Tinta Media: Hilal
Tampilkan postingan dengan label Hilal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hilal. Tampilkan semua postingan

Kamis, 20 April 2023

HUKUM TARAWIH DAN TAKBIRAN SEBELUM TERBUKTINYA HILAL SYAWAL


Tinta Media - Tanya :
Ustadz, bolehkah kita melakukan takbiran atau sholat tarawih, pada malam hari menjelang masuknya Idul Fitri (malam 30 Ramadhan), tapi belum ada pengumuman rukyatul hilal secara global untuk bulan Syawal ? (Nanang Syaifurozi, Jogjakarta).
 
Jawab :

Tidak boleh atau haram hukumnya melakukan takbiran jika belum terbukti adanya rukyatul hilal untuk bulan Syawal.

Sebaliknya, selama belum ada rukyatul hilal untuk bulan  Syawal, malam 30 Ramadhan itu masih dianggap bulan Ramadhan. Maka pada malam itu masih disyariatkan sholat tarawih, niat puasa, dan bersahur.

Ketidakboleh takbiran, dan sebaliknya tetap disyariatkannya sholat tarawih, niat puasa, dan bersahur pada malam itu, sebelum terbukti rukyatul hilal global, melakukan didasarkan pada 2 (dua) alasan sbb: 

*Pertama,* karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Syawal, berarti malam itu masih dianggap bulan Ramadhan. Ini adalah pengamalan *istis-haabul ashl*, yakni kaidah fiqih yang digunakan untuk mempertahankan berlakunya hukum asal sebelum adanya dalil yang mengubah hukum asal menjadi hukum baru. 

Kaidah fiqih yang termasuk *istis-haabul ashl* misalnya :
 
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلىَ مَا كَان

"Al-ashlu baqaa`u maa kaana ‘ala maa kaana."(yang menjadi hukum asal untuk sesuatu, adalah tetapnya hukum yang sudah ada mengikuti hukum sebelumnya). (Tajuddin As Subki, _Al-Asybah wa An-Nazha`ir,_ 1/49).
 
Berdasarkan kaidah fiqih tersebut, berarti hukum asalnya adalah tetapnya bulan Ramadhan, yaitu tidak berubah menjadi bulan Syawal sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Syawal. 

Jika rukyatul hilal Syawal belum terbukti, berarti kita masih disunnahkan shalat tarawih dan makan sahur, dan masih diwajibkan niat puasa Ramadhan. 

Sebaliknya, jika seseorang sudah takbiran padahal belum terbukti rukyatul hilal Syawal, berarti dia telah perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim, sesuai sabda Rasulullah SAW :
 
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ

”Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (‘amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Bukhari no 2550; Muslim no 1718). 
 
*Kedua,* karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal, berarti “sebab” masuknya bulan Syawal itu belum ada. 

Dengan demikian, hukum-hukum syariah yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) juga belum ada. Misalnya, takbiran, pelaksanaan sholat Idul Fitri, dan berbagai cabang-cabang hukum syara' yang terkait dengan sholat Idul Fitri.
 
Dalam ilmu ushul fiqih, “sebab” adalah apa-apa yang jika ada maka hukum syara’ yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) akan ada (terwujud/terlaksana). 

Sebaliknya jika “sebab” tidak ada, maka “musabbab” (akibat hukum) juga tidak ada. 

Contoh “sebab”, misalnya masuknya waktu adalah sebab pelaksanaan shalat, tercapainya nishab adalah sebab pelaksanaan zakat mal, safar adalah sebab bolehnya mengqashar atau menjamak sholat, akad nikah adalah sebab bolehnya jima’, akad syar’i adalah sebab sahnya kepemilikan barang, dst. (Imam Ghazali, Al-Mustashfa fi ‘Ilmi Al Ushul, hlm.75; Imam Syathibi, Al-Muwafaqat, 1/187).
 
Dalam hal ini hadits-hadits shahih telah menunjukkan dengan jelas bahwa yang menjadi “sebab” bagi kita untuk ber-Idul Fitri, adalah rukyatul hilal, bukan yang lain (misalnya wujudul hilal, melalui hisab hakiki). 

Di antaranya sabda Rasulullah SAW :
 
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين

"Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadhan], dan berbukalah kamu (beridul fitrilah) karena melihat hilal [Syawal]. Maka jika hilal menghilang dari pandangan kalian, sempurnakanlah bilangan Sya’ban sebanyak 30 hari.” (HR Bukhari no 1810; Muslim no 1080). (Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, 2/64).
 
Maka dari itu, jika rukyatul hilal bulan Syawal telah terbukti, berarti segala akibat hukumnya dapat dilaksanakan. Sebaliknya jika rukyatul hilal Syawal itu tidak terbukti, maka segala akibat hukumnya tidak sah untuk dilaksanakan. 

Kaidah fiqih yang terkait masalah “sebab” menetapkan :
 
لاَ يَبْقَى الْحُكْمُ بَعْدَ زَوَالِ سَبَبِهِ

"Laa yabqaa al hukmu ba’da zawaali sababihi." (suatu hukum tidak berlaku jika sudah hilang / sudah tidak ada lagi sebabnya). (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, 2/949).
 
Walhasil, tidak boleh hukumnya melakukan takbiran sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal.

Sebaliknya, sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal, masih disyariatkan tarawih, makan sahur, atau niat puasa Ramadhan sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal. Ini karena bulan yang ada masih bulan Ramadhan dan apa yang menjadi sebab hukum untuk memasuki bulan Syawal, yaitu terbuktinya rukyatul hilal bulan Syawal, belum ada. Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 20 April 2023

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Pakar Fiqih Muamalah 

Jumat, 13 Mei 2022

Rukyat Hilal dan Perhitungan Astronomis


Tinta Media  - Segala pujian hanya milik Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah dan kepada keluarga, para shahabat dan orang yang mengikuti beliau. Wa ba’du:

Kepada saudara-saudara yang mengirimkan pesan ke laman kami mempertanyakan tentang rukyat hilal dan perhitungan astronomis ...

Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saya telah membaca pertanyaan-pertanyaan Anda seputar rukyat dan perhitungan astronomis. Kami telah berulang kali mengeluarkan tentang masalah ini, tetapi tidak apa-apa. Saya akan menambah penjelasan dan penegasan, dengan harapan kepada saudara-saudara untuk memperhatikannya dengan seksama dan penuh perhatian.

Saya katakan dan dengan taufik dari Allah:

1- Sesungguhnya kita, ya ikhwah, kita tidak memasukkan perhitungan astronomis dalam topik ini. Jadi nas hanya bersandar kepada rukyat saja dan kita berpuasa dan berbuka dengannya. Maka jika kita tidak melihat hilal pada sore hari tanggal 29 Ramadhan maka kita genapkan hitungan bulan Ramadhan menjadi 30 hari hingga seandainya hilal sudah ada menurut perhitungan astronomis tetapi tertutup oleh mendung atau kondisi cuaca. Jadi rukyat adalah yang menjadi sandaran sebab nas menyandarkan kepada rukyat dan bukan pada fenomena alam. Perhatikan hadis Rasul saw yang dikeluarkan oleh imam al-Bukhari: ... ia berkata: aku mendengar Abu Hurairah ra berkata: “Nabi atau Abu al-Qasim saw bersabda:

«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ»

“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya, dan jika tertutup mendung bagi kalian maka genapkan hitungan Sya’ban menajdi 30 hari”.

Kemudian hadis yang dikeluarkan oleh imam Ahmad: ... dia berkata: “aku mendengar Abu Hurairah berkata; “Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:

«لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ، وَقَالَ: صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ»

“Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihat hilal”. Dan beliau bersabda: “berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya, dan jika tertutup mendung bagi kalian maka genapkan menjadi 30 hari”.

Jika mendung menutupi misalnya, sehingga kaum Muslim tidak dapat melihat hilal, padahal hilal itu sudah ada di balik mendung secara hakiki menurut perhitungan astronomis maka berdasarkan atas hal itu kita tidak berbuka, tetapi kita wajib berpuasa hari ketigapuluh karena kita tidak melihat hilal. Saya ulangi, perhatikan hadis:

«فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ» 

“Jika tertutup mendung bagi kalian maka genapkan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari”.

Padahal menurut perhitungan astronomis, hilal sudah ada.

2- Sungguh kami paham bahwa dengan perhitungan astronomis dapat diketahui hingga hiitungan detik kapan konjungsi, kapan hilal lahir dan kapan hilal tenggelam dan berapa menit hilal bertahan setelah tenggelam matahari ... Tetapi nas syar’iy tidak menyatakan atas fenomena alam tetapi menyatakan pada rukyat. Perhatikan misalnya, waktu-waktu shalat. Kita dapati bahwa nas menyebutkan fenomena alam dan tidak terbatas pada rukyat.

﴿أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ﴾

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir“ (TQS al-Isra’ [17]: 78).

«إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ فَصَلُّوا»

“Jika matahari telah tergelincir maka shalatlah kalian”.

Jadi shalat itu bergantung pada waktu. Maka dengan wasilah apapun waktu itu ditetapkan maka Anda shalat. Jika Anda melihat matahari untuk melihat waktu tergelincirnya matahari, atau Anda melihat bayangan untuk melihat bayangan apa saja semisalnya (sama panjang) atau dua kalinya sebagaimana yang ada di dalam hadis-hadis waktu-waktu shalat. Jika Anda melakukan itu dan telah tetap waktunya, sah lah shalat itu. Dan jika Anda tidak melakukan hal itu, tetapi Anda menghitungnya secara astronomis dan Anda tahu bahwa waktu tergelincirnya matahari adalah jam sekian lalu Anda melihat jam tangan Anda tanpa keluar untuk melihat matahari atau bayangan, maka sah jugalah shalat. Yakni Anda menetapkan waktu dengan wasilah apapun. Kenapa? Sebab Allah SWT meminta Anda shalat dikarenakan masuknya waktu dan menyerahkan kepada Anda untuk menetapkan masuknya waktu itu tanpa membatasi tatacara penetapannya. Sebagaimana Anda lihat, jika Anda tahu matahari telah tergelincir dengan melihatnya langsung, Anda shalat. Jika Anda menghitungnya pada jam tangan Anda, Anda shalat. Artinya di sini (dengan rukyat dan perhitungan) Anda shalat karena nas tidak menyandarkan kepada rukyat tetapi nas menyandarkan kepada fenomena alam ... Ini berbeda dengan nas syar’iy untuk puasa dan berbuka yang menyatakan penyandaran pada rukyat.

3- Adapun saksi, maka mungkin saja perkara tersebut samar baginya lalu dia bersaksi bahwa dia melihat hilal padahal dia tidak melihat hilal tetapi melihat sesuatu yang lain. Ini adalah tugas qadhi atau pemilik wewenang dalam mengumumkan awal bulan dan akhir bulan. Maka diperiksa dari saksi-saksi itu dan jumlah mereka, dan setiap kali jumlah itu bertambah maka makin mendekati ketenteraman. Dan juga diperiksa dari kesehatan mata saksi itu, arah busur hilal, lamanya hilal bertahan setelah matahari tenggelam, tempat dia melihat hilal, dan apakah dia muslim, dan apakah dia fasik ... dsb. Muhammad bin Abdul Aziz bin Abiy Rizmah telah memberitahu kami, ia berkata: “al-Fahdlu bin Musa telah memberitahu kami dari Sufyan dari Simak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: “seorang arab baduwi datang kepada Nabi saw:

«فَقَالَ رَأَيْتُ الْهِلَالَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ نَعَمْ فَنَادَى النَّبِيُّ ﷺ أَنْ صُومُوا» (سنن النسائي)

“Dia berkata: “aku telah melihat hilal”. Nabi saw bersabda; “apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya?” Dia berkata: “benar”. Maka Nabi saw berseru: “berpuasalah kalian” (HR an-Nasai).

Begitulah, diperiksa dari saksi. Tetapi tanpa memasukkan perhitungan astronomis dalam topik tersebut. Yakni tidak dikatakan untuknya: “perhitungan astronomis menetapkan bahwa hilal ada di balik mendung, atau menetapkan bahwa hilal tidak ada”. Hal itu karena memasukkan perhitungan astronomis dalam masalah tersebut adalah menyalahi apa yang ada di dalam hadis Rasulullah saw:

«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِيَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ»

“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya, dan jika tertutup mendung bagi kalian maka genapkan menjadi 30 hari”.

Jadi nas jelas, yaitu agar menggenapkan hitungan bulan itu 30 hari padahal dengan perhitungan, hilal itu ada di balik mendung, tetapi tidak terlihat.

4- Adapun penanya: “bahwa Rasul saw bersabda:

«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ» "البخاري"

“Kami umat yang ummi, kami tidak dapat menulis dan menghitung, bulan itu begini dan begini, yakni kadang 29 hari dan kadang 30 hari” (HR al-Bukhari).

Apakah tidak dapat dipahami darinya dengan mafhum mukhalafah bahwa kita mengambil rukyat karena kita tidak dapat menulis dan menghitung, sehingga jika kita mengetahui perhitungan maka kita mengambil perhitungan astronomis?” Pemahaman ini tidak shahih dan merupakan pendapat yang tertolak sebagaimana yang sudah diketahui di dalam ushul. Karena pemahaman (mafhum mukhalafah) ini diabaikan. Sebab sifat ummi itu dikeluarkan makhraja al-ghâlib (menyatakan keadaan pada galibnya). Orang arab, dahulu mereka mayoritasnya termasuk orang ummi (tidak dapat menulis dan menghitung). Ditambah lagi bahwa mafhum ini telah diabaikan menurut manthuq nas-nas lainnya, di antaranya hadis:

«فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ» (البخاري)

“Jika tertutup mendung bagi kalian maka genapkan hitungan menjadi 30 hari” (HR al-Bukhari).

Bersamanya tidak disebutkan batasan. Yakni jika rukyat hilal tidak mungkin karena mendung atau hujan atau sebab lainnya yang menghalangi rukyat, maka hukum syara’nya telah ditentukan dengan menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari, hingga meskipun hilal itu sudah ada tetapi mendung menutupinya. Atas dasar itu maka diamalkan menurut manthuq hadis dan mafhum mukhalafahnya diabaikan. Yakni bahwa mafhum mukhalafah di sini diabaikan karena dua hal: keluarnya itu sebagai makhraja al-ghâlib (menyatakan keadaan pada galibnya), dan karena manthuq nas lainnya menentang mafhum itu.

Dan ini terjadi dalam syarat mengamalkan mafhum dalam lebih dari satu kondisi. Mafhum itu diabaikan jika dikeluarkan makhraja al-ghâlib (menyatakan kodisi pada galibnya), atau jika diabaikan oleh nas lainnya menurut manthuqnya, misal:

﴿وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ﴾

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan” (TQS al-Isra’ [17]: 31).

Takut kemiskinan (khasyyatu imlâkin) merupakan sifat yang memberikan pemahaman (washfun mufhimun) yakni takut kefakiran. Demikian juga itu dikeluarkan makhraja al-ghâlib (menyatakan kondisi pada galibnya). Mereka dahulu membunuh anak-anak mereka karena takut kemiskinan. Kemudian mafhum ini telah diabaikan dengan nas.

﴿وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ﴾

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam” (TQS an-Nisa’ [4]: 93).

Oleh karenanya, mafhum ini diabaikan. Jadi tidak dikatakan bahwa yang haram adalah membunuh anak-anak karena takut kemiskinan dan menjadi halal jika membunuhnya karena kaya! Tetapi membunuh anak-anak itu adalah haram dalam dua keadaan itu, baik apakah karena takut kemiskinan atau takut kaya. Demikian juga ayat:
﴿لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافاً مُضَاعَفَةً﴾

“Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda” (TQS Ali Imran [3]: 130).

Berlipat ganda itu merupakan sifat yang memberikan pemahaman. Dan demikian juga dikeluarkan untuk menyatakan kondisi pada galibnya (makhraja al-ghâlib). Jadi mereka dahulu melakukan riba berlipat ganda. Kemudian mafhum ini telah diabaikan dengan nas.

﴿وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا﴾

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (TQS al-Baqarah [2]: 275).

Oleh karena itu mafhum ini diabaikan. Jadi tidak dikatakan, yang haram adalah riba yang banyak, adapaun riba yang sedikit maka boleh. Tetapi riba berapapun kadarnya adalah haram karena mafhum “dengan berlipat ganda -adh’âfan mudhâ’afatan-“ itu diabaikan, sebagaimana yang kami katakan.
Begitulah, mafhum kata “ummiyah” itu diabaikan sebagaimana yang telah kami jelaskan. Artinya, bahwa rukyat hilal jika terhalang karena mendung atau hujan maka wajib menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari baik apakah kita mengetahui perhitungan atau kita tidak mengetahui.

5- Berkaitan dengan Idul Fithri, jika Anda perhatikan, kami terlambat dalam pengumuman kali ini dan sebabnya adalah pemeriksaan perkara ini. Ada beragam kesaksian rukyat:

a. Afganistan, Mali dan Nigeria mengumumkan rukyat setelah tenggelamnya matahari Sabtu 30 April 2022, dan berikutnya diumumkan Idul Fithri Ahad 1 Syawal 1443 H/1 Mei 2022 M.

b. Sekira 21 negara arab mengumumkan tidak terbukti terlihat hilal setelah tenggelam matahari Sabtu dan menilai Ahad adalah penggenapan untuk bulan Ramadhan dan bahwa Idul Fithri adalah Senin 2 Mei 2022 M.

c. Empat negara, penanggalan pada mereka bahwa Sabtu adalah 28 Ramadhan. Oleh karenanya tidak dimonitor hilal pada Sabtu sore tetapi pada hari berikutnya dan hilal tidak terlihat sehingga Senin adalah penggenapan Ramadhan dan Idul Fitri adalah selasa 3 Mei 2022 M. Keempat negara ini adalah: India, Bangladesh, Iran dan Pakistan.

6- Di sini maka harus diikuti orang yang melihat karena orang yang melihat menjadi hujjah atas orang yang tidak melihat, dan pembuktian rukyat itu adalah sebagaimana yang ada di dalam nas syar’iy tanpa memasukkan perhitungan astronomis dalam masalah tersebut karena hadis Rasul saw jelas dalam hal itu. Rasul saw bersabda:

«فَإِنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ»

“Jika tertutup mendung bagi kalian maka genapkan menjadi 30 hari”.

Dan karena Mali, Nigeria itu adalah baratnya Afganistan, artinya bahwa rukyat itu jika terbukti di Afganistan maka lebih-lebih lagi terbukti di Mali dan Nigeria. Atas dasar itu, kami memulai pemeriksaan dari Afganistan. Dan rukyat yang diumumkan di tiga negara ini:

a. Nigeria mengumumkan terbukti terlihat hilal bulan Syawal setelah tenggelam matahari Sabtu di provinsi Diffa, Thawa dan Maradi, serta di kota Zinder.

b- Mahkamah Agung Afghanistan mengumumkan, pada Sabtu malam, bahwa Ahad, 1 Mei, akan menjadi hari pertama Idul Fitri 2022 di negara itu. Dan seperti yang disebutkan tentang negeri-negeri itu, rukyat itu terjadi di negara-negara bagian (Ghor, Ghazni, Kandahar, Farah, dan ada 27 kesaksian yang sah dibuktikan oleh komite regional ...).

C- Negara Mali juga mengumumkan bahwa hilal Syawal terlihat pada Sabtu malam di dua lokasi oleh 8 orang saksi.
Artinya, rukyat (terlihatnya) hilal itu dari sekira 39 saksi di berbagai tempat yang berbeda ... Dan kami telah mengerahkan segenap usaha dalam pemeriksaan itu, khususnya dari Afganistan karena Mali dan Nigeria ke arah baratnya. Jika rukyat telah shahih di Afganistan maka lebih utama lagi rukyat itu shahih di Mali dan Nigeria ... Kami tidak hanya mencukupkan dengan media dan bahkan tidak hanya dengan apa yang sampai kepada kami dari muktamad di wilayah-wilayah tersebut, tetapi kami tambah lagi ... Kami melakukan kontak dengan i’lami di Afganistan. Demikian juga dengan beberapa ikhwah Afghani di Eropa untuk mengontak beberapa kenalan di Afghanistan untuk memeriksa perkara tersebut sampai tercapai ketenteraman pada kami dengan terbuktinya rukyat maka kami mengumumkan pada akhir pukul 24.00 waktu Madinah.

7- Adapun penanya, kenapa kaum Muslim berbeda pendapat tentang rukyat? Jawabannya mudah dan gampang, yaitu sebagai berikut;

a- Perbedaan itu adalah disebabkan tidak mengikuti hukum syara’ padahal hukum syara’nya sudah jelas dan gamblang! Rasul saw menjelaskan untuk kita wajibnya mengikuti rukyat dan menegaskan hal itu dengan sabda beliau:

«فَإِنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ» 

“Jika tertutup mendung bagi kalian maka genapkan menjadi 30 hari”.

Darinya jelas digugurkannya perhitungan astronomis dari patokan penilaian. Sebab nas mewajibkan penggenapan bulan menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat karena mendung menutupinya dari penglihatan hingga seandainya hilal itu ada di balik mendung dan perhitungan astronomis menetapkan adanya hilal itu di balik mendung. Meski demikian, tidak sah beramal dengannya, tetapi kita menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari sebagaimana yang ada di dalam hadis-hadis Rasulullah saw:

«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبيَ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ»

“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya dan jika tertutup mendung bagi kalian maka genapkan menjadi 30 hari”.

Dan Rasul saw bersabda:

«لَا تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ»، رواه أبو داود

“Janganlah kalian mendatangi (memasuki) bulan sampai kalian melihat hilal atau kalian genapkan hitungan kemudian berpuasalah kalian sampai kalian melihat hilal atau kalian genapkan hitungan” (HR Abu Dawud).

Rasul saw juga bersabda;

«إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْماً»، رواه مسلم

“Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya maka berbukalah, dan jika tertutup mendung bagi kalian maka berpuasalah 30 hari” (HR Muslim).

Dan hadis-hadis dalam hal ini banyak. Hadis-hadis itu menunjukkan bahwa yang menjadi patokan dalam hal itu adalah rukyat hilal atau penggenapan hitungan bulan. Yang dimaksud dari hadis-hadis ini bukan lah masing-masing orang melihat hilal sendiri, melainkan yang dimaksudkan adalah kesaksian saksi yang adil. Telah sahih dari Ibnu Umar ra., ia berkata:

«تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ»، رواه أبو داود

“Orang-orang berusaha melihat hilal lalu aku memberitahu Rasulullah saw bahwa aku melihatnya maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR Abu Dawud).

b- Adapun sebab kedua, adalah kaum Muslim tidak dihimpun oleh khilafah. Mereka tidak memiliki satu penguasa yang bisa menghilangkan perbedaan tanpa perpecahan. Dengan mentadaburi hadis Rasul saw., hal itu menjadi jelas. Imam Ahmad telah mengeluarkan di dalam Musnad-nya, ia berkata: “Husyaim telah menceritakan hadis kepada kami, Abu Bisyrin telah memberitahu kami dari Abu Umair bin Anas, telah menceritakan kepadaku paman-pamanku dari Anshar di antara shahabat Rasulullah saw, ia berkata:

«غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَاماً فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنَ الْغَدِ» (مسند أحمد)

“Hilal Syawal tertutup mendung bagi kami, maka esoknya kami berpuasa, lalu datang para penunggang kendaraan dan mereka bersaksi di hadapan Rasulullah saw bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk berbuka hari itu dan keluar untuk shalat Idul Fithri esok harinya” (HR Ahmad di Musnad).

Meskipun sulitnya komunikasi antar kampung dan kota ketika itu, namun masalah tersebut terselesaikan dengan Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim di Madinah untuk berbuka karena hilal telah terlihat di kampung kemudian beliau memerintahkan kaum Muslim untuk shalat Idul Fithri esoknya karena utusan orang-orang baduwi tiba di Madinah setelah lewat waktu shalat Id hari itu. Ini pada waktu yang di situ transformasi berita dari satu negeri ke negeri lain perlu waktu panjang. Lalu bagaimana dengan hari ini sementara berita dapat ditransformasikan dengan sangat cepat? Seandainya kaum Muslim memiliki satu khalifah dan satu daulah, niscaya mereka menjadi hamba-hamba Allah yang saling bersaudara, khususnya bahwa tabanni dalam semua perkara yang dapat menghimpun kaum Muslim dan mempersatukan mereka adalah diperintahkan oleh Islam untuk negara, partai dan individu menurut ketentuan syara’. Maka pengadopsian pandangan syar’iy yang dapat menghimpun kaum Muslim merupakan perkara yang derajatnya agung di dalam Islam.

Dua hal inilah yang dapat menghilangkan perbedaan. Dan yang wajib bagi kaum Muslim adalah mengerahkan segenap usaha untuk merealisasinya agar kaum Muslim kembali menjadi sebaik-baik ummat yang telah dikeluarkan untuk manusia sebagaimana yang Allah SWT turunkan di dalam muhkam kitab-Nya:

﴿كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ﴾

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (TQS Ali Imran [3]: 110).

Di penutup, saya mohon kepada Allah SWT agar menunjuki kaum Muslim semuanya kepada perkara mereka yang lurus, dan agar memuliakan mereka dengan kemuliaan Islam, agar mereka menegakkan daulah mereka setelah hilang dalam waktu panjang, dan berikutnya mereka tidak berbeda pendapat dalam ketaatan kepada Rabb mereka, sebaliknya mereka menjadi seperti yang Allah SWT firmankan:

﴿فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ﴾

“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (TQs Ali Imran [3]: 174).

Semoga Allah menerima semua ketaatan kita. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

10 Syawal 1443 H
10 Mei 2022 M

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/81999.html
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab