Tinta Media: Hari Buruh
Tampilkan postingan dengan label Hari Buruh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hari Buruh. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 Mei 2024

"May Day" Sekedar Memperingati atau Memperbaiki untuk Ganti Sistem?

Tinta Media - Menjelang memperingati Hari Buruh Internasional 2024, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menuntut dua kebijakan utama yaitu mencabut "Omnibuslaw" terkait  Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Hapus Outsourcing. (Kompas.com, 29/04/24).

Mirisnya, 138 kali memperingati hari buruh dengan rekam jejak diwarnai demo dan ricuh. Ironisnya tidak mengubah keadaan namun seperti memancing di air keruh, yang artinya menambah rangkaian problem baru dan memperburuk keadaan.

Momentum "May Day" memang tepat digunakan oleh para demonstran untuk menyuarakan aspirasi para buruh. Hal ini terjadi karena memang terjadi ketimpangan antara kebijakan dan yang terjadi di lapangan.

Apabila di pelajari lebih teliti dan saksama di setiap UU Cipta Kerja, muaranya akan menguntungkan perusahaan. Dianalogikan para buruh ditekan masalah kesejahteraan,  sementara pihak perusahaan berburu profit dengan mempertimbangkan laba-rugi. Alhasil  karena beratnya beban perusahaan harus  menanggung kesehatan, jaminan hari tua, dan sebagainya dari para buruh yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

Sehingga dengan adanya omnibus cipta kerja ini, menguntungkan pihak perusahaan dan menjerat buruh karena antara etos kerja tidak balance dengan taraf kesejahteraan, sedangkan perusahaan meraup keuntungan melimpah dengan menekan pengeluaran beban-beban. Menjadi wajar apabila kebijakan ini mendapatkan banyak pertentangan yang mana dari rancangan sampai diterapkan, bahkan berjalan hampir 4 tahun pun masih digodok oleh para buruh.

Adanya Undang-Undang cipta kerja akan semakin memperkuat upaya pemerintah dan korporasi dalam melakukan pembangunan di darat, hutan, gunung hingga laut dan pulau-pulau kecil yang mengakibatkan pencemaran dan penghancuran lingkungan semakin meluas.

Kemudian, Perpu ini juga tetap mempertahankan dan memperkuat pasal-pasal yang membuka kriminalisasi bagi rakyat. Misalnya, dalam Perpu Pasal 39 yang mengubah Pasal 162 UU Minerba, rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya diancam pidana 1 tahun dan denda 100 juta rupiah

Bertepatan dengan "May Day" terbukti banyak sekali tugas dan kewajiban pemerintah dalam mengatasi problem para buruh. Berdasarkan riset, meningkatnya kasus pengangguran ditengah-tengah maraknya pembangunan dalam segala lini, meningkatnya kasus PHK dari 69% ternyata dari 67% bagian dari perusahaan besar. Pernyataan dari Director of Career Services Mercer Indonesia Isdar Marwan (CNN.Indonesia, 26/4/24).

Dari rangkaian panjang problem ini sebenarnya lahir dari asas yang menjadi pijakan sistem kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan berusaha atau bekerja,  dan menjadikan standar hidup yang paling minim sebagai asas dalam menentukan upah ajir (setiap orang yang bekerja mendapatkan upah)

Sementara barometer sejahtera adalah profit sementara perusahaan akan mendapatkan keuntungan apabila karyawan atau buruh totalitas dan loyalitas, mirisnya efek dari sistem ini buruh hanya dijadikan faktor produksi saja. Ketika fungsi negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat nya tidak terealisasi karena faktanya negara hanya berperan sebagai regulator dan pihak penengah antara perusahaan dan buruh melalui uu cipta kerja ini.

Setiap individu dipaksa untuk memenuhi kebutuhan masing-masing melalui bekerja, sedangkan akses mendapatkan pekerjaan susah. Seperti itulah potret buruk sistem ini, kebijakan di buat hanya untuk menancapkan  hegemoni para pemilik modal.

Namun, problema perburuhan seperti ini tidak akan terjadi didalam islam, karena didalam islam tidak ada kabebasan kepemilikan (hurriyyah milkiyyah) dan kabebasan berusaha (hurriyyaj 'amal) tetapi hanya ada kebolehan kepemilikan (ibahah milkiyyah) dan kebolahan berusaha (ibahah 'amal). Pada hakikatnya islam memiliki sistem politik (Khilafah) sebagai solusi haqiqi dimuka bumi ini. Hakikat khilafah merupakan hirasatuddin wa siyasatuddunya yaitu memelihara agama serta mengatur dunia.

Tiga sumber ekonomi didalam islam yaitu pertanian, perindustrian, serta perdagangan, dan untuk menghasilkan produksi membutuhkan bantuan usaha manusia. Karena  yang menanami tanah, membangun industri, mengoperasikan mesin, dan manusia pula yang melakukan transaksi jual beli. 

Islam sangat jelas bagaimana mengatur asas penentuan upah karena negara memiliki mekanisme ideal melalui penerapan sistem Islam kaffah dalam semua bidang kehidupan, yang menjamin nasib buruh dan juga keberlangsungan perusahaan sehingga menguntungkan semua pihak. 

Tidak bisa dikatakan anjloknya harga-harga barang yang dihasilkan seorang ajir yang menyebabkan kerugian seorang musta'jir, yang demikian merupakan kedzaliman yang nyata. Sebab terkadang dibulan ini harga-harga barang turun disebabkan banyak nya penawaran, dan dibulan berikutnya harga barang naik disebabkan sedikitnya penawaran. Sehingga tidak bisa menjadi tolak ukur manaikkan dan menurunkan upah ajir, bahkan dijadikan standar pemutusan hubungan kerja secara sepihak.

Sedangkan Apa pun yang dibutuhkan para pekerja, seperti jaminan kasehatan, jaminan pendidikan, dsb, merupakan tanggung jawab negara bukan pemilik pekerjaan (musta'jir) dan tidak termasuk dalam pembahasan ajir.

Seakan menguraikan benang kusut karena sangat kompleks dan sistemik, karena perbedaan asas yang menjadikan pijakan dalam perkara ini. Hanya dalam islam lah satu-satunya lembaga yang secara langsung manangani semua urusan rakyat. Saatnya ganti sistem dan melanjutkan kehidupan islam. Wallahu'alam Bisowab.

Oleh: Novita Ratnasari, S.Ak.
Sahabat Tinta Media

Kamis, 04 Mei 2023

Hari Buruh 2023, ASPEK Indonesia: Cabut Omnibus Law UU Ciptaker

Tinta Media - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat, S.E. mengatakan bahwa peringatan Hari Buruh untuk mencabut Omnibus Law Undang- Undang (UU) Cipta Kerja. 

"Bahwa peringatan Hari Buruh untuk mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja,"  ujarnya disampaikan dalam keterangan pers pada Senin (1/5/2023). 

Ia mengatakan Hari Buruh tahun 2023 bagi pekerja dan rakyat tuntutannya jelas, cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja. Lebih lanjut dia mengatakan sampai saat ini tidak ada partai politik parlemen dan para calon Presiden yang berani tegas menyatakan pencabutan Omnibus Law UU Cipta Kerja. 

"Padahal ini menjadi pintu masuk bagi kelompok pemodal dan investor untuk memiskinkan pekerja dan rakyat Indonesia," tegasnya. 

Mirah mengatakan UU Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian pekerjaan, jaminan upah dan kepastian jaminan sosial. 

ASPEK Indonesia menilai Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum bersungguh - sungguh dalam melaksanakan Undang - undang Dasar 1945, pasal 27 ayat (2) yang menyatakan, "Tiap - tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian". 

"Bukti paling kongkrit minimnya keberpihakan Pemerintah dan DPR terhadap nasib pekerja adalah tetap dipaksakannya UU Cipta Kerja No 11 tahun 2020 yang telah dinyatakan cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Agung (MA)," pungkasnya.[] Ma'arif Apriadi

Senin, 01 Mei 2023

MAY DAY 2023, MOMENTUM SATUKAN KOMITMEN PERLAWANAN TERHADAP OMNIBUS LAW!

Tinta Media - Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day tahun 2023, harus bisa dijadikan momentum untuk menyatukan semua kekuatan buruh/pekerja bersama rakyat dalam melakukan perlawanan terhadap Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang sangat merugikan pekerja dan rakyat Indonesia. Konsistensi perlawanan dan penolakan terhadap UU Cipta Kerja menjadi isu penting yang disuarakan oleh Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) dalam memperingati May Day tahun 2023. Demikian disampaikan oleh Mirah Sumirat, SE, Presiden ASPEK Indonesia dalam keterangan pers tertulis memperingati Hari Buruh Internasional tanggal 1 Mei 2023 (01/05).

ASPEK Indonesia menilai Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum bersungguh-sungguh dalam malaksanakan amanat Undang Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) tersebut, setidaknya terdapat dua kewajiban Negara yang harus dipenuhi oleh Pemerintah, yaitu memberikan pekerjaan dan memberikan penghidupan, yang keduanya harus layak bagi kemanusiaan.

Bukti paling kongkrit minimnya keberpihakan Pemerintah dan DPR terhadap nasib pekerja, adalah tetap dipaksakannya UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, yang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) telah dinyatakan cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat. Alih-alih mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi dan melakukan perbaikan atas UU Cipta Kerja, pada 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo justru mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Peran DPR yang seharusnya memperjuangkan aspirasi rakyat, ternyata justru lebih berpihak kepada kepentingan pemodal atau investor, dan tidak lebih sebagai “stempel” bagi Pemerintah. Pada tanggal 21 Maret 2023, DPR justru menyetujui dan mengesahkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Fakta ini telah menyakiti hati pekerja dan rakyat Indonesia, tegas Mirah Sumirat.

Undang Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang Undang, adalah akal-akalan dari Pemerintah dan DPR, untuk memberikan “karpet merah” dan kemudahan kepada kelompok pemodal dan investor.

Di tahun politik dan menjelang Pemilihan Umum tahun 2024, ASPEK Indonesia mengkritik partai politik yang ada di parlemen dan juga para calon Presiden Republik Indonesia yang namanya saat ini muncul di berbagai media, untuk tidak hanya melakukan pencitraan kepada pekerja dan rakyat. Bagi pekerja dan rakyat, tuntutannya jelas, Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja! Sampai saat ini, tidak ada partai politik parlemen dan para calon Presiden Republik Indonesia, yang berani tegas menyatakan pencabutan Omnibus Law UU Cipta Kerja! Padahal UU Cipta Kerja yang ada telah menjadi pintu masuk bagi kelompok pemodal dan investor untuk memiskinkan pekerja dan rakyat Indonesia. UU Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian pekerjaan, jaminan kepastian upah dan kepastian jaminan sosial!, tegas Mirah Sumirat.

Dalam May Day tahun 2023, ASPEK Indonesia mendesak Pemerintah dan DPR untuk hadir dan peduli pada nasib pekerja dan rakyat di Indonesia, serta menyuarakan tuntutan:

1. Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja yang merugikan pekerja, karena berdampak antara lain:

a. Dimudahkannya pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan kompensasi pesangon yang jauh lebih sedikit dibandingkan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan.

b. Penetapan upah minimum yang justru melanggengkan politik upah murah.

c. Dimudahkannya sistem kerja kontrak, magang dan outsourcing yang diperluas.

d. Dimudahkannya tenaga kerja asing (TKA) khususnya unskill worker.

2. Tolak PHK Sepihak.

3. Tolak RUU Omnibus Law Kesehatan.

4. Sahkan RUU PRT ( Pekerja Rumah Tangga)

5. Berikan kesejahteraan dan Kepastian  Hukum Kepada Pekerja Berbasis Platform/Online.

Kepada seluruh pekerja/buruh/karyawan/pegawai di Indonesia, ASPEK Indonesia mengucapkan Selamat Hari Buruh Internasional. Siapapun anda, apapun pekerjaan dan jabatan anda, selama anda bekerja dan menerima upah/gaji dari pihak lain, sesungguhnya anda adalah kelas pekerja. Tetaplah bersatu, teruslah berjuang, untuk mewujudkan kesejahteraan. 

Jakarta, 01 Mei 2023

Dewan Pimpinan Pusat
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia

Mirah Sumirat, SE
Presiden

Sabda Pranawa Djati, SH
Sekretaris Jenderal

Sumber: PRESS RELEASE
ASOSIASI SERIKAT PEKERJA INDONESIA (01/05/2023) 

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab