Tinta Media: Harga
Tampilkan postingan dengan label Harga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Harga. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 April 2022

Negeri Kaya, Rakyat Menderita


Tinta Media  - Belum reda kesedihan rakyat akibat kenaikan harga minyak goreng yang mengular tak berkesudahan, masyarakat kembali disuguhi kenyataan yang memilukan. Bulan Ramadan yang sejatinya dinikmati dengan kegembiraan, kini berselimut keprihatinan karena naiknya harga-harga di pasaran.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan banyak barang kebutuhan masyarakat mengalami kenaikan harga jelang Ramadan. Sementara itu, Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan (Kemendag) mendeteksi bahwa 13 bahan kebutuhan masyarakat mengalami kenaikan.

Tiga belas bahan tersebut adalah gula pasir, minyak goreng curah, minyak goreng kemasan sederhana, minyak goreng kemasan premium, kedelai impor, tepung terigu, daging sapi paha belakang, daging ayam ras, telur ayam ras, cabai merah besar, cabai merah keriting, cabai rawit, bawang putih Honan.

Berbagai spekulasi terkait penyebab naiknya harga kebutuhan pokok pun berkembang di media. Kenaikan harga tahu dan tempe misalnya, dipicu adanya kenaikan harga kedelai impor sebagai bahan baku para produsen tahu dan tempe di dalam negeri. Sementara itu, tingginya harga minyak goreng disebabkan karena kebijakan pemerintah yang dipicu kelangkaan komoditas tersebut di pasaran.

Sebagai negara gemah ripah loh jinawi dengan kekayaan alam melimpah, kelangkaan dan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok tentu menjadi tanda tanya besar. Sebagai contoh, Indonesia adalah negara dengan perkebunan kelapa sawit terbesar di Asia. Maka, seharusnya rakyat negeri ini bisa menikmati minyak goreng dengan murah.

Sementara itu, kedelai, cabai, dan bawang putih merupakan komoditas yang bisa dikembangkan di negeri bertanah subur ini. Sejatinya, rakyat bisa menikmati semuanya dengan mudah, tanpa harus terjebak dengan permainan harga.

Namun, fakta di lapangan berkata sebaliknya. Perekonomian negara yang disetir oleh korporasi menjadikan sebagian besar kebijakan bergantung pada keputusan dan kepentingan para korporat.
Kelangkaan serta tingginya harga minyak goreng misalnya, berbalut ironi saat publik mendengar kabar terjadi penjualan minyak sebanyak 415 juta liter ke luar negeri.

Selain itu, polemik kebijakan terkait penggunaan kedelai impor sebagai bahan baku pembuatan tahu dan tempe pun masih jadi persoalan. Mengapa harus memakai kedelai impor jika komoditas serupa memungkinkan untuk dibudidayakan di negeri sendiri?

Itulah fakta saat korporasi bermain di sektor perekonomian dalam negeri. Berbagai cara dilakukan guna mengeruk keuntungan. Keuntungan bagi korporat adalah lebih utama dibandingkan kepentingan rakyat. Peran mereka yang kian meluas, menggurita dalam sistem melalui pembuatan regulasi agar terkesan rapi.

Kondisi demikian tak bisa dibiarkan begitu saja. Krisis kenaikan harga akan mengakibatkan kemiskinan terus bertambah. Daya beli masyarakat yang melemah, karena tak mampu membeli kebutuhan hidupnya akan memicu terjadinya berbagai dampak berbahaya, mulai dari terhambatnya pekembangan generasi (stunting), kesenjangan sosial yang terus meningkat, hingga memancing krisis sosial yang berujung kekecewaan terhadap penguasa.

Untuk itu, diperlukan solusi konkret agar rakyat dapat memenuhi kebutuhannya dengan layak tanpa merasa terbebani dengan harga yang melonjak.

Sebagai sebuah mabda, Islam menawarkan solusi khas melalui sistem ekonomi Islam. Di dalamnya diatur konsep kepemilikan yang jelas. Konsep kepemilikan yang diterapkan dalam sistem ekonomi Islam akan mencegah para oknum nakal ikut campur mengurusi barang kebutuhan pokok yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Dalam hal ini, negara akan turun tangan secara penuh untuk mengurusi rakyat dan memastikan bahwa seluruh rakyat mendapatkan haknya dengan mudah.

Sejarah mencatat bagaimana aksi heroik Khalifah Umar bin Khaththab yang memanggul sendiri sekarung gandum untuk memberi makan seorang janda papa dan anak-anaknya yang kelaparan. Sang Khalifah bahkan menangis sejadi-jadinya saat mengetahui masih ada rakyat yang belum makan. Semua itu dilakukan malam hari saat sebagian pejabat dan rakyat beristirahat.

Dalam perjalanan selama kurang lebih 13 abad berkuasa, Islam berhasil membangun peradaban gemilang dengan kehidupan yang penuh kesejahteraan.

Keberhasilan sistem ekonomi Islam hanya bisa terwujud jika sistem Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai khilafah. Khilafah akan menerapkan syariat secara integral dalam seluruh lini kehidupan. Hal tersebut akan membentuk "supporting system" yang baik bagi keberhasilan sistem ekonomi, sosial, maupun politik di dalamnya. Demikianlah Islam menghadirkan solusi konkret agar negeri ini terbebas dari ironi: negeri yang kaya, tetapi rakyatnya selalu menderita. Wallahu alam bishshowab.

Sumber fakta: kompas.com
Tirto.id
Detiknews.com

Oleh: Ummu Azka
Ibu Rumah Tangga dan Pemerhati Sosial

Jumat, 22 April 2022

Rencana Pemerintah Naikkan Harga Empat Komoditas, FAKKTA: Salah Kebijakan


Tinta Media - Rencana Pemerintah untuk menaikkan harga empat komoditas yakni pertalite, solar, LPG 3 kg serta tarif dasar listrik, dinilai Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Tranparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak sebagai salah kebijakan.

“Apa yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk menyesuaikan harga empat komoditas dengan alasan memperbaiki perekonomian nasional, saya kira salah kebijakan kalau strateginya menaikkan harga,” tuturnya dalam acara Kabar Petang: Kebijakan Pemerintah Menyengsarakan Rakyat? Selasa (19/4/2022) melalui kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.

Menurut Ishak yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana mendorong agar produksi empat komoditas itu bisa lebih efisien yaitu dengan meningkatkan pasokan domestik dan mengurangi ketegangan dengan impor untuk BBM. Sementara untuk listrik, dengan memperbaiki struktur pengelolaan PLN.

 “Jadi itu yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah yaitu  melakukan perubahan-perubahan divisi internal, baik itu Pertamina ataupun PLN. Bukan memperbaiki hilirnya. Kalau memperbaiki hilir gampang, semua orang bisa. Dampak kenaikan harga  terhadap ekonomi, saya kira ini akan memperburuk  perekonomian Indonesia di masa yang akan datang,” tegasnya.

Dampak buruk itu, dinilai Ishak akan membebani rakyat yang semakin susah. Sekarang ini rakyat masih kesulitan untuk recovery dari pandemi. Banyak sektor usaha yang masih tutup. Mungkin ada yang baru mulai lagi setelah PPKM dikurangi. Pada saat yang sama mereka menanggung utang yang sangat berat.  Karena restrukturisasi utang itu kan hanya untuk pengusaha kelas menengah ke atas. Pengusaha menengah ke bawah yang masuk dalam kelompok UMKM ini tidak banyak mendapatkan bantuan dari pemerintah.

“Kalau empat komoditas ini dinaikkan maka dipastikan  jumlah penderitaan yang dirasakan oleh rakyat banyak, oleh para pengusaha UMKM,  rumah tangga miskin atau hampir miskin akan semakin kesulitan,” ungkapnya.

“Jadi sekali lagi saya ingin tegaskan bahwa  persoalannya  itu bukan dengan menaikkan harga  tapi memperbaiki produksi,” tegasnya.

Ishak menilai liberalisasi ekonomi menyebabkan 4 komoditas diatas dikuasai oleh swasta dan asing serta diperlakukan sebagai komoditas bisnis. Dijual jauh di atas harga produksi. Padahal di sisi hulu biaya produksinya itu relatif sama. Kalau mengacu pada salah satu studi,  biaya produksi minyak indonesia itu sekitar 20 dolar per barel, sementara harga minyak internasional 113 dolar perbarel. Artinya keuntungannya memang luar biasa besar.

“Tapi karena  pengelolaannya diperlakukan  sebagai barang bisnis sehingga pemerintah termasuk pertamina merasa rugi  kalau harganya  tidak dijual sesuai dengan harga pasar. Beginilah kalau perspektif pendekatan tidak dikelola berdasar prinsip kemaslahatan rakyat,” sesalnya.

Menurut Ishak, masalah ini bisa diselesaikan jika komoditas tersebut dikuasai  dan dikelola oleh pemerintah sehingga pemerintah memegang kontrol penuh. “Bagaimana agar komoditas-komoditas  strategis  yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak itu betul-betul supplay  dan harganya itu disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masyarakat. Jadi tidak dibiarkan berfluktuasi mengikuti  harga internasional,” tukasnya.

Berikutnya, lanjut Ishak,  bagaimana pemerintah mendorong  peningkatan produksi domestik. Pemerintah  harus mensupport Pertamina lebih besar lagi dengan membangun kilang minyak  agar mampu meningkatkan produksi migas domestik sehingga ketergantungan pada impor bisa dikurangi.

“Jadi pertama, meningkatkan produksi domestik, yang kedua, memperbaiki kilang Pertamina,” simpulnya.

Menurut Ishak, meski membangun kilang Pertamina ini butuh biaya besar  tetap bisa diupayakan jika pemerintah mau menghentikan proyek-proyek yang tidak strategis seperti IKN atau infrastruktur  yang tidak berpihak pada rakyat.

Ia juga menyampaikan bahwa pengelolaan BBM termasuk listrik dengan prespektif kapitalislah yang memunculkan banyak masalah. “Kalau dalam pandangan Islam migas dan sejenisnya harus dikelola oleh negara tidak boleh diserahkan pada swasta,” jelasnya.

Menurutnya, kalaupun swasta terlibat hanya sebatas dibayar untuk  melakukan eksplorasi, survei dan seterusnya. Tidak seperti saat ini, bagi hasil yang bahkan bagian swasta lebih besar dari pemerintah.

Dalam perspektif Islam, lanjutnya, migas harus dikelola sepenuhnya oleh negara. Dan harga dari sisi hilir diserahkan kepada ijtihad khalifah dengan harga yang bisa ditanggung oleh masyarakat,  tidak harus mengikuti harga pasar seperti saat ini.

“Intinya dalam Islam  tidak boleh ada liberalisasi pengelolaan sumber daya alam,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
 

Kamis, 21 April 2022

Harga Berbagai Komoditas Meroket, Invest: Akibat Negara Terapkan Ideologi Liberal


Tinta Media - Meroketnya harga berbagai komoditas seperti minyak goreng, batu bara dan tarif listrik, dinilai Koordinator Valuation for Energy and Infrastructure (Invest) Ahmad Daryoko, akibat negara menerapkan  ideologi liberal.

"Yang menjadi masalah itu sebenarnya pada ideologi negara atau konstitusinya. Kalau konstitusinya liberal, jangan salahkan kalau mekanisme pasarnya juga menjadi liberal," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (20/4/2022).

Ia mempertanyakan tentang realitas amandemen UUD 1945. "Bukankah UUD 1945 sudah diamandemen menjadi UUD Liberal?" tanyanya.

Artinya, lanjut Ahmad wajar kalau harga migor pun tidak bisa dikendalikan, seperti BBM, batu bara, dan listrik. Termasuk juga komoditas di atas, akan mencari pasar yang lebih menguntungkan, termasuk ekspor.

Menurutnya, harus ada peran negara dalam mekanisme pasar bebas. "Yang dimaksud negara harus hadir ditengah rakyat itu, bukan aparat keamanan yang kemudian menindak/ menangkap para pedagang. Apapun alasannya. Prinsip dagang itu mengikuti mekanisme pasar bebas, kondisi supply and demand, bukan mekanisme tangkap ala aparat," terangnya.

Oleh karena itu, kata Ahmad kalau sektor strategis masih ingin tetap bisa dikendalikan, system harus tetap dibawah kendali negara yaitu pasal 33 UUD 1945.

Atau kalau merefer doktrin Islam, lanjut Ahmad, Islam juga termasuk yang di akui Negara ini.  Dalam sebuah Hadits Almuslimuuna shuroka'u fii shalasin fil ma'i wal kala'i wan nar, washamanuhu haram yang artinya umat Islam berserikat atas tiga hal yakni air, ladang, dan api (energy, listrik, batubara, BBM, gas dan lain-lain). Ketiga komoditi tersebut haram hukumnya di komersialkan atau diperdagangkan.

Ia juga menekankan bahwa pentingnya mengembalikan peran negara yang mengacu pada pasal 33 UUD 1945 dan hadits.

"Dengan referensi pasal 33 UUD 1945 maupun hadits di atas , ladang (perkebunan sawit) mestinya harus dikuasai negara (dulu oleh Perkebunan Negara). Artinya komoditas migor mestinya di kelola sebagai public good jangan diserahkan ke taipan 9 naga  commercial good," bebernya.

Terakhir, ia menegaskan bahwa jika perkebunan diserahkan ke swasta, sudah jelas harga tidak bisa dikendalikan.

"Karena sudah mengikuti mekanisme pasar bebas. Dan mestinya aparat hukum atau keamanan tidak bisa melakukan penindakan atau penangkapan terhadap pelaku pasar," pungkasnya. [] Nur Salamah

Selasa, 19 April 2022

Harga-Harga Naik akibat Paradigma Berpikir Kapitalis


Tinta Media - Bulan Ramadan adalah bulan dengan berbagai kenaikan pahala dan berlipat gandanya kebaikan. Akan tetapi, sedihnya umat Islam harus kembali melewati Ramadan tahun ini dengan kegelisahan yang tidak kunjung selesai. Harga berbagai komoditas pangan terpantau naik memasuki bulan Ramadan. Daging, cabai, bawang putih, gula, telur, tepung terigu, dan tentu saja minyak goreng yang sudah menjadi isu viral yang menggelisahkan karena kelangkaan dan kenaikan harganya. Belum lagi kenaikan harga bensin Pertamax yang menambah deretan panjang beban rakyat dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup.

Memang benar, kenaikan harga-harga dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari faktor cuaca untuk barang seperti cabai, kelangkaan barang, distribusi, hingga imbas dari kenaikan pajak serta isu kartel pada minyak dan berbagai barang lainnya yang tidak kunjung menemukan penyelesaian konkrit.
 
Lantas, apakah dengan kebiasaan tahunan, bahkan bulanan terkait melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok ini tidak bisa dikendalikan dan diselesaikan oleh pemerintah? Apakah fungsi pengawasan saja seperti yang disampaikan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sudah cukup menanggulangi permasalahan rutin ini? Apakah masyarakat harus berjuang sendiri mengelus dada dan mengencangkan pengeluaran serta pemasokan demi menghidupi diri dan keluarga? Apakah tidak ada lagi yang bisa dilakukan pemerintah untuk meringankan beban rakyat dan menjalankan perannya sebagai pengurus urusan rakyat?

Ironisnya, untuk kasus kartel minyak saja pemerintah terlihat berlepas tangan. Ini tampak dari maraknya kartel minyak yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikkan harga yang mencekik di tengah masyarakat. Solusi yang diberikan pemerintah hanya berupa alternatif penggunaan bahan selain minyak, padahal kartel bisa diberantas dengan hukum dan penanganan yang tegas, serta pengontrolan penguasa. 

Namun, sepertinya rakyat hanya bisa mendesah panjang agar bisa dituruti keinginannya, meski sekadar untuk membeli minyak dengan harga cuma-cuma. Begitu pun pada masalah kenaikan harga komoditas pangan yang rutin naik setiap tahunnya.

Harapan bahwa pemerintah akan menemukan solusi hingga ke akar sepertinya hanya impian kosong. Solusi-solusi yang ditawarkan pemerintah hanyalah solusi pragmatis yang hanya mengulang kesalahan yang sama, gali lobang tutup lobang. Hal tersebut wajar, mengingat kesalahan utama dan penyelesaian yang diberikan pemerintah terletak pada hal mendasar berupa paradigma kepemimpinan yang digunakan, yakni menjadikan rakyat dan penguasa sebagai pihak yang memiliki hubungan dagang.
Sehingga, ketika negara mengurus rakyat pun masih dalam hitung-hitungan dagang. 

Jika berpihak pada kartel lebih menguntungkan, maka untuk apa berpihak pada rakyat? Paradigma kepemimpinan yang demikian adalah bagian dari negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini mengakomodir kebebasan pemilik modal, baik asing atau aseng. Mereka sering lupa (atau memang pura-pura lupa) dengan berbagai janji manis saat kampanye untuk mengangkat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Oleh karenanya, solusi dari permasalahan ini tidak cukup hanya dengan pemantauan dan dorongan bersabar di tengah kondisi sulit sebagaimana yang dinarasikan pemerintah. Solusi harus menjamah pada hal paling mendasar nan fundamental, yaitu bergantinya paradigma berpikir kapitalis sekuler sebagai dasar pengurusan urusan rakyat oleh penguasa menjadi paradigma kepemimpinan ala ideologi Islam. 

Paradigma ideologi Islam mengharuskan penguasa sebagai pihak yang secara utuh melakukan riayatu su’unil ummat (pengurusan urusan umat). Beban kewajiban ini bukan diberikan oleh pemilik modal jika ada maunya, melainkan dibebankan langsung oleh Sang Pemilik semesta alam, bumi, kekuasaan, dan jiwa manusia, Allah ta’ala. 

Sebagaimana dalam firman Allah ta’ala, 

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu. Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (TQS al-Maidah: 48).

Serta dalam hadit Rasulullah saw., 

“Sesungguhnya seorang imam itu laksana perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, dengannya dia akan mendapatkan pahala. Namun, jika dia memerintahkan yang lain, dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Oleh: Syifa Nailah
Aktivis Muslimah

Senin, 18 April 2022

Kenaikan Harga-Harga, Bukan Hal yang Biasa



Tinta Media - Mengutip dari Kompas.com-Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan bahwa komoditas daging ayam, bawang putih, cabai, gula, minyak goreng, daging sapi, telur dan tepung terigu selalu mengalami kenaikan harga tiap jelang Ramadan (02/04/22). 

Lebih mengkhawatirkan lagi, kenaikan harga juga terjadi menjelang hari raya Idulfitri. Sayangnya, selama ini tak pernah ada solusi tuntas, seolah pemerintah berlepas diri dari tanggung jawab. Lucunya, pemerintah sering mengaitkan cuaca dengan harga pangan yang mahal, misalnya karena hujan, harga cabai jadi mahal, jagung mahal akibatnya harga telur mahal, dan alasan-alasan tak masuk akal lainnya. Seakan ada pihak tertentu yang mempermainkan harga, tetapi penguasa tak berani menyinggung. 

Padahal, masyarakat sedang mengalami krisis ekonomi, terutama akibat pandemi yang sampai saat ini belum berakhir. Kenaikan harga-harga kebutuhan ini seakan menambah penderitaan panjang. Yang paling terdampak adalah kalangan masyarakat menengah ke bawah. 

Jangankan memenuhi nilai gizi, sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup saja masyarakat harus memikirkan betul-betul apakah uang yang dimiliki cukup atau tidak. 
Anehnya, jika dikaitkan dengan teori kelangkaan barang, seharusnya jumlah barang yang diproduksi lebih sedikit dibanding jumlah permintaan. Faktanya, jumlah barang yang tersedia cukup banyak, tetapi harganya terlampau mahal.

Hal yang membuat bingung, mengapa pemerintah masih mengizinkan impor, sedangkan kebutuhan dalam negeri melimpah?

Di Balik Harga yang Mahal 

Sistem kapitalisme yang bercokol di negeri ini telah membebaskan semua perkara ekonomi sebebas-bebasnya. Di sini dapat dilihat adanya pihak-pihak tertentu yang paling diuntungkan. Demi untung berlimpah, seseorang rela menimbun barang dan menjualnya dengan harga yang mahal. 

Meskipun dalam hukum antimonopoli kartel dilarang, tetapi di hampir semua negara tetap saja terjadi. Akibatnya, harga-harga menjadi tidak seimbang. Wajar saja jika terjadi kelangkaan barang walaupun negeri tersebut secara logika kaya sumber daya alam. Bahkan, Kemendagri mengatakan tidak mampu mengontrol mafia yang menyelundupkan minyak goreng ke luar negeri. 

Pemerintah sempat mengeluarkan aturan Harga Eceran Tertinggi (HET). Namun, karena minyak langka, mereka kemudian menyerahkan ke mekanisme pasar. Bahkan, tak ada sanksi tegas untuk pelaku.

Sangat jelas bahwa sistem kapitalisme selalu menjadi biang masalah. Saat menentukan kebijakan, mereka mengatasnamakan rakyat, tetapi yang dimanjakan justru pemilik modal. 

Meskipun rakyat bersuara, bahkan berkorban nyawa, tak ada arti kecuali sesuai kemauan mereka yang berduit. Akhirnya rakyat menjadi korban kebuasan sistem kapitalisme. 
Ciri khas sistem rusak ini adalah banyak orang yang apatis, bahkan sudah menjamur, hingga ke penguasa. Dalam hal ini, keserakahan selalu mendominasi. 

Seperti racun yang sudah menyatu, sesungguhnya masyarakat banyak yang sadar akan kerusakan yang terjadi. Namun, mereka belum mendapat solusi tuntas. Lantas, adakah solusi lain yang bisa mengatasi masalah hingga ke akarnya? 

Solusi Alternatif dalam Islam

Islam fokus pada pendistribusian kebutuhan pokok secara merata dengan tetap menjaga kualitasnya. Jelas, Islam melarang perdagangan yang menguntungkan segolongan pihak dan merugikan pihak yang lain, seperti penentuan harga yang tidak seimbang. Semuanya haram.

Rasulullah bahkan memberi peringatan pelaku perdagangan yang curang. Beliau bersabda: 

مَنِ احْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامَهُمْ، ضَرَبَهُ اللهُ بِاْلإِفْلاسِ، أَوْ بِجُذَامٍ 

Siapa yang melakukan penimbunan makanan terhadap kaum muslimin, Allah akan menimpakan kepada dirinya kebangkrutan atau kusta (HR Ahmad). 

Hal yang dimaksud bukan saja tentang bahan pokok, tetapi juga jual beli yang lain. Sedangkan menyimpan bahan makanan untuk kebutuhan pribadi tidak termasuk dalam hal yang dilarang. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah menyimpan bahan makanan pokok untuk kebutuhan keluarganya selama setahun. 

Bagaimana Islam Mengatasi Krisis Pangan?

Rasulullah saw.bbersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).

Khalifah Umar melarang  melakukan monopoli di pasar-pasar kaum muslimin. Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hathib bin Abi Balta’ah,

“Bagaimana cara kamu menjual barang?” Ia menjawab, “Dengan utang. Khalifah Umar lalu berkata, “Kalian berjualan di pintu halaman dan pasar milik kami, tetapi kalian mencekik leher kami.  Kemudian kalian menjual barang dengan harga sesuka hati kalian. Juallah satu shâ’. Bila tidak, janganlah engkau berjualan di pasar-pasar milik kami atau pergilah kalian ke daerah lain dan imporlah barang dagangan dari sana. Lalu juallah dengan harga sekehendak kalian!” (Rawwas Qal‘ahji, Mawsû’ah Fiqh Umar bin al-Khaththâb, hlm. 28) 

Khalifah Umar juga menetapkan pelarangan monopoli barang untuk semua jenis barang, terlebih jika sangat dibutuhkan. Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwaththa’, bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah mengatakan, “Tidak boleh ada praktik monopoli di pasar-pasar milik kami.” (Rawwas Qal’ahji, Mawsû’ah Fiqh Umar bin al-Khaththâb, hlm. 29). 

Hanya sistem Islam yang tegas mengatasi krisis pangan karena kecurangan segolongan pihak, tetapi hal ini hanya bisa terwujud jika diterapkan secara kaffah.

Oleh: Nurjannah
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 14 April 2022

Harga Sembako Naik, Rakyat Semakin Tercekik

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1-K73H_YZHNYkwk0hNR-_cKvugqix00ye

Tinta Media - Pasca dicabutnya harga subsidi minyak goreng kemasan di bulan Maret kemarin, harga minyak goreng melonjak tinggi. Kini menyusul harga sembako yang lainnya juga mulai merangkak naik. Ini merupakan kado pahit bagi masyarakat menjelang Ramadan. Seperti tahun sebelumnya, setiap menjelang Ramadan, harga kebutuhan pokok cenderung mengalami kenaikan. Sejalan dengan itu, kelangkaan akan pasokan kebutuhan pokok juga kerap terjadi. Akibatnya, harga-harga terus meninggi.

Dilansir dari Kompas.com (19/3/2022), Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsi, menyampaikan bahwa kenaikan harga bahan pokok ini akibat kebutuhan lebih tinggi daripada penawaran.

"Logika ekonomi sederhana, kan, permintaan dan penawaran, masa-masa menjelang puasa dan hari raya pasti kebutuhan pokok lebih tinggi, tapi penawaran atau supply barang tidak bertambah banyak."

Tentunya dengan naiknya harga sembako, masyarakat semakin mengeluh. Di masa seperti sekarang, pendapatan tidak mengalami kenaikan, tetapi berbanding terbalik dengan pengeluaran, justru mengalami kenaikan. Ironisnya, kenaikan bahan pangan ini justru  diganggap pemerintah sebagai hal yang biasa terjadi. Seolah pemerintah abai akan penderitaan rakyat.

Padahal, kenaikan harga sembako yang dianggap biasa terjadi tiap tahunnya, sebenarnya bisa berbahaya bagi stabilitas ekonomi dan politik. Bahkan, jika hal ini dibiarkan saja tanpa ada penyelesaian, maka akan menyebabkan kekacauan dan krisis ekonomi maupun politik. Tentunya ini semua sudah menjadi tanggung jawab penguasa untuk mencari solusi.

Sistem Ekonomi Kapitalis Melibas Rakyat Kecil

Sistem ekonomi yang memberikan kebebasan penuh pada semua orang untuk melakukan kegiatan ekonomi demi keuntungan, itulah sistem ekonomi kapitalis. Bisa dipastikan bahwa para pemilik modal besarlah nantinya yang akan menguasai pasar. Rakyat kecil yang memiliki modal pas-pasan tentu akan kalah bertarung di pasaran.

Dalam sistem ekonomi kapitalis  ini, setiap individu diberi hak penuh untuk mengambil manfaat atas harta atau kekayaannya sebagai alat produksi dan berusaha. Sedangkan negara/pemerintah tidak dapat melakukan intervensi atau ikut campur dalam sistem ekonomi kapitalisme.

Ketidakberdayaan pemerintah dalam mengatasi masalah sektor pangan ini tampak dari rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidakmampuan mereka dalam menjaga kestabilan harga pasar. Inilah salah satu kelemahan ekonomi kapitalis, yaitu bisa mengakibatkan munculnya pasar persaingan tidak sempurna dan pasar persaingan monopolistik. Persaingan ini dapat menimbulkan konflik dan ketidakadilan karena pemimpin pasarnya adalah pengusaha besar. Inilah yang terjadi di negara kita saat ini.

Solusi Terbaik Kembali pada Islam

Seolah menjadi fenomena yang berulang tiap tahunnya, setiap menjelang Ramadan sembako mengalami kenaikan. Selama ini, kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan kenaikan harga ini adalah dengan mengatur harga. Kebijakan seperti ini hukumnya tidak boleh atau haram. Hal ini pernah terjadi di masa Rasulullah. Sahabat nabi yang berkata kepada Rasulullah:

"Ya, Rasulullah. Tolong tetapkan harga." Rasulullah menjawab, "Sesungguhnya yang menetapkan harga itu adalah Allah dan Dialah Allah yang menetapkan harga atau rezeki." dan Nabi mengatakan, "Saya tidak ingin melakukan perbuatan zalim yang kemudian saya akan dituntut oleh kaum muslimin karena kezaliman yang saya lakukan."

Jadi hadis ini menjelaskan kepada kita ketika harga-harga naik, pemerintah tidak boleh mengeluarkan kebijakan untuk mengatur harga.

Lalu bagaimana? Kita tentu butuh solusi yang tepat untuk mengatasi hal ini. Islam sebagai satu-satunya agama yang sempurna telah memiliki seperangkat aturan kehidupan yang mampu memberikan solusi terhadap seluruh problematika kehidupan umat manusia, termasuk masalah kenaikan harga kebutuhan pangan ini.

Cara mengatasinya adalah dengan mengkaji apa yang menjadi penyebab harga-harga itu menjadi mahal, bukan langsung menetapkan harga. Mahalnya harga bisa jadi karena kelangkaan barang. Dalam ekonomi, ketika barang itu langka, maka harga itu naik. Jadi, yang bisa dilakukan adalah dengan menambah suplay barang-barang yang ada di pasar.

Hal ini pernah terjadi di masa Khalifah Umar. Harga gandum pada saat itu naik. Ternyata itu bukan karena penimbunan, tetapi karena kelangkaan barangnya. Gandumnya memang sedikit, jadi wajar kalau harganya naik. Maka, yang dilakukan oleh Khalifah Umar adalah membeli gandum dari Mesir kemudian membawa ke Madinah dan dijual ke Madinah dengan harga normal sehingga kemudian terjadi kestabilan harga.

Wallahua'lam bishawab.

Oleh: Yanik Inaku
Anggota Komunitas Setajam Pena
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab