersebut," ujarnya.
Kerusakan Lingkungan
Terkait pendapatan didaerah pertambangan itu kata Lukman, pemerintah daerah mendapatkan 1%. "Tapi efeknya itu adalah banyaknya kerusakan lingkungan, kalau kita perhatikan itu banyak cekungan-cekungan bekas penambangan itu membentuk kubangan-kubangan dan buangan limbahnya itu kalau dialirkan ke sungai mampu mencemari sungai bahkan sampai ke pantai dan berimbas kepada nelayan yang ada di sana," tuturnya.
Itu semua lanjutnya, diperparah dengan menurunnya pendapatan masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat kemiskinan di provinsi di daerah penambangan meningkat.
"Di tahun 2022, Sulawesi Utara (Sulut) yang sebelumnya 17,27 sekarang menjadi 19,43%, Sulawesi Tengah (Sulteng) 12,20% menjadi 13,2%, Maluku Utara 6,37% menjadi 6,47%," pungkasnya. [] Setiyawan Dwi