Tinta Media - Pakar Fiqh Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI. (Ustaz Shiddiq) menjelaskan kaidah ushul fiqih pemberian status hukum syara' untuk suatu fakta.
“Kaidah ushul fiqih: al hukmu 'ala asy syai' far'un 'an tashawwurihi, pemberian status hukum syara' untuk suatu fakta, merupakan cabang (langkah berikutnya) setelah pemahaman fakta terhadap fakta itu,” tuturnya pada rubrik Kajian Ngave Majelis Gaul: Hukum Pacaran dalam Islam, Selasa(19/4/2022) di kanal YouTube Majelis Gaul.
Ustaz Shiddiq mengaitkan kaidah tersebut dengan hukum pacaran. Sehingga, sebelum dijelaskan apa hukumnya pacaran dalam Syariah Islam, harus dipahami dulu definisi pacaran itu seperti apa. Hal itu dikarenakan pemahaman fakta, harus terwujud lebih dahulu sebelum pemberian status hukum syara’ pada fakta.
“Pacaran dapat didefinisikan sebagai hubungan khusus (ekslusif) antara laki-laki dan perempuan yang tak terikat pernikahan baik untuk sekedar bersenang-senang (just having fun) maupun untuk saling mengenal atau mencari kecocokan menuju pernikahan,” jelasnya.
Menurutnya, dalam pacaran biasanya terdapat aktivitas-aktivitas sbb:
Pertama, berkomunikasi, baik secara langsung maupun melalui alat komunikasi (SMS, telepon, dll), misalnya saling perkenalan, curhat, diskusi, janjian kencan, saling merayu, dsb.
Kedua, Aktivitas berdua-duaan, yaitu interaksi khusus secara menyendiri tanpa kehadiran orang ketiga, baik dalam kehidupan khusus, misalnya di kamar kos, maupun dalam kehidupan umum, misalnya di restoran, gedung bioskop, dsb. Aktivitas ini sering disebut “kencan” (dating).
Ketiga, Aktivitas fisik sebagai ungkapan rasa cinta, seperti berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, dsb;
Keempat, Hubungan seksual seperti lazimnya yang dilakukan suami istri yang sah.
“Demikianlah sekilas manath (fakta yang menjadi objek hukum) dari apa yang disebut ‘pacaran’ itu,” paparnya.
*Pacaran Haram Hukumnya*
“Setelah mengkaji manath (fakta hukum) dari definisi pacaran dan aktivitas-aktivitasnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jelas bahwa pacaran itu haram hukumnya, baik pacaran untuk sekedar bersenang-senang maupun untuk mencari kecocokan menjelang pernikahan,” tegasnya kemudian
Kemudian ia menyampaikan dalil keharaman pacaran antara lain:
Dalil Pertama, adanya ayat yang mengharamkan zina dan juga segala mukadimah zina (aktivitas yang mendekati zina), seperti berpelukan dan berciuman. Firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Isra’ [17] : 32).
“Dalam ayat tersebut Allah SWT telah melarang segala perbuatan yang mendekati zina dan tentunya juga melarang zinanya itu sendiri,” jelasnya.
Disampaikan menurut Imam Ibnu Katsir yang dimaksud mendekati zina adalah segala aktivitas yang menjadi suatu sebab atau pendorong terjadinya zina. (asbaab wa dawaa’i az-zina). (Tafsir Ibnu Katsir, Juz III, hlm. 503).
Dalil Kedua, adanya hadits yang mengharamkan segala bentuk percumbuan seperti berciuman walaupun tidak sampai berzina. Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (hadits no 5113), bahwa seorang laki-laki telah mencium seorang perempuan tapi tidak sampai berzina, kemudian dia menghadap Nabi SAW. Lalu Nabi SAW pun mengajak laki-laki itu untuk shalat guna menghapus dosanya. Kemudian turunlah firman Allah SWT QS Huud ayat 114 yang artinya:
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS Huud : 114) (Syeikh Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, Juz XII, hlm 179).
Dalil Ketiga, terdapat dalil-dalil hadits yang mengharamkan khalwat, yakni berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan di tempat sepi. Sabda Nabi SAW :
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang perempuan, kecuali perempuan itu disertai mahramnya.” (HR. Bukhari no 4935; Muslim no 1341).
Dalil Keempat, terdapat dalil-dalil hadits yang mengharamkan ikhtilath, yaitu campur baur laki-laki dan perempuan tanpa hajat syar’i (keperluan yang dibenarkan syariah), seperti ngobrol berdua di mobil, ngobrol berdua di rumah, makan berdua di restoran, jalan-jalan berdua di mall, dsb.
Dalil haramnya ikhtilath ditunjukkan oleh hadits-hadits Nabi SAW yang mewajibkan terpisahnya (infishal) komunitas laki-laki dan komunitas perempuan, dan yang menunjukkan haramnya campur baur (ikhtilath) antara laki-laki dan perempuan kecuali ada hajat syar’i, seperti saat thawaf di sekeliling Ka’bah, atau saat berjual-beli, atau saat sewa menyewa, saat berobat, dsb.
Dalil haramnya ikhtilath antara lain bahwa Nabi SAW telah memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika shalat jamaah, yaitu shaf-shaf pria berada di depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang shaf-shaf pria. (HR. Bukhari no 373).
Nabi SAW juga telah memerintahkan para wanita untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat berjamaah di masjid, baru kemudian para laki-laki. (HR. Bukhari no 828).
Dalil Kelima, terdapat dalil-dalil yang mengharamkan umat Islam untuk meniru cara hidup kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar), di antaranya adalah pacaran. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka,” (HR Abu Dawud, no 4029; Nasa`i, As Sunan Al Kubra, no 9560; Ibnu Majah, no 3607; Ahmad, no 5664
Kiai juga menjelaskan sabda Rasulullah SAW: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya,“Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab,”Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Bukhari, no. 3456).
Dari hadis tersebut, menurut Kiai, pacaran sesungguhnya bukanlah bagian cara hidup umat Islam yang dibimbing oleh Al Qur`an dan As Sunnah.
“Pacaran merupakan bagian cara hidup kaum kafir, khususnya masyarakat Barat, yang umumnya beragama Yahudi dan Nashrani,” pungkasnya.[] Raras