Tinta Media - Tidak lama lagi kaum muslimin akan menyambut bulan suci Ramadan, bulan istimewa yang paling ditunggu karena hari-harinya akan berlimpahan pahala dari Allah Swt. Namun, ada fenomena yang juga sering terjadi menjelang momen-momen penting seperti ini, yaitu meroketnya harga kebutuhan pokok masyarakat. Ini seakan sudah menjadi hal lumrah terjadi, khususnya di Indonesia.
Sebagaimana yang terjadi saat ini, harga beras di pasaran meroket tajam. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat melakukan sidak (inspeksi mendadak) di pasar tradisional Cihapit Bandung dan Griya Pahlawan Bandung mendapati adanya kenaikan harga pada komoditas gula konsumsi, beras serta cabai merah keriting.
Hasil dari sidak tersebut ditemukan kenaikan harga pada komoditas beras premium sebesar 21,58% menjadi Rp 16.900/kg. Sementara, HET beras premium sebesar Rp13.900/kg sebagaimana telah ditetapkan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas). Sedangkan beras medium mengalami kenaikan sebesar 28,44% dari HET sebesar Rp10.900/kg menjadi Rp14.000/kg. (Katadata co.id/ 11-2-24)
Setahun terakhir ini, harga beras memang mengalami kenaikan, Bahkan di tahun 2023 nyaris mencapai 20%. Mahalnya beras tentu menyusahkan setiap orang karena beras adalah salah satu kebutuhan pokok rakyat, sehingga keberadaan beras sangat urgen untuk didapatkan. Dengan kenaikan harga beras ini, rakyat semakin sulit memiliki, khususnya bagi kalangan menengah ke bawah. Kenapa kenaikan harga ini sering terjadi?
Rusaknya Rantai Distribusi
Salah satu penyebab terus melonjaknya harga beras adalah rusaknya rantai distribusi beras yang hari ini dikuasai oleh sejumlah pengusaha (ritel). Akhirnya, sejumlah pengusaha ritel inilah yang menguasai produksi kebutuhan pokok rakyat.
Dengan mudahnya, pengusaha ritel mempermainkan harga di pasaran. Apalagi, perusahaan besar telah memonopoli gabah dari petani, sehingga mampu membeli gabah dari petani dengan harga yang tinggi. Sementara, penggilingan padi kecil tidak berkesempatan untuk mendapatkan gabah sehingga harus gulung tikar.
Tidak hanya di sektor hulu, ternyata sektor hilir pun telah dikuasai oleh perusahaan besar ini. Dengan modal besar yang dimiliki, mereka mampu memiliki teknologi canggih. Alhasil, kualitas beras yang dihasilkan ada di tingkat premium. Sementara penggilingan padi kecil hanya mampu menghasilkan beras kualitas medium.
Hal ini pun semakin diperparah dengan adanya larangan bagi petani untuk menjual langsung ke konsumen. Dengan panjangnya rantai distribusi, maka harga beras tak kunjung turun. Lantas, apakah dengan tingginya harga beras ini justru menjadikan petani bisa bernapas lega?
Nyatanya, tidak. Justru para petani banyak mengalami impitan. Para petani sulit mendapatkan saprotan, kepemilikan lahan yang minim, dan harga jual panen yang tidak menguntungkan.
Hilangnya Peran Negara
Beras sebagai kebutuhan pokok merupakan salah satu komoditas strategis sehingga wajib dikelola oleh negara, termasuk distribusinya. Memang, negara sudah melakukan upaya dengan banyaknya program yang dilakukan. Di antaranya melalui penetapan harga, operasi pasar, pendistribusian beras SPHP, hingga bantuan sosial berupa beras 10 kg per keluarga. Hanya saja, apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak mampu memengaruhi turunnya harga beras. Sebab, apa yang dilakukan tersebut hanya masalah teknis yang tidak menyentuh pada akar permasalahan.
Jika kita mengamati lebih mendalam, sebenarnya penyebab utama dari kenaikan harga beras ini adalah akibat penerapan sistem politik pangan ala kapitalistik neoliberal. Peran negara tidak lain hanya sebagai fasilitator dan regulator semata. Sementara, pengurusan urusan rakyat diserahkan kepada korporasi yang berorientasi pada bisnis dengan mencari keuntungan.
Ekonomi kapitalistik ini pun mengusung paham kebebasan dan mekanisme pasar bebas. Wajar jika banyak bermunculan korporasi-korporasi yang bermodalkan besar dan mengalahkan perusahaan kecil yang mayoritas dimiliki rakyat dengan modal tidak besar.
Inilah yang menjadikan korporasi bermodal besar mampu menguasai berbagai sektor, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, bahkan importasi. Korporasi seperti ini pula yang akhirnya memainkan peran sesungguhnya dalam mengambil kendali pasokan pangan dan harga pasar. Penerapan sistem seperti ini telah melahirkan pemerintahan lemah dan kehilangan perannya sebagai pengurus urusan rakyat.
Sungguh, negara telah abai terhadap kepentingan rakyat. Negara dalam sistem ekonomi kapitalistik yang didukung oleh sistem politik demokrasi justru lebih mengutamakan kepentingan korporasi dengan memudahkan regulasi untuk mereka. Sementara, rakyat hanya mendapatkan 'remah-remah' dan hidup dalam perekonomian yang semakin hari makin 'tekor'. Jelas sistem seperti ini tidak layak untuk dipertahankan. Sudah saatnya beralih kepada sistem yang lebih menjanjikan untuk kesejahteraan bagi seluruh individu masyarakat.
Politik Pangan Islam
Politik pangan Islam jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis. Tujuan politik ekonomi Islam adalah untuk menjamin kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat, tidak terkecuali muslim maupun nonmuslim.
Islam dalam naungan negara Islam (Khilafah) menjadikan pemenuhan kebutuhan pokok sebagai satu kewajiban bagi negara. Untuk itulah negara akan memastikan terpenuhi kebutuhannya masyarakat,
individu per individu.
Sebab, negara dalam Islam adalah raa'in (pelayan) dan penanggung jawab atas urusan rakyat, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya:
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Maka dari itu, haram hukumnya bagi negara menyerahkan urusan rakyat kepada korporasi, sebab bertentangan dengan aturan Islam.
Politik pangan Islam akan menjamin ketersediaan pasokan pangan dan kestabilan harga. Sebab itu, negara akan hadir dalam pelaksanaan produksi, distribusi, dan konsumsi.
Dalam hal produksi, negara akan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Hal ini juga akan terwujud dengan adanya penerapan hukum pertanahan yang menjamin lahan pertanian untuk berproduksi dengan optimal dan kepemilikan yang jelas.
Negara juga akan memberikan bantuan pertanian kepada rakyat, mulai dari lahan, modal, saprotan, bahkan teknologi yang dibutuhkan agar bisa mengelola pertanian dengan optimal.
Khilafah akan memperhatikan setiap rakyat dan menelaah adanya bantuan dari negara karena perannya sebagai pelindung semua rakyat dengan memastikan bahwa tidak ada satu pun individu rakyat yang tidak mendapatkan akses untuk memenuhi kebutuhan pokok. Ini sebagaimana peristiwa mahsyur pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang memanggul sendiri gandum untuk sebuah keluarga yang didapati tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok.
Dalam aspek distribusi, negara akan mengawasi praktik perdagangan dan pembentukan harga yang wajar. Islam mengatur perdagangan dalam negeri, termasuk beras. Negara membiarkan harga ditetapkan oleh permintaan dan penawaran di pasar. Islam juga melarang adanya praktik monopoli dan menimbun beras atau komoditas lainnya, melarang praktkk tengkulak, kartel dan riba.
Untuk bisa mewujudkan ini semua, negara akan mengangkat Qadhi Hisbah untuk melakukan pengawasan secara langsung, serta penegakan hukum secara tegas dan menimbulkan efek jera.
Begitulah politik pangan Islam yang akan mampu mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan, baik bagi para petani ataupun rakyat secara keseluruhan. Negara Islam akan lahir sebagai institusi yang melindungi rakyat dan berusaha sungguh-sungguh memenuhi kebutuhan pokoknya. Wallahu alam bishawab []