Tinta Media: Hijab
Tampilkan postingan dengan label Hijab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hijab. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 September 2024

Larangan Berhijab, Sekularisasi Akut Makin Keterlaluan

Tinta Media - Larangan terkait pemakaian hijab bagi seorang dokter onkologi di RS Medistra, tengah viral di media sosial. Tidak ragu, karena dilarang memakai hijab, dokter tersebut akhirnya memutuskan keluar dari RS Medistra (tvonenews.com, 2-9-2024). Sang dokter menuliskan bahwa rezeki pasti ada di tempat lain yang Allah tetapkan atas dirinya. Tindakan dokter ini pun dibanjiri pujian dari netizen.

Menyoal kejadian tersebut, RS Medistra meminta maaf atas ketidaknyamanan berita yang telah beredar. Beragam tanggapan pun membanjiri jagat maya. Salah satunya dari Cholil Nafis, Ketua MUI Bidang Ukhuwah dan Dakwah. Cholil menyebutkan bahwa tindakan RS yang demikian termasuk tindakan rasis yang tidak etis. Tidak pantas bagi lembaga layanan umum yang menetapkan syarat diskriminatif seperti ini. Cholil pun tegas mengkritik bahwa tindakan RS Medistra menyakiti hati kaum muslim.

Bukti Sekularisme Destruktif

Kebijakan terkait larangan hijab semakin santer terjadi. Beberapa waktu lalu, kejadian serupa juga terjadi ketika hari peringatan kemerdekaan RI ke-79, terkait paskibraka muslimah yang dilarang mengenakan hijab saat upacara pengukuhan.

Kejadian seperti ini terlalu sering berulang. Namun sayang, negara dan perangkat kebijakannya tidak mampu bertindak tegas menindak pihak-pihak yang jelas melakukan tindakan diskriminatif. Padahal sistem yang saat ini diterapkan, selalu menggaungkan kebebasan menjalankan agama masing-masing tanpa gangguan dan ancaman. Namun, prinsip ini ternyata dipatahkan simultan oleh pihak-pihak yang jelas tidak simpatik pada ajaran Islam. Selain itu, sistem yang kini diadopsi juga membegal nilai toleransi yang selalu diselipkan di setiap kesempatan. Artinya sistem saat ini hanya menyisakan hipokrit yang memiliki konsep yang selalu tidak konsisten dengan nilai-nilai baku yang mestinya diterapkan.

Paradigma ini pun semakin dikuatkan dengan konsep hukum  yang lemah dalam mengatur penjaminan pelaksanaan kewajiban setiap umat beragama. Inilah fakta diterapkannya sistem sekularisme liberalistik. Konsepnya tidak jelas dengan standar bias yang sama sekali tidak mampu dijadikan pijakan. Sekularisme benar-benar tidak layak bagi panduan. Konsepnya yang menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan membuatnya koyak dan dampaknya berbahaya bagi pemikiran dan pemahaman umat. Norma agama diabaikan dengan alasan kebebasan dan diklaim sebagai konsep anti radikalisme. Padahal justru yang terjadi sebaliknya. Jelaslah, konsep yang disajikan sekularisme ini tidak manusiawi dan melanggar fitrah pengaturan manusia.

Sistem batil ini konsepnya rusak dan merusak, sama sekali tidak layak mengatur dan menopang kehidupan. Wajar saja, aturan demikian hanya menyisakan kezaliman dan keburukan di tengah masyarakat.

Penjagaan Syariat

Sistem Islam menetapkan bahwa akidah Islam merupakan satu-satunya aturan yang mampu menjamin terselenggaranya kehidupan dengan sempurna. Hanya dengan sistem Islam pula, setiap syariat dan simbol Islam dapat terjaga secara utuh.

Menyoal tentang hijab bagi muslimah, aturan ini merupakan aturan yang wajib dilaksanakan sesegera mungkin. Semua wajib ditaati sepenuhnya tanpa memilih-milih. Karena syariat Islam bukanlah syariat prasmanan, yang suka diambil, yang tidak suka ditinggalkan. Segala bentuk syariat wajib ditaati dan diterapkan dalam setiap segi kehidupan sebagai bentuk ketundukan kepada Dzat Maha Pencipta.

Negara sebagai lembaga yang memiliki wewenang dan kekuatan hukum wajib menjaga agar kewajiban tersebut mampu dilakukan seluruh muslimah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“.. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. .. “

(QS. An-Nur: 31)

Aturan ini akan optimal diterapkan dalam institusi khilafah. Satu-satunya institusi dalam sistem Islam yang mampu menjamin penerapan seluruh syariat dengan menyeluruh. Sistem shahih ini pun akan menetapkan kebijakan-kebijakan yang senantiasa menjaga pelaksanaan kewajiban setiap warga negaranya. Salah satunya pelaksanaan kewajiban menutup aurat bagi seluruh muslimah.

Pemimpin-pemimpin yang lahir dalam sistem Islam pun mengutamakan kehormatan dan kemuliaan warga negaranya. Setiap kebijakan yang ditetapkan senantiasa difokuskan untuk penjagaan kemuliaan dan keamanan setiap individu rakyatnya.

Hanya sistem Islam-lah satu-satunya sistem yang melahirkan ketenangan. Kehidupan penuh berkah, ketundukan dan ketaatan pun meniscayakan rahmat yang menjamin keselamatan dunia akhirat.

Wallahu alam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty, Forum Literasi Muslimah Bogor

Selasa, 27 Agustus 2024

Larangan Pakai Kerudung, Islamophobia Akut



Tinta Media - Protes keras terkait pelarangan jilbab pada petugas paskibraka perempuan yang menganut agama Islam dalam perayaan hari kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia tahun ini dilayangkan oleh Cholil Nafis selaku ketua Majelis Ulama Indonesia dalam bidang dakwah. Pelarangan hijab tersebut menurut beliau merupakan kebijakan yang tidak pancasilais. (CNN Indonesia)

Cholil mendesak pencabutan aturan yang melarang petugas paskibraka perempuan untuk memakai jilbab. Menurutnya, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjamin setiap orang untuk melaksanakan ajaran agama masing-masing. Namun, anggota Dewan Pengarah BPIP Amin Abdullah dan Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Benny Susetyo  belum merespon terkait berita yang ramai diperbincangkan warganet tersebut. 

Sebagai seorang hamba, sudah seharusnya muslimah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini karena jilbab adalah sebuah kewajiban dari Allah dan kehormatan bagi muslimah. 

Seorang muslimah yang taat syariat harus menjadikan halal haram sebagai tolok ukur perbuatannya. Jangan sampai tergoyahkan hanya karena aturan atau kebijakan dari manusia. Sungguh disayangkan jika para peserta paskibra muslimah sampai menanggalkan kerudung karena masih ada rasa takut atau tertekan dengan aturan tersebut.

Jika ditelaah lebih mendalam, sesungguhnya kebijakan dari BPIP ini merupakan gerakan islamphobia yang harus diwaspadai oleh kaum muslimin, tak terkecuali oleh para orang tua muslimah paskibraka tersebut. Sudah tentu ini sangat menyakitkan dan harus ada perlawanan, jangan hanya diam. 

Sungguh, kejadian ini membuat para orang tua terkejut dan kaget ketika melihat putri mereka tidak memakai jilbab, padahal tahun-tahun sebelumnya masih diperbolehkan untuk memakai kerudung.

Walaupun pihak BPIP berdalih tidak ada pemaksaan terhadap muslimah karena sudah menandatangani kesepakatan, tetapi perlu diketahui bahwa aturan tersebut sudah melenceng dan bertentangan dengan Islam. 

Pemerintah menganggap bahwa semua aturan yang diberlakukan sudah berlandaskan konstitusi UUD 45, tetapi pada faktanya justru mereka melanggar peraturan. Hal ini karena secara konstitusi, warga negara bebas melakukan keyakinan agamanya, termasuk bagi muslimah yang harus menggunakan jilbab dan kerudung.

Oleh karena itu, tampak jelas kebencian yang diperlihatkan oleh pihak BPIP, yaitu kebencian terhadap agama, dalam hal ini adalah agama Islam karena memang arahnya ke situ. 

Walaupun yang membuat aturan kebanyakan adalah orang Islam, tetapi ketika negara menerapkan sistem yang bukan dari Islam, maka semua kebijakan yang diambil sudah tentu tidak berdasarkan Islam. 

Tidak dimungkiri, saat ini negara mengadopsi sistem batil buatan manusia yang bertentangan dengan ajaran Islam, walaupun mayoritas penduduknya beragama Islam. Sehingga, wajar jika muncul peraturan atau kebijakan yang menyudutkan agama, bahkan mereka menganggap Agama adalah musuh Pancasila. 

Fakta di atas membuktikan bahwa negara ini memang sekuler. Negara memisahkan agama dari kehidupan, sehingga kewajiban memakai kerudung bagi muslimah dianggap mengganggu pada acara kenegaraan. 

Di sinilah pentingnya mempunyai akidah yang kuat bagi muslimah, serta kritis dalam menghadapi masalah kehidupan. Para petugas paskibraka muslimah harus bisa memilih satu di antara persimpangan dua jalan, yaitu mundur dengan kemuliaan memegang syariat atau tetap maju, tetapi membangkang terhadap Allah Swt. 

Di sinilah perlu adanya negara yang mampu menjaga akidah umat dari berbagai penyimpangan, yaitu khilafah, yang menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. 

Jika negara menjadikan Islam sebagai landasan, maka semua kebijakan yang diberlakukan akan disandarkan pada halal haram. Negara hanya menjalankan syariat Islam dalam mengatur dan menjaga warga negaranya, yaitu dengan menerapkan sistem pendidikan Islam yang akan melahirkan generasi muda yang beriman dan berkepribadian Islam. 

Para siswa pun akan mempunyai akidah yang kokoh dan tidak mudah terbawa arus, menjadikan Islam sebagai kepemimpinan berpikir. Jadi, ketika berada di persimpangan jalan, mereka bisa memilih sesuai dengan syariat Islam. Itulah bentuk penjagaan  yang harus dilakukan oleh individu. Penjagaan secara sistematis adalah dengan adanya negara independen yang menerapkan syariah Islam, yaitu khilafah, agar kaum muslimin bisa melaksanakan kewajiban dan keyakinannya dengan bahagia, aman, dan sejahtera. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Minggu, 21 Juli 2024

Pelarangan Hijab Rezim Tajikiskan Tidak Hanya Islamofobia, Melainkan Represif

Tinta Media -- Pelarangan hijab oleh rezim presiden seumur hidup Tajikistan Emomali Rahmanov dinilai tidak hanya bentuk Islamofobia melainkan penerapan kebijakan represif.

"Berbagai kebijakan yang anti Islam di Tajikistan tidak hanya Islamofobia. Kalau Islamofobia mungkin masih berupa kebijakan yang sifatnya opini, tapi ini adalah penerapan kebijakan yang represif," ujar Pengamat Hubungan Internasional Rif'an Wahyudi di Kabar Petang: Rezim Radikal Sekuler Tajikistan Anti Hijab dan Islam, Senin (9/7/24) di kanal Youtube Khilafah News. 

Bahkan lanjutnya, pelarangan kepada hal-hal yang berkaitan dengan Islam di Tajikistan termasuk hijab, shalat idul fitri, dan penutupan madrasah-madrasah di Tajikistan sudah sejak 2017, adapun hari ini hanya untuk mempertegas terutama di instansi-instansi negeri dan sekolah-sekolah negeri.

"Ini mirip dengan Turki sekuler zamanya Mustafa Kemal Attaturk. Dia sendiri enggak suka disebut sebagai Mustafa Kemal (dalam bahasa Arab konotasinya baik), tetapi dia lebih suka dipanggil sebagai John Ataturk," bebernya.

Ia menyayangkan terkait kebijakan rezim Tajikistan yang sangat represif pada ajaran Islam, padahal di negeri-negeri muslim sekuler maupun negeri-negeri kafir terkait hijab relatif longgar.

"Termasuk Indonesia juga dulu pernah mengalami pelarangan. Bahkan beberapa tahun lalu (1990-an) sampai di sidang di pengadilan. Sekarang kan di Indonesia cukup menggembirakan, tidak hanya di instansi pemerintah bahkan di aparatur keamanan," ungkapnya.

Kebijakan represif lain dari rezim Tajikistan,ungkapnya, adalah penutupan madrasah atas nama undang-undang adat.

"Praktik keagamaan yang sudah berurat berakar berabad-abad sebelumnya juga sebelum dicaplok oleh Uni Soviet itu juga dilarang dengan menggunakan undang-undang adat ," bebernya.

Menurut Rif'an, rezim Tajikistan saat ini adalah kepanjangan dari Uni Soviet yang atheis dan komunis.

"Meski demikian Rusia sendiri tidak mengarahkan termasuk tidak mendiktikan, sehingga ini murni kebijakan lokal dari Tajikistan," imbuhnya.

Ia menilai, kebijakan ini lebih dekat dengan ajaran sosialis komunis yang kadulawarsa, sebab sosialis komunis sudah tidak tren lagi.

“Yang ada tinggal Korea Utara, Vietnam sekarang juga sudah beralih, Rusia juga begitu, Cina dari sisi ekonomi sebagiannya juga sudah kapitalis liberal," pungkasnya.[] Setiyawan Dwi

Sabtu, 13 April 2024

Hijab Itu Syariat ataukah Ajang Pencarian Jati Diri?

Tinta Media - Melansir dari CNBC.Indonesia baru-baru ini Zara putri dari mantan Gubernur Jawa Barat menjadi sorotan warganet usai postingannya viral dan tuai kontroversial. Melalui akun instagramnya, Zara memberitahu keputusannya melepas kerudung. (5/4/24)

"Berhenti sejenak untuk mencari jati diri", begitulah Zara menggambarkan hati yang porak poranda. Dia beranggapan apabila mengenakan kerudung itu harus bersumber dari keinginan sendiri tanpa paksaan dari pihak lain dan lingkungan. Mengingat ia melanjutkan pendidikannya di Inggris jauh dari keluarga.

"Karena bagi aku secara personal, seorang muslim yang baik adalah mereka yang melakukan syariat ajaran agama dari hati. Bukan soal penampilan tapi soal hati yang bersih," statement yang perlu diluruskan dan dipahamkan ke tengah-tengah masyarakat. Karena pemahaman seperti ini sangat menyesatkan dan rancu.

Apa yang dialami oleh Zara sangat krusial, bagaimana tidak? Ada beberapa faktor kasus ini terjadi:

Pertama, keilmuan dan ketidaktahuan seseorang. Ketika dalam suatu persoalan atau bahkan hal syariat yang membedakan individu satu dengan yang lain adalah ilmu. Ringkasnya,  ketika perintah itu hukumnya wajib tetapi susah dikerjakan akan tetapi ketika seseorang memiliki ilmu akan suatu perkara tersebut pasti akan melakukan double effort untuk mengerjakannya.

Ironisnya, fenomena hari ini banyak yang mengerjakan aturan, perintah, atau persoalan apa pun tanpa ilmu. Mirisnya, nyaman dengan ketidaktahuan tersebut tanpa usaha mencari dan belajar hingga akhirnya hanya terbawa arus mode yang ada.

Kedua, paradigma yang keliru lahir dari pemahaman yang rancu dan salah sehingga melahirkan pemikiran liberal. Contoh, seseorang beranggapan bahwa barometer ketaatan dengan sang pencipta itu hati yang bersih. Sejatinya hakikat mengerjakan perintah dan larangan Allah memang terkadang membutuhkan paksaan di tengah-tengah virus sekuler yang ada.

Ketiga, virus sekularisme merambah ke segala lini kehidupan. Perlu di ketahui bahwa virus ini merupakan sekat antara aturan kehidupan dan ibadah ritual. Artinya standar seorang hamba beribadah kepada pencipta sebatas ibadah ritualnya saja. Di posisikan agama hanya mengatur perkara sholat, puasa, zakat, sedekah, dll yang sifatnya hanya mengatur hubungan manusia dengan sang pencipta.

Mirisnya, mereka beranggapan bahwa aturan kehidupan adalah ranah manusia yang mengatur. Maksudnya,  manusia bebas membuat aturan (undang-undang) sehingga nanti muncul berbeda-beda acuan atau standar. Identiknya bahwa manusia itu memiliki akal yang terbatas, sehingga dalam membuat aturan atau kebijakan akan terjadi perbaikan dan dikaji ulang. Bahkan aturan nya pun selalu berbenturan dengan norma yang ada dan sifatnya tidak memuaskan akal serta tidak sesuai fitrah manusia.

Misalnya, adanya aturan terkait HAM ( hak asasi manusia) melahirkan pemikiran liberal, pola sikap dan pola tingkahnya sekuler bahkan kapitalis (barometer melakukan sesuatu adalah materi) Contoh lain norma kesopanan (semua agama) yang berlaku di negeri ini yaitu memakai pakaian yang sopan dibenturkan dengan HAM sehingga seseorang bebas mau memakai pakaian mode apa pun karena perbuatannya bagian dari HAM, apabila terjadi kriminal yang disalahkan mata laki-lakinya bukan perempuannya yang melanggar norma yang berlaku.

Keempat, pendidikan dengan kurikulum sekuler-kapitalisme. Realitas hari ini tidak ada institusi pendidikan yang di dalamnya diterapkan paradigma menyesatkan ini kecuali sekolahan swasta dengan corak Islam kaffah, itu pun aksesnya beragam tidak semua gratis mayoritas Biayanya mahal. Ketika kurikulum pendidikan itu bernuansa sekuler-kapitalis pasti siswa akan persiapkan sebagai mesin pencetak uang bukan melahirkan generasi bertakwa pembangun peradaban. Misalnya generasi hari ini krisisi moralitas dan cenderung memiliki paradigma liberal, feminisme, hedonisme, sekularisme, kapitalisme, pluralisme, dsb.

Keadaan tersebut sangat bertolak belakang apabila aturan Islam diterapkan ditengah-tengah masyarakat. Artinya adanya  negara Islam dengan corak aturan Islam dan pastinya terikat dengan sistem politik Islam (khilafah). Masyarakatnya mencerminkan aqidah Islam.

Di dalam negara Islam, khalifah bertugas sebagai roin atau mengatur segala aspek kehidupan. Negara akan mengondisikan lingkungan islami dalam artian lahirlah individu dengan sakhsiyah islamiyah atau kepribadian Islam.

Memandang bahwa syariat itu adalah kebutuhan dan keharusan untuk dikerjakan sehingga tidak tebang pilih mau mudah atau susah, mau itu sesuai tren sekarang atau kuno apabila maksiat ya ditinggalkan dan ketika perintah Allah pasti dikerjakan.

Misalnya aturan menutup aurat secara syariat pasti akan dikerjakan. Karena aturan memakai hijab dan jilbab merupakan sebuah kewajiban seorang muslimah, bukan tawaran mau atau tidak. Contohnya ketika negara mewajibkan rakyatnya berkendara sepeda motor memakai helm dan secara keseluruhan sesuai standar berkendara, sudah pasti ketika melanggar akan terkena sanksi. Apalagi ketika seseorang tidak menaati peraturan dari sang maha pencipta (Allah) sudah pasti akan mendapat murka Allah.

Sehingga syariat tidak di posisikan sebagai ajang pencarian jati diri seseorang tetapi sebagai aturan kehidupan. Ketika seseorang sedang berada di tahap mencari itu selaras dengan syariat menjadi guru, artinya bukannya  hati yang bersih menjadi tolak ukur takwanya seseorang tetapi usaha seseorang itu untuk menerapkan Islam secara kaffah atau keseluruhan di dalam kancah kehidupan.

Faktanya kemaksiatan hari ini menjadi sebuah fenomena yang di gandrungi kaum remaja dan dinikmati. Mirisnya ketika remaja terperosok dalam lembah kenistaan pastilah sebuah peradaban akan mundur dari eksistensinya. Semakin maksiat merajalela keberkahan akan semakin menjauh.

Problema hari ini menggambarkan rusaknya sebuah mabda atau sistem yang mengikat seluruh negeri ini, karena memang belum ada yang menerapkan aturan Islam secara keseluruhan. Barometer negara Islam adalah masyarakatnya sudah berkepribadian Islam dan sadar ingin melanjutkan kehidupan Islam serta memperjuangkannya pastilah negara Islam siap ditegakkan kembali. Sekarang tugas kita adalah menyadarkan umat bahwa khilafah adalah kebutuhan mendesak dan urgen untuk diterapkan. Analoginya semakin banyak yang sadar semakin banyak yang berjuang. Wallahu'alam Bisowab.

Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak. (Sahabat Tinta Media)


Selasa, 09 Agustus 2022

Muslimah Tertekan dan Depresi Saat Diperintahkan Berhijab, Buah dari Pemikiran Sekuler


Tinta Media - Seorang siswi SMAN 1 Banguntapan merasa tertekan dan depresi karena diperintahkan berhijab. Anehnya, orang tuanya bukannya berusaha meluruskan pemahaman yang salah tersebut, malah menyalahkan guru dan pihak sekolah.

Dan yang lebih aneh, ada yang ikut nyinyir dan tidak setuju dengan peraturan untuk mewajibkan berhijab di sekolah bagi siswi muslim.

Padahal, bagi seorang muslimah, hijab adalah kewajiban, seperti halnya salat. Jika kewajiban ini ditinggalkan, maka akan berdosa. Guru atau orang tua berkewajiban mengingatkan dan mengajak anak didiknya untuk berhijab. 

Guru atau orang tua yang baik tidak akan membiarkan seorang anak memilih untuk sesuatu yang salah. Pada diri anak, harus ditanamkan keyakinan agar mereka tidak tertekan atau depresi saat diajak pada kebaikan. 

Karena itu, tidak bisa dibenarkan jika guru atau orang tua mendukung keputusan anak yang salah karena mereka masih dalam proses mencari jati diri, butuh dibimbing dan diarahkan ke jalan yang benar. 

Anehnya, saat ini gaya hidup bebas dan menyimpang seringkali malah mendapat dukungan. Berpakain terbuka dan sexy dianggap bentuk aktualisasi diri. Sementara, perbuatan yang menyimpang danggap bentuk kreativitas.
Krisis kepercayaan membuat para remaja terjebak dalam perilaku yang aneh dan nyleneh.

Jika ditelusuri, semua masalah tersebut merupakan buah dari sekularisme. Penerapan sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini membuat seseorang merasa enggan untuk diatur dengan ajaran agama yang lurus dan mulia. Dia memilih hidup bebas tanpa aturan dengan melakukan hal-hal aneh dan nyleneh yang jauh dari nilai-nilai agama. 
Hal ini karena sistem sekuler sangat menjunjung tinggi kebebasan. 

Jika seorang muslimah tertekan dan dipresi saat diperintahkan berhijab, berarti pemahamannya telah teracuni oleh sistem sekuler ini. Tak aneh jika ada orang tua yang ikut-ikutan keberatan saat anaknya diajak pada kebaikan. Itu karena pemahaman orang tua juga telah teracuni sekularisme. 

Sebagai muslim sejati, harusnya kita merasa senang dan tidak keberatan saat diperintahkan untuk mengikuti syariat Islam. 
Guru dan orang tua memiliki kewajiban untuk mendidik anaknya agar memiliki karakter dan kepribadian yang benar, sesuai dengan Islam. 

Anak harus disadarkan dan diluruskan pemahamannya, bukan dibiarkan dan didukung saat memutuskan sesuatu yang salah. Harusnya, orang tua mendukung guru yang mengajak anaknya untuk berhijab, bukan malah mengikuti kemauan anak, sebagai bentuk kebebasan.

Berhijab adalah kewajiban untuk melindungi kehormatan muslimah. Semua itu diperintahkan untuk kebaikannya. Karena itu, seharusnya tidak ada yang merasa keberatan.

Bahkan, negara harusnya mendukung dan mengapresiasi peraturan sekolah yang mewajibkan berhijab bagi muslimah. Dalam pendidikan, kebaikan awalnya memang harus dipaksakan agar peserta didik terbiasa dan menjadikannya sebagai gaya hidup serta identitas sebagai muslim sejati. 

Sama halnya ketika dijumpai peserta didik yang malas belajar, maka tidak boleh dibiarkan, tetapi disadarkan agar  mereka menjadi rajin. Ini bukan termasuk pemaksaan atau pelanggaran hukum. Begitu juga saat dijumpai siswa yang beragama Islam, tetapi tidak salat. Memaksa mereka salat harusnya tidak dianggap melanggar hukum. 

Saat anak memilih perilaku menyimpang dan melangkahkan kakinya pada kesesatan, guru maupun orang tua tidak boleh diam. Mereka yang salah harus kita cegah dan ingatkan, sebagai bukti cinta kita, bukan malah dibiarkan terjerumus pada kemaksiatan, melanggar aturan agama. 

Hidup harusnya mengikuti aturan yang benar agar mulia di dunia dan selamat di akhirat, bukan mengikuti kebebasan tanpa aturan yang akan membawa pada kehinaan.

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media

Rabu, 27 Juli 2022

Aturan Yang Membebaskan Wanita Untuk Membuka Hijab Adalah Aturan Keji

Tinta Media - Menanggapi aturan yang dikeluarkan pemerintah Saudi Arabia yang membebaskan wanita untuk membuka hijabnya, Muslimah Media Center menilai hal tersebut sebagai aturan yang keji.

"Aturan yang membebaskan wanita untuk membuka hijabnya adalah aturan keji yang ingin mengembalikan wanita ke masa jahiliah dulu, tanpa penghormatan dan tanpa kemuliaan," ungkap narator dalam MMC Millenial: Hijab Tidak Diwajibkan Lagi : Kemajuan atau Kemunduran? Ahad (24/7/2022) Melalui kanal Youtube Muslimah Media Center.

"Aturan tentang jilbab tersebut adalah salah satu dari sekian banyak aturan yang menunjukkan bahwa Islam sangat memuliakan wanita. Hal itu tertuang pada Al-Qur'an Surat Al-Ahzab ayat 59 yang artinya : Katakanlah kepada istri-istrimu, anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu dan Allah Maha Pengampun Maha Penyayang," lanjut narator.

Narator menanyakan, apa yang ada di benak kalian apabila disebutkan kata Saudi Arabia? Pasti akan terbayang sebuah negeri yang kaya sebagai penghasil minyak bumi terbesar dunia dengan dua kota suci kaum muslimin di dalamnya yaitu Kota Mekkah dan Madinah. "Mekkah sebagai tempat lahir Nabi Muhammad SAW dan adanya Baitullah sedang Madinah adalah kota bersejarah saat peristiwa hijrah dan menjadi negara Islam pertama umat Islam," bebernya.

Tidak heran, kata narator, budaya agamis seperti menutup aurat dan memakai hijab bagi kaum wanita yang telah baligh sangat kental di negeri ini. "Apalagi pemerintahnya mewajibkan pemakaian hijab, tentu rakyatnya akan takut untuk melanggarnya," lanjutnya.

"Namun sayang, kewajiban memakai hijab tersebut sudah dicabut oleh pemerintah Saudi diakhir Juni 2022 lalu. Hal ini adalah bagian dari rencana reformasi visi 2030 Pangeran Muhammad bin Salman, Kepala Negara Saudi Arabia," ungkapnya.

Menurut Salman, kata narator, sudah saatnya negara ini tidak terlalu bergantung lagi pada minyak bumi sehingga butuh peningkatan jumlah pekerja termasuk pekerja perempuan untuk sektor - sektor selain minyak bumi. "Inilah bukti sekularisme yang sangat kuat mencengkram negeri - negeri muslim saat ini," ujarnya.

"Sekularisme berpandangan bahwa hukum agama wajib dipisahkan dari kehidupan. Termasuk wajibnya ia dipisahkan dari hukum-hukum negara. Jadi, tidak heran kalau akhirnya Saudi pun melonggarkan aturan pemakaian hijab di area publik," pungkasnya.[] Yupi UN
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab