Tinta Media: Hari Raya
Tampilkan postingan dengan label Hari Raya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hari Raya. Tampilkan semua postingan

Senin, 19 Juni 2023

Ustadz Shiddiq: Iuran Siswa Beli Kambing Itu Bukan Ibadah Kurban

Tinta Media - Pakar Fiqih Kontemporer KH Shiddiq al-Jawy menegaskan, praktik iuran hewan kurban (kambing) para siswa sekolah menjelang hari raya Idul Adha itu bukan termasuk ibadah kurban.

"Bagi teman-teman guru di berbagai daerah di indonesia, khususnya guru agama, mohon ini untuk dicermati supaya apa yang kita niatkan ibadah betul-betul menjadi ibadah. Jadi kalau nanti praktiknya iuran, setelah uang terkumpul lalu dibelikan kambing, itu jatuhnya bukan ibadah kurban berarti. Tapi makan-makan kambing pada hari raya Idul Adha," urainya dalam diskusi kajian fiqh dengan tema "Hukum Kurban secara Iuran" pada kanal Youtube Khilafah Channel Reborn, Sabtu (17/6/2023).

Menurutnya, pahala ibadahnya atau nilai ibadahnya dari iuran ini tidak mendapat. "Karena apa? Karena memang tidak boleh ada iuran tapi bukan sapi, bukan unta, iurannya tapi iuran kambing, itu tidak ada dalilnya," lanjutnya.

Kendati demikian, Ustadz Shiddiq (panggilan akrabnya) mengapresiasi praktik iuran hewan kurban yang jamak terjadi di sekolah-sekolah sebagai bagian dari edukasi. "Saya sepakat dalam hal tujuan pendidikan memang bagus ya," ujarnya. 

Tapi sebagai bagian dari praktik syariat Islam, maka perlu lebih diperhatikan dan dicermati. "Apakah memang boleh model kurban seperti itu yaitu yang dikurbankan adalah kambing atau domba tapi ini dibeli dari uang iuran dari sejumlah siswa yang ada di satu sekolah," tanyanya.

Setelah menelusuri berbagai dalil, praktik iuran hewan kurban seperti di atas tidak diperbolehkan. "Tidak ada dalil yang membolehkan iuran untuk berkurban satu ekor kambing yang itu dibagi menjadi sekian siswa. Itu tidak ada dalilnya," lanjutnya.

Pendiri Institut Muamalah Indonesia ini menjelaskan adanya kaidah usuliyah dalam ilmu usul fiqh bahwa hukum asal dalam persoalan-persoalan ibadah, termasuk dalam hal ini yaitu ibadah penyembelihan hewan kurban, terhitung batal atau tidak sah hingga ada satu dalil yang membolehkan kehalalannya. "Jadi hukum asalnya tidak boleh atau batal hingga ada dalil yang menghalalkannya. Nah itu kaidah seperti itu," jelasnya.

"Kaidah ini dalam pengertian yang sama itu diungkapkan dengan redaksi yang lain oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab al-Fikru al-Islam dengan kalimat "ahkamul ibadati taukifiyyatun min 'indillahi", hukum-hukum ibadah itu sifatnya taukifi, kita terima apa adanya dari Allah SWT. Jadi kalau memang Allah SWT di dalam Al Quran maupun di dalam hadits tidak ada dalil yang membolehkan iuran untuk kurban kambing ya berarti itu memang tidak ada pensyariatannya, tidak boleh ada iuran membeli satu kambing," terangnya.

Anggota Komisi Fatwa MUI DIY ini memaparkan bahwa yang ada dalilnya adalah kurban secara iuran untuk menyembelih satu ekor sapi atau satu ekor unta untuk maksimal 7 orang. Boleh kurang dari 7 orang. "Jadi dulu para sahabat berkurban satu ekor sapi dipikul biayanya oleh 7 orang. Itu ada haditsnya. Nah sehingga oleh karena itu kalau iuran kurban yang dimaksud itu untuk kurban sapi atau unta maka ini memang sah dan dibolehkan di dalam syariat Islam karena ada dalilnya," paparnya.

"Tetapi kalau yang dikurbankan itu bukan unta, bukan sapi, melainkan kambing atau domba, tidak ada dalilnya yang menerangkan bahwa kambing itu bisa dipikul pembeliannya oleh 7 orang atau sekian orang. Itu tidak ada," lengkapnya.

Solusi

Ustadz Shiddiq menyampaikan solusi atas praktik iuran hewan kurban yang bukan sapi atau unta tersebut di atas dengan cara masing-masing orang yang melakukan iuran uang dimaksudkan untuk menghibahkan hewan kurban iurannya kepada orang yang hendak menyembelih kurban. "Jadi bukan bermaksud iuran dalam kurban," terangnya. 

Solusi demikian juga menjadi bagian dari fatwa Darul Ifta, lembaga fatwa di Yordania.
"Jadi solusinya kalau memang ada satu sekolah iuran, nah setelah uangnya terkumpul itu kemudian uang itu dihibahkan kepada satu orang, mungkin satu orang guru, sehingga nanti ketika dilaksanakan penyembelihan hewan kurban satu kambing atas nama guru itu, misalnya guru agama sebuah SMP atau SMA," jelasnya.

"Jadi kurbannya itu atas nama satu orang tetapi uangnya itu iuran hasil dari murid-murid. Jadi nanti panitia meminta izin atau keridhoan dari yang iuran, mohon keridhoannya uang iuran ini nanti akan dihibahkan kepada satu orang agar kurbannya ini sah," paparnya secara lebih detil.

Ustadz Shiddiq menegaskan solusi di atas agar bernilai ibadah kurban yang sesuai syariat. "Jadi insya Allah (para murid) tetap mendapat pahala juga walaupun bukan pahala menyembelih kurban tetapi tetap murid-murid itu yang iuran mendapat pahala membantu orang yang shohibul kurban atau al mudhahi," pungkasnya. [] Hanafi

Senin, 01 Mei 2023

MMC: Idul Fitri adalah Hari yang Istimewa

Tinta Media- Narator Muslimah Media Center (MMC) mengatakan bahwa Idul Fitri, hari Istimewa jika dirayakan bersama seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia.

"Idul Fitri sesungguhnya merupakan hari yang istimewa, terlebih jika dirayakan bersama oleh seluruh kaum muslimin di seluruh dunia secara serentak," tuturnya dalam History Insight: Perayaan IdulFitri di Masa Abbasiyah di kanal YouTube Muslimah Media Center, Ahad (23/4/2023).

"Sesungguhnya akan tampak umat Islam di seluruh dunia bersatu," imbuhnya.

Menurutnya, lebih istimewa lagi jika semua ini terjadi ketika hukum-hukum syariat diterapkan secara sempurna dalam naungan Khilafah. Maka akan semakin nyata terwujud persatuan Islam.

"Namun di tengah sukacita perayaan hari raya, duka masih tetap mengikuti umat muslim hari ini. Tentara Israel menyerang dan menangkap sejumlah warga Palestina yang sedang berada di Masjid Al Aqsa, Yerusalem. Muslim di Xinjiang hidup terlunta-lunta dan selalu disiksa," ujarnya.

Ia menyatakan bahwa rentetan penderitaan menghujam kaum muslimin. Pemikiran-pemikiran liberal pun melemahkan kondisi umat Islam. Isu pluralisme melalui teori moderasi Islam dimasukkan untuk mengotori pemahaman kaum muslimin. Islamofobia sengaja disebar agar timbul benih-benih ketakutan dan permusuhan. Ide kesetaraan gender atau feminisme nasionalisme dan demokrasi terus didengungkan agar kapitalisme tetap mencengkram seluruh umat Islam. 

Demikianlah, kondisi umat Islam saat ini dalam menyambut hari raya Idul Fitri. Sungguh menyiksa lahir dan batin, Sangat jauh berbeda ketika khilafah ada ditengah mereka. "Maka, tidakkah kita merindukan hadirnya kembali khilafah di muka bumi ini?" tandasnya.[] Ajira

Selasa, 23 Agustus 2022

Hari Jumat, Hari Raya Umat Islam

Tinta Media - Cendekiawan muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menyebutkan bahwa Umat Islam memiliki hari raya mingguan, yakni hari Jumat.

"Ini menarik ya, bukan hari ke enam tapi hari Jumat, dimana di situ ada ibadah. Dan ini yang disebut sebagai hari rayanya kita. Jadi kita punya hari raya mingguan. Kemudian punya hari raya tahunan," jelasnya di acara kajian secara online bertajuk 'Memahami Hijrah dan Hijriyah' di kanal YouTube UIY Official, Ahad (21/8/2022)

Di beberapa negara, lanjut Ustaz Ismail, misalkan di kawasan teluk, keadaan di malam Jumat ramai sekali. "Termasuk kalau kita kebetulan dapat waktu umrah malam Jumat biasanya lebih padat dari hari biasa," tegasnya.

 Para jamaah datang dari teluk, menurutnya, untuk mengadakan malam Jumatan di Mekkah. "Malam Jumatan nya itu. Kalau kita malam mingguan gitu ya. Malam Jumatan, yaitu umrah," ungkapnya.

Dulu, tuturnya, sewaktu kecil Ustaz Ismail masih merasakan suasana libur di hari Jumat. Jadi sekolah masih menetapkan hari Jumat sebagai hari libur mingguan. Tapi pergeseran kemudian terjadi, hari libur menjadi hari Minggu. "Bahkan tambah lagi, Sabtu juga libur," sebutnya.

Ia melanjutkan, kalau mengikuti tradisi Islam, hari libur mingguan adalah hari Jumat. "Kemudian Sabtu hari ketujuh. Mulai hari pertama itu, yaumul ahad. Bagus kalau kita membiasakan menyebut bukan minggu tapi Ahad,  yaumul Ahad, hari Ahad," pungkasnya.[] Wafi

Selasa, 03 Mei 2022

Ini Alasan Tidak Boleh Sholat atau Berkhutbah Idul Fitri di Tanggal 2 Syawal


Tinta Media  - Menjawab pertanyaan boleh atau tidak seseorang yang sudah sholat Idul Fitri tanggal 1 Syawal, lalu sholat lagi, atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, Founder Institut Muamalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan tidak boleh sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal karena batas akhir adalah awal waktu zhuhur.

“Tidak boleh hukumnya sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena batas akhir sholat dan khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal itu,” tutur Ustaz Shiddiq kepada Tinta Media, Senin (2/4/2022).

Kiai menyampaikan dalil bahwa batas akhir sholat Idul Fitri adalah waktu zawal pada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Baihaqi:

عن أبي عُميرِ بنِ أنسِ بنِ مالكٍ، قال: حدَّثني عُمومتي، من الأنصارِ من أصحابِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قالوا: أُغْمَي علينا هلالُ شوال، فأصبحنا صيامًا، فجاءَ ركبٌ من آخِر النهار، فشهِدوا عندَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنَّهم رأوُا الهلالَ بالأمس، فأمَرَهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أن يُفطِروا، وأنْ يَخرُجوا إلى عيدِهم من الغدِ

Artinya: Dari Abu 'Umair bin Anas bin Malik RA, dia berkara, “Telah meriwayatkan kepadaku paman-pamanku dari golongan Anshar dari para shahabat Rasulullah SAW, bahwa mereka berkata, 'Telah tertutup awan bagi kami hilal Syawal, maka pada pagi harinya kami tetap berpuasa. Datanglah kemudian satu rombongan pada sore hari, dan mereka pun bersaksi kepada Nabi SAW bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk berbuka, dan juga memerintahkan untuk sholat Idul Fitri pada keesokan harinya." (HR Ahmad, no. 20.603; Al Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra, 3/316; hadits ini dinilai shahih oleh Imam Syaukani dalam As-Sailul Jarrar, 1/291; dan oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 1348).

Ustaz Shiddiq menjelaskan hadits tersebut menunjukkan bahwa jika informasi rukyatul hilal datangnya pada waktu sore hari  (akhir an nahar), yakni berarti sudah melampaui waktu zawal (awal waktu Zhuhur), maka sholat Idul Fitrinya tidak dapat lagi dilaksanakan pada hari itu (tanggal 1 Syawal), melainkan dilaksanakan pada keesokan harinya (tanggal 2 Syawal). “Ini berarti batas akhir sholat Idul Fitri adalah tibanya waktu zawal (waktu awal Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal,” jelasnya.

“Demikianlah menurut kesepakatan (ijma') para ulama, yakni tak ada khilafiyah di antara mereka dalam masalah ini,” tambahnya.

Selain itu, Kiai juga menyampaikan pendapat beberapa ulama, diantaranya   Imam Ibnu Hazm berkata bahwa "Para ulama sepakat bahwa sejak matahari bersinar terang hingga zawal-nya matahari (awal waktu Zhuhur) adalah waktu " sholat Idul Fitri dan Idul Adha bagi penduduk kota." (Ibnu Hazm, Maratibul Ijma', hlm. 32).

Kemudian, menurut Ibnu Rusyd, para ulama sepakat bahwa waktu sholat Idul Fitri dan Idul Adha... adalah hingga waktu zawal (awal waktu Zhuhur)." (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1/229).

Begitu pula menurut Imam Syarbaini Khathib dan Imam Syaukani yang memiliki pendapat senada. Sehingga, dari kutipan-kutipan tersebut, jelaslah bahwa batas akhir waktu sholat Idul Fitri adalah tibanya waktu zawal (waktu awal Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal. “Jadi, kalau seseorang meyakini hari Ahad kemarin adalah tanggal 1 Syawal, maka tidak boleh pada hari Senin, yakni tanggal 2 Syawal, dia sholat atau berkhutbah Idul Fitri,” paparnya.

“Yang demikian itu karena berarti dia telah sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada waktu yang telah melampaui waktu yang disyariatkan, yaitu sejak matahari bersinar terang (waktu Dhuha) hingga waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal,” lanjutnya.

Namun demikian, menurut kiai Shiddiq ada kecuali jika dia memperoleh info rukyatul hilal yang datang terlambat melampaui waktu zawal (waktu awal Zhuhur) tanggal 1 Syawal. “Misal pukul 14.00 WIB atau pukul 17.00 WIB tanggal 1 Syawal, maka dia boleh sholat dan berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal,” terangnya.

Disampaikan dalil kebolehannya adalah hadits dari Abu 'Umair bin Anas bin Malik RA di atas, bahwa Nabi SAW memperoleh kesaksian rukyatul hilal baru pada sore hari tanggal 1 Syawal. Maka kemudian Nabi SAW lalu memerintahkan untuk berbuka saat itu juga, dan juga memerintahkan untuk sholat Idul Fitri pada keesokan harinya (tanggal 2 Syawal). (https://dorar.net/feqhia/1716/).

“Kesimpulannya, tidak boleh hukumnya sholat atau berkhutbah Idul Fitri pada tanggal 2 Syawal, karena batas akhir sholat dan khutbah Idul Fitri adalah waktu zawal (awal waktu Zhuhur) pada tanggal 1 Syawal,” pungkasnya.[] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab