Tinta Media: Harta Haram
Tampilkan postingan dengan label Harta Haram. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Harta Haram. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 Februari 2023

KH Shiddiq Al-Jawi: Tidak Ada Zakat bagi Harta Haram

Tinta Media - Founder Institut Mu’amalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI menegaskan bahwa tidak ada zakat untuk harta haram.

“Harta haram itu tidak ada zakatnya, dan kalaupun dikeluarkan zakatnya, hukumnya tidak sah menurut syara’,” jelasnya kepada Tinta Media, Sabtu (25/2/2023).

“Hal itu karena harta haram hakikatnya bukanlah hak milik bagi orang yang memegangnya, padahal salah satu syarat zakat adalah adanya hak milik (milkiyyah) pada harta yang akan dizakati,” lanjutnya.

Selain itu, kata Kiai, harta haram bukanlah harta yang baik. Padahal Allah itu Maha Baik dan tidak mau menerima kecuali dari yang baik. Dijelaskannya dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan hukum menzakati harta haram sebagai berikut:

“Harta haram itu, seperti harta yang diambil dengan cara merampas, atau dengan cara mencuri, atau harta hasil suap, atau harta riba (seperti bunga bank, bunga deposito, denda, penalti, dsb), dan yang semisalnya, bukanlah harta yang dimiliki oleh orang yang memegang harta itu dengan tangannya. Maka, tidak wajib atas dia menzakati harta haram itu, karena zakat itu adalah tamlīk, yakni memberikan hak milik harta kepada orang lain, sedangkan orang yang bukan pemilik tidak mungkin melakukan tamlīk itu. 

Selain itu, [menzakati harta haram tidak sah] karena zakat itu mensucikan orang yang berzakat dan juga menyucikan harta yang dizakati, sesuai firman Allah SWT, ‘Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.’ (QS At-Taubah: 103).

Juga sesuai sabda Nabi SAW, artinya: ‘Allah itu tidak mau menerima shadaqah dari harta khianat (ghulūl).’ (HR Abu Dawud).
Padahal harta haram itu semuanya kotor dan tidak dapat menyucikan.”
(Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23/248).

Dalil tidak sahnya menzakati harta haram, adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin dengan  sesuatu yang Allah perintahkan pula kepada para rasul. 

Kemudian Allah SWT berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS Al-Mukminun: 51). Dan Allah SWT berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadakalian.’ (QS. Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasululah SAW menyebutkan ada seseorang yang melakukan perjalanan jauh dalam keadaan rambutnya kusut dan berdebu, dia menengadahkan keduatangannya ke langit seraya berdoa, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ pada hal makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram dan kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim, no. 1015)

Berdasarkan dalil di atas, menurut Kiai Shiddiq, jelaslah bahwa harta haram itu tidak ada zakatnya, dan kalaupun dikeluarkan zakatnya hukumnya tidak sah menurut syara’.

“Hal itu dikarenakan harta haram itu tidak baik (thayyib),” tegasnya.

Menurutnya, tidak ada khilāfiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama mengenai tidak adanya zakat untuk harta haram, sebagaimana pendapat ulama dalam mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) sebagai berikut:

Pertama, pendapat mazhab Hanafi:
Ulama Hanafiyah berkata, ”Kalau harta yang haram itu telah mencapai nishab, tidak ada kewajiban zakat bagi orang yang menguasai harta itu, karena dia wajib mengeluarkan [mengembalikan] harta haram itu seluruhnya.
Jadi tidak ada kewajiban untuk menzakatkan sebagiannya.” (Hāsyiyah Ibnu ‘Ābidīn, Juz II, hlm. 25).

Kedua, pendapat mazhab Maliki:
Ulama Malikiyah dalam kitab Al-Syarhal-Shaghir karya Syekhal-Dardir, berkata, ”Wajib hukumnya zakat bagi pemilik harta yang mencapai nishab, dan sebaliknya tidak wajib zakat atas orang yang bukan pemilik harta, seperti orang yang merampas harta orang lain, atau orang yang dititipi harta orang lain.”
(Ad-Dardir, Al-Syarhal-Shaghīr, Juz I, hlm.206).

Ketiga, pendapat mazhab Syafi’i:
Ulama Syafi’iyyah sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi dari Imam Al-Ghazali dan disetujui oleh Imam Nawawi berkata, ”Jika tidak ada harta ditangan seseorang kecuali hanya harta yang haram semata-mata, maka dia tidak wajib naik haji juga tidak wajib berzakat, juga tidak ada kewajiban kaffarah untuk hartanya itu.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’, Juz IX, hlm.353).

Keempat, pendapat mazhab Hambali:
Ulama Hanabilah berkata, ”Tasharruf terhadap harta haram yang dilakukan oleh perampas harta, hukumnya haram dan tidak sah, seperti halnya berwudhu dengan air rampasan, sholat dengan baju rampasan atau di atas tanah rampasan, seperti menzakati harta rampasan, atau berhaji dengan harta rampasan itu, atau melakukan akad-akad dengan harta rampasan itu seperti jual beli atau sewa menyewa."
(Kasysyāful Qinā’, Juz IV, hlm.115).

Kiai menegaskan bahwa yang wajib dilakukan oleh pemegang harta haram bukanlah menzakati harta haramnya itu, melainkan membersihkan dirinya dari harta haram itu (al-takhallushminal-mālal-harām), dengan cara:

Pertama, menurut Kiai adalah mengembalikan harta haram kepada pemiliknya, jika pemiliknya diketahui. “Misal mengembalikan harta curian atau harta  rampasan kepada pemiliknya,” tuturnya mencontohkan.

Kedua, atau menginfakkannya diberbagai jalan kebaikan, misal untuk pembangunan jalan, atau membantu orang miskin. “Jika pemiliknya tidak diketahui,” tandasnya. ‘[] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab